"Cepet... cepet bawa semua barang aku dan pindahin ke kamar kamu! Jangan sampai mereka mengendus perpisahan ranjang," tutur Adel dengan napas ngos-ngosan.
Pria tampan yang hendak menjadi ayah itupun segera menjalankan tugas dari istrinya.
Sebuah siksaan pagi hari untuk Gagah. Bagaimana tidak, barang Adel bukan satu atau dua koper. Melainkan lima koper. Ditambah, itu semua sudah berceceran. Gagah harus bekerja dua kali.
Karena merasa kasihan, Adel menawarkan bantuan. Namun, Gagah menolak karena ia tidak mau calon jagoannya kenapa-kenapa.
"Gah, mereka sudah di depan," bisik Adel. Gagah hanya mengangguk dan melangkah turun diikuti Adel.
Suri tersenyum lebar melihat kebersamaan anak dan menantunya. Sekali lagi, dia bahagia karena sudah berhasil mewujudkan mimpinya dan mendiang mama Adel.
"Gah, kenapa nggak mandi dulu, Nak? Kamu mah lebay. Mentang-mentang pengantin baru, mainnya sampai pagi. Keringat malah dipamerin ke orang tua." Dani tertawa terbahak-bahak mengira anaknya berkeringat karena memenuhi hasrat. Suri dengan cepat menyikut pinggang berlemak suaminya.
Mereka sarapan bersama. Adel tampak menikmati masakan ibu mertuanya. Walaupun beberapa kali ia harus menutup hidung karena tidak tahan dengan aroma nasi yang masih mengepul.
"Del, Bunda mau lihat-lihat rumah kalian, boleh nggak?"
Adel melihat ke arah Gagah, lalu beberapa detik kemudian ia mengangguk mengiyakan.
Saat hendak berdiri, Adel pusing dan hampir tersungkur. Suri memekik khawatir. Sementara Gagah dengan sigap menggendong istrinya ke kamar.
"Gah, kok kamar sebelah banyak banget barang Adel? Kalian pisah kamar?"
Deg!
Napas Gagah tercekat. Adel melotot mendengar pertanyaan ibu mertuanya.
"Kalian pisah kamar? Jawab Bunda!" Raut wajah Suri berubah menegang, dia akan sangat kecewa jika memang benar mereka pisah kamar.
"Ya nggak lah, Bun. Barang Adel kebanyakan. Lima koper. Namanya juga nikah mendadak, jadi Gagah belum sempat beli lemari lagi buat taruh barang-barang dia," jawab Gagah sambil melihat istrinya.
Adel bernapas lega. Untung saja otak suaminya bekerja. Kalau tidak, hancur sudah kepercayaan dari mertuanya.
***
"Mau ke mana, Del?" tanya Gagah saat melihat istrinya berpakaian rapi dengan riasan di wajahnya."Aku boleh kumpul sama temenku, kan?"
Gagah hanya mengangguk. Alisnya mengernyit saat melihat Adel berbalik dan menghampirinya.
"Aku ada rapat juga sama klien. Mungkin pulang agak malam."
"Aku antar kalau begitu," usul Gagah.
Namun, istrinya menggeleng dengan cepat. Penolakan instan. Gagah menolak untuk memaksa Adel. Dia tidak mau istrinya risih dan merasa tidak nyaman bersamanya. Adel juga sangat dingin dan cuek, Gagah tidak mau sikap negatif Adel yang lain tumbuh.
Mungkinkah Adel akan bertemu dengan seorang pria? Atau... mungkinkah istrinya memiliki seorang pacar? Berbagai pemikiran negatif mulai mengerubungi otak Gagah.
Berhubung Adel sudah pergi, Gagah segera meraih ponselnya dan menelepon seseorang. Dengan suara berat dia memberi perintah, "Pantau Adel. Jangan sampai dia kenapa-kenapa. Untuk lokasinya, nanti aku bagikan. Ingat, laporannya harus detail."
Sudah pukul dua dini hari, Adel belum juga pulang. Gagah masih menunggu di ruang tengah. Sesibuk itukah istrinya? Dia tidak berniat mengekang Adel, hanya saja saat ini ada nyawa yang harus ia dan istrinya jaga. "Kenapa sampai selarut ini?" Langkah Adel terhenti saat mendapati Gagah di ruang tengah. Raut wajah wanita itu nampak sangat lelah. "Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku bakal pulang telat. Kok sekarang malah ngomel, sih? Aku nggak butuh diatur-atur kayak gini.""Nggak ada yang ngatur kamu!" Suara Gagah meninggi. "Tapi tolong ... jangan anggap remeh kondisi kehamilan kamu. Itu anak aku juga, jadi aku berhak nuntut kamu untuk lebih hati-hati dan jaga diri. Bukan keluyuran sampai tengah malam kayak begini." Adel tidak terima. Berani sekali Gagah mengomelinya. Dengan kasar Adel membanting tas kecil yang ia bawa. "Emang gini cara aku kerja. Dan maaf ya, aku nggak keluyuran seperti yang kamu bilang. Kamu kira aku wanita apaan?" "Secara nggak langsung kamu cap aku sebagai w
"Hasil tesnya gimana?" tanya Adel pada Risa, sahabatnya yang berprofesi sebagai seorang dokter. "Positif. Kamu hamil," jawab Risa dengan nada lemah. Wajah Adel seketika memucat.Dengan penuh harap ia mendatangi sahabatnya karena mengeluh pusing dan mual setiap bangun pagi. Namun, hasil testpack itu benar-benar menghancurkan hati Adel dan juga Risa. "Ini semua gara-gara cowok di pesta malam itu" Risa menggeram.Risa ingat betul malam itu mereka berpesta hingga lupa waktu. Mereka berbahagia. Dia menyesal membiarkan Adel yang tidak terbiasa minum alkohol dipaksa menghabiskan beberapa gelas oleh teman-temannya. Hingga seorang pria menghampiri Adel yang sudah mabuk berat. Membawa gadis itu ke sebuah kamar dan ritual intim itupun terjadi. Risa sendiri sibuk dengan pria yang mencumbu dirinya dengan panas."Aku yang salah. Aku sendiri yang suruh dia buat ngelakuin itu," lirih Adel. Nada suaranya sarat akan penyesalan. "Kamu tahu nama cowok itu, kan?" Pertanyaan Risa hanya dijawab gelen
"Aku nggak mau buat kamu sakit," bisik pria itu, sembari terus melanjutkan lumatan kasarnya pada bibir Adel. Dada Adel membusung dan naik turun, berusaha mengambil napas setelah cukup lama merasa sesak. "Nggak akan sakit," racau Adel. Dalam kondisi mabuk, dia hilang akal. Niat awalnya murni hanya ingin mengerjai gadis yang sudah lama dia incar. Pria itu hanya berpikir untuk memberi sedikit lumatan saja. Tidak ada niatan untuk melakukan lebih. Pria itu pura-pura menolak, walaupun hasratnya juga sudah tak bisa ditahan. Tapi, dia tahu persis kalau Adel masih perawan. Dia akan merasa sangat brengsek jika menghancurkan masa depan Adel, meskipun Adel sendiri yang meminta. Andai saja gadis itu tidak mabuk, menyetubuhinya dengan persetujuan tidak akan menjadi masalah. "Pakai kembali bajumu, Adel," suruhnya sedikit menggeram. "Tidak. Aku suka kalau kamu sentuh. Ayo, tolong dilanjutkan!" Berkali-kali menggeleng, akan tetapi akal sehatnya pun perlahan musnah. Pria itu kini dikendalikan ol
"Pa, yang tenang ya," bisik Adel. Namun, tidak ada jawaban dari papanya. Adel mengerti, papanya pasti masih syok dan tidak terima. Mereka menunggu di sebuah cafe. Tangan Adel sedingin es. Jantungnya berdegup cukup kencang hingga terasa seolah akan keluar. Gadis itu terus menerus meremas tangannya yang bahkan sudah berkeringat. Untung saja, aroma kopi di cafe ini sangat kuat dan mendominasi. Aroma itulah yang membuat Adel nyaman. Entah kenapa, kehamilan ini membuat dia sangat suka dengan bau kopi. "Sudah lama nunggu, Mas?" tanya Suri, teman mendiang mamanya Adel. Wanita anggun itu terlihat sedikit tergopoh-gopoh bersama Dani, suaminya. "Maaf kami sedikit terlambat, Pak Cakra," sambung Dani. Cakra hanya tersenyum penuh kecanggungan sembari mempersilahkan mereka untuk duduk. "Calon mantu Bunda cantik sekali," puji Suri. Cakra berdeham. "Sebaiknya kita langsung berbicara ke intinya saja." "Kenapa buru-buru, Mas? Gagah mau nyusul ke sini loh," ujar Suri sembari mengedipkan mata, b
Gagah menghela napas lega. Sejak semalam ia tidak bisa tidur. Matanya terjaga sepanjang waktu. Hari ini ia berhasil menyerukan ikrar untuk menjadi pasangan hidup Adel. Menjadi suami dan ayah untuk calon bayi yang Adel kandung. "Bunda lega, Nak. Semoga pernikahan ini jalan terbaik untuk hidup kamu," kata Suri dengan suara bergetar. Gagah hanya mengangguk. Berat rasanya harus tinggal terpisah dengan orang tuanya. Dia yang biasanya hidup manja, kini harus memikul tanggung jawab untuk keluarga kecilnya. Tak jauh berbeda dengan Adel. Gadis itu terus menerus melamun semenjak Gagah hadir dan mengakui dirinya. Sebenarnya ada rasa lega diantara ketegangan yang tercipta. Akan tetapi, entah kenapa Adel belum juga bisa tenang. "Papa bersyukur, Del. Gagah mau mengakui tanpa diminta siapapun," tutur Cakra. Tangannya yang terasa dingin menggenggam erat tangan Adel yang mengepal sejak tadi. "Takdir mempertemukan kalian dengan cara yang unik. Papa sendiri selalu takjub setiap kali mengingat peng