"Hasil tesnya gimana?" tanya Adel pada Risa, sahabatnya yang berprofesi sebagai seorang dokter.
"Positif. Kamu hamil," jawab Risa dengan nada lemah. Wajah Adel seketika memucat.
Dengan penuh harap ia mendatangi sahabatnya karena mengeluh pusing dan mual setiap bangun pagi. Namun, hasil testpack itu benar-benar menghancurkan hati Adel dan juga Risa.
"Ini semua gara-gara cowok di pesta malam itu" Risa menggeram.
Risa ingat betul malam itu mereka berpesta hingga lupa waktu. Mereka berbahagia. Dia menyesal membiarkan Adel yang tidak terbiasa minum alkohol dipaksa menghabiskan beberapa gelas oleh teman-temannya.
Hingga seorang pria menghampiri Adel yang sudah mabuk berat. Membawa gadis itu ke sebuah kamar dan ritual intim itupun terjadi. Risa sendiri sibuk dengan pria yang mencumbu dirinya dengan panas.
"Aku yang salah. Aku sendiri yang suruh dia buat ngelakuin itu," lirih Adel. Nada suaranya sarat akan penyesalan.
"Kamu tahu nama cowok itu, kan?"
Pertanyaan Risa hanya dijawab gelengan kepala oleh Adel. Tatapan gadis itu pun mulai kosong. Risa bisa melihat dengan jelas kalau sahabatnya gemetar hebat.
Wanita yang berperan sebagai dokter itu hanya bisa memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa pening sembari berjalan mondar-mandir.
"Kenapa nggak kamu ambil kartu pengenalnya?" bentak Risa. "Kalau kamu nggak tahu siapa dia, gimana caranya kita mau minta dia buat tanggung jawab?"
"Ris, kamu sendiri tahu kalau aku mabuk malam itu."
"Tapi gimana nasib tuh janin?" tanya Risa.
Adel hanya menggeleng lemah. "Entahlah. Mungkin akan aku gugurin."
Itu jalan satu-satunya. Tidak mungkin Adel akan membiarkan janin yang Adel sendiri tidak tahu siapa ayahnya. Pria malam itu adalah ayah dari janin yang berkembang di rahimnya. Tidak ada pria lain, karena itu juga kali pertama bagi Adel melakukan hubungan intim. Hanya saja, Adel tidak tahu namanya. Wajahnya pun hanya teringat seperti potongan puzzle yang berantakan. Satu hal yang Adel ingat pasti ... aroma parfum pria itu.
"Bu, Ibu terlihat sangat pucat. Mau saya buatkan teh hangat?" tawar Sekar, sekretarisnya Adel.
"Oekkk...."
Adel mendadak mual saat Sekar hendak mendekatinya. "Bau parfum yang kamu pakai terlalu menyengat, Sekar."
Karena bingung, Sekar bertanya, "Ini parfum yang biasa saya pakai, Bu. Sebelumnya Ibu nggak pernah terganggu dengan aroma parfum saya ini."
"Oke. Buatkan aku teh hangat."
Adel meninggalkan Sekar yang masih melihatnya dengan wajah bingung. Lebih baik menghindar daripada Sekar curiga kalau dirinya sedang hamil.
Saat Adel merebahkan kepalanya di meja kerja, Sekar masuk dengan secangkir teh hangat. Tanpa berbicara Adel menyuruh Sekar untuk menaruh cangkir itu.
Setelah merasa agak baikan, Adel meraih cangkir dan hendak meminum teh hangat yang sudah dibuatkan.
"Oeekkk...."
Uap panas dengan aroma teh itu membuat Adel mual dan hampir muntah. Segera ia menaruh cangkir itu sejauh mungkin agar tak tercium lagi.
Kondisi badannya pun semakin lemah. Risa menyarankan agar Adel istirahat total setidaknya untuk tiga hari kedepan.
"Nggak bisa, Ris. Banyak proyek yang harus rampung bulan ini. Dan aku kejar deadline."
"Heh, apa gunanya kamu jadi pemimpin perusahaan? Kamu punya pekerja banyak, Del. Manfaatkan itu. Toh, sebagai presiden direktur juga bisa nyambi kerja dari rumah."
"Ngomong mah gampang. Pekerjaan aku nggak sesantai kamu yang jadi dokter. Jangan ngawur deh," bantah Adel dengan sedikit tawa.
Mungkin dia akan menuruti saran dari sahabatnya. Tapi, untuk hari ini saja. Berhubung tidak ada jadwal meeting, Adel memilih untuk bekerja dari rumah saja.
Sepanjang perjalanan Adel selalu menutup hidungnya. Entah kenapa, walaupun di dalam mobil, tetap saja asap kendaraan lain tembus hidungnya.
"Adel, kok pulang cepet sih? Kamu sakit?" tanya Papanya yang sedang duduk santai di sofa ruang keluarga.
Dia yang sengaja menghindar dan mempercepat langkah, terpaksa berhenti karena pertanyaan Papanya. Padahal, Adel sungguh tidak sabar untuk segera ke kamar mandi dan mengeluarkan semua isi perut yang sejak tadi meronta ingin keluar.
"Nggak apa-apa, Pa. Aku ke kamar dulu."
Sampai di kamar, Adel langsung masuk ke kamar mandi dan menyemburkan semua isi perutnya yang sudah lelah ia tahan.
"Sesulit itukah orang ngidam?" Adel hanya bisa membatin. Risa berkata kalau usia kandungannya baru masuk di minggu ketiga. Tapi, Adel sudah tidak kuat dan sangat lemas.
***
Adel terkesiap dan dengan cepat bangun saat mendengar suara pintu yang diketuk. Samar-samar ia mendengar suara papanya terus menerus memanggil."Masuk, Pa. Pintunya nggak aku kunci," seru Adel dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
Aroma parfum menyeruak dan mengganggu penciuman Adel saat papanya semakin mendekat dan menghampirinya. Baunya sangat mengganggu bagi Adel. Perutnya terasa melilit dan dadanya terasa dingin.
Refleks Adel menutup hidung. "Pa, Papa pakai parfum apa sih? Bau banget," protes Adel, masih dengan hidung tertutup rapat.
"Lah, Papa nggak pernah ganti parfum, Del. Serius, nggak bohong," bantah papanya Adel.
Karena tidak tahan, Adel menyuruh papanya untuk berbicara dengan jarak cukup jauh.
"Papa sudah suruh Sekar untuk batalin jadwal kamu besok pagi."
"Buat apa, Pa? Aku lagi banyak kerjaan. Aku juga sehat, kok. Paling ini cuma masuk angin."
"Terserah. Bukan itu urusan Papa. Tapi yang lain. Jadi, tolong siap-siap untuk acara besok siang."
Pria baya itu berlalu begitu saja tanpa mau mendengar respons dari anak gadisnya itu. Karena dia sendiri tahu, Adel pasti akan menolak dengan keras.
Seharian Adel hanya terkulai lemas di ranjang kesayangannya. Dengan kondisi yang seperti ini membuatnya malas untuk melakukan apa-apa. Ditambah, Adel terus menerus merasa mual ... bahkan sampai muntah berkali-kali.
"Aku harus gerak cepat sebelum Papa curiga," gumam Adel.
Namun, karena kekhawatiran berlebihan terhadap papanya membuat Adel lupa, bahwa bukan hanya satu orang saja yang harus ia khawatirkan.
Dari kamar sebelah, seseorang tersenyum menyeringai sembari menempelkan bagian telinganya ke tembok. Ia berusaha mendengar suara Adel. Rencana apa yang dia pikirkan?
"Aku nggak mau buat kamu sakit," bisik pria itu, sembari terus melanjutkan lumatan kasarnya pada bibir Adel. Dada Adel membusung dan naik turun, berusaha mengambil napas setelah cukup lama merasa sesak. "Nggak akan sakit," racau Adel. Dalam kondisi mabuk, dia hilang akal. Niat awalnya murni hanya ingin mengerjai gadis yang sudah lama dia incar. Pria itu hanya berpikir untuk memberi sedikit lumatan saja. Tidak ada niatan untuk melakukan lebih. Pria itu pura-pura menolak, walaupun hasratnya juga sudah tak bisa ditahan. Tapi, dia tahu persis kalau Adel masih perawan. Dia akan merasa sangat brengsek jika menghancurkan masa depan Adel, meskipun Adel sendiri yang meminta. Andai saja gadis itu tidak mabuk, menyetubuhinya dengan persetujuan tidak akan menjadi masalah. "Pakai kembali bajumu, Adel," suruhnya sedikit menggeram. "Tidak. Aku suka kalau kamu sentuh. Ayo, tolong dilanjutkan!" Berkali-kali menggeleng, akan tetapi akal sehatnya pun perlahan musnah. Pria itu kini dikendalikan ol
"Pa, yang tenang ya," bisik Adel. Namun, tidak ada jawaban dari papanya. Adel mengerti, papanya pasti masih syok dan tidak terima. Mereka menunggu di sebuah cafe. Tangan Adel sedingin es. Jantungnya berdegup cukup kencang hingga terasa seolah akan keluar. Gadis itu terus menerus meremas tangannya yang bahkan sudah berkeringat. Untung saja, aroma kopi di cafe ini sangat kuat dan mendominasi. Aroma itulah yang membuat Adel nyaman. Entah kenapa, kehamilan ini membuat dia sangat suka dengan bau kopi. "Sudah lama nunggu, Mas?" tanya Suri, teman mendiang mamanya Adel. Wanita anggun itu terlihat sedikit tergopoh-gopoh bersama Dani, suaminya. "Maaf kami sedikit terlambat, Pak Cakra," sambung Dani. Cakra hanya tersenyum penuh kecanggungan sembari mempersilahkan mereka untuk duduk. "Calon mantu Bunda cantik sekali," puji Suri. Cakra berdeham. "Sebaiknya kita langsung berbicara ke intinya saja." "Kenapa buru-buru, Mas? Gagah mau nyusul ke sini loh," ujar Suri sembari mengedipkan mata, b
Gagah menghela napas lega. Sejak semalam ia tidak bisa tidur. Matanya terjaga sepanjang waktu. Hari ini ia berhasil menyerukan ikrar untuk menjadi pasangan hidup Adel. Menjadi suami dan ayah untuk calon bayi yang Adel kandung. "Bunda lega, Nak. Semoga pernikahan ini jalan terbaik untuk hidup kamu," kata Suri dengan suara bergetar. Gagah hanya mengangguk. Berat rasanya harus tinggal terpisah dengan orang tuanya. Dia yang biasanya hidup manja, kini harus memikul tanggung jawab untuk keluarga kecilnya. Tak jauh berbeda dengan Adel. Gadis itu terus menerus melamun semenjak Gagah hadir dan mengakui dirinya. Sebenarnya ada rasa lega diantara ketegangan yang tercipta. Akan tetapi, entah kenapa Adel belum juga bisa tenang. "Papa bersyukur, Del. Gagah mau mengakui tanpa diminta siapapun," tutur Cakra. Tangannya yang terasa dingin menggenggam erat tangan Adel yang mengepal sejak tadi. "Takdir mempertemukan kalian dengan cara yang unik. Papa sendiri selalu takjub setiap kali mengingat peng
"Cepet... cepet bawa semua barang aku dan pindahin ke kamar kamu! Jangan sampai mereka mengendus perpisahan ranjang," tutur Adel dengan napas ngos-ngosan. Pria tampan yang hendak menjadi ayah itupun segera menjalankan tugas dari istrinya. Sebuah siksaan pagi hari untuk Gagah. Bagaimana tidak, barang Adel bukan satu atau dua koper. Melainkan lima koper. Ditambah, itu semua sudah berceceran. Gagah harus bekerja dua kali. Karena merasa kasihan, Adel menawarkan bantuan. Namun, Gagah menolak karena ia tidak mau calon jagoannya kenapa-kenapa. "Gah, mereka sudah di depan," bisik Adel. Gagah hanya mengangguk dan melangkah turun diikuti Adel. Suri tersenyum lebar melihat kebersamaan anak dan menantunya. Sekali lagi, dia bahagia karena sudah berhasil mewujudkan mimpinya dan mendiang mama Adel."Gah, kenapa nggak mandi dulu, Nak? Kamu mah lebay. Mentang-mentang pengantin baru, mainnya sampai pagi. Keringat malah dipamerin ke orang tua." Dani tertawa terbahak-bahak mengira anaknya berkeringa
Sudah pukul dua dini hari, Adel belum juga pulang. Gagah masih menunggu di ruang tengah. Sesibuk itukah istrinya? Dia tidak berniat mengekang Adel, hanya saja saat ini ada nyawa yang harus ia dan istrinya jaga. "Kenapa sampai selarut ini?" Langkah Adel terhenti saat mendapati Gagah di ruang tengah. Raut wajah wanita itu nampak sangat lelah. "Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku bakal pulang telat. Kok sekarang malah ngomel, sih? Aku nggak butuh diatur-atur kayak gini.""Nggak ada yang ngatur kamu!" Suara Gagah meninggi. "Tapi tolong ... jangan anggap remeh kondisi kehamilan kamu. Itu anak aku juga, jadi aku berhak nuntut kamu untuk lebih hati-hati dan jaga diri. Bukan keluyuran sampai tengah malam kayak begini." Adel tidak terima. Berani sekali Gagah mengomelinya. Dengan kasar Adel membanting tas kecil yang ia bawa. "Emang gini cara aku kerja. Dan maaf ya, aku nggak keluyuran seperti yang kamu bilang. Kamu kira aku wanita apaan?" "Secara nggak langsung kamu cap aku sebagai w