Bel tanda berakhirnya pelajaran kedua sudah dibunyikan. Beberapa murid langsung berhamburan dari kelas dan terburu-buru menuju kantin. Sudah pasti mereka menghindari yang namanya antrian panjang. Begitupun dengan Ratna yang seperti cacing kepanasan. Agak mengomel saat dua sahabatnya justru bergerak layaknya binatang moluska. Sangat lamban.
“Lis, Sar. Ayok, dong ...,” tegur Ratna yang sudah tidak sabaran. “Kalian tau nggak, sih? Cacing-cacing diperut gue udah pada koprol minta makanan.”
“Iya-iya, sabar, dong.” Sarah segera bangkit, tapi ia melihat Ailis masih duduk diam dan merasa heran.
“Nungguin Alarik, ya?” tanya Sarah mulai menebak.
Ailis lantas menaikkan wajah menatap dua sahabatnya, dan terlihat ragu untuk menjawab.
“Akhirnya ... si Arik dapet hidayah juga.”
Ailis tidak heran dengan sindiran Ratna, karena dia sendiri lupa kapan terakhir kali Alarik mengajaknya makan di kantin—berduaan. Hanya saja bukan itu alasan sebenarnya. Bukan karena Alarik mengajaknya makan, tapi karena seseorang di belakang sana—yang ia lihat—masih duduk di kursinya; menunduk diam dan entah apa yang sedang cowok itu pikirkan.
Sarah sempat mengikuti arah tujuan pandangan Ailis, dan itu membuat mimik wajahnya berubah curiga.
“Ya udah, lo tungguin aja si Arik itu. Kita berangkat duluan nggak apa-apa, kan?” Ratna kembali menyahut yang dibalas anggukan pelan oleh Ailis.
Lantas Ratna menarik tangan Sarah.
Sebenarnya Sarah enggan. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Tiba-tiba terlintas di pikirannya, jika Ailis akan berbuat sesuatu pada Ares. Namun, ia juga tidak punya alasan untuk menolak ajakan Ratna. Lagian kenapa dia harus setakut itu?
“Dadah, Lis. Sampe ketemu di kantin!” seru Ratna sebelum berlalu.
Sekarang yang ada di dalam kelas hanya ada dia dan Ares. Gadis itu bingung juga harus memulainya dari mana, lebih-lebih rasa gugup tiba-tiba muncul dan membuat napasnya sulit diatur. Namun, kapan lagi? Ini kesempatan yang bagus, bukan?
Sehingga ia memberanikan diri untuk segera berdiri dan tanpa aba-aba langsung berbalik badan.
“Uh!” pekiknya yang lumayan kaget, sebab satu langkah lagi kakinya melangkah, ia akan bertabrakan dengan Ares—yang tidak tahu menahu sudah beranjak dan hendak pergi. “Ma-maaf.”
Kata itu langsung muncul begitu saja, membuat ia pun refleks mundur satu langkah. Sedangkan Ares sama sekali tidak berbicara, dan malah melewatinya.
“Tunggu!” Sigap saja Ailis mamanggil dan berlari menyusul, sampai berdiri lagi tepat di depan Ares. Mata mereka sempat bertemu, sampai kemudian gadis itu berkata sambil menjulurkan tangan, “Namaku Ailis.”
Cowok itu lagi-lagi masih diam. Keningnya mengernyit sebagai reaksi dari kebingungan yang saat ini ia rasakan.
Dari mimik yang ditunjukkan saja, Ailis sudah bisa menebak sesuatu—membuat sudut bibirnya menukik tipis.
“Kemarin kita ketemu di kebun belakang sekolah. Masih inget, kan?” Gadis itu terus melancarkan rencananya. “Kamu abis ngerokok dan sama sekali nggak minta maaf udah bikin tangan aku kena puntungnya.”
Iris hitam seperti kopi itu melirik tangan Ailis—yang menunjukkan luka bakarnya—walaupun hanya setitik.
“Sebenernya aku udah yakin siapa kamu, tapi ... aku pengen denger nama itu dari mulut kamu.”
“Beb.”
Belum juga Ailis menyelesaikan rencananya, seseorang sudah datang dan membuyarkan suasana tenang yang tercipta; membuat Ailis lantas menurunkan tangan, dan mereka berdua menoleh ke sumber suara.
Ailis menyesalkan kehadiran Alarik. Dia sama sekali tidak tahu kenapa cowok itu harus datang di waktu yang tidak tepat. Padahal Alarik sama sekali tidak mengirimkan pesan untuknya. Namun, bukannya menyapanya, cowok dengan hidung bangir itu malah terkejut dengan keberadaan Ares.
“Eh, lo anak baru itu, ya?” tanya Alarik setelah berada lebih dekat sambil telunjuknya mengarah ke wajah Ares. “Tapi ... muka lo kayak nggak asing. Kita pernah ketemu sebelumnya nggak, sih?”
“Mungkin lo salah lihat,” jawab Ares singkat, yang untuk pertama kalinya membuka suara di depan Ailis. Bahkan sampai membuat gadis itu melongo menatapnya.
“Umm....” Alarik masih berusaha untuk berpikir. “Ah, ya. Gue inget.”
Ucapan setengah girang itu menarik tatapan penasaran dari Ares dan Ailis. Gadis itu tentu saja tidak meragukan ingatan cowok jenius tersebut, tapi di mana mereka pernah bertemu dan kapan?
“Waktu itu kita ketemu di rumah Ailis, kan?”
“Hah?! Rumah aku?” Ailis tidak bisa menyembunyikan wajah keterkejutannya. “Gimana bisa?”
Alarik serta merta melangkah ke samping Ailis dan merangkul pundak kekasihnya itu. “Malem itu aku mau nengok kamu, terus aku ngelihat dia ada di ruang tamu lagi ngobrol sama Bunda dan Teh Risna. Iya, kan?” Tatapannya kembali tertuju pada Ares yang masih bungkam, dengan pandangan yang tidak pernah lepas dari Ailis. “Katanya sih dia ini pengantar pizza dan lagi nganterin pesanannya Teh Risna. Cuma kayaknya udah akrab banget sama orang rumah.”
“Nggak mungkin.”
Ailis mulai lelah menanggapi semua yang mereka ceritakan tentang Ares. Rasa-rasanya ia sudah kehabisan napas dan benar-benar bingung. Lebih lagi cowok yang ada di hadapannya itu tidak berniat untuk membuka suara dan menjelaskan sesuatu.
“Jadi, ternyata lo sekolah di sini juga,” kata Alarik yang masih bersikap welcome padanya.
Berbeda sekali dengan Ailis yang sudah meledak-ledak. Sehingga tanpa antipati lagi, gadis itu menarik kakinya satu langkah hingga lebih dekat dengan cowok jangkung tersebut. Sikapnya itu tentu saja mengundang kebingungan di pikiran Alarik.
“Jadi kamu sempet ke rumah aku, tapi sama sekali nggak nemuin aku?” ucapnya agak gemetar. Bahkan air matanya sudah hampir berlinang. “Di rumah, kamu bersikap baik sama Bunda dan Teh Risna, tapi di sekolah kamu cuek sama aku? Jadi, sebenernya apa maksud kamu pura-pura nggak kenal aku?!” []
Ailis pikir marah adalah salah satu cara untuk membuat Ares merasa menyesal dan akhirnya mau bicara dengannya. Namun, ternyata ia salah besar. Justru karena kejadian tempo hari itu, Ailis lah yang dibuat kecewa. Sebab, karenanya ia merasa gengsi untuk mengajak Ares bicara lagi lebih dulu.Tidak. Bukan itu masalah sebenarnya. Ailis hanya ingin Ares mendekat dan mengatakan maaf duluan padanya. Apa itu salah?Ah, jelas salah. Memang apa posisinya di mata Ares sekarang? Bukankah ia hanya kepingan masa lalu yang ingin dibuang?"Bodoh," keluhnya sambil mengetuk kepala sendiri."Memang bodoh."Tiba-tiba seseorang datang dan
“Gimana, udah selesai?” tanya seorang pria dewasa setelah melihat cowok tinggi berjalan ke arah meja dekat kasir. Ares mengangguk. Wajah lelah sudah tergambar di pelupuk matanya. Jam besar yang tertempel di dinding dekat kasir sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Waktu yang disepakati untuk pekerjaan paruh waktu sudah lewat satu jam yang lalu. Si pemilik restoran pizza itu mengedarkan pandangan ke segala arah. Dari jarak jauh saja ia sudah bisa menyimpulkan jika meja-meja tamu telah bersih dan tertata rapi. Hendra sangat puas, itu sebabnya mengapa pria itu senang mempekerjakan anak berusia delapan belas tahun tersebut di restorannya; selain bagus dalam bekerja, anak itu juga gesit, penurut, dan tidak banyak bicara. “Ini upah kerja yang kamu dapatkan minggu ini,” katanya lagi sambil menyodorkan lima lembar uang ratusan ribu, dan dua lembar uang dua puluhan. Ares sempat memandangi uang yang
Jika kalian pikir menjadi ketua kelas adalah posisi yang paling keren, maka dengan cepat Ailis mematahkan pendapat tersebut. Gadis itu sama sekali tidak berpikir untuk menjadi salah satu yang penting atau diandalkan di kelasnya. Ia tidak pintar, tidak juga yang sering dibangga-banggakan guru pengajar, apalagi berharap menjadi paling menonjol alias jadi pusat perhatian. Sialnya, teman-teman yang dahulu pernah satu kelas dengannya, dengan seenak udelnya menunjuk ia sebagai pemimpin yang bisa diandalkan. Maka, sejak itu lah Ailis mengemban kewajiban sebagai pesuruh-alasan lain tugas ketua kelas-dari guru mau pun teman-temannya. Seperti saat ini, ia mau tidak mau harus mengembalikan buku Geografi ke perpustakaan yang dipinjam Pak Haikal selama pelajaran berlangsung-tadi, sementara yang lainnya sudah berkelompok menuju kantin.
"Serius, Sar?!" Tiba-tiba Ratna memekik di tengah cerita Sarah, membuat beberapa murid yang masih berada di kantin pun sontak menoleh padanya. Namun, gadis itu memilih untuk tidak mengacuhkan yang lain dan kembali berkata, "Jadi, Pak Kepala Sekolah manggil lo ke kantornya buat ngomongin itu?" Sarah sempat menghela napas, lalu mengangguk membenarkan. Tatapannya kembali pada segelas jus jeruk yang masih setia diaduk menggunakan sedotan. Ia seperti sedang bimbang. Sementara Ailis, yang juga masih terkejut dengan pernyataan Sarah beberapa detik yang lalu berusaha untuk tetap tenang. Ia jadi memikirkan kejadian satu jam yang lalu, di saat Ares yang hendak kabur setelah memberinya plester luka, tiba-tiba dipanggil oleh Sarah ke ruang Kepala Sekolah. Jadi, ini alasannya. Lalu kenapa Ailis harus memiliki perasaan yang macam-maca
Lapar dan bosan bukan satu-satunya alasan Ailis kini berada di depan sebuah restoran pizza yang tidak jauh dari rumahnya. Ada sesuatu yang ingin ia buktikan, seperti yang kakaknya pernah katakan. Lebih spesifik lagi, gadis itu ingin bertemu dengan Ares.Agak berani, memang. Ia seperti tidak ada lelahnya untuk mencari tahu tentang kehidupan Ares. Namun, Ailis sangat penasaran walaupun bukan sekali dua kali tidak diacuhkan, bahkan menerima banyak kenyataan yang lumayan menyakitkan.Hanya sekali lagi. Ini bukan tentang bagaimana dirinya yang tidak dianggap, tapi tentang bagaimana cowok itu bisa seperti sekarang. Terserah jika kalian beranggapan jika ia terlalu ingin ikut campur dalam kehidupan orang lain. Ya, mungkin dari sisi orang tidak mengenalnya. Namun, Ailis. Dia pernah tahu seperti apa Ares itu.Mengembuskan napas panjang, Ailis pun memantapkan hati untuk kembali melangkah dan memasuki restoran tersebut. Kenda
Seberapa dekatnya kalian dengan seorang ayah? Mungkin tidak lebih banyak dari anak yang dekat dengan ibunya, tapi Ailis salah satu yang berbeda. Ia sangat dekat dengan sosok ayah. Beliau yang mengajarkan banyak hal di luar dari kebiasaan anak perempuan, yang lebih senang bermain boneka atau belajar memasak dengan ibunya.Karena tidak memiliki putra, maka Ailis yang selalu dengan senang hati mengikuti hobi ayahnya. Dari memancing sampai bermain sepak bola atau tenis meja—kala sore tiba—di pekarangan rumah mereka. Setiap kali mengingat kenangan-kenangan manis itu, Ailis selalu merasakan kerinduan yang teramat sangat.Masalahnya, sekarang perasaannya mulai terasa campur aduk saat melihat seorang ayah tengah bermain basket dengan putranya di pekarangan rumah sebelah. Ya, rumah Ares. Namun, bukan cowok itu yang sedang bermain sambil tertawa lepas. Melainkan adiknya, Aldean—yang hanya berbeda dua tahun dari Ares.
“Makasih, udah nganterin aku sampe rumah,” kata Ailis pada Ares saat langkah kaki mereka terhenti di depan gerbang rumahnya.Kalau punya kekuatan, ia ingin sekali menghentikan waktu. Menjadikan jalan menuju rumahnya sangat jauh, agar mereka bisa lebih lama lagi bersama, walaupun hanya berjalan berdampingan saja nyaris tanpa kata.Ares hanya mengangguk singkat, sampai kemudian manik matanya teralihkah pada bangunan yang tepat berada di samping rumah Ailis.Gadis itu jelas tahu apa yang sedang dipikirkan cowok tersebut. Sehingga dengan pikiran yang memengaruhi otaknya, Ailis pun berkata, “Sejak kamu dan Tante Puri pergi, nggak lama Om Satya dan Aldean pun ikut pergi.”Yang Ailis tidak tahu, Saat itu juga Ares terkesiap mendengar perkataannya. Namun, tidak sekalipun cowok itu mengalihkan pandangannya dari rumah tersebut. Bersikap seolah-olah ia baik-baik saja.“Y
Ailis tahu kalau keadaannya tidak lagi baik. Semenjak mereka berpacaran, gadis itu merasa baru kali ini Alarik marah besar padanya. Bukan marah seperti membentak atau main tangan, tidak sama sekali. Cowok itu hanya diam, dan sikap tersebut juga menakutkan.Dari kemarin sore, sejak dia memergokinya pulang bersama Ares sampai kini di perjalanan berangkat sekolah bersama, Alarik belum berucap satu kata pun. Dalam kondisi seperti ini sulit untuk Ailis menebak apa mau dan yang sedang cowoknya itu pikirkan. Padahal gadis tersebut lebih suka terbuka. Ini menyulitkan, kan?Apa nggak bisa mereka berperilaku normal, dan nggak buat aku pusing? batinnya.Sampai akhirnya mobil keluarga Alarik yang mengantar mereka, tiba di depan gerbang sekolah. Lagi, tanpa bic