“Eh ... anak Bunda teh kenapa ngelamun gitu?”
Ailis seperti dibangunkan dari renungan, ketika tiba-tiba Bunda Tiara datang dan mengambil duduk tepat di sampingnya. Menaruh susu cokelat panas kesukaan putri bungsunya itu ke atas meja, lantas melingkarkan lengan ke pundak Ailis. Menariknya ke dalam rangkulan.
“Kenapa, hm?” tanyanya lagi sambil mengguncangkan pundak Ailis, yang masih diam—menutup buku pelajaran yang sejak tadi luput dari konsentrasinya, lalu dibiarkan tergeletak di atas meja. “Cerita dong sama Bunda. Biasanya juga cerewet—cuit-cuit—kayak anak ayam belum dikasih makan.”
“Ih ... apaan sih, Bunda. Emang Ailis kayak gitu?” protesnya mulai buka suara. Pasalnya dikatakan banyak bicara pun tidak. Ia hanya suka mengadu, dan jika itu terkesan cerewet, maka hanya pada bundanya saja. Tentunya juga pada Risna.
Bunda Tiara terkekeh, lalu menggeleng untuk menghibur putrinya yang sudah memajukan bibir bawah sambil menekukkan wajah.
“Anak Bunda mah paling baik sedunia. Penurut, perhatian, tapi kadang jutek juga.”
Ailis kembali merajuk. Namun, sebelum gadis itu memprotes lagi, Bunda Tiara segera menarik kepala putrinya dekat dengan dada dan mengelus puncak kepalanya penuh kasih sayang. Hal yang dulu sering ayahnya lakukan juga, dan itu cukup membuat Ailis merasa tenang—seakan mengurangi rasa kerinduan kepada sang Ayah.
“Ada apa? Cerita atuh sama Bunda.”
Ailis masih diam. Ia bingung harus menceritakan tentangnya yang bertemu Ares di sekolah tadi sore atau tidak. Pasalnya, tiba-tiba ia merasa ragu. Takut jika salah mengenali seseorang. Namun, meskipun itu sudah empat tahun berlalu rasanya Ailis merasa garis wajah Ares tidak banyak mengalami perubahan. Kecuali semakin tinggi dan ... tentu saja bertambah tampan.
Hanya saja, memikirkan bagaimana sikap Ares yang acuh tak acuh seperti tidak pernah saling mengenal, membuatnya semakin sangsi. Bunda juga pasti kecewa jika ia membawa informasi yang salah.
Lagian, jika benar itu Ares. Kenapa dia ada di sekolahnya dan sejak kapan? Kenapa dia baru tahu?
Besok harus aku pastiin dulu, katanya dalam hati, yang lantas melingkarkan kedua tangan di pinggang bundanya.
Bunda Tiara pun tidak lagi bertanya. Jika mau, putrinya itu pasti akan bercerita suatu hari nanti.
“Ya udah, diminum dulu susunya.”
“Nggak, ah. Nanti dulu. Pengen meluk Bunda dulu. Anget soalnya.”
“Emm, si manja,” tukas bundanya sambil mencubit gemas hidung mungil dan mancung milik Ailis.
Mereka pun tertawa dan melanjutkan menonton televisi, sambil bernostalgia ke sana dan kemari. Itung-itung menghabiskan waktu tak terasa, menunggu Risna pulang bertugas dari rumah sakit.
***
Sudah jam sebelas malam, tapi Ailis masih belum bisa memejamkan kedua matanya. Pikirannya terus sibuk memikirkan tentang kembalinya Ares. Jika dipikir-pikir, anak itu seperti hujan yang datang lalu pergi dan datang lagi tanpa diundang.
“Ayolah, Ailis. Tenang,” sesalnya seraya mengacak puncak rambut sepunggungnya yang terurai.
Yang jelas, gadis itu benci dengan perasaan hatinya yang selalu menyimpang. Ia tidak mau mengakui. Sebesar apapun hatinya melawan, Ailis tetap berusaha memberontak.
Alhasil, ia tidak bisa mengendalikan diri. Semakin otaknya berusaha melupakan, semakin ia mengingat semua kejadian dahulu yang pernah Ares lakukan. Seakan menjilat ludah sendiri.
Hal yang dahulu Ailis cemoohkan—tentang harapan yang ditulis dalam pesawat kertas lalu diterbangkan—sekarang selalu ia lakukan. Terkadang hampir setiap malam, sambil berdiri di balkon dan memandang kamar seberang yang tetap kosong.
Setelah Tante Puri dan Ares meninggalkan rumah itu, Om Zakie dan putra sulungnya pun ikut pergi. Rumah itu sekarang sering kosong setelah berpindah tangan pada seorang pengacara muda yang membelinya sebagai bentuk investasi, atau beristirahat di waktu senggang.
Suasana yang sejuk, halaman yang luas dengan tumbuhnya banyak pepohonan rindang, serta lingkungan yang aman dan tenteram, memang cocok menjadi tempat untuk berhenti sejenak dari rutinitas penatnya kehidupan.
Akan tetapi, bagi Ailis, rumah yang tetap kosong itu adalah bumerang. Halusinasinya semakin liar. Membayangkan jika Ares masih ada di balik jendela kamar seberang, lalu melemparkan cokelat batu ke jendela kamarnya, dan dengan bodoh menunggunya—barangkali anak itu akan keluar, lalu menyambutnya dengan tingkah konyol.
“Bisa nggak, sih, berhenti ngelemparin kayak gituan ke halaman rumah aku?!”
Ailis tidak bisa menahan emosinya. Mengingat, semakin ia diamkan, Ares malah semakin menjadi. Anak itu seolah tidak punya titik untuk menyerah lalu diam saja di pojokkan dan menutup mulutnya. Jangan harap, kalau itu terjadi maka badai pasti akan datang.
Terlalu bodoh jika Ailis berharap itu jadi kenyataan.
“Setiap hari Bunda marahin aku karena pesawat-pesawatan itu. Katanya kayak anak kecil dan bikin halaman jadi banyak sampah.”
“Gue cuma mau ngajakin lo ngobrol, kok,” balas Ares dengan santainya. “Lo tinggal nerima pesawat itu dan baca pesan yang gue tulis di sana, terus bales, deh. Gampang, kan?”
Mata Ailis lantas mengarah ke bawah, di mana benda-benda itu telah berserakan di ubin balkonnya. Mendelikkan mata merasa gondok.
“Ini bukan zaman kerajaan, kan? Kenapa nggak pake handphone aja sih?”
“Lo, kan, nggak ngasih nomornya. Jadi, gimana bisa gue hubungin lo.”
Ailis geram. “Jangan berlaga bodoh. Aku tahu kamu minta nomor aku sama Bunda, kan?”
Ares lantas cengengesan. “Biar beda aja. Yang beda itu gampang dikenang tau.”
Napasnya dibuang kasar, mengepalkan jemarinya emosional. Lalu dengan sisa kesabaran ia meraih satu pesawat kertas dan membaca tulisan di atas sayapnya.
Gue cuma mau ngucapin selamat malam. Jangan lupa cuci kaki dan tangan. Dan baca doa dulu sebelum tidur biar nggak digangguin setan. Gue kan nggak mau jodoh masa depan gue ketakutan. :)) :*
Geli. Ailis benar-benar risi. Ia heran mengapa bocah sepertinya bisa berkata hal-hal yang pantas dikatakan orang dewasa.
Jengkel. Ailis pun meremas pesan di pesawat kertas itu dan membuangnya ke taman—bersama pesawat-pesawatan yang lain. Masa bodo jika Bunda akan marah. Itu urusan besok. Sekarang ia hanya perlu masuk ke dalam kamar, menutup pintu dan jendela, mematikan lampu, dan melupakan keresean Ares bersama tidurnya yang nyenyak.
“Jangan lupa bawa aku bahagia, ya!” teriak Ares, sebelum interaksi mereka malam itu benar-benar berakhir.
Ailis tersenyum haru mengingat semua momen itu. Ia tidak menyangka jika malam itu adalah hari terakhir mereka saling bicara, saling menatap, dan meladeni tingkah konyolnya. Gadis itu pun tidak mengira bahwa ia akan sampai kehilangan sebegitu dalam. Kini Ailis semakin tidak sabar menunggu matahari terbit esok hari. Pokoknya, gadis itu akan meminta pertanggungjawaban. Memaksa Ares untuk mengatakan semuanya. Ailis bertekad, tidak akan membiarkan waktu mengambilnya kembali. []
Pagi ini suasana di kelas XII - IPS 3 tidak terlalu sibuk. Ailis sudah mengeceknya semalam, khusus hari ini tidak ada pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan. Jadi karena termasuk hari kebebasan, kedatangan gadis itu tidak perlu disambut oleh penghapus yang beterbangan dan siswa yang berlalu lalang ke sana kemari mencari sontekan. Namun, bukan berarti keadaannya bakalan sepi seperti di kuburan.Ia melewati sekelompok cewek-cewek yang duduk di bagian depan, sedang berbicara seru, lalu tertawa bersama, sebagai ekspresi kebahagiaan dari yang sedang mereka gosipkan. Ailis sempat menguping jika mereka sedang membicarakan tentang para cowok tampan. Hanya saja ada satu yang membuatnya termangu, saat salah satu dari mereka mengatakan, si anak baru di kelas kita itu dijuluki Patung Es Berjalan.Anak baru.Kata-kata itu mulai mengganggu pikiran dan rasa penasaran Ailis. Sehingga ia buru-buru melangkah untuk sampai di bangkuny
Bel tanda berakhirnya pelajaran kedua sudah dibunyikan. Beberapa murid langsung berhamburan dari kelas dan terburu-buru menuju kantin. Sudah pasti mereka menghindari yang namanya antrian panjang. Begitupun dengan Ratna yang seperti cacing kepanasan. Agak mengomel saat dua sahabatnya justru bergerak layaknya binatang moluska. Sangat lamban.“Lis, Sar. Ayok, dong ...,” tegur Ratna yang sudah tidak sabaran. “Kalian tau nggak, sih? Cacing-cacing diperut gue udah pada koprol minta makanan.”“Iya-iya, sabar, dong.” Sarah segera bangkit, tapi ia melihat Ailis masih duduk diam dan merasa heran.“Nungguin Alarik, ya?” tanya Sarah mulai menebak.Ailis lantas menaikkan wajah menatap dua sahabatnya, dan terlihat ragu untuk menjawab.“Akhirnya ... si Arik dapet hidayah juga.”Ailis tidak heran dengan sindiran Rat
Ailis pikir marah adalah salah satu cara untuk membuat Ares merasa menyesal dan akhirnya mau bicara dengannya. Namun, ternyata ia salah besar. Justru karena kejadian tempo hari itu, Ailis lah yang dibuat kecewa. Sebab, karenanya ia merasa gengsi untuk mengajak Ares bicara lagi lebih dulu.Tidak. Bukan itu masalah sebenarnya. Ailis hanya ingin Ares mendekat dan mengatakan maaf duluan padanya. Apa itu salah?Ah, jelas salah. Memang apa posisinya di mata Ares sekarang? Bukankah ia hanya kepingan masa lalu yang ingin dibuang?"Bodoh," keluhnya sambil mengetuk kepala sendiri."Memang bodoh."Tiba-tiba seseorang datang dan
“Gimana, udah selesai?” tanya seorang pria dewasa setelah melihat cowok tinggi berjalan ke arah meja dekat kasir. Ares mengangguk. Wajah lelah sudah tergambar di pelupuk matanya. Jam besar yang tertempel di dinding dekat kasir sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Waktu yang disepakati untuk pekerjaan paruh waktu sudah lewat satu jam yang lalu. Si pemilik restoran pizza itu mengedarkan pandangan ke segala arah. Dari jarak jauh saja ia sudah bisa menyimpulkan jika meja-meja tamu telah bersih dan tertata rapi. Hendra sangat puas, itu sebabnya mengapa pria itu senang mempekerjakan anak berusia delapan belas tahun tersebut di restorannya; selain bagus dalam bekerja, anak itu juga gesit, penurut, dan tidak banyak bicara. “Ini upah kerja yang kamu dapatkan minggu ini,” katanya lagi sambil menyodorkan lima lembar uang ratusan ribu, dan dua lembar uang dua puluhan. Ares sempat memandangi uang yang
Jika kalian pikir menjadi ketua kelas adalah posisi yang paling keren, maka dengan cepat Ailis mematahkan pendapat tersebut. Gadis itu sama sekali tidak berpikir untuk menjadi salah satu yang penting atau diandalkan di kelasnya. Ia tidak pintar, tidak juga yang sering dibangga-banggakan guru pengajar, apalagi berharap menjadi paling menonjol alias jadi pusat perhatian. Sialnya, teman-teman yang dahulu pernah satu kelas dengannya, dengan seenak udelnya menunjuk ia sebagai pemimpin yang bisa diandalkan. Maka, sejak itu lah Ailis mengemban kewajiban sebagai pesuruh-alasan lain tugas ketua kelas-dari guru mau pun teman-temannya. Seperti saat ini, ia mau tidak mau harus mengembalikan buku Geografi ke perpustakaan yang dipinjam Pak Haikal selama pelajaran berlangsung-tadi, sementara yang lainnya sudah berkelompok menuju kantin.
"Serius, Sar?!" Tiba-tiba Ratna memekik di tengah cerita Sarah, membuat beberapa murid yang masih berada di kantin pun sontak menoleh padanya. Namun, gadis itu memilih untuk tidak mengacuhkan yang lain dan kembali berkata, "Jadi, Pak Kepala Sekolah manggil lo ke kantornya buat ngomongin itu?" Sarah sempat menghela napas, lalu mengangguk membenarkan. Tatapannya kembali pada segelas jus jeruk yang masih setia diaduk menggunakan sedotan. Ia seperti sedang bimbang. Sementara Ailis, yang juga masih terkejut dengan pernyataan Sarah beberapa detik yang lalu berusaha untuk tetap tenang. Ia jadi memikirkan kejadian satu jam yang lalu, di saat Ares yang hendak kabur setelah memberinya plester luka, tiba-tiba dipanggil oleh Sarah ke ruang Kepala Sekolah. Jadi, ini alasannya. Lalu kenapa Ailis harus memiliki perasaan yang macam-maca
Lapar dan bosan bukan satu-satunya alasan Ailis kini berada di depan sebuah restoran pizza yang tidak jauh dari rumahnya. Ada sesuatu yang ingin ia buktikan, seperti yang kakaknya pernah katakan. Lebih spesifik lagi, gadis itu ingin bertemu dengan Ares.Agak berani, memang. Ia seperti tidak ada lelahnya untuk mencari tahu tentang kehidupan Ares. Namun, Ailis sangat penasaran walaupun bukan sekali dua kali tidak diacuhkan, bahkan menerima banyak kenyataan yang lumayan menyakitkan.Hanya sekali lagi. Ini bukan tentang bagaimana dirinya yang tidak dianggap, tapi tentang bagaimana cowok itu bisa seperti sekarang. Terserah jika kalian beranggapan jika ia terlalu ingin ikut campur dalam kehidupan orang lain. Ya, mungkin dari sisi orang tidak mengenalnya. Namun, Ailis. Dia pernah tahu seperti apa Ares itu.Mengembuskan napas panjang, Ailis pun memantapkan hati untuk kembali melangkah dan memasuki restoran tersebut. Kenda
Seberapa dekatnya kalian dengan seorang ayah? Mungkin tidak lebih banyak dari anak yang dekat dengan ibunya, tapi Ailis salah satu yang berbeda. Ia sangat dekat dengan sosok ayah. Beliau yang mengajarkan banyak hal di luar dari kebiasaan anak perempuan, yang lebih senang bermain boneka atau belajar memasak dengan ibunya.Karena tidak memiliki putra, maka Ailis yang selalu dengan senang hati mengikuti hobi ayahnya. Dari memancing sampai bermain sepak bola atau tenis meja—kala sore tiba—di pekarangan rumah mereka. Setiap kali mengingat kenangan-kenangan manis itu, Ailis selalu merasakan kerinduan yang teramat sangat.Masalahnya, sekarang perasaannya mulai terasa campur aduk saat melihat seorang ayah tengah bermain basket dengan putranya di pekarangan rumah sebelah. Ya, rumah Ares. Namun, bukan cowok itu yang sedang bermain sambil tertawa lepas. Melainkan adiknya, Aldean—yang hanya berbeda dua tahun dari Ares.