"Ada apa ini?" Dokter itu menatap sambil mengernyit. "Kenapa kalian?" tanyanya lagi sambil menunjuk dua suster yang masih tak bisa berkata-kata.
Ardi menggelengkan kepala untuk memusatkan pikirannya kembali. Dia sendiri juga kebingungan. Namun, yang terpenting ibunya selamat."Dokter. Ya, kamu dokter yang barusan dihubungi?" tanya Ardi. Dokter itu menganggukkan kepala dan masih tidak mengerti."Maafkan saya, Dokter," ucap salah satu suster. "Tadi Dokter datang dan kami melakukan operasi. Tapi, kenapa dokter mengatakan baru datang?""Hei, aku memang baru datang. Bagaimana mungkin aku bisa datang setelah kau menghubungiku? Rumahku lumayan jauh. Cepat katakan. Ada apa ini?""Ya, seperti yang dia katakan," sela Ardi. Dia mendekati dokter itu yang masih kebingungan. "Anda datang dan melakukan operasi."Dokter itu terdiam kaku. Dia tidak bisa menerima ini."Dokter gadungan sudah menggantikan aku. Dia tak mungkin melarikan diri bukan?" Dokter itu meninggalkan Ardi bersama dua suster yang masih panik. "Cepat periksa cctv. Kenapa kalian ceroboh?!" teriaknya keras sambil berlalu.Ardi mengusap wajahnya yang berkeringat. "Kenapa rumah sakit terbaik bisa kecolongan?" Perasaannya bercampur aduk. Di operasi dokter gadungan tentu saja membahayakan nyawa ibunya. Namun, jika dokter itu terlambat datang, nyawa ibunya juga terancam. Ardi memilih tidak memperbesar masalah ini. Yang penting nyawa ibunya selamat.Dia membalikkan tubuhnya dan, "argh! Midas, kau menumpahkan kopi itu." Ardi menepuk-nepuk kemejanya yang kini berwarna hitam. "Maafkan. Aku tidak sengaja." Midas segera mengambil tisu di sebelah kursi penunggu kemudian mengusap kemeja Ardi."Ke mana saja kau?" Ardi heran melihat Midas yang tiba-tiba datang."Aku hanya membeli kopi.""Membeli kopi saja sangat lama. Sudahlah, aku akan masuk ke dalam kamar dan memeriksa Ibu. Kau pulang dan ambilkan kemeja baru untukku."Midas menatap Ardi yang segera masuk ke dalam kamar. Midas perlahan menatap Nyonya dari jendela. Dia tersenyum dan sedikit mengingat saat wanita itu menemukannya di jalanan. Tergeletak tak berdaya karena lapar setelah keluar dari penjara."Dasar tidak berguna!" Brian menarik Midas dan menamparnya keras.PLAK!!"Kenapa kau tidak membangunkanku? Kau sengaja membuatku terlihat bodoh di hadapan ibuku!" Tangannya menarik kerah kemeja Midas dan menatap tajam."Ibu harus dibawa segera. Kau mabuk. Bagaimana bisa, seseorang pecandu alkohol mengoperasi pasien?" balas Midas pelan dengan pandangan tajam."Oh, jadi kau sekarang berani?!""Hentikan!" Ardi menarik kemeja Brian. Dia segera keluar kamar setelah tahu Brian akan menghajar Midas. "Kau seharusnya malu. Sekarang masuk dan periksa Ibu. Biarkan Midas pulang dan mengambil bajuku."Brian masih saja emosi. Dia sendiri tidak akan memaafkan dirinya jika terjadi sesuatu kepada ibunya. Kemarahan itu tentu saja akan dia lampiaskan kepada Midas."Ckk. Aku sangat kesal. Brian selalu saja membuatmu seperti itu. Sekarang pulang saja." Ardi menepuk pundak Midas dua kali, lalu pergi.Midas mulai meninggalkan kamar. Dia menuju taman dan ingin duduk sejenak. Kakinya terus melangkah, menikmati pemandangan semua bunga di sana. Dia masih tak percaya sang ayah bisa membangun rumah sakit itu dengan indah. Lalu, kenapa Clara mengatakan kondisinya tidak baik?Selama ini Midas tidak mengerti kenapa sang ayah menyembunyikan identitas sebagai pemilik dua rumah sakit terbaik di kota. Selalu menekankan kepadanya untuk diam dan merahasiakan. Semua kekayaan itu, dipercayakan kepada Clara, asisten yang juga diangkatnya menjadi anak. Gadis jenius yang di sekolahkan ayah Midas."Aku tahu Anda pasti akan kembali."Midas langsung menolehkan pandangan ke belakang. "Clara?" Dia berdiri dan menarik wanita itu menuju tempat sepi. Midas mengedarkan pandangan ke semua arah, memastikan tidak ada yang melihatnya."Clara. Aku tidak mau identitasku terbongkar. Apa kau mengerti.""Aku yang menyelamatkan kamu hari ini, Dokter gadungan," ucap Clara dengan serius. "Diam-diam mengambil baju dokter dan menipu semua orang. Untung saja cctv segera aku hapus. Kau berhutang budi kepadaku.""Apa maumu?" Midas semakin menatap tajam Clara.
"Periksalah ini." Clara menyodorkan satu amplop cokelat. "Di sana, Dokter akan melihat sesuatu. Mengingatkanmu kepada seseorang."
Midas segera menerima amplop itu dan mengambil isinya. Seketika dia meremas foto itu."Aku melihat dia melakukannya. Ya, dia orang yang sudah membuatku menderita!" teriak Midas keras."Masuk ke rumah sakit ini dan jadilah dokter hebat. Dokter akan menemukan dia." Perkataan Clara membuat Midas terkejut. "Apa kau tahu, ayahmu memiliki kekayaan lain selain ini? Peninggalan kakekmu. Dokter Midas, kekayaanmu tidak habis tujuh turunan. Kau ... sangat kaya dan itu semua milikmu. Hanya saja ...."Midas mengernyit. Mendekati Clara dan bertanya, "Kenapa? Hei, lanjutkan Clara.""Sebuah rahasia yang dipegang ayahmu, hanya kau yang mengetahuinya bukan? Rahasia itu incaran semua orang dan alasan kenapa kau di penjara."Clara mendekati Midas dan memeluknya erat."Aku merindukanmu, Kak. Bagaimana pun kita ini saudara." Clara melepaskan pelukannya. Dia memandang Midas dengan tersenyum. "Kembalilah dua hari lagi. Aku akan mengatur semuanya.""Siapa kepala direktur rumah sakit ini?" Midas berkacak pinggang melihat Clara tertawa."Tentu saja aku. Siapa lagi." Clara semakin mendekati Midas. Menatap sangat serius. "Kepala sebelumnya pengkhianat," lanjutnya lalu menarik napas panjang. Midas segera menjauh. Dia tidak mau tahu apa pun masa lalu rahasia itu. Tuduhan mengerikan itu cukup membuat dia menderita. Kali ini dia ingin hidup tenang."Aku tidak akan datang," balas Midas lalu pergi dan berjalan dengan terburu-buru."Kau akan datang," gumam Clara lalu menghubungi seseorang. "Lakukan di depan rumah sakit."**"Lihatlah. Siapa yang datang?"Langkah Midas mendadak berhenti. Dia sangat sial bertemu Tomi dan Mita di depan rumah sakit."Apa yang dilakukan gembel di sini?" Tomi mendekati Midas dan memukulnya. "Apa kau lupa perkataanku? Jangan pernah muncul di hadapanku.""Hentikan Tomi," cegah Mita."Jadi kau membelanya?" Tomi semakin menghajar Midas.Mita menahan tangan Tomi yang terus memukul wajah Midas hingga lebam. Apalagi ada satpam yang mendekati mereka."Baguslah, kalian datang. Dia penjahat dan usir saja," pinta Tomi sambil meremas jemari kanannya yang terasa nyilu akibat pukulannya."Kau ... yang memalukan." Midas semakin mengejutkan Tomi. Dia mengusap ujung bibirnya yang berdarah dengan tertawa."Beraninya kau mengatakan itu!"Tangan Tomi kembali terulur untuk melayangkan pukulannya kembali. Dengan sigap Midas menahannya."Kau tidak akan pernah mengalahkanku, Tomi," ucap Midas pelan dengan terkekeh pelan. Dia masih menahan tangan Tomi."Keparat. Kau miskin dan gembel. Dengan mudah aku bisa mengalahkanmu.""Bagaimana jika tidak?"Tomi tertawa semakin keras. Midas pun melepaskan cengkeramannya."Aku akan mencium kakimu," balas Tomi semakin tertawa keras."Semoga kau ingat perkataanmu itu."BRAK!!"Kepala Direktur kecelakaan!" Tiba-tiba, beberapa suster berlari sambil berteriak panik."Clara?" ucap Midas dengan sangat panik.Mita bergeming kaku. Kenapa Midas mengenal Kepala Direktur?Mita semakin mengamati Midas. Lelaki itu terlihat sangat pucat saat Clara masuk dengan tubuh dipenuhi darah di atas brankar dorong.'Clara, apa yang kau lakukan?'Midas memegang kepalanya. Sangat panik. Dia mengikuti para dokter dan suster masuk ke dalam ruang operasi. Tentu saja dia tidak akan pernah masuk ke dalam, karena suster menahannya. Midas hanya bisa menunggu di luar dan bersembunyi."Kenapa kau?" tanya Mita mengejutkan Midas.Mulut Midas masih tertutup rapat. Dia tidak akan pernah mengatakan apa pun. Walaupun Mita semakin menatap tajam dan mendekatinya."Apa kau mengenal Clara?" tanyanya kembali dengan kedua alis mengerut dalam. Midas masih saja bergeming kaku. "Sudah jelas kau menyebutkan namanya dengan keras.""Aku harus pulang. Aku tidak mengenal Clara," balas Midas menunduk. Dia bergegas untuk pergi dari sana. Langkah itu terhenti karena Mita menahan lengannya."Ke mana kau selama ini, Midas? Kau meninggalkanku begitu saja hampir 10 tahun. Lalu, kau kembali sebagai narap
Midas menarik lengan Ardi dan menggelengkan kepala. Dia tidak mau mencari masalah dengan Brian."Hahaha. Baiklah, jika dia bisa mengalahkan Tomi, aku akan menjadi pelayan seumur hidupnya," balas Brian sambil tertawa dan berkacak pinggang."Ah, aku tidak sabar melihatnya." Ardi kembali menepuk pundak kanan kakaknya. Lalu mengajak Midas pergi dari sana.Midas segera mengikuti Ardi dan masuk ke dalam mobil. Melihat perlakuan Brian, akhirnya Midas memantapkan hatinya untuk kembali.Semalaman, Midas semakin tidak tenang. Waktu sangat dekat, dan dia harus mengungkap identitasnya. Apalagi dia akan bekerja dengan Mita. Wanita yang dia tinggalkan begitu saja."Mita, maafkan aku," gumamnya dan terlelap.Pagi mendadak datang. Midas mendadak terbangun. Dia mendengar ketukan pintu. Dengan cepat dia membukanya."Bangun pemalas!" Tamparan kembali dia dapatkan dari Brian. "Apa kau lupa aku berulang tahun hari ini? Ah, kenapa aku berbicara dengan lelaki bodoh seperti dirimu. Cepat bantu semua pelayan
Seperti biasanya, pesta berakhir dengan sangat berantakan. Brian mendadak terbangun dari kursi sofa. Dia berjalan sempoyongan ketika tanpa sadar hari sudah memasuki pagi hari. Dia terbangun karena ponselnya berdering."Halo."(Apa kau sudah gila? Jam berapa ini? Apa kau lupa kalau hari ini ada dokter dari lulusan universitas terbaik negara J akan datang? Dokter yang sudah menyelamatkan anak gadis kepala pemerintahan. Cepat datang!)Brian tak percaya dirinya akan sangat berantakan. Teriakan Tomi membuatnya tersadar."Midas!" teriaknya keras. "Akan aku bunuh dia! Midas!" Brian kembali terjatuh di atas sofa. Tubuhnya masih lemas akibat alkohol."Dia sudah pergi," ucap Ardi mengejutkannya."Apa maksudmu?" Brian berusaha membuka kedua matanya."Dia sudah pergi dan memang itu yang harus dia lakukan. Dari pada di sini mendapatkan kemarahanmu. Hmm, sebaiknya kau cepat pergi ke rumah sakit. Apa kau tidak mau tahu siapa dokter hebat itu?"Ardi tersenyum melihat Brian sangat panik dan berlari ke
PLAK!!Tamparan keras melayang dari tangan kanan Alma ke pipi Midas. Spontan semua orang terkejut dan melotot tajam melihat itu.Midas, lelaki paling pintar dan selalu mendapatkan pujian dari semua guru ketika bersekolah. Ayahnya bernama Leonidas. Dokter sangat terkenal, mendapatkan julukan sang Legenda. Ibu Midas kala itu meninggal karena sakit saat melahirkan Midas. Leonidas membesarkan Midas seorang diri.Midas mewarisi kepintaran ayahnya. Membuat dia sangat populer di sekolah. Mita yang saat itu gadis tercantik dan terpintar membuatnya terpana. Mereka menjalin kasih dan membuat iri semua siswa. Namun, ketika Midas lulus SMA, dia mendadak menuju ke negara J karena perintah ayahnya.Kepergian Midas membuat Mita sangat frustasi. Perusahaan ayah Mita yang akan mengalami kebangkrutan, membuat Mita harus mau dijodohkan dengan Tomi. Keluarga Tomi sangat kaya. Ayahnya Wakil Kepala rumah sakit di Hospital International dan memiliki beberapa restaurant terkenal di kota.Rumah sakit Hospital,
Seorang wanita tersenyum ke arahnya. Menghentikan pembicaraan serius yang sebelumnya dia lakukan dengan Alma.Dengan sangat seksi, wanita itu berjalan ke arah Midas yang masih bergeming kaku dengan keringat dingin.‘Dia yang berada di sana saat aku melihat ayahku mati. Aku tidak salah lihat. Dia adalah wanita itu.’ Midas mengepalkan kedua tangannya. Senyuman sinis ketika wanita itu menatapnya sebelum dia pingsan delapan tahun lalu, selalu membayangi pikirannya. Clara memang benar. Kembali ke rumah sakit itu dan akan menemukan jawabannya. ‘Aku … tidak akan pernah melepaskannya. Tidak akan pernah!’“Dokter terbaik di Negara J. Lulusan terbaik dan berhasil menyembuhkan penyakit langka. Hmm satu lagi–,” ucapnya terhenti sejenak. Kedua mata hitam berlensa abu wanita itu semakin menatap tajam Midas. “Anak Dokter Leonidas yang sangat hebat. Sayangnya … sang legenda sudah mati,” imbuhnya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.Midas masih menatapnya tajam. Tubuhnya bergetar. Seketik
Midas tersenyum sambil berjalan mendekati pasien yang sudah terbaring dalam keadaan tertidur. “Apa kau yang menangani pasien ini, Mita?” tanya Midas lalu meletakkan koper hitam berisi semua alat penting untuk membedah pasien yang sudah dia rawat dan steril. Semua alat warisan Leonidas yang selalu dia simpan. Awalnya Midas menganggap semua alat itu hilang ketika dia berada di penjara. Tapi, saat dia keluar dari rumah Brian dan sampai di apartemen mewah yang sudah disiapkan Clara, dia sangat senang melihat koper itu sudah berada di atas meja dalam keadaan sangat baik. Ternyata Clara merawatnya selama ini.Saat itu para pengawal utusan Clara menjemput Midas ketika dia berhasil keluar dari rumah Brian diam-diam. Mereka membawa Midas menuju tempat tinggalnya yang baru. Apartemen kelas atas sangat eksklusif yang berada di lantai paling atas. Di sana, Midas merenung sepanjang malam untuk menunggu hari esok. Hari sangat penting dalam hidupnya untuk memulai pembalasan dendam dan asal mula kej
Satu hal yang bisa dilakukan Midas saat ini hanya bersabar dengan semua keadaan di hadapannya, walaupun itu sangat mengejutkannya.“Dokter …,” ucap Midas sambil membaca nama Dokter Tamrin di name tag yang berada di kemeja putih ayah Tomi sebelah kanan. “Oh, aku ingat. Dulu kau adik kelas ayahku. Dan kau pernah ke rumahku untuk meminta bantuan bukan? Ah … aku saat itu masih kecil.” Midas masih saja menunjukkan sikap tenang. Senyuman tak pernah lepas dari wajahnya. “Aku tahu kau pengagum ayahku. Bagaimana mungkin kau melempar nama ayahku ke sembarang tempat bukan? Hahahaha. Kau pintar sekali bercanda.”“Midas!” teriak Tomi. Dia menunjuk Midas dengan amarah. “Dia adalah wakil kepala di rumah sakit ini. Dia yang berkuasa di sini dan kita hanya bisa patuh dengannya. Jaga kesopananmu,” lanjutnya dengan suara lantang.“Baiklah Tuan Tamrin. Apa yang bisa aku lakukan? Ayahku saja kau lempar keluar. Apalagi aku? Hmm, aku minta maaf,” balas Midas masih saja tersenyum sambil menyodorkan telapak
“Heh, Otak Udang! Matamu buta ya? Tidak lihat rumah perlu dibereskan?”Midas tidak menyahut mendengar teriakan itu. Namun, ia langsung datang sambil membawa plastik hitam besar dan membereskan kekacauan yang ada.Malam semakin larut di kediaman keluarga Lupes. Mereka sekeluarga baru saja mengadakan pesta.Anak lelaki pertama mereka telah diangkat menjadi dokter di rumah sakit terbaik International Hospital. Jelas saja mereka sangat senang. Untuk masuk ke sana tidaklah mudah. Hanya dokter pilihan dengan prestasi luar biasa yang dapat masuk ke sana.Karena acara itu, tentu saja rumah sangat berantakan dan dipenuhi sampah."Jangan lupa semua baju yang berada di belakang. Lalu semua piring yang kotor. Cuci semua. Jangan sampai ada yang tersisa."Midas hanya mengangguk mendengar perintah dari anak pertama keluarga itu, Brian, yang saat ini tengah mabuk.Namun, saat ia hendak memasukkan semua sampah dan botol bir yang berserakan di depan kolam renang, Brian tiba-tiba saja menendangnya denga