Sudah pukul dua dini hari, Adel belum juga pulang. Gagah masih menunggu di ruang tengah. Sesibuk itukah istrinya?
Dia tidak berniat mengekang Adel, hanya saja saat ini ada nyawa yang harus ia dan istrinya jaga.
"Kenapa sampai selarut ini?"
Langkah Adel terhenti saat mendapati Gagah di ruang tengah. Raut wajah wanita itu nampak sangat lelah.
"Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku bakal pulang telat. Kok sekarang malah ngomel, sih? Aku nggak butuh diatur-atur kayak gini."
"Nggak ada yang ngatur kamu!" Suara Gagah meninggi. "Tapi tolong ... jangan anggap remeh kondisi kehamilan kamu. Itu anak aku juga, jadi aku berhak nuntut kamu untuk lebih hati-hati dan jaga diri. Bukan keluyuran sampai tengah malam kayak begini."
Adel tidak terima. Berani sekali Gagah mengomelinya. Dengan kasar Adel membanting tas kecil yang ia bawa.
"Emang gini cara aku kerja. Dan maaf ya, aku nggak keluyuran seperti yang kamu bilang. Kamu kira aku wanita apaan?"
"Secara nggak langsung kamu cap aku sebagai wanita nggak baik. Terus, ngapain nikahin aku? Aku bisa gugurin bayi kamu. Aku nggak butuh bayi ini. Capek aku!" Adel memekik sambil menangis.
Gagah mendekati Adel dan hampir saja menamparnya. Untung saja pria itu masih bisa menahan diri.
"Anak aku berhak hidup. Jangan mikir aneh deh kamu. Terima atau nggak, suka atau nggak, kamu akan tetap lahirin anak itu," tegas Gagah. Giginya bergemeletuk. Telinganya terasa panas mendengar perkataan Adel yang ingin menggugurkan kandungan.
Sebenarnya Gagah tidak marah karena Adel yang pulang terlalu larut. Melainkan karena orang suruhannya membagikan sebuah video dimana dalam video itu, Istrinya bersama seorang pria yang memainkan rambut Adel dan menyentuh pipinya begitu mesra. Adel terlihat tidak keberatan sama sekali. Mereka terlihat sangat bahagia dan tertawa lepas.
Entahlah... bagaimana bisa itu membuat Gagah sakit hati? Apa mungkin kalau dia sudah mulai mencintai Adel? Semenjak melihat Adel, Gagah memang menaruh rasa kagum pada wanita yang kini menjadi istrinya itu. Akan tetapi bukan rasa cinta. Apakah karena selalu melihatnya membuat Gagah mulai jatuh cinta?
"Bisa gila aku," gumam Gagah, ia mengusap wajahnya frustasi.
***
Suara piring pecah membuat Gagah terbangun. Matanya masih menyesuaikan cahaya yang masuk. Namun, suara ribut dari bawah membuatnya semakin penasaran.Dia terkejut saat mendapati dapur yang sangat kacau. Hampir semua kabinet dapur terbuka. Sayur ada di mana-mana. Dan yang membuat mata Gagah melotot adalah masakan yang sudah gosong di atas kompor.
"Jangan disentuh, kamu bisa luka nanti. Udah, biar aku aja yang bersihin." Suruhan Gagah sama sekali tak diindahkan oleh istrinya.
Adel masih kekeh memungut serpihan-serpihan beling yang berserakan.
"Aw!"
Gagah terkesiap dan segera menghampiri Adel.
"Aku bilangin jangan, malah ngeyel," omel Gagah. "Sini, aku obati."
Pelan-pelan Gagah merangkul Adel dan menuntunnya ke meja makan. Adel terus meringis karena sebuah beling menancap di telunjuknya. Gagah sedikit berlari mengambil kotak keselamatan.
"Tahan ya. Akan terasa sedikit perih." Adel hanya diam dan mengangguk. Dia tidak mau membantah lagi. Mungkin saja telunjuknya terluka karena kualat pada suaminya.
Dengan telaten ia merawat tangan Adel. Membersihkan dengan sangat lembut, lalu mengoleskan salep khusus.
"Lain kali kalau suami nyuruh tuh jangan keras kepala. Kualat baru tahu rasa," sindir Gagah tanpa melihat istrinya.
"Kamu mau masak apa memang?"
"Ngidam nasi goreng pedas," jawab Adel dengan suara lirih.
"Diam di sini dan jangan ke mana-mana!" Gagah beranjak pergi ke dapur.
Tak berselang lama, pria itu kembali dengan piring berisi nasi goreng yang diidamkan oleh Adel. Tak lupa segelas susu vanila di tangan sebelah kirinya.
"Aku nggak mau makan. Kamu aja yang makan," tolak Adel saat Gagah menyodorinya nasi goreng tersebut.
"Makan!" suruh Gagah. Dia mulai mendekati wajah Adel hingga hampir tidak ada jarak antara wajah mereka. Lalu dengan suara beratnya Gagah berbisik, "Kalau nggak, aku bakal kunciin kamu di kamar dan aku jadiin boneka pemuas nafsu. Mau?"
Refleks Adel menggeleng. Sebenarnya ia sangat gengsi untuk memakan masakan Gagah. Tapi, perutnya tak bisa diajak kompromi lagi. Adel kelaparan dan segera melahap makanan yang disediakan.
"Aku mau ke atas. Lima menit lagi aku cek, nasinya harus sudah habis."
Adel memegangi dadanya yang terasa seperti akan keluar. Aroma tubuh Gagah selalu berhasil membuatnya melayang. Bisikan pria itu terasa begitu panas dan membuat tengkuknya meremang. Adel dengan cepat menepis pikiran kotornya dan segera menghabiskan sarapan.
Jika mendapat perlakuan genting seperti ini dari Gagah, Adel teringat godaan-godaan Sekar. "Dosa besar kalau kamu nggak kasih Gagah jatah, Del."
"Lagian nih, Gagah keliatannya juga nungguin kamu kasih kode buat dia. Tapi kamu kayaknya lempeng bae."
Kadang dokter itu juga berkata, "Nggak baik, Del. Kasih jatah itu suami kamu. Udah pasti bakal enak, nagih, dapat pahala pula. Kali aja dengan cara seperti itu kamu dan Gagah bisa jadi saling suka. Masa sih kamu lupa rasanya malam itu?"
"Hati-hati loh, ya. Sekarang itu banyak pelakor. Suami kamu wah... hampir sempurna. Andai aku bukan sahabat baik kamu, udah aku embat tuh Gagah."
Dan masih banyak lagi rentetan pesan suara lain yang Sekar kirimkan untuk sahabatnya itu. Namun, Adel yang tidak berpengalaman tentu saja tidak siap dengan semuanya. Dia tetap butuh proses.
Sementara Gagah, pria itu juga sangat gugup. Jarak sedekat itu mengingatkannya pada malam di mana Adel menyerahkan diri padanya. Sapuan napas Adel membuat Gagah meracau tak jelas.
Masa cuti sudah berlalu. Mulai besok pagi mereka harus kembali menjalani rutinitas masing-masing.
Setelah makan malam, Gagah memutuskan untuk istirahat lebih awal. Di luar juga sedang hujan deras. Namun, sebelum kembali ke kamar, Gagah harus menyiapkan susu untuk istrinya terlebih dulu.
"Del, buka pintunya."
Beberapa saat Gagah menunggu, tapi tidak ada jawaban. Ataukah Adel menjawab tapi tidak ia dengar karena suara hujan? Gagah berinisiatif membuka pintunya sendiri.
Begitu masuk, pria itu sangat terkejut mendapati istrinya meringkuk di pojok ranjang dengan ditutupi selimut tebal. Refleks Gagah berlari menghampirinya.
"Ya ampun, Del. Kamu kenapa?" Gagah mengguncang tubuh Adel cukup kuat. Dia sangat cemas.
"Aku takut petir," lirih wanita itu. "Aku nggak bisa tidur. Apa kamu mau temani aku di sini?"
Gagah berpikir sejenak... sikap dingin yang biasa Gagah lihat kini berubah 180 derajat. Yang dia lihat hanya wanita manja dan rapuh karena ketakutan. Air mata Adel membuat Gagah gemas.
Dengan jantung berdetak lebih kencang, Gagah mengangguk. Ia memberanikan diri untuk memeluk istrinya. Awalnya, Gagah mengira Adel akan menolak keras. Nyatanya Adel hanya diam, bahkan balas memeluk dengan lebih erat.
"Tidurlah. Aku di sini untuk jaga kamu," bisik Gagah sembari memainkan rambut istrinya.
"Hasil tesnya gimana?" tanya Adel pada Risa, sahabatnya yang berprofesi sebagai seorang dokter. "Positif. Kamu hamil," jawab Risa dengan nada lemah. Wajah Adel seketika memucat.Dengan penuh harap ia mendatangi sahabatnya karena mengeluh pusing dan mual setiap bangun pagi. Namun, hasil testpack itu benar-benar menghancurkan hati Adel dan juga Risa. "Ini semua gara-gara cowok di pesta malam itu" Risa menggeram.Risa ingat betul malam itu mereka berpesta hingga lupa waktu. Mereka berbahagia. Dia menyesal membiarkan Adel yang tidak terbiasa minum alkohol dipaksa menghabiskan beberapa gelas oleh teman-temannya. Hingga seorang pria menghampiri Adel yang sudah mabuk berat. Membawa gadis itu ke sebuah kamar dan ritual intim itupun terjadi. Risa sendiri sibuk dengan pria yang mencumbu dirinya dengan panas."Aku yang salah. Aku sendiri yang suruh dia buat ngelakuin itu," lirih Adel. Nada suaranya sarat akan penyesalan. "Kamu tahu nama cowok itu, kan?" Pertanyaan Risa hanya dijawab gelen
"Aku nggak mau buat kamu sakit," bisik pria itu, sembari terus melanjutkan lumatan kasarnya pada bibir Adel. Dada Adel membusung dan naik turun, berusaha mengambil napas setelah cukup lama merasa sesak. "Nggak akan sakit," racau Adel. Dalam kondisi mabuk, dia hilang akal. Niat awalnya murni hanya ingin mengerjai gadis yang sudah lama dia incar. Pria itu hanya berpikir untuk memberi sedikit lumatan saja. Tidak ada niatan untuk melakukan lebih. Pria itu pura-pura menolak, walaupun hasratnya juga sudah tak bisa ditahan. Tapi, dia tahu persis kalau Adel masih perawan. Dia akan merasa sangat brengsek jika menghancurkan masa depan Adel, meskipun Adel sendiri yang meminta. Andai saja gadis itu tidak mabuk, menyetubuhinya dengan persetujuan tidak akan menjadi masalah. "Pakai kembali bajumu, Adel," suruhnya sedikit menggeram. "Tidak. Aku suka kalau kamu sentuh. Ayo, tolong dilanjutkan!" Berkali-kali menggeleng, akan tetapi akal sehatnya pun perlahan musnah. Pria itu kini dikendalikan ol
"Pa, yang tenang ya," bisik Adel. Namun, tidak ada jawaban dari papanya. Adel mengerti, papanya pasti masih syok dan tidak terima. Mereka menunggu di sebuah cafe. Tangan Adel sedingin es. Jantungnya berdegup cukup kencang hingga terasa seolah akan keluar. Gadis itu terus menerus meremas tangannya yang bahkan sudah berkeringat. Untung saja, aroma kopi di cafe ini sangat kuat dan mendominasi. Aroma itulah yang membuat Adel nyaman. Entah kenapa, kehamilan ini membuat dia sangat suka dengan bau kopi. "Sudah lama nunggu, Mas?" tanya Suri, teman mendiang mamanya Adel. Wanita anggun itu terlihat sedikit tergopoh-gopoh bersama Dani, suaminya. "Maaf kami sedikit terlambat, Pak Cakra," sambung Dani. Cakra hanya tersenyum penuh kecanggungan sembari mempersilahkan mereka untuk duduk. "Calon mantu Bunda cantik sekali," puji Suri. Cakra berdeham. "Sebaiknya kita langsung berbicara ke intinya saja." "Kenapa buru-buru, Mas? Gagah mau nyusul ke sini loh," ujar Suri sembari mengedipkan mata, b
Gagah menghela napas lega. Sejak semalam ia tidak bisa tidur. Matanya terjaga sepanjang waktu. Hari ini ia berhasil menyerukan ikrar untuk menjadi pasangan hidup Adel. Menjadi suami dan ayah untuk calon bayi yang Adel kandung. "Bunda lega, Nak. Semoga pernikahan ini jalan terbaik untuk hidup kamu," kata Suri dengan suara bergetar. Gagah hanya mengangguk. Berat rasanya harus tinggal terpisah dengan orang tuanya. Dia yang biasanya hidup manja, kini harus memikul tanggung jawab untuk keluarga kecilnya. Tak jauh berbeda dengan Adel. Gadis itu terus menerus melamun semenjak Gagah hadir dan mengakui dirinya. Sebenarnya ada rasa lega diantara ketegangan yang tercipta. Akan tetapi, entah kenapa Adel belum juga bisa tenang. "Papa bersyukur, Del. Gagah mau mengakui tanpa diminta siapapun," tutur Cakra. Tangannya yang terasa dingin menggenggam erat tangan Adel yang mengepal sejak tadi. "Takdir mempertemukan kalian dengan cara yang unik. Papa sendiri selalu takjub setiap kali mengingat peng
"Cepet... cepet bawa semua barang aku dan pindahin ke kamar kamu! Jangan sampai mereka mengendus perpisahan ranjang," tutur Adel dengan napas ngos-ngosan. Pria tampan yang hendak menjadi ayah itupun segera menjalankan tugas dari istrinya. Sebuah siksaan pagi hari untuk Gagah. Bagaimana tidak, barang Adel bukan satu atau dua koper. Melainkan lima koper. Ditambah, itu semua sudah berceceran. Gagah harus bekerja dua kali. Karena merasa kasihan, Adel menawarkan bantuan. Namun, Gagah menolak karena ia tidak mau calon jagoannya kenapa-kenapa. "Gah, mereka sudah di depan," bisik Adel. Gagah hanya mengangguk dan melangkah turun diikuti Adel. Suri tersenyum lebar melihat kebersamaan anak dan menantunya. Sekali lagi, dia bahagia karena sudah berhasil mewujudkan mimpinya dan mendiang mama Adel."Gah, kenapa nggak mandi dulu, Nak? Kamu mah lebay. Mentang-mentang pengantin baru, mainnya sampai pagi. Keringat malah dipamerin ke orang tua." Dani tertawa terbahak-bahak mengira anaknya berkeringa