"Pa, yang tenang ya," bisik Adel. Namun, tidak ada jawaban dari papanya. Adel mengerti, papanya pasti masih syok dan tidak terima.
Mereka menunggu di sebuah cafe.
Tangan Adel sedingin es. Jantungnya berdegup cukup kencang hingga terasa seolah akan keluar. Gadis itu terus menerus meremas tangannya yang bahkan sudah berkeringat.
Untung saja, aroma kopi di cafe ini sangat kuat dan mendominasi. Aroma itulah yang membuat Adel nyaman. Entah kenapa, kehamilan ini membuat dia sangat suka dengan bau kopi.
"Sudah lama nunggu, Mas?" tanya Suri, teman mendiang mamanya Adel. Wanita anggun itu terlihat sedikit tergopoh-gopoh bersama Dani, suaminya.
"Maaf kami sedikit terlambat, Pak Cakra," sambung Dani.
Cakra hanya tersenyum penuh kecanggungan sembari mempersilahkan mereka untuk duduk.
"Calon mantu Bunda cantik sekali," puji Suri.
Cakra berdeham. "Sebaiknya kita langsung berbicara ke intinya saja."
"Kenapa buru-buru, Mas? Gagah mau nyusul ke sini loh," ujar Suri sembari mengedipkan mata, berusaha menggoda Adel.
"Ada hal penting yang harus saya bicarakan sama kalian," tutur Cakra. Suaranya terdengar sarat akan beban. "Saya tidak bisa melanjutkan perjodohan ini."
Saat itu juga tangis Adel tak bisa lagi ditahan. Satu sisi dia tidak mau membuat mendiang mamanya kecewa. Tapi di sisi lain, kenyataan membuatnya harus menolak dan membatalkan rencana apik mamanya.
"Maafin aku Tante. Aku hamil. Dan aku nggak mau buat anak Tante kecewa. Jadi, sebaiknya kita batalin aja. Tapi aku mohon... jangan buat Papa malu," pinta Adel. Dengan kasar ia menghapus air matanya.
Suasana di antara mereka langsung sunyi. Tidak ada yang bicara satu kata pun. Mata Suri mulai memerah menahan tangis. Dia tidak menyangka, menantu yang sudah lama ia nanti-nantikan ternyata membuatnya sangat kecewa.
Begitu juga Cakra. Dia tidak bisa menahan amarah dan air matanya. Tangannya mengepal kuat. Ingin rasanya dia meneriaki Adel, akan tetapi mulutnya seperti dikunci. Rasa cinta pada putrinya terlalu besar dan tak terkalahkan.
"Nggak perlu dibatalin, Bun. Itu anak Gagah, kok."
Suara itu mengundang tatapan semua orang. Mereka yang menangis tiba-tiba terdiam.
"Gimana bisa, Gah? Bunda nggak percaya," bantah Suri.
Sementara Adel, dia masih termangu dan berusaha mengingat siapa pria yang berdiri di hadapannya ini.
Gagah yang mulai menangkap kebingungan di wajah Adel mulai berjalan mendekati gadis itu. Lalu dengan suara beratnya dia berbisik, "Kamu hanya milikku."
Adel ingat... itu adalah kalimat yang dikatakan oleh pria yang menghamilinya. Hidung Adel mengambil alih. Aroma ini... aroma parfum pria yang membuatnya mengerang dan melenguh tak karuan.
"Gagah, jangan buat Bunda bingung. Maksud kamu apa?"
"Iya. Yang Adel kandung, itu anak Gagah, Bun."
Suri dan Dani menggeleng bersamaan. Pasalnya, ini adalah pertemuan pertama antara anak-anak mereka. Lalu, bagaimana bisa Gagah menghamili Adel? Mereka bertanya-tanya.
Gagah menggenggam tangan Adel yang sudah seperti es. Sementara gadis itu, dia hanya terdiam melihat Gagah. "Aku akan tanggung jawab. Jadi, nggak akan ada pihak yang akan menanggung malu. Perjodohan ini tetap lanjut."
"Karena Bunda sama Ayah... bahkan mungkin Papanya Adel juga nggak percaya kalau ini anak aku," kata Gagah sembari tersenyum lembut menatap Adel. "Sepulang dari sini, aku akan bawa Adel untuk tes DNA. Hasilnya akan kalian lihat sebagai bukti."
Keputusan telak sudah diucapkan oleh Gagah. Sebagai orang tua, mereka hanya diam dan memberikan kesempatan untuk Gagah membuktikan semuanya.
Baik Suri, Dani, ataupun Cakra, mereka berharap kalau janin yang Adel kandung memang benar anaknya Gagah. Dengan demikian, mereka bisa melanjutkan pernikahan secepat mungkin.
Tiga hari berlalu, Gagah kembali dengan sebuah amplop coklat.
"Bunda, Ayah, ini hasilnya. Kalian bisa lihat sendiri."
Wajah Suri mulai memucat. Pun dengan Dani. Pria itu terlihat tegang dan tak sabar untuk membuka amplop tersebut.
Dalam kegugupannya, Suri berusaha membaca dengan seksama. Tangannya mulai gemetar, tangisnya pecah. Dani hanya bisa memeluk istrinya dengan erat.
"Hasilnya gimana, Bun?" Gagah bertanya dengan raut wajah antusias.
Suri menatap wajah anak semata wayangnya, masih dengan air mata yang terus bercucuran.
Dengan suara lirih Suri berkata, "Iya. Janin yang Adel kandung adalah anak kamu."
Gagah berseru bahagia. Orang tuanya hanya menatap heran. Seolah-olah memang Gagah mengharapkan ini semua terjadi.
"Ceritakan bagaimana kalian bisa bertemu, apalagi sampai berisi kayak gitu."
Sedikit demi sedikit Dani mulai ikut antusias. Dia mendesak Gagah untuk bercerita. Wajah bahagia putranya benar-benar tidak bisa disembunyikan.
Gagah memeluk dan merengkuh tubuh bundanya yang masih lemas. Lalu menceritakan semua kejadian tak terduga ini. Di satu sisi, Suri bersyukur dan berbahagia. Tidak ada yang diingkari. Namun, di sisi lain ia tidak menginginkan jalur seperti ini. Akan tetapi, takdir sungguh tak bisa ditebak. Inilah awal cerita mereka.
Dengan antusias Dani menelepon Cakra. "Pak Cakra, mari bertemu besok pagi untuk membicarakan pernikahan anak-anak kita. Semuanya harus disegerakan."
Gagah menghela napas lega. Sejak semalam ia tidak bisa tidur. Matanya terjaga sepanjang waktu. Hari ini ia berhasil menyerukan ikrar untuk menjadi pasangan hidup Adel. Menjadi suami dan ayah untuk calon bayi yang Adel kandung. "Bunda lega, Nak. Semoga pernikahan ini jalan terbaik untuk hidup kamu," kata Suri dengan suara bergetar. Gagah hanya mengangguk. Berat rasanya harus tinggal terpisah dengan orang tuanya. Dia yang biasanya hidup manja, kini harus memikul tanggung jawab untuk keluarga kecilnya. Tak jauh berbeda dengan Adel. Gadis itu terus menerus melamun semenjak Gagah hadir dan mengakui dirinya. Sebenarnya ada rasa lega diantara ketegangan yang tercipta. Akan tetapi, entah kenapa Adel belum juga bisa tenang. "Papa bersyukur, Del. Gagah mau mengakui tanpa diminta siapapun," tutur Cakra. Tangannya yang terasa dingin menggenggam erat tangan Adel yang mengepal sejak tadi. "Takdir mempertemukan kalian dengan cara yang unik. Papa sendiri selalu takjub setiap kali mengingat peng
"Cepet... cepet bawa semua barang aku dan pindahin ke kamar kamu! Jangan sampai mereka mengendus perpisahan ranjang," tutur Adel dengan napas ngos-ngosan. Pria tampan yang hendak menjadi ayah itupun segera menjalankan tugas dari istrinya. Sebuah siksaan pagi hari untuk Gagah. Bagaimana tidak, barang Adel bukan satu atau dua koper. Melainkan lima koper. Ditambah, itu semua sudah berceceran. Gagah harus bekerja dua kali. Karena merasa kasihan, Adel menawarkan bantuan. Namun, Gagah menolak karena ia tidak mau calon jagoannya kenapa-kenapa. "Gah, mereka sudah di depan," bisik Adel. Gagah hanya mengangguk dan melangkah turun diikuti Adel. Suri tersenyum lebar melihat kebersamaan anak dan menantunya. Sekali lagi, dia bahagia karena sudah berhasil mewujudkan mimpinya dan mendiang mama Adel."Gah, kenapa nggak mandi dulu, Nak? Kamu mah lebay. Mentang-mentang pengantin baru, mainnya sampai pagi. Keringat malah dipamerin ke orang tua." Dani tertawa terbahak-bahak mengira anaknya berkeringa
Sudah pukul dua dini hari, Adel belum juga pulang. Gagah masih menunggu di ruang tengah. Sesibuk itukah istrinya? Dia tidak berniat mengekang Adel, hanya saja saat ini ada nyawa yang harus ia dan istrinya jaga. "Kenapa sampai selarut ini?" Langkah Adel terhenti saat mendapati Gagah di ruang tengah. Raut wajah wanita itu nampak sangat lelah. "Aku kan udah bilang sama kamu kalau aku bakal pulang telat. Kok sekarang malah ngomel, sih? Aku nggak butuh diatur-atur kayak gini.""Nggak ada yang ngatur kamu!" Suara Gagah meninggi. "Tapi tolong ... jangan anggap remeh kondisi kehamilan kamu. Itu anak aku juga, jadi aku berhak nuntut kamu untuk lebih hati-hati dan jaga diri. Bukan keluyuran sampai tengah malam kayak begini." Adel tidak terima. Berani sekali Gagah mengomelinya. Dengan kasar Adel membanting tas kecil yang ia bawa. "Emang gini cara aku kerja. Dan maaf ya, aku nggak keluyuran seperti yang kamu bilang. Kamu kira aku wanita apaan?" "Secara nggak langsung kamu cap aku sebagai w
"Hasil tesnya gimana?" tanya Adel pada Risa, sahabatnya yang berprofesi sebagai seorang dokter. "Positif. Kamu hamil," jawab Risa dengan nada lemah. Wajah Adel seketika memucat.Dengan penuh harap ia mendatangi sahabatnya karena mengeluh pusing dan mual setiap bangun pagi. Namun, hasil testpack itu benar-benar menghancurkan hati Adel dan juga Risa. "Ini semua gara-gara cowok di pesta malam itu" Risa menggeram.Risa ingat betul malam itu mereka berpesta hingga lupa waktu. Mereka berbahagia. Dia menyesal membiarkan Adel yang tidak terbiasa minum alkohol dipaksa menghabiskan beberapa gelas oleh teman-temannya. Hingga seorang pria menghampiri Adel yang sudah mabuk berat. Membawa gadis itu ke sebuah kamar dan ritual intim itupun terjadi. Risa sendiri sibuk dengan pria yang mencumbu dirinya dengan panas."Aku yang salah. Aku sendiri yang suruh dia buat ngelakuin itu," lirih Adel. Nada suaranya sarat akan penyesalan. "Kamu tahu nama cowok itu, kan?" Pertanyaan Risa hanya dijawab gelen
"Aku nggak mau buat kamu sakit," bisik pria itu, sembari terus melanjutkan lumatan kasarnya pada bibir Adel. Dada Adel membusung dan naik turun, berusaha mengambil napas setelah cukup lama merasa sesak. "Nggak akan sakit," racau Adel. Dalam kondisi mabuk, dia hilang akal. Niat awalnya murni hanya ingin mengerjai gadis yang sudah lama dia incar. Pria itu hanya berpikir untuk memberi sedikit lumatan saja. Tidak ada niatan untuk melakukan lebih. Pria itu pura-pura menolak, walaupun hasratnya juga sudah tak bisa ditahan. Tapi, dia tahu persis kalau Adel masih perawan. Dia akan merasa sangat brengsek jika menghancurkan masa depan Adel, meskipun Adel sendiri yang meminta. Andai saja gadis itu tidak mabuk, menyetubuhinya dengan persetujuan tidak akan menjadi masalah. "Pakai kembali bajumu, Adel," suruhnya sedikit menggeram. "Tidak. Aku suka kalau kamu sentuh. Ayo, tolong dilanjutkan!" Berkali-kali menggeleng, akan tetapi akal sehatnya pun perlahan musnah. Pria itu kini dikendalikan ol