“Makasih, udah nganterin aku sampe rumah,” kata Ailis pada Ares saat langkah kaki mereka terhenti di depan gerbang rumahnya.
Kalau punya kekuatan, ia ingin sekali menghentikan waktu. Menjadikan jalan menuju rumahnya sangat jauh, agar mereka bisa lebih lama lagi bersama, walaupun hanya berjalan berdampingan saja nyaris tanpa kata.
Ares hanya mengangguk singkat, sampai kemudian manik matanya teralihkah pada bangunan yang tepat berada di samping rumah Ailis.
Gadis itu jelas tahu apa yang sedang dipikirkan cowok tersebut. Sehingga dengan pikiran yang memengaruhi otaknya, Ailis pun berkata, “Sejak kamu dan Tante Puri pergi, nggak lama Om Satya dan Aldean pun ikut pergi.”
Yang Ailis tidak tahu, Saat itu juga Ares terkesiap mendengar perkataannya. Namun, tidak sekalipun cowok itu mengalihkan pandangannya dari rumah tersebut. Bersikap seolah-olah ia baik-baik saja.
“Y
Ailis tahu kalau keadaannya tidak lagi baik. Semenjak mereka berpacaran, gadis itu merasa baru kali ini Alarik marah besar padanya. Bukan marah seperti membentak atau main tangan, tidak sama sekali. Cowok itu hanya diam, dan sikap tersebut juga menakutkan.Dari kemarin sore, sejak dia memergokinya pulang bersama Ares sampai kini di perjalanan berangkat sekolah bersama, Alarik belum berucap satu kata pun. Dalam kondisi seperti ini sulit untuk Ailis menebak apa mau dan yang sedang cowoknya itu pikirkan. Padahal gadis tersebut lebih suka terbuka. Ini menyulitkan, kan?Apa nggak bisa mereka berperilaku normal, dan nggak buat aku pusing? batinnya.Sampai akhirnya mobil keluarga Alarik yang mengantar mereka, tiba di depan gerbang sekolah. Lagi, tanpa bic
Empat tahun laluGadis itu berhenti melangkah. Kedua mata yang awalnya melihat ke bawah, perlahan naik menatap bangunan futuristik berlantai dua yang terlihat sederhana, tapi nyaman dengan tumbuhnya pohon dan beberapa tanaman di sekitar pekarangan. Masih diam memerhatikan, ia memilih tak acuh saat bunda dan kakaknya justru sibuk mengeluarkan barang-barang pribadi mereka dari dalam mobil.Lagi pula, gadis itu tidak suka dengan keadaan tersebut. Sudah tiga kali terjadi sejak ayahnya meninggal, mereka sering berpindah-pindah tempat tinggal. Alasan pertama karena rumah besar dan mewah yang sebelumnya mereka tempati di Bandung harus dijual untuk melunasi hutang-hutang sang Ayah. Kedua, rumah yang mereka sewa sangat kecil sehingga tidak bisa memenuhi kapasitas kebutuhan. Ketiga, ia dan bundanya ikut serta sang Kakak yang memut
“Di sekolah, anak Tante jadi teman yang baik buat kamu, kan?”Ailis hampir saja tersedak irisan kacang panjang saat Tante Puri, mamanya Ares, tiba-tiba bertanya di acara makan-makan di rumahnya sore itu. Sontak bunda dan Risna memusatkan pandangan padanya. Tidak terkecuali cowok bermata sipit dengan tulang hidungnya yang pendek itu, yang langsung menancapkan tatapan awas.“Hmm ...,” responsnya yang berusaha tenang, lalu kembali berkata, “Dia teman yang baik, kok, Tante.”Ya, benar-benar baik.Saking baiknya, Ares sering menghabiskan bekal miliknya yang katanya sayang kalau dimakan, tapi disisakan. Baik dalam membuat Ailis ketakutan, menangis, marah. Ahli memalak, berkelahi, menjahili, berbohong dan baik dalam tidur di kelas saat jam pelajaran.“Sungguh?” Ailis mengangguk ragu. “Ah, Ares memang anak kebanggaan Tante.”
September, 2019Kira-kira Ailis sudah menguap lebih dari sepuluh kali. Begitu bosan menunggu gerimis yang menjadi hujan sangat lebatnya akan berhenti. Kalau bukan karena pertemuan mendadak ekstrakurikuler Broadcasting, mungkin ia sudah berleha-leha di dalam kamar dan rebahan di atas kasur empuknya. Terlebih Ailis baru saja masuk sekolah setelah tiga hari izin tidak masuk karena sakit musiman. Rasanya tempat tidur adalah benda yang paling diinginkannya saat ini. Namun, ia malah terjebak di ruang ekskul, sendirian.Masalahnya, Ailis tidak mendengarkan pepatah tentang sedia payung sebelum hujan. Karena biasanya ia selalu nebeng bareng Ratna, sahabatnya, yang selalu siap sedia payung di dalam tas, dan jas hujan dalam bagasi motornya. Karena jarak dari gerbang sekolah menuju halte lumayan jauh, terpaksa Ailis harus menunggu sampai hujannya mereda.“Lima belas menit lagi,” gumamnya seraya melirik singkat arloji yan
“Eh ... anak Bunda teh kenapa ngelamun gitu?”Ailis seperti dibangunkan dari renungan, ketika tiba-tiba Bunda Tiara datang dan mengambil duduk tepat di sampingnya. Menaruh susu cokelat panas kesukaan putri bungsunya itu ke atas meja, lantas melingkarkan lengan ke pundak Ailis. Menariknya ke dalam rangkulan.“Kenapa, hm?” tanyanya lagi sambil mengguncangkan pundak Ailis, yang masih diam—menutup buku pelajaran yang sejak tadi luput dari konsentrasinya, lalu dibiarkan tergeletak di atas meja. “Cerita dong sama Bunda. Biasanya juga cerewet—cuit-cuit—kayak anak ayam belum dikasih makan.”“Ih ... apaan sih, Bunda. Emang Ailis kayak gitu?” protesnya mulai buka suara. Pasalnya dikatakan banyak bicara pun tidak. Ia hanya suka mengadu, dan jika itu terkesan cerewet, maka hanya pada bundanya saja. Tentunya juga pada Risna.Bunda Tiara terkekeh, l
Pagi ini suasana di kelas XII - IPS 3 tidak terlalu sibuk. Ailis sudah mengeceknya semalam, khusus hari ini tidak ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan. Jadi karena termasuk hari kebebasan, kedatangan gadis itu tidak perlu disambut oleh penghapus yang beterbangan dan siswa yang berlalu lalang ke sana kemari mencari sontekan. Namun, bukan berarti keadaannya bakalan sepi seperti di kuburan.Ia melewati sekelompok cewek-cewek yang duduk di bagian depan, sedang berbicara seru, lalu tertawa bersama, sebagai ekspresi kebahagiaan dari yang sedang mereka gosipkan. Ailis sempat menguping jika mereka sedang membicarakan tentang para cowok tampan. Hanya saja ada satu yang membuatnya termangu, saat salah satu dari mereka mengatakan, si anak baru di kelas kita itu dijuluki Patung Es Berjalan.Anak baru.Kata-kata itu mulai mengganggu pikiran dan rasa penasaran Ailis. Sehingga ia buru-buru melangkah untuk sampai di bangkuny
Bel tanda berakhirnya pelajaran kedua sudah dibunyikan. Beberapa murid langsung berhamburan dari kelas dan terburu-buru menuju kantin. Sudah pasti mereka menghindari yang namanya antrian panjang. Begitupun dengan Ratna yang seperti cacing kepanasan. Agak mengomel saat dua sahabatnya justru bergerak layaknya binatang moluska. Sangat lamban.“Lis, Sar. Ayok, dong ...,” tegur Ratna yang sudah tidak sabaran. “Kalian tau nggak, sih? Cacing-cacing diperut gue udah pada koprol minta makanan.”“Iya-iya, sabar, dong.” Sarah segera bangkit, tapi ia melihat Ailis masih duduk diam dan merasa heran.“Nungguin Alarik, ya?” tanya Sarah mulai menebak.Ailis lantas menaikkan wajah menatap dua sahabatnya, dan terlihat ragu untuk menjawab.“Akhirnya ... si Arik dapet hidayah juga.”Ailis tidak heran dengan sindiran Rat
Ailis pikir marah adalah salah satu cara untuk membuat Ares merasa menyesal dan akhirnya mau bicara dengannya. Namun, ternyata ia salah besar. Justru karena kejadian tempo hari itu, Ailis lah yang dibuat kecewa. Sebab, karenanya ia merasa gengsi untuk mengajak Ares bicara lagi lebih dulu.Tidak. Bukan itu masalah sebenarnya. Ailis hanya ingin Ares mendekat dan mengatakan maaf duluan padanya. Apa itu salah?Ah, jelas salah. Memang apa posisinya di mata Ares sekarang? Bukankah ia hanya kepingan masa lalu yang ingin dibuang?"Bodoh," keluhnya sambil mengetuk kepala sendiri."Memang bodoh."Tiba-tiba seseorang datang dan