"Aku nggak mau buat kamu sakit," bisik pria itu, sembari terus melanjutkan lumatan kasarnya pada bibir Adel.
Dada Adel membusung dan naik turun, berusaha mengambil napas setelah cukup lama merasa sesak.
"Nggak akan sakit," racau Adel. Dalam kondisi mabuk, dia hilang akal.
Niat awalnya murni hanya ingin mengerjai gadis yang sudah lama dia incar. Pria itu hanya berpikir untuk memberi sedikit lumatan saja. Tidak ada niatan untuk melakukan lebih.
Pria itu pura-pura menolak, walaupun hasratnya juga sudah tak bisa ditahan. Tapi, dia tahu persis kalau Adel masih perawan. Dia akan merasa sangat brengsek jika menghancurkan masa depan Adel, meskipun Adel sendiri yang meminta. Andai saja gadis itu tidak mabuk, menyetubuhinya dengan persetujuan tidak akan menjadi masalah.
"Pakai kembali bajumu, Adel," suruhnya sedikit menggeram.
"Tidak. Aku suka kalau kamu sentuh. Ayo, tolong dilanjutkan!"
Berkali-kali menggeleng, akan tetapi akal sehatnya pun perlahan musnah. Pria itu kini dikendalikan oleh hasrat. Matanya berubah sayu dan sarat akan nafsu.
Dalam hitungan detik, pakaiannya berserakan di mana-mana. Adel hanya tertawa dan terus meracau tidak jelas karena masih dalam pengaruh minuman keras.
"Apa kau serius?" Suara itu terdengar serak dan semakin berat.
"Lakukan saja. Aku bosan... mari bersenang-senang!"
Anggukan dari Adel menjadi pembuka manis permainan mereka. Pria dengan tubuh atletis itu mulai melucuti satu persatu pakaian Adel dan hanya dibalas tawa ringan oleh gadis itu. Sungguh, dia sudah dikendalikan setan.
"Maaf, aku akan melakukannya sekarang," bisiknya. Adel yang masih sangat mabuk hanya tertawa ringan sambil membelai wajah pria itu.
Gejolak batin yang dirasakan benar-benar tidak bisa ditahan lagi. Dia brengsek. Dia gila. Dia terlalu ambisius. Semua hal buruk ada pada dirinya.
Pria itu merutuki dirinya sendiri. Ini bukan hal gampang yang bisa diganti begitu saja ketika pemiliknya meminta ganti rugi. Sudahlah! Iblis nafsu sudah membabi buta merayu otak dan hati kecilnya. Tanpa menunggu lagi, segera ia tancapkan miliknya yang sudah sekeras batang pohon pada organ kewanitaan yang masih tersegel sempurna.
"Aw, sakit!" Adel memekik dengan tangannya mengepal kuat. Tawa renyah itu seketika musnah. Dia tidak menangis. Tapi hanya terdiam.
Melihat gadisnya mulai tenang, pria itu melanjutkan permainan panasnya lagi dengan lebih hati-hati. Sangat lembut dan pelan.
"Sial! Ternyata memang senikmat ini," gumam pria itu ditengah desah dan rentetan umpatan yang ia keluarkan.
Permainan semakin panas karena ia menaikkan tempo. Adel pun ikut mengerang dan melenguh karena sudah bisa merasakan nikmatnya.
Berhasil dengan durasi yang cukup lama, pria itu berhenti. Tidak sampai hati untuk melampiaskan nafsu bejatnya pada wanita tak berdosa ini.
Setelah selesai memakai kembali bajunya, pria itu berbisik lembut, "Kamu hanya milikku."
"Woy! Ngapain halu, sih?"
Teguran Risa membuat Adel tersadar. Hampir setiap menit, yang ia bayangkan selalu saja kejadian malam itu.
Adel terus berusaha mengingat bagaimana wajah pria itu. Walaupun kenyataannya sangat sulit karena saat itu Adel mabuk berat. Hanya aromanya saja yang Adel ingat. Dan tunggu... satu kalimat terakhir yang pria itu bisikkan. Seketika Adel meremang mengingat beratnya suara pria yang menggaulinya.
"Ngagetin aja!"
Risa tertawa, sembari berkata, "Kamu sih. Jangan ngelamun terus. Udah punya solusi?"
Adel hanya menggeleng.
"Aku bisa membersihkan rahim aku besok pagi. Tapi Papa sudah mengacaukan semua jadwalnya, Risa! Aku kan kesal!"
"Nggak apa-apa. Masih bisa besok atau lusa."
"Dan untuk sementara waktu, lebih baik kamu istirahat dulu deh di rumah. Sesekali dengerin kata dokter cantik, dong," seru Risa memuji diri.
Sudah biasa dengan bualan Risa, Adel hanya mencebikkan bibir saja.
"Iya. Lagian aku juga nggak ke kantor. Papa udah minta Sekar buat kosongin jadwal sampai besok pagi. Resek!"
Risa hanya bisa tertawa melihat kehidupan sahabatnya yang masih saja diatur oleh keluarga. Apa pun yang ingin Adel lakukan, harus dengan persetujuan keluarga. Bahkan, dalam waktu dekat dia akan menikah dengan pria yang tidak ia kenal sama sekali. Yah, tentu itu adalah perjodohan.
"Lahir dari keluarga super kaya sepertinya juga cukup merepotkan," batin wanita yang berprofesi sebagai dokter itu.
Pertemuan mereka harus berakhir cepat karena Adel mendapat panggilan dari papanya. Gadis itu sempat mengelak dan meminta waktu lebih, tapi tidak ada penolakan. Itu aturannya.
"Pa, aku masih ngomong penting loh sama Risa," keluh Adel. Dengan napas memburu gadis itu duduk di samping papanya. "Lagian, yang mau Papa bicarakan juga pasti nggak penting-penting amat. Seperti biasanya."
Napas Adel tiba-tiba tercekat saat mendapati tatapan tak bersahabat dari papanya. Wajah pria baya itu terlihat kaku dan pucat.
"Ada apa, Pa?"
"Papa mau bicara serius sama kamu."
Betapa terkejutnya Adel saat melihat benda yang papanya keluarkan dari saku jaket.
"Papa nemuin ini di kamar kamu." Adel mengepalkan jemarinya yang terasa sangat dingin. Ia mulai gemetar melihat sebuah pengukur kehamilan berada di tangan keriput papanya.
"Adel bisa jelasin, Pa."
Pria tua itu hanya berpaling dan mulai menutup wajahnya. Bahunya terlihat bergetar. Beberapa kali Adel menegur papanya. Mencoba menjelaskan se-rasional mungkin. Adel juga berusaha mendekati papanya, memegang tangan keriput yang gemetar hebat. Namun, tangannya ditepis cukup keras. Perlakuan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Papa kecewa sama kamu, Del. Bagaimana caranya Papa jelaskan semua ini sama temen mendiang Mama kamu?"
"Aku yang akan minta maaf. Kalau perlu, aku akan ngemis agar mereka nggak menghakimi Papa."
"Bicaramu ringan sekali, Del. Hancur hati Papa. Hancur, Del ...."
Tangis mereka pecah. Adel bersimpuh di hadapan papanya yang sama sekali tidak mau menatapnya.
"Aku akan tanggung konsekuensinya, Pa. Bahkan, kalau pun Papa mau hapus namaku dari keluarga ini, aku akan terima."
Adel menghela napas berat nan panjang. Terdengar begitu lelah dan pasrah. "Aku mohon, pertemuan besok jangan dibatalkan. Aku akan perjelas semuanya, biar tidak ada pihak yang merasa dirugikan."
Papa Adel dilanda kebingungan. Dia hanya mengangguk kecil, memberikan kesempatan untuk putri kesayangannya. Entah bagaimana caranya Adel akan menjelaskan ini semua. Adel sendiri bimbang, apakah mereka akan menerima perjodohan ini dibatalkan?
"Pa, yang tenang ya," bisik Adel. Namun, tidak ada jawaban dari papanya. Adel mengerti, papanya pasti masih syok dan tidak terima. Mereka menunggu di sebuah cafe. Tangan Adel sedingin es. Jantungnya berdegup cukup kencang hingga terasa seolah akan keluar. Gadis itu terus menerus meremas tangannya yang bahkan sudah berkeringat. Untung saja, aroma kopi di cafe ini sangat kuat dan mendominasi. Aroma itulah yang membuat Adel nyaman. Entah kenapa, kehamilan ini membuat dia sangat suka dengan bau kopi. "Sudah lama nunggu, Mas?" tanya Suri, teman mendiang mamanya Adel. Wanita anggun itu terlihat sedikit tergopoh-gopoh bersama Dani, suaminya. "Maaf kami sedikit terlambat, Pak Cakra," sambung Dani. Cakra hanya tersenyum penuh kecanggungan sembari mempersilahkan mereka untuk duduk. "Calon mantu Bunda cantik sekali," puji Suri. Cakra berdeham. "Sebaiknya kita langsung berbicara ke intinya saja." "Kenapa buru-buru, Mas? Gagah mau nyusul ke sini loh," ujar Suri sembari mengedipkan mata, b
Gagah menghela napas lega. Sejak semalam ia tidak bisa tidur. Matanya terjaga sepanjang waktu. Hari ini ia berhasil menyerukan ikrar untuk menjadi pasangan hidup Adel. Menjadi suami dan ayah untuk calon bayi yang Adel kandung. "Bunda lega, Nak. Semoga pernikahan ini jalan terbaik untuk hidup kamu," kata Suri dengan suara bergetar. Gagah hanya mengangguk. Berat rasanya harus tinggal terpisah dengan orang tuanya. Dia yang biasanya hidup manja, kini harus memikul tanggung jawab untuk keluarga kecilnya. Tak jauh berbeda dengan Adel. Gadis itu terus menerus melamun semenjak Gagah hadir dan mengakui dirinya. Sebenarnya ada rasa lega diantara ketegangan yang tercipta. Akan tetapi, entah kenapa Adel belum juga bisa tenang. "Papa bersyukur, Del. Gagah mau mengakui tanpa diminta siapapun," tutur Cakra. Tangannya yang terasa dingin menggenggam erat tangan Adel yang mengepal sejak tadi. "Takdir mempertemukan kalian dengan cara yang unik. Papa sendiri selalu takjub setiap kali mengingat peng
"Cepet... cepet bawa semua barang aku dan pindahin ke kamar kamu! Jangan sampai mereka mengendus perpisahan ranjang," tutur Adel dengan napas ngos-ngosan. Pria tampan yang hendak menjadi ayah itupun segera menjalankan tugas dari istrinya. Sebuah siksaan pagi hari untuk Gagah. Bagaimana tidak, barang Adel bukan satu atau dua koper. Melainkan lima koper. Ditambah, itu semua sudah berceceran. Gagah harus bekerja dua kali. Karena merasa kasihan, Adel menawarkan bantuan. Namun, Gagah menolak karena ia tidak mau calon jagoannya kenapa-kenapa. "Gah, mereka sudah di depan," bisik Adel. Gagah hanya mengangguk dan melangkah turun diikuti Adel. Suri tersenyum lebar melihat kebersamaan anak dan menantunya. Sekali lagi, dia bahagia karena sudah berhasil mewujudkan mimpinya dan mendiang mama Adel."Gah, kenapa nggak mandi dulu, Nak? Kamu mah lebay. Mentang-mentang pengantin baru, mainnya sampai pagi. Keringat malah dipamerin ke orang tua." Dani tertawa terbahak-bahak mengira anaknya berkeringa
Sudah pukul dua dini hari, Adel belum juga pulang. Gagah masih menunggu di ruang tengah. Sesibuk itukah istrinya? Dia tidak berniat mengekang Adel, hanya saja saat ini ada nyawa yang harus ia dan istrinya jaga. "Kenapa sampai selarut ini?" Langkah Adel terhenti saat mendapati Gagah di ruang tengah. Raut wajah wanita itu nampak sangat lelah. "Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku bakal pulang telat. Kok sekarang malah ngomel, sih? Aku nggak butuh diatur-atur kayak gini.""Nggak ada yang ngatur kamu!" Suara Gagah meninggi. "Tapi tolong ... jangan anggap remeh kondisi kehamilan kamu. Itu anak aku juga, jadi aku berhak nuntut kamu untuk lebih hati-hati dan jaga diri. Bukan keluyuran sampai tengah malam kayak begini." Adel tidak terima. Berani sekali Gagah mengomelinya. Dengan kasar Adel membanting tas kecil yang ia bawa. "Emang gini cara aku kerja. Dan maaf ya, aku nggak keluyuran seperti yang kamu bilang. Kamu kira aku wanita apaan?" "Secara nggak langsung kamu cap aku sebagai w
"Hasil tesnya gimana?" tanya Adel pada Risa, sahabatnya yang berprofesi sebagai seorang dokter. "Positif. Kamu hamil," jawab Risa dengan nada lemah. Wajah Adel seketika memucat.Dengan penuh harap ia mendatangi sahabatnya karena mengeluh pusing dan mual setiap bangun pagi. Namun, hasil testpack itu benar-benar menghancurkan hati Adel dan juga Risa. "Ini semua gara-gara cowok di pesta malam itu" Risa menggeram.Risa ingat betul malam itu mereka berpesta hingga lupa waktu. Mereka berbahagia. Dia menyesal membiarkan Adel yang tidak terbiasa minum alkohol dipaksa menghabiskan beberapa gelas oleh teman-temannya. Hingga seorang pria menghampiri Adel yang sudah mabuk berat. Membawa gadis itu ke sebuah kamar dan ritual intim itupun terjadi. Risa sendiri sibuk dengan pria yang mencumbu dirinya dengan panas."Aku yang salah. Aku sendiri yang suruh dia buat ngelakuin itu," lirih Adel. Nada suaranya sarat akan penyesalan. "Kamu tahu nama cowok itu, kan?" Pertanyaan Risa hanya dijawab gelen
Sudah pukul dua dini hari, Adel belum juga pulang. Gagah masih menunggu di ruang tengah. Sesibuk itukah istrinya? Dia tidak berniat mengekang Adel, hanya saja saat ini ada nyawa yang harus ia dan istrinya jaga. "Kenapa sampai selarut ini?" Langkah Adel terhenti saat mendapati Gagah di ruang tengah. Raut wajah wanita itu nampak sangat lelah. "Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku bakal pulang telat. Kok sekarang malah ngomel, sih? Aku nggak butuh diatur-atur kayak gini.""Nggak ada yang ngatur kamu!" Suara Gagah meninggi. "Tapi tolong ... jangan anggap remeh kondisi kehamilan kamu. Itu anak aku juga, jadi aku berhak nuntut kamu untuk lebih hati-hati dan jaga diri. Bukan keluyuran sampai tengah malam kayak begini." Adel tidak terima. Berani sekali Gagah mengomelinya. Dengan kasar Adel membanting tas kecil yang ia bawa. "Emang gini cara aku kerja. Dan maaf ya, aku nggak keluyuran seperti yang kamu bilang. Kamu kira aku wanita apaan?" "Secara nggak langsung kamu cap aku sebagai w
"Cepet... cepet bawa semua barang aku dan pindahin ke kamar kamu! Jangan sampai mereka mengendus perpisahan ranjang," tutur Adel dengan napas ngos-ngosan. Pria tampan yang hendak menjadi ayah itupun segera menjalankan tugas dari istrinya. Sebuah siksaan pagi hari untuk Gagah. Bagaimana tidak, barang Adel bukan satu atau dua koper. Melainkan lima koper. Ditambah, itu semua sudah berceceran. Gagah harus bekerja dua kali. Karena merasa kasihan, Adel menawarkan bantuan. Namun, Gagah menolak karena ia tidak mau calon jagoannya kenapa-kenapa. "Gah, mereka sudah di depan," bisik Adel. Gagah hanya mengangguk dan melangkah turun diikuti Adel. Suri tersenyum lebar melihat kebersamaan anak dan menantunya. Sekali lagi, dia bahagia karena sudah berhasil mewujudkan mimpinya dan mendiang mama Adel."Gah, kenapa nggak mandi dulu, Nak? Kamu mah lebay. Mentang-mentang pengantin baru, mainnya sampai pagi. Keringat malah dipamerin ke orang tua." Dani tertawa terbahak-bahak mengira anaknya berkeringa
Gagah menghela napas lega. Sejak semalam ia tidak bisa tidur. Matanya terjaga sepanjang waktu. Hari ini ia berhasil menyerukan ikrar untuk menjadi pasangan hidup Adel. Menjadi suami dan ayah untuk calon bayi yang Adel kandung. "Bunda lega, Nak. Semoga pernikahan ini jalan terbaik untuk hidup kamu," kata Suri dengan suara bergetar. Gagah hanya mengangguk. Berat rasanya harus tinggal terpisah dengan orang tuanya. Dia yang biasanya hidup manja, kini harus memikul tanggung jawab untuk keluarga kecilnya. Tak jauh berbeda dengan Adel. Gadis itu terus menerus melamun semenjak Gagah hadir dan mengakui dirinya. Sebenarnya ada rasa lega diantara ketegangan yang tercipta. Akan tetapi, entah kenapa Adel belum juga bisa tenang. "Papa bersyukur, Del. Gagah mau mengakui tanpa diminta siapapun," tutur Cakra. Tangannya yang terasa dingin menggenggam erat tangan Adel yang mengepal sejak tadi. "Takdir mempertemukan kalian dengan cara yang unik. Papa sendiri selalu takjub setiap kali mengingat peng
"Pa, yang tenang ya," bisik Adel. Namun, tidak ada jawaban dari papanya. Adel mengerti, papanya pasti masih syok dan tidak terima. Mereka menunggu di sebuah cafe. Tangan Adel sedingin es. Jantungnya berdegup cukup kencang hingga terasa seolah akan keluar. Gadis itu terus menerus meremas tangannya yang bahkan sudah berkeringat. Untung saja, aroma kopi di cafe ini sangat kuat dan mendominasi. Aroma itulah yang membuat Adel nyaman. Entah kenapa, kehamilan ini membuat dia sangat suka dengan bau kopi. "Sudah lama nunggu, Mas?" tanya Suri, teman mendiang mamanya Adel. Wanita anggun itu terlihat sedikit tergopoh-gopoh bersama Dani, suaminya. "Maaf kami sedikit terlambat, Pak Cakra," sambung Dani. Cakra hanya tersenyum penuh kecanggungan sembari mempersilahkan mereka untuk duduk. "Calon mantu Bunda cantik sekali," puji Suri. Cakra berdeham. "Sebaiknya kita langsung berbicara ke intinya saja." "Kenapa buru-buru, Mas? Gagah mau nyusul ke sini loh," ujar Suri sembari mengedipkan mata, b
"Aku nggak mau buat kamu sakit," bisik pria itu, sembari terus melanjutkan lumatan kasarnya pada bibir Adel. Dada Adel membusung dan naik turun, berusaha mengambil napas setelah cukup lama merasa sesak. "Nggak akan sakit," racau Adel. Dalam kondisi mabuk, dia hilang akal. Niat awalnya murni hanya ingin mengerjai gadis yang sudah lama dia incar. Pria itu hanya berpikir untuk memberi sedikit lumatan saja. Tidak ada niatan untuk melakukan lebih. Pria itu pura-pura menolak, walaupun hasratnya juga sudah tak bisa ditahan. Tapi, dia tahu persis kalau Adel masih perawan. Dia akan merasa sangat brengsek jika menghancurkan masa depan Adel, meskipun Adel sendiri yang meminta. Andai saja gadis itu tidak mabuk, menyetubuhinya dengan persetujuan tidak akan menjadi masalah. "Pakai kembali bajumu, Adel," suruhnya sedikit menggeram. "Tidak. Aku suka kalau kamu sentuh. Ayo, tolong dilanjutkan!" Berkali-kali menggeleng, akan tetapi akal sehatnya pun perlahan musnah. Pria itu kini dikendalikan ol
"Hasil tesnya gimana?" tanya Adel pada Risa, sahabatnya yang berprofesi sebagai seorang dokter. "Positif. Kamu hamil," jawab Risa dengan nada lemah. Wajah Adel seketika memucat.Dengan penuh harap ia mendatangi sahabatnya karena mengeluh pusing dan mual setiap bangun pagi. Namun, hasil testpack itu benar-benar menghancurkan hati Adel dan juga Risa. "Ini semua gara-gara cowok di pesta malam itu" Risa menggeram.Risa ingat betul malam itu mereka berpesta hingga lupa waktu. Mereka berbahagia. Dia menyesal membiarkan Adel yang tidak terbiasa minum alkohol dipaksa menghabiskan beberapa gelas oleh teman-temannya. Hingga seorang pria menghampiri Adel yang sudah mabuk berat. Membawa gadis itu ke sebuah kamar dan ritual intim itupun terjadi. Risa sendiri sibuk dengan pria yang mencumbu dirinya dengan panas."Aku yang salah. Aku sendiri yang suruh dia buat ngelakuin itu," lirih Adel. Nada suaranya sarat akan penyesalan. "Kamu tahu nama cowok itu, kan?" Pertanyaan Risa hanya dijawab gelen