"Serius, Sar?!" Tiba-tiba Ratna memekik di tengah cerita Sarah, membuat beberapa murid yang masih berada di kantin pun sontak menoleh padanya. Namun, gadis itu memilih untuk tidak mengacuhkan yang lain dan kembali berkata, "Jadi, Pak Kepala Sekolah manggil lo ke kantornya buat ngomongin itu?"
Sarah sempat menghela napas, lalu mengangguk membenarkan. Tatapannya kembali pada segelas jus jeruk yang masih setia diaduk menggunakan sedotan. Ia seperti sedang bimbang.
Sementara Ailis, yang juga masih terkejut dengan pernyataan Sarah beberapa detik yang lalu berusaha untuk tetap tenang. Ia jadi memikirkan kejadian satu jam yang lalu, di saat Ares yang hendak kabur setelah memberinya plester luka, tiba-tiba dipanggil oleh Sarah ke ruang Kepala Sekolah. Jadi, ini alasannya. Lalu kenapa Ailis harus memiliki perasaan yang macam-maca
Lapar dan bosan bukan satu-satunya alasan Ailis kini berada di depan sebuah restoran pizza yang tidak jauh dari rumahnya. Ada sesuatu yang ingin ia buktikan, seperti yang kakaknya pernah katakan. Lebih spesifik lagi, gadis itu ingin bertemu dengan Ares.Agak berani, memang. Ia seperti tidak ada lelahnya untuk mencari tahu tentang kehidupan Ares. Namun, Ailis sangat penasaran walaupun bukan sekali dua kali tidak diacuhkan, bahkan menerima banyak kenyataan yang lumayan menyakitkan.Hanya sekali lagi. Ini bukan tentang bagaimana dirinya yang tidak dianggap, tapi tentang bagaimana cowok itu bisa seperti sekarang. Terserah jika kalian beranggapan jika ia terlalu ingin ikut campur dalam kehidupan orang lain. Ya, mungkin dari sisi orang tidak mengenalnya. Namun, Ailis. Dia pernah tahu seperti apa Ares itu.Mengembuskan napas panjang, Ailis pun memantapkan hati untuk kembali melangkah dan memasuki restoran tersebut. Kenda
Seberapa dekatnya kalian dengan seorang ayah? Mungkin tidak lebih banyak dari anak yang dekat dengan ibunya, tapi Ailis salah satu yang berbeda. Ia sangat dekat dengan sosok ayah. Beliau yang mengajarkan banyak hal di luar dari kebiasaan anak perempuan, yang lebih senang bermain boneka atau belajar memasak dengan ibunya.Karena tidak memiliki putra, maka Ailis yang selalu dengan senang hati mengikuti hobi ayahnya. Dari memancing sampai bermain sepak bola atau tenis meja—kala sore tiba—di pekarangan rumah mereka. Setiap kali mengingat kenangan-kenangan manis itu, Ailis selalu merasakan kerinduan yang teramat sangat.Masalahnya, sekarang perasaannya mulai terasa campur aduk saat melihat seorang ayah tengah bermain basket dengan putranya di pekarangan rumah sebelah. Ya, rumah Ares. Namun, bukan cowok itu yang sedang bermain sambil tertawa lepas. Melainkan adiknya, Aldean—yang hanya berbeda dua tahun dari Ares.
“Makasih, udah nganterin aku sampe rumah,” kata Ailis pada Ares saat langkah kaki mereka terhenti di depan gerbang rumahnya.Kalau punya kekuatan, ia ingin sekali menghentikan waktu. Menjadikan jalan menuju rumahnya sangat jauh, agar mereka bisa lebih lama lagi bersama, walaupun hanya berjalan berdampingan saja nyaris tanpa kata.Ares hanya mengangguk singkat, sampai kemudian manik matanya teralihkah pada bangunan yang tepat berada di samping rumah Ailis.Gadis itu jelas tahu apa yang sedang dipikirkan cowok tersebut. Sehingga dengan pikiran yang memengaruhi otaknya, Ailis pun berkata, “Sejak kamu dan Tante Puri pergi, nggak lama Om Satya dan Aldean pun ikut pergi.”Yang Ailis tidak tahu, Saat itu juga Ares terkesiap mendengar perkataannya. Namun, tidak sekalipun cowok itu mengalihkan pandangannya dari rumah tersebut. Bersikap seolah-olah ia baik-baik saja.“Y
Ailis tahu kalau keadaannya tidak lagi baik. Semenjak mereka berpacaran, gadis itu merasa baru kali ini Alarik marah besar padanya. Bukan marah seperti membentak atau main tangan, tidak sama sekali. Cowok itu hanya diam, dan sikap tersebut juga menakutkan.Dari kemarin sore, sejak dia memergokinya pulang bersama Ares sampai kini di perjalanan berangkat sekolah bersama, Alarik belum berucap satu kata pun. Dalam kondisi seperti ini sulit untuk Ailis menebak apa mau dan yang sedang cowoknya itu pikirkan. Padahal gadis tersebut lebih suka terbuka. Ini menyulitkan, kan?Apa nggak bisa mereka berperilaku normal, dan nggak buat aku pusing? batinnya.Sampai akhirnya mobil keluarga Alarik yang mengantar mereka, tiba di depan gerbang sekolah. Lagi, tanpa bic
Empat tahun laluGadis itu berhenti melangkah. Kedua mata yang awalnya melihat ke bawah, perlahan naik menatap bangunan futuristik berlantai dua yang terlihat sederhana, tapi nyaman dengan tumbuhnya pohon dan beberapa tanaman di sekitar pekarangan. Masih diam memerhatikan, ia memilih tak acuh saat bunda dan kakaknya justru sibuk mengeluarkan barang-barang pribadi mereka dari dalam mobil.Lagi pula, gadis itu tidak suka dengan keadaan tersebut. Sudah tiga kali terjadi sejak ayahnya meninggal, mereka sering berpindah-pindah tempat tinggal. Alasan pertama karena rumah besar dan mewah yang sebelumnya mereka tempati di Bandung harus dijual untuk melunasi hutang-hutang sang Ayah. Kedua, rumah yang mereka sewa sangat kecil sehingga tidak bisa memenuhi kapasitas kebutuhan. Ketiga, ia dan bundanya ikut serta sang Kakak yang memut
“Di sekolah, anak Tante jadi teman yang baik buat kamu, kan?”Ailis hampir saja tersedak irisan kacang panjang saat Tante Puri, mamanya Ares, tiba-tiba bertanya di acara makan-makan di rumahnya sore itu. Sontak bunda dan Risna memusatkan pandangan padanya. Tidak terkecuali cowok bermata sipit dengan tulang hidungnya yang pendek itu, yang langsung menancapkan tatapan awas.“Hmm ...,” responsnya yang berusaha tenang, lalu kembali berkata, “Dia teman yang baik, kok, Tante.”Ya, benar-benar baik.Saking baiknya, Ares sering menghabiskan bekal miliknya yang katanya sayang kalau dimakan, tapi disisakan. Baik dalam membuat Ailis ketakutan, menangis, marah. Ahli memalak, berkelahi, menjahili, berbohong dan baik dalam tidur di kelas saat jam pelajaran.“Sungguh?” Ailis mengangguk ragu. “Ah, Ares memang anak kebanggaan Tante.”
September, 2019Kira-kira Ailis sudah menguap lebih dari sepuluh kali. Begitu bosan menunggu gerimis yang menjadi hujan sangat lebatnya akan berhenti. Kalau bukan karena pertemuan mendadak ekstrakurikuler Broadcasting, mungkin ia sudah berleha-leha di dalam kamar dan rebahan di atas kasur empuknya. Terlebih Ailis baru saja masuk sekolah setelah tiga hari izin tidak masuk karena sakit musiman. Rasanya tempat tidur adalah benda yang paling diinginkannya saat ini. Namun, ia malah terjebak di ruang ekskul, sendirian.Masalahnya, Ailis tidak mendengarkan pepatah tentang sedia payung sebelum hujan. Karena biasanya ia selalu nebeng bareng Ratna, sahabatnya, yang selalu siap sedia payung di dalam tas, dan jas hujan dalam bagasi motornya. Karena jarak dari gerbang sekolah menuju halte lumayan jauh, terpaksa Ailis harus menunggu sampai hujannya mereda.“Lima belas menit lagi,” gumamnya seraya melirik singkat arloji yan
“Eh ... anak Bunda teh kenapa ngelamun gitu?”Ailis seperti dibangunkan dari renungan, ketika tiba-tiba Bunda Tiara datang dan mengambil duduk tepat di sampingnya. Menaruh susu cokelat panas kesukaan putri bungsunya itu ke atas meja, lantas melingkarkan lengan ke pundak Ailis. Menariknya ke dalam rangkulan.“Kenapa, hm?” tanyanya lagi sambil mengguncangkan pundak Ailis, yang masih diam—menutup buku pelajaran yang sejak tadi luput dari konsentrasinya, lalu dibiarkan tergeletak di atas meja. “Cerita dong sama Bunda. Biasanya juga cerewet—cuit-cuit—kayak anak ayam belum dikasih makan.”“Ih ... apaan sih, Bunda. Emang Ailis kayak gitu?” protesnya mulai buka suara. Pasalnya dikatakan banyak bicara pun tidak. Ia hanya suka mengadu, dan jika itu terkesan cerewet, maka hanya pada bundanya saja. Tentunya juga pada Risna.Bunda Tiara terkekeh, l