Gagah menghela napas lega. Sejak semalam ia tidak bisa tidur. Matanya terjaga sepanjang waktu.
Hari ini ia berhasil menyerukan ikrar untuk menjadi pasangan hidup Adel. Menjadi suami dan ayah untuk calon bayi yang Adel kandung.
"Bunda lega, Nak. Semoga pernikahan ini jalan terbaik untuk hidup kamu," kata Suri dengan suara bergetar.
Gagah hanya mengangguk. Berat rasanya harus tinggal terpisah dengan orang tuanya. Dia yang biasanya hidup manja, kini harus memikul tanggung jawab untuk keluarga kecilnya.
Tak jauh berbeda dengan Adel. Gadis itu terus menerus melamun semenjak Gagah hadir dan mengakui dirinya. Sebenarnya ada rasa lega diantara ketegangan yang tercipta. Akan tetapi, entah kenapa Adel belum juga bisa tenang.
"Papa bersyukur, Del. Gagah mau mengakui tanpa diminta siapapun," tutur Cakra. Tangannya yang terasa dingin menggenggam erat tangan Adel yang mengepal sejak tadi.
"Takdir mempertemukan kalian dengan cara yang unik. Papa sendiri selalu takjub setiap kali mengingat pengakuan kalian. Terutama Gagah. Papa bersyukur... dia yang menjadi suamimu."
Cakra hanya terkekeh. Dia terus memperhatikan putri cantiknya itu.
Risa juga ikut hadir dan menguatkan Adel. Karena emosi yang tidak stabil akibat hormon kehamilan, Adel jadi mudah sekali menangis. Risa mengerti betul hal itu.
Dia tidak pernah menyangka, sahabatnya menikah dengan cara super unik seperti ini. Adel yang awalnya berniat menghancurkan kesuciannya agar perjodohan dibatalkan malah berubah menjadi mempermudah perjodohannya. Siapa sangka... pria yang menggaulinya malam itu adalah Gagah, pria yang dijodohkan dengannya. Sesempit itukah dunia?
"Itu artinya kamu jodoh sama dia, Del."
Adel melayangkan tatapan nyalang pada sahabatnya. Risa hanya menutup mulut dan terkekeh melihat respons Adel.
"Gagah ganteng juga. Seperti namanya. Coba aja dulu. Siapa tahu kamu bakal betah nanti. Dia ganas, kan?" bisik Risa membuat Adel semakin menggeram marah.
Semarah apapun Adel, pada akhirnya dia akan berhamburan dan menangis meraung dalam pelukan Risa.
Dokter itu seumuran dengannya. Tapi, dalam beberapa kesempatan dia selalu menjadi sosok ibu untuk Adel.
***
"Ada baiknya kita langsung pindah rumah. Maaf," kata Gagah. Adel hanya diam dan menatap ke luar jendela mobil.Gagah sangat peka. Dia tahu kondisi Adel yang masih enggan untuk menerimanya. Akan tetapi, pernikahan mereka bukan sekedar rencana. Kehadiran janin di rahim Adel juga pasti bukan sesuatu yang disengaja. Gagah tahu itu adalah anaknya. Ditambah hasil tes yang menyatakan kalau dia memang ayah biologisnya.
Sedikit pun tidak pernah ia bayangkan ritual intim malam itu akan terjadi. Gagah tidak pernah memaksa Adel untuk melakukan lebih karena mereka juga tidak saling mengenal. Namun, Gagah ingat betul bahwa Adel sendiri yang memohon untuk dimasuki. Lantas, sebagai pria normal yang sedang merasakan hasrat birahi, apakah bisa menolak? Sudah pasti Gagah tidak tahan.
"Ini kamar kita." Gagah menuntun Adel menuju kamar di lantai atas.
"Ada berapa kamar di rumah ini?" tanya Adel.
Gagah terdiam dan mengingat, "Tiga kamar. Dua di lantai atas. Satu di bawah. Oh ya, ada kamar untuk pembantu juga di dekat dapur."
Adel terlihat berpikir. "Oke. Aku di kamar sebelah."
"Kenapa nggak sekamar aja? Kan udah sah. Malam ini juga malam pertama." Gagah berusaha mencegah Adel.
"Malam kedua," tegas Adel. Alhasil, suaminya hanya bisa tersenyum kikuk.
Karena Adel memaksa untuk tidur sendiri, apa boleh buat? Gagah hanya bisa menuruti kemauan istrinya itu.
Dalam hati, Gagah menginginkan malam itu terulang lagi. Surga dunia yang nikmatnya tiada tanding. Pemeran utama wanita menolak, mana bisa berlanjut?
Sampai tengah malam, masih saja terdengar suara bising dari kamar Adel. Gagah sangat penasaran, tapi Adel pasti tidak suka kalau dia datang dan bertanya.
"Kenapa wanita bisa kayak gitu, ya?" Gagah bergumam sembari berpikir.
"Kemarin aja minta dipuasin. Eh, udah sah malah dicuekin. Super dingin lagi," tambah pria itu.
Ia sendiri bingung, apa Adel tidak lelah setelah acara pernikahan mereka kemarin? Memang baru akad saja yang dilaksanakan. Untuk resepsinya, belum terpikirkan.
Gagah yang lelah tidak bisa tidur kalau masih ada suara. Apalagi saat ini istrinya benar-benar membuat keributan. Tembok bukan menjadi penghalang suara. Ah, dia sangat terganggu.
"Adel, kamu oke?"
Gagah terus mengetuk pintu kamar istrinya dengan cukup keras. Dia sangat khawatir karena mendengar Adel yang muntah berkali-kali. Terdengar sangat melelahkan bagi pria itu.
"Del! Jangan bikin laki heboh kayak gini, dong. Cemas aku tuh," pekik Gagah. Wajahnya ikut memucat karena Adel belum juga memberi respons dari dalam.
"Jaw—"
"Apa sih?" Adel memotong kalimat yang hendak Gagah ucapkan hingga pria itu terdiam dengan mulutnya yang masih menganga.
"Kamu kenapa? Masuk angin? Kok pagi-pagi udah muntah aja?"
Adel melirik tak suka, "Semua gara-gara kamu!"
"Lah, kok jadi aku?" tanya suaminya bingung.
Wanita berponi itu melengos dan pergi begitu saja sementara Gagah terus mengintil di belakang. "Del, jawab!"
Bukannya menjawab, dia hanya cuek dan meneruskan minum jus jambu merah. Adel sedikit berlari dan mencari toilet terdekat karena merasa akan muntah lagi. Namun, Gagah masih saja mengikutinya. Itu membuat rasa malas istrinya berlipat ganda.
"Ya. Kamu yang buat aku hamil." Jawaban Adel membuat Gagah terdiam seribu bahasa. Ditambah Adel yang baru saja muntah di hadapannya membuat Gagah semakin terkejut. Hampir seluruh bagian depan kaos yang ia pakai kotor terkena muntahan Adel.
"Maaf. Semenjak hamil, aku wajib muntah setiap bangun pagi. Morning sick," kata Adel, ia cepat-cepat melangkah pergi dan meninggalkan Gagah dengan kaos kotornya.
Gagah yang bingung segera mencari tahu istilah morning sick yang tadi Adel sebut tanpa mengganti baju kotornya terlebih dahulu. Konyol!
Di kamar, Adel masih memegangi kepalanya yang mendadak pusing. Dia sedikit takut kalau Gagah akan memarahinya nanti. Tapi, terserahlah. Itu memang salahnya.
Ponselnya bergetar....
Wanita itu memicingkan mata, melihat siapa yang meneleponnya sepagi ini.
"Del, kamu sama Gagah masih di rumah, kan?"
"I—iya, Bun." Adel menjawab dengan kikuk karena yang meneleponnya adalah ibu mertua.
Terdengar suara tawa di seberang sana. "Bunda dalam perjalanan ke rumah kalian. Bawain anak-anak kesayangan Bunda makanan untuk sarapan."
Lagi dan lagi Adel terkejut. Matanya melebar dan menatap ke semua penjuru kamar.
"Del, kamu dengar Bunda, kan?"
"I—ya, Bun. Aku tunggu di rumah."
Langkah kaki Adel tak bisa ditahan. Dia berlari sambil berteriak, "Gagah! Gagah! Bantu aku!"
Refleks, teriakan itu membuat Gagah panik. Dia berlari mencari sumber suara.
"Kenapa?"
"Bunda dalam perjalanan ke sini."
Dua sejoli yang sudah sah menjadi suami istri itu panik. Apa yang harus mereka lakukan, sementara semua barang mereka ada di ruangan terpisah?
"Cepet... cepet bawa semua barang aku dan pindahin ke kamar kamu! Jangan sampai mereka mengendus perpisahan ranjang," tutur Adel dengan napas ngos-ngosan. Pria tampan yang hendak menjadi ayah itupun segera menjalankan tugas dari istrinya. Sebuah siksaan pagi hari untuk Gagah. Bagaimana tidak, barang Adel bukan satu atau dua koper. Melainkan lima koper. Ditambah, itu semua sudah berceceran. Gagah harus bekerja dua kali. Karena merasa kasihan, Adel menawarkan bantuan. Namun, Gagah menolak karena ia tidak mau calon jagoannya kenapa-kenapa. "Gah, mereka sudah di depan," bisik Adel. Gagah hanya mengangguk dan melangkah turun diikuti Adel. Suri tersenyum lebar melihat kebersamaan anak dan menantunya. Sekali lagi, dia bahagia karena sudah berhasil mewujudkan mimpinya dan mendiang mama Adel."Gah, kenapa nggak mandi dulu, Nak? Kamu mah lebay. Mentang-mentang pengantin baru, mainnya sampai pagi. Keringat malah dipamerin ke orang tua." Dani tertawa terbahak-bahak mengira anaknya berkeringa
Sudah pukul dua dini hari, Adel belum juga pulang. Gagah masih menunggu di ruang tengah. Sesibuk itukah istrinya? Dia tidak berniat mengekang Adel, hanya saja saat ini ada nyawa yang harus ia dan istrinya jaga. "Kenapa sampai selarut ini?" Langkah Adel terhenti saat mendapati Gagah di ruang tengah. Raut wajah wanita itu nampak sangat lelah. "Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku bakal pulang telat. Kok sekarang malah ngomel, sih? Aku nggak butuh diatur-atur kayak gini.""Nggak ada yang ngatur kamu!" Suara Gagah meninggi. "Tapi tolong ... jangan anggap remeh kondisi kehamilan kamu. Itu anak aku juga, jadi aku berhak nuntut kamu untuk lebih hati-hati dan jaga diri. Bukan keluyuran sampai tengah malam kayak begini." Adel tidak terima. Berani sekali Gagah mengomelinya. Dengan kasar Adel membanting tas kecil yang ia bawa. "Emang gini cara aku kerja. Dan maaf ya, aku nggak keluyuran seperti yang kamu bilang. Kamu kira aku wanita apaan?" "Secara nggak langsung kamu cap aku sebagai w
"Hasil tesnya gimana?" tanya Adel pada Risa, sahabatnya yang berprofesi sebagai seorang dokter. "Positif. Kamu hamil," jawab Risa dengan nada lemah. Wajah Adel seketika memucat.Dengan penuh harap ia mendatangi sahabatnya karena mengeluh pusing dan mual setiap bangun pagi. Namun, hasil testpack itu benar-benar menghancurkan hati Adel dan juga Risa. "Ini semua gara-gara cowok di pesta malam itu" Risa menggeram.Risa ingat betul malam itu mereka berpesta hingga lupa waktu. Mereka berbahagia. Dia menyesal membiarkan Adel yang tidak terbiasa minum alkohol dipaksa menghabiskan beberapa gelas oleh teman-temannya. Hingga seorang pria menghampiri Adel yang sudah mabuk berat. Membawa gadis itu ke sebuah kamar dan ritual intim itupun terjadi. Risa sendiri sibuk dengan pria yang mencumbu dirinya dengan panas."Aku yang salah. Aku sendiri yang suruh dia buat ngelakuin itu," lirih Adel. Nada suaranya sarat akan penyesalan. "Kamu tahu nama cowok itu, kan?" Pertanyaan Risa hanya dijawab gelen
"Aku nggak mau buat kamu sakit," bisik pria itu, sembari terus melanjutkan lumatan kasarnya pada bibir Adel. Dada Adel membusung dan naik turun, berusaha mengambil napas setelah cukup lama merasa sesak. "Nggak akan sakit," racau Adel. Dalam kondisi mabuk, dia hilang akal. Niat awalnya murni hanya ingin mengerjai gadis yang sudah lama dia incar. Pria itu hanya berpikir untuk memberi sedikit lumatan saja. Tidak ada niatan untuk melakukan lebih. Pria itu pura-pura menolak, walaupun hasratnya juga sudah tak bisa ditahan. Tapi, dia tahu persis kalau Adel masih perawan. Dia akan merasa sangat brengsek jika menghancurkan masa depan Adel, meskipun Adel sendiri yang meminta. Andai saja gadis itu tidak mabuk, menyetubuhinya dengan persetujuan tidak akan menjadi masalah. "Pakai kembali bajumu, Adel," suruhnya sedikit menggeram. "Tidak. Aku suka kalau kamu sentuh. Ayo, tolong dilanjutkan!" Berkali-kali menggeleng, akan tetapi akal sehatnya pun perlahan musnah. Pria itu kini dikendalikan ol
"Pa, yang tenang ya," bisik Adel. Namun, tidak ada jawaban dari papanya. Adel mengerti, papanya pasti masih syok dan tidak terima. Mereka menunggu di sebuah cafe. Tangan Adel sedingin es. Jantungnya berdegup cukup kencang hingga terasa seolah akan keluar. Gadis itu terus menerus meremas tangannya yang bahkan sudah berkeringat. Untung saja, aroma kopi di cafe ini sangat kuat dan mendominasi. Aroma itulah yang membuat Adel nyaman. Entah kenapa, kehamilan ini membuat dia sangat suka dengan bau kopi. "Sudah lama nunggu, Mas?" tanya Suri, teman mendiang mamanya Adel. Wanita anggun itu terlihat sedikit tergopoh-gopoh bersama Dani, suaminya. "Maaf kami sedikit terlambat, Pak Cakra," sambung Dani. Cakra hanya tersenyum penuh kecanggungan sembari mempersilahkan mereka untuk duduk. "Calon mantu Bunda cantik sekali," puji Suri. Cakra berdeham. "Sebaiknya kita langsung berbicara ke intinya saja." "Kenapa buru-buru, Mas? Gagah mau nyusul ke sini loh," ujar Suri sembari mengedipkan mata, b
Sudah pukul dua dini hari, Adel belum juga pulang. Gagah masih menunggu di ruang tengah. Sesibuk itukah istrinya? Dia tidak berniat mengekang Adel, hanya saja saat ini ada nyawa yang harus ia dan istrinya jaga. "Kenapa sampai selarut ini?" Langkah Adel terhenti saat mendapati Gagah di ruang tengah. Raut wajah wanita itu nampak sangat lelah. "Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku bakal pulang telat. Kok sekarang malah ngomel, sih? Aku nggak butuh diatur-atur kayak gini.""Nggak ada yang ngatur kamu!" Suara Gagah meninggi. "Tapi tolong ... jangan anggap remeh kondisi kehamilan kamu. Itu anak aku juga, jadi aku berhak nuntut kamu untuk lebih hati-hati dan jaga diri. Bukan keluyuran sampai tengah malam kayak begini." Adel tidak terima. Berani sekali Gagah mengomelinya. Dengan kasar Adel membanting tas kecil yang ia bawa. "Emang gini cara aku kerja. Dan maaf ya, aku nggak keluyuran seperti yang kamu bilang. Kamu kira aku wanita apaan?" "Secara nggak langsung kamu cap aku sebagai w
"Cepet... cepet bawa semua barang aku dan pindahin ke kamar kamu! Jangan sampai mereka mengendus perpisahan ranjang," tutur Adel dengan napas ngos-ngosan. Pria tampan yang hendak menjadi ayah itupun segera menjalankan tugas dari istrinya. Sebuah siksaan pagi hari untuk Gagah. Bagaimana tidak, barang Adel bukan satu atau dua koper. Melainkan lima koper. Ditambah, itu semua sudah berceceran. Gagah harus bekerja dua kali. Karena merasa kasihan, Adel menawarkan bantuan. Namun, Gagah menolak karena ia tidak mau calon jagoannya kenapa-kenapa. "Gah, mereka sudah di depan," bisik Adel. Gagah hanya mengangguk dan melangkah turun diikuti Adel. Suri tersenyum lebar melihat kebersamaan anak dan menantunya. Sekali lagi, dia bahagia karena sudah berhasil mewujudkan mimpinya dan mendiang mama Adel."Gah, kenapa nggak mandi dulu, Nak? Kamu mah lebay. Mentang-mentang pengantin baru, mainnya sampai pagi. Keringat malah dipamerin ke orang tua." Dani tertawa terbahak-bahak mengira anaknya berkeringa
Gagah menghela napas lega. Sejak semalam ia tidak bisa tidur. Matanya terjaga sepanjang waktu. Hari ini ia berhasil menyerukan ikrar untuk menjadi pasangan hidup Adel. Menjadi suami dan ayah untuk calon bayi yang Adel kandung. "Bunda lega, Nak. Semoga pernikahan ini jalan terbaik untuk hidup kamu," kata Suri dengan suara bergetar. Gagah hanya mengangguk. Berat rasanya harus tinggal terpisah dengan orang tuanya. Dia yang biasanya hidup manja, kini harus memikul tanggung jawab untuk keluarga kecilnya. Tak jauh berbeda dengan Adel. Gadis itu terus menerus melamun semenjak Gagah hadir dan mengakui dirinya. Sebenarnya ada rasa lega diantara ketegangan yang tercipta. Akan tetapi, entah kenapa Adel belum juga bisa tenang. "Papa bersyukur, Del. Gagah mau mengakui tanpa diminta siapapun," tutur Cakra. Tangannya yang terasa dingin menggenggam erat tangan Adel yang mengepal sejak tadi. "Takdir mempertemukan kalian dengan cara yang unik. Papa sendiri selalu takjub setiap kali mengingat peng
"Pa, yang tenang ya," bisik Adel. Namun, tidak ada jawaban dari papanya. Adel mengerti, papanya pasti masih syok dan tidak terima. Mereka menunggu di sebuah cafe. Tangan Adel sedingin es. Jantungnya berdegup cukup kencang hingga terasa seolah akan keluar. Gadis itu terus menerus meremas tangannya yang bahkan sudah berkeringat. Untung saja, aroma kopi di cafe ini sangat kuat dan mendominasi. Aroma itulah yang membuat Adel nyaman. Entah kenapa, kehamilan ini membuat dia sangat suka dengan bau kopi. "Sudah lama nunggu, Mas?" tanya Suri, teman mendiang mamanya Adel. Wanita anggun itu terlihat sedikit tergopoh-gopoh bersama Dani, suaminya. "Maaf kami sedikit terlambat, Pak Cakra," sambung Dani. Cakra hanya tersenyum penuh kecanggungan sembari mempersilahkan mereka untuk duduk. "Calon mantu Bunda cantik sekali," puji Suri. Cakra berdeham. "Sebaiknya kita langsung berbicara ke intinya saja." "Kenapa buru-buru, Mas? Gagah mau nyusul ke sini loh," ujar Suri sembari mengedipkan mata, b
"Aku nggak mau buat kamu sakit," bisik pria itu, sembari terus melanjutkan lumatan kasarnya pada bibir Adel. Dada Adel membusung dan naik turun, berusaha mengambil napas setelah cukup lama merasa sesak. "Nggak akan sakit," racau Adel. Dalam kondisi mabuk, dia hilang akal. Niat awalnya murni hanya ingin mengerjai gadis yang sudah lama dia incar. Pria itu hanya berpikir untuk memberi sedikit lumatan saja. Tidak ada niatan untuk melakukan lebih. Pria itu pura-pura menolak, walaupun hasratnya juga sudah tak bisa ditahan. Tapi, dia tahu persis kalau Adel masih perawan. Dia akan merasa sangat brengsek jika menghancurkan masa depan Adel, meskipun Adel sendiri yang meminta. Andai saja gadis itu tidak mabuk, menyetubuhinya dengan persetujuan tidak akan menjadi masalah. "Pakai kembali bajumu, Adel," suruhnya sedikit menggeram. "Tidak. Aku suka kalau kamu sentuh. Ayo, tolong dilanjutkan!" Berkali-kali menggeleng, akan tetapi akal sehatnya pun perlahan musnah. Pria itu kini dikendalikan ol
"Hasil tesnya gimana?" tanya Adel pada Risa, sahabatnya yang berprofesi sebagai seorang dokter. "Positif. Kamu hamil," jawab Risa dengan nada lemah. Wajah Adel seketika memucat.Dengan penuh harap ia mendatangi sahabatnya karena mengeluh pusing dan mual setiap bangun pagi. Namun, hasil testpack itu benar-benar menghancurkan hati Adel dan juga Risa. "Ini semua gara-gara cowok di pesta malam itu" Risa menggeram.Risa ingat betul malam itu mereka berpesta hingga lupa waktu. Mereka berbahagia. Dia menyesal membiarkan Adel yang tidak terbiasa minum alkohol dipaksa menghabiskan beberapa gelas oleh teman-temannya. Hingga seorang pria menghampiri Adel yang sudah mabuk berat. Membawa gadis itu ke sebuah kamar dan ritual intim itupun terjadi. Risa sendiri sibuk dengan pria yang mencumbu dirinya dengan panas."Aku yang salah. Aku sendiri yang suruh dia buat ngelakuin itu," lirih Adel. Nada suaranya sarat akan penyesalan. "Kamu tahu nama cowok itu, kan?" Pertanyaan Risa hanya dijawab gelen