Pagi ini suasana di kelas XII - IPS 3 tidak terlalu sibuk. Ailis sudah mengeceknya semalam, khusus hari ini tidak ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan. Jadi karena termasuk hari kebebasan, kedatangan gadis itu tidak perlu disambut oleh penghapus yang beterbangan dan siswa yang berlalu lalang ke sana kemari mencari sontekan. Namun, bukan berarti keadaannya bakalan sepi seperti di kuburan.
Ia melewati sekelompok cewek-cewek yang duduk di bagian depan, sedang berbicara seru, lalu tertawa bersama, sebagai ekspresi kebahagiaan dari yang sedang mereka gosipkan. Ailis sempat menguping jika mereka sedang membicarakan tentang para cowok tampan. Hanya saja ada satu yang membuatnya termangu, saat salah satu dari mereka mengatakan, si anak baru di kelas kita itu dijuluki Patung Es Berjalan.
Anak baru.
Kata-kata itu mulai mengganggu pikiran dan rasa penasaran Ailis. Sehingga ia buru-buru melangkah untuk sampai di bangkunya—berada di barisan sebelah kiri dekat jendela, nomor ke tiga. Di mana sudah ada Sarah, yang dengan antengnya membaca buku-buku berhalaman tebal penuh kisah romansa kegemarannya itu.
Sarah sempat menoleh dan menyapanya dengan senyuman, tapi Ailis langsung bertanya setelah meletakkan tas punggungnya di atas meja. “Sar, emang di kelas kita ada anak baru, ya?”
Pertanyaan yang tiba-tiba itu membuat Sarah bereaksi agak terpegun. Mengernyitkan dahi dengan tatapan bingung.
“Cowok?”
“Jadi bener anak barunya cowok?”
“Kamu udah ketemu sama dia?” katanya lebih menginterogasi, tanpa menjawab pertanyaannya Ailis.
“Ih, Sarah. Aku nanya, kok, kamu malah balik nanya.”
Sarah menghela napas. Dia tampak tidak nyaman. Menarik pandangan dari manik mata Ailis, dan berpura-pura fokus pada novel yang baru saja dibelinya minggu lalu.
“Sarah ... jawab dong. Di sekolah kita ada anak baru, kan? Cowok, kan?”
“Iya. Terus kenapa?” tanya Sarah lagi tanpa memalingkan wajah. Ia tampak geram, mungkin karena Ailis terus mengganggunya padahal gadis yang bercita-cita menjadi seorang pengarang cerita fiksi itu sedang sibuk membaca.
“Dia siapa? Namanya siapa? Ciri-cirinya kayak gimana?” Ailis mulai geregetan, bahkan duduk pun terasa tidak tenang.
“Nggak penting juga, Lis. Dia itu cuma anak baru yang suka bikin masalah.”
“Maksudnya?”
Sarah menarik napas dalam. Mengarahkan pandangannya pada Ailis dan berkata, “Kamu tau? Dia melakukan hal yang tidak akan dilakukan oleh anak baru pada umumnya.” Masih samar-samar, Ailis memilih mencernanya dalam diam. Sampai Sarah kembali melanjutkan, “Baru satu hari aja dia udah banyak melakukan pelanggaran. Pertama, dia berani tidur di jam pelajaran, nggak mencatat bahkan mendengarkan penjelasan Bu Lesi. Otomatis Bu Lesi nyuruh dia berdiri di depan kelas sampai pelajarannya selesai.”
“Hah, serius?” Tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya guru Sosiologi yang terkenal perfeksionis—tidak pandang bulu—itu memarahi anak baru tersebut.
Sarah mengangguk. “Kedua, di jam olahraga, dia ketahuan Pak Dani lagi ngerokok di toilet. Jelas, lah. Pak Dani nyuruh dia lari keliling lapangan sebanyak tiga putaran.”
“Sampe segitunya? Ya ampun ....”
“Bukan cuma itu, di jam istirahat dia tiba-tiba berkelahi sama Yuta di halaman belakang dekat gudang. Gila, kan?”
Ailis sampai tercengang dalam diam. Membayangkan bagaimana sosok si anak baru itu,
Kini Ailis terdiam. Mengingat bagaimana guru Sosiologi itu adalah yang terkenal perfeksionis. “Hari kedua, ketahuan sama Pak Sopian ngerokok di toilet siswa.” Matanya melebar. Semua tahu jika guru olahraga itu sangat fanatik pada kebersihan dan kesehatan. Tiba-tiba Ailis membayangkan wajah emosi Pak Sopian saat memarahi anak baru itu. “Hari Rabu, dia bikin masalah sama gengnya Yuta dan jadilah perkelahian. Terus kemarin, dia udah berani bolos sekolah.”
“Gengnya Yuta? Bolos?” kata Ailis untuk memastikan dengan nada suaranya yang seakan tidak bertenaga.
Gadis itu tidak menyangka. Tiga hari tidak masuk sekolah saja, ia sudah melewatkan hal-hal yang menggemparkan. Jika, orang itu benar-benar Ares—cowok yang dilihatnya kemarin—maka semua yang dilakukannya sungguh luar biasa.
Tidak heran, memang. Karena Ares yang dikenalnya dahulu pun terkenal nakal, tapi apa sampai sekarang?
“Terus, kenapa dia dijulukin Patung Es Berjalan?”
“Karena dia nggak peduli sama sekitarnya. Dingin dan penyendiri. Bahkan cewek secantik Ratna aja masih dicuekin.”
“Gitu, ya,” respons Ailis lalu menunduk. Yang dikatakan Sarah barusan jelas berbeda dengan Ares yang dikenalnya dulu. Semua fakta yang ia dapatkan jadi terasa membingungkan.
“Tapi....” Sarah mendadak heran sambil menarik pandangan lagi pada teman sebangkunya itu. “Kamu, kok, kayak penasaran banget sama anak baru itu. Kenapa?”
“Hah?!” Ailis salah tingkah dan ragu untuk mengatakan semuanya. “Um ... itu-”
“Gaes!” pekik Ratna yang baru saja muncul dari balik pintu, masih mencangklong tas di kedua pundaknya. Tentu saja gadis itu baru saja datang, tapi sudah berlaga heboh-membuat semua pasang mata mengarah kepadanya. “Si Patung Es Berjalan itu lagi otw kemari, gaes!”
Mendadak detak jantung Ailis mengerjap dengan cepat. Ia merasa gelisah menanti orang yang disebut Patung Es Berjalan itu memasuki kelas. Namun, rasa penasaran itu membuat kedua matanya tidak lepas menatap ke arah pintu. Sementara anak-anak yang lain bergegas menuju bangku masing-masing, bersikap seolah guru pengajar akan datang. Rapi dan sunyi. Tidak terkecuali Ratna yang memang sengaja menunggu di depan pintu. Semua tahu, jika dia akan melakukan sesuatu.
Satu menit.
Dua menit.
Tiga menit menunggu, akhirnya seorang dengan pemilik kaki panjang hendak melewati pintu, bersamaan dengan Ratna yang menyapa, “Hai! Pagi!”
Sekarang Ailis mampu melihat dengan jelas wajah anak baru itu. Sampai melebarkan pandangannya pun jawabannya tetap sama. Tidak salah lagi, dia adalah cowok kemarin.
Alih-alih menjawab sapaan Ratna, cowok itu dengan tega cuma melirik sekilas, lalu kembali melangkah menuju kursinya yang terhalang satu bangku di belakang Ailis. Gadis itu hampir kehilangan napas, saat cowok tersebut melewatinya. Melirik singkat tepat mengarah ke manik matanya.
Refleks Ailis menoleh. Melihat bagaimana cowok itu tengah menaruh tasnya di atas meja dengan malas, lalu memasangkan earphone. Tidak ada basa-basi, dia lantas menangkupkan sisi wajahnya pada lipatan tangan dan memejamkan mata.
“Ih ... sombong banget, sih,” celetuk Ratna setelah duduk di kursinya, yang berada di depan Sarah, menaruh tas agak dibanting membuat Ailis sontak menoleh ke arahnya.
“Namanya Arestu Resandi,” sambung Sarah agak berbisik, tapi sukses membuat kedua mata Ailis melebar dan mulutnya terbuka.
Detak jantungnya yang memang belum kembali normal semakin berpacu tidak karuan. Lantas ia kembali menoleh ke belakang, memerhatikan Ares yang tidak bergerak dalam posisinya. Ia senang karena dugaannya tidak salah, tapi sedih karena sikap Ares jauh berbeda.
Apa yang dia lihat sekarang bukanlah Ares yang dulu. Bukan yang sering membuat kekacauan dengan tingkah konyolnya. Bukan lagi yang tertawa terbahak-bahak, lalu bergerak ke sana-kemari dengan senyumnya yang mencerahkan suasana. Kini, Ares tidak lebih seperti patung, yang diberi anugerah bisa melihat, mendengar, dan bergerak.
Melihatnya seperti sekarang, Ailis merasa sedih. Jika boleh memilih, ia ingin Ares yang dahulu. []
Bel tanda berakhirnya pelajaran kedua sudah dibunyikan. Beberapa murid langsung berhamburan dari kelas dan terburu-buru menuju kantin. Sudah pasti mereka menghindari yang namanya antrian panjang. Begitupun dengan Ratna yang seperti cacing kepanasan. Agak mengomel saat dua sahabatnya justru bergerak layaknya binatang moluska. Sangat lamban.“Lis, Sar. Ayok, dong ...,” tegur Ratna yang sudah tidak sabaran. “Kalian tau nggak, sih? Cacing-cacing diperut gue udah pada koprol minta makanan.”“Iya-iya, sabar, dong.” Sarah segera bangkit, tapi ia melihat Ailis masih duduk diam dan merasa heran.“Nungguin Alarik, ya?” tanya Sarah mulai menebak.Ailis lantas menaikkan wajah menatap dua sahabatnya, dan terlihat ragu untuk menjawab.“Akhirnya ... si Arik dapet hidayah juga.”Ailis tidak heran dengan sindiran Rat
Ailis pikir marah adalah salah satu cara untuk membuat Ares merasa menyesal dan akhirnya mau bicara dengannya. Namun, ternyata ia salah besar. Justru karena kejadian tempo hari itu, Ailis lah yang dibuat kecewa. Sebab, karenanya ia merasa gengsi untuk mengajak Ares bicara lagi lebih dulu.Tidak. Bukan itu masalah sebenarnya. Ailis hanya ingin Ares mendekat dan mengatakan maaf duluan padanya. Apa itu salah?Ah, jelas salah. Memang apa posisinya di mata Ares sekarang? Bukankah ia hanya kepingan masa lalu yang ingin dibuang?"Bodoh," keluhnya sambil mengetuk kepala sendiri."Memang bodoh."Tiba-tiba seseorang datang dan
“Gimana, udah selesai?” tanya seorang pria dewasa setelah melihat cowok tinggi berjalan ke arah meja dekat kasir. Ares mengangguk. Wajah lelah sudah tergambar di pelupuk matanya. Jam besar yang tertempel di dinding dekat kasir sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Waktu yang disepakati untuk pekerjaan paruh waktu sudah lewat satu jam yang lalu. Si pemilik restoran pizza itu mengedarkan pandangan ke segala arah. Dari jarak jauh saja ia sudah bisa menyimpulkan jika meja-meja tamu telah bersih dan tertata rapi. Hendra sangat puas, itu sebabnya mengapa pria itu senang mempekerjakan anak berusia delapan belas tahun tersebut di restorannya; selain bagus dalam bekerja, anak itu juga gesit, penurut, dan tidak banyak bicara. “Ini upah kerja yang kamu dapatkan minggu ini,” katanya lagi sambil menyodorkan lima lembar uang ratusan ribu, dan dua lembar uang dua puluhan. Ares sempat memandangi uang yang
Jika kalian pikir menjadi ketua kelas adalah posisi yang paling keren, maka dengan cepat Ailis mematahkan pendapat tersebut. Gadis itu sama sekali tidak berpikir untuk menjadi salah satu yang penting atau diandalkan di kelasnya. Ia tidak pintar, tidak juga yang sering dibangga-banggakan guru pengajar, apalagi berharap menjadi paling menonjol alias jadi pusat perhatian. Sialnya, teman-teman yang dahulu pernah satu kelas dengannya, dengan seenak udelnya menunjuk ia sebagai pemimpin yang bisa diandalkan. Maka, sejak itu lah Ailis mengemban kewajiban sebagai pesuruh-alasan lain tugas ketua kelas-dari guru mau pun teman-temannya. Seperti saat ini, ia mau tidak mau harus mengembalikan buku Geografi ke perpustakaan yang dipinjam Pak Haikal selama pelajaran berlangsung-tadi, sementara yang lainnya sudah berkelompok menuju kantin.
"Serius, Sar?!" Tiba-tiba Ratna memekik di tengah cerita Sarah, membuat beberapa murid yang masih berada di kantin pun sontak menoleh padanya. Namun, gadis itu memilih untuk tidak mengacuhkan yang lain dan kembali berkata, "Jadi, Pak Kepala Sekolah manggil lo ke kantornya buat ngomongin itu?" Sarah sempat menghela napas, lalu mengangguk membenarkan. Tatapannya kembali pada segelas jus jeruk yang masih setia diaduk menggunakan sedotan. Ia seperti sedang bimbang. Sementara Ailis, yang juga masih terkejut dengan pernyataan Sarah beberapa detik yang lalu berusaha untuk tetap tenang. Ia jadi memikirkan kejadian satu jam yang lalu, di saat Ares yang hendak kabur setelah memberinya plester luka, tiba-tiba dipanggil oleh Sarah ke ruang Kepala Sekolah. Jadi, ini alasannya. Lalu kenapa Ailis harus memiliki perasaan yang macam-maca
Lapar dan bosan bukan satu-satunya alasan Ailis kini berada di depan sebuah restoran pizza yang tidak jauh dari rumahnya. Ada sesuatu yang ingin ia buktikan, seperti yang kakaknya pernah katakan. Lebih spesifik lagi, gadis itu ingin bertemu dengan Ares.Agak berani, memang. Ia seperti tidak ada lelahnya untuk mencari tahu tentang kehidupan Ares. Namun, Ailis sangat penasaran walaupun bukan sekali dua kali tidak diacuhkan, bahkan menerima banyak kenyataan yang lumayan menyakitkan.Hanya sekali lagi. Ini bukan tentang bagaimana dirinya yang tidak dianggap, tapi tentang bagaimana cowok itu bisa seperti sekarang. Terserah jika kalian beranggapan jika ia terlalu ingin ikut campur dalam kehidupan orang lain. Ya, mungkin dari sisi orang tidak mengenalnya. Namun, Ailis. Dia pernah tahu seperti apa Ares itu.Mengembuskan napas panjang, Ailis pun memantapkan hati untuk kembali melangkah dan memasuki restoran tersebut. Kenda
Seberapa dekatnya kalian dengan seorang ayah? Mungkin tidak lebih banyak dari anak yang dekat dengan ibunya, tapi Ailis salah satu yang berbeda. Ia sangat dekat dengan sosok ayah. Beliau yang mengajarkan banyak hal di luar dari kebiasaan anak perempuan, yang lebih senang bermain boneka atau belajar memasak dengan ibunya.Karena tidak memiliki putra, maka Ailis yang selalu dengan senang hati mengikuti hobi ayahnya. Dari memancing sampai bermain sepak bola atau tenis meja—kala sore tiba—di pekarangan rumah mereka. Setiap kali mengingat kenangan-kenangan manis itu, Ailis selalu merasakan kerinduan yang teramat sangat.Masalahnya, sekarang perasaannya mulai terasa campur aduk saat melihat seorang ayah tengah bermain basket dengan putranya di pekarangan rumah sebelah. Ya, rumah Ares. Namun, bukan cowok itu yang sedang bermain sambil tertawa lepas. Melainkan adiknya, Aldean—yang hanya berbeda dua tahun dari Ares.
“Makasih, udah nganterin aku sampe rumah,” kata Ailis pada Ares saat langkah kaki mereka terhenti di depan gerbang rumahnya.Kalau punya kekuatan, ia ingin sekali menghentikan waktu. Menjadikan jalan menuju rumahnya sangat jauh, agar mereka bisa lebih lama lagi bersama, walaupun hanya berjalan berdampingan saja nyaris tanpa kata.Ares hanya mengangguk singkat, sampai kemudian manik matanya teralihkah pada bangunan yang tepat berada di samping rumah Ailis.Gadis itu jelas tahu apa yang sedang dipikirkan cowok tersebut. Sehingga dengan pikiran yang memengaruhi otaknya, Ailis pun berkata, “Sejak kamu dan Tante Puri pergi, nggak lama Om Satya dan Aldean pun ikut pergi.”Yang Ailis tidak tahu, Saat itu juga Ares terkesiap mendengar perkataannya. Namun, tidak sekalipun cowok itu mengalihkan pandangannya dari rumah tersebut. Bersikap seolah-olah ia baik-baik saja.“Y