“Heh, Otak Udang! Matamu buta ya? Tidak lihat rumah perlu dibereskan?”
Midas tidak menyahut mendengar teriakan itu. Namun, ia langsung datang sambil membawa plastik hitam besar dan membereskan kekacauan yang ada.
Malam semakin larut di kediaman keluarga Lupes. Mereka sekeluarga baru saja mengadakan pesta.
Anak lelaki pertama mereka telah diangkat menjadi dokter di rumah sakit terbaik International Hospital. Jelas saja mereka sangat senang. Untuk masuk ke sana tidaklah mudah. Hanya dokter pilihan dengan prestasi luar biasa yang dapat masuk ke sana.
Karena acara itu, tentu saja rumah sangat berantakan dan dipenuhi sampah.
"Jangan lupa semua baju yang berada di belakang. Lalu semua piring yang kotor. Cuci semua. Jangan sampai ada yang tersisa."
Midas hanya mengangguk mendengar perintah dari anak pertama keluarga itu, Brian, yang saat ini tengah mabuk.
Namun, saat ia hendak memasukkan semua sampah dan botol bir yang berserakan di depan kolam renang, Brian tiba-tiba saja menendangnya dengan keras hingga Midas jatuh ke kolam.
Byur!
"Haha! Kolam itu juga banyak sampahnya, tahu!” teriak Brian lagi. Tampaknya ia menikmati momen ketika ia bisa mengganggu Midas. "Kau menunggu perintahku ya? Kenapa aku harus memerintahmu? Seharusnya kau bisa mengerti tugasmu!"
"Hei, dia sudah berusaha. Lagi pula, rumah ini sebesar lapangan. Mana bisa dia mengerjakan sendiri?" Adik Brian tidak tahan melihat ini. Dia mendorong kakaknya dengan kasar.
"Hei, aku ini membayarnya. Bukankah dia membutuhkan uang untuk hidup? Ibu memang bodoh sudah memungutnya di jalanan. Seharusnya dia tahu posisinya di rumah ini." Brian tersenyum sinis. Dia tidak menerima pendapat dari adiknya yang berusaha membantu Midas naik ke permukaan.
"Benar kan, Midas?" Brian terus berteriak kepada Midas yang masih memunguti sampah dengan basah kuyup.
Sang adik hanya bisa menggelengkan kepala melihat kejadian ini. Dia mendekati Midas dan menepuk pundaknya. "Biarkan saja pelayan yang melakukan ini." Ardi menarik tangan Midas, "jika kau membutuhkan sesuatu, kabari aku."
"Terima kasih, Ardi." Midas menoleh dan tersenyum setelah menjawabnya. Namun, Midas tetap melanjutkan tugasnya. Mau bagaimana lagi. Nyonya rumah di sana sudah membantunya untuk tetap hidup. Dia sangat paham posisinya.
"Aku beritahu padamu. Kau tidak perlu berbaik hati kepadanya. Dia dipungut di jalanan. Kita sudah berbaik hati selama ini. Permasalahan yang dialami Midas, apa kau bisa membantunya? Hei, dia ini mantan narapidana." Brian masih tidak menyerah, "jika bukan karena kita, bagaimana dia bertahan hidup?"
"Hentikan omong kosong itu!" teriak Ardi.
"Sudahlah." Midas menarik lengan Ardi sambil menggelengkan kepala. "Beristirahatlah. Besok kau harus bekerja."
Dalam keadaan kesal, Ardi meninggalkan mereka. Brian tertawa keras dan puas dengan dirinya.
"Kau sebaiknya melakukan tugasmu dengan baik. Jika tidak, aku akan menghajarmu."
"Tuan Brian. Nyonya sesak napas!" Tiba-tiba salah satu pelayan di sana berteriak.
"Bawa peralatanku ke kamarnya!"
Brian bergegas menuju kamar ibunya dengan panik. Midas melempar kresek sampah yang semula dia pegang begitu saja, kemudian berlari mengikuti Brian. Terlihat semua orang berkumpul di dalam dengan panik.
"Brian, kau dokter terbaik. Lakukan sesuatu!" teriak Ardi.
"Diam! Biarkan aku bekerja." Brian segera membuka peralatan dokternya setelah pelayan memberikannya. Dengan cekatan dia memeriksa ibunya.
Midas menatap tajam Brian. Dia mengepalkan kedua tangannya. 'Tidak! Bukan seperti itu cara dia memeriksa Nyonya.' Midas semakin mengatur getaran jantungnya yang berdetak hebat. Apalagi melihat wanita yang sudah membantunya hidup malah tidak bisa bernapas.
"Brian! Apa-apa'an ini?!" Ardi menarik lengan saudaranya. Dia sangat marah sambil menunjuk ibunya yang semakin melotot dan tidak bisa bernapas.
"Kau dokter terbaik. Apa ini hasilnya? Kau bisa memeriksa atau tidak!"
"Diam! Aku masih melakukan tugasku." Brian tak mau menyerah. Dia terus memeriksa ibunya.
'Seharusnya dia tidak menekan kanan jantungnya. Itu akan membuatnya malah mati!' Midas ingin melangkah maju dan menghentikan itu. Tapi, bagaimana bisa?
"Panggil ambulan!" Brian menyerah dan berdiri. Mendengar hal itu, Ardi segera memanggil ambulan.
"Kau mabuk dan tidak becus! Pergi dan bersihkan dirimu!" Ardi sangat marah. Dia mendorong Brian keluar kamar.
"Aku tidak bisa memeriksa karena tidak memiliki alat. Di rumah sakit aku akan menyembuhkan Ibu." Brian memegang kepalanya. Dia berjalan mondar-mandir kebingungan sampai ambulan datang.
Ardi berlari menuju kamar bersama Brian setelah para petugas masuk ke dalam. Namun, apa ini? Sang ibu memegang telapak tangan Midas dan tersenyum? Beliau dapat bernapas dengan sangat baik.
Mereka berdiri kaku. Tidak percaya dengan penglihatan mereka. Kakak adik itu sama-sama berjalan mendekati ranjang.
"Di mana pasien?" tanya salah satu petugas ambulan yang berada di belakang mereka.
"Aku baik-baik saja. Kalian pergilah," balas Nyonya Lupes dengan tersenyum ke arah beberapa petugas ambulan yang berdiri di samping pintu kamar.
Aneh. Nyonya seketika baik-baik saja. Bahkan, terlihat segar? Brian segera memeriksanya kembali. Midas pun menyingkir karena mendapat pelototan tajam dari Brian.
Ardi yang merasa bersalah, dalam diam mengantar para petugas ambulan untuk meninggalkan rumah. Tentu saja dia meminta maaf dan memberikan beberapa lembar uang.
"Lihatlah. Tentu saja aku memeriksanya dengan benar," ucap Brian tersenyum menatap Ardi yang kini terdiam saat kembali masuk ke dalam kamar. Dia malu karena sudah memaki kakaknya tadi.
"Aku dokter terbaik. Lihatlah. Ibu sangat sehat," lanjut Brian lalu pergi dari sana. Dia berjalan sambil memicingkan mata ke arah Ardi.
Brian terus berjalan dengan cepat dan berpikir, "Kenapa Ibu mendadak baik? Padahal aku tidak melakukan apa pun," gumamnya kemudian mengambil rokok dan menyalakannya saat sampai di halaman belakang rumah.
Di dalam kamar, Lupes semakin tersenyum melihat Ardi mendekat.
"Midas, biarkan ibuku beristirahat." Ardi mendekati ibunya dan tersenyum. "Jika Ibu membutuhkan sesuatu, tekan tombol pemanggil."
"Yah. Ibu memang membutuhkan istirahat." Wanita itu tersenyum saat Ardi mengecup keningnya. Dia pun melambai ke arah Midas, "kau sangat berantakan. Istirahat dan tidur."
"Baik, Nyonya."
Ketika Midas sudah selesai dengan pekerjaannya dan ingin ke kamar, Brian berteriak, "Midas! Aku mau bir dan rokok. Belikan aku seperti biasanya!"
"Tapi ini sudah tengah malam." Wajah Midas mengerut. Menunjukkan protes.
"Diam keparat! Aku akan memberimu lebih!" Brian melempar beberapa lembar uang tepat mengenai wajah Midas.
"Baiklah." Midas memunguti uang itu dan berjalan keluar dari kediaman.
"Dasar penjahat. Makan kotoran pun kau pantas."
Midas mendengar ejekan Brian. Dia hanya menghela napas. Tidak ada yang salah dengan ucapan itu. Dirinya memang orang tidak bermartabat dan miskin.
Midas segera berlari menuju supermarket yang buka 24 jam. Walaupun jauh dari lokasi kediaman, Midas harus melakukan perintah itu.
Dia bergegas menyeberang. Jalanan sangat sepi. Namun, tak lama seorang wanita memakai blazer hitam dan rok pendek berlari mendekatinya. Dia tidak sendiri. Ada beberapa pria garang berjas hitam di belakang wanita itu.
"Ah, syukurlah. Aku akhirnya bisa menemukanmu," ucap si wanita sambil menarik napas panjang.
"Dokter Midas. Waktunya Anda kembali."
Midas melirik si wanita yang biasa dia panggil Clara. Sangat tidak asing baginya. Sudah sangat lama dia meninggalkan masa lalunya dan lebih memilih menjadi lelaki rendahan untuk bertahan hidup."Untuk apa kau kembali? Pergi saja," balas Midas singkat dengan ekspresi dingin.Wanita itu menatap Midas. Matanya sangat tidak tenang. Dia tahu apa yang dialami Midas. Namun, dia juga harus melakukan tugasnya."Dokter Midas. Saya tahu penderitaan Dokter. Justru saya ke sini ingin menyelamatkan Dokter--""Diam!!" teriak Midas keras. Clara pun spontan membungkam ucapannya.Midas mendekatinya, kemudian memegang kedua pundak wanita itu. Dia menunjukkan tatapan yang dingin. Tersirat dendam di sana."Kalian sudah membuat aku menjadi manusia paling biadap di bumi ini. Sekarang, ingin aku kembali? Untuk apa?!" Midas melepaskan tangannya dengan kasar, lalu mengentakkan keras. "Pergilah, dan biarkan aku menjalani hidupku sendiri.""Baiklah ...," balas Clara. Dia mendekati Midas, "aku tahu siapa yang mem
"Ada apa ini?" Dokter itu menatap sambil mengernyit. "Kenapa kalian?" tanyanya lagi sambil menunjuk dua suster yang masih tak bisa berkata-kata.Ardi menggelengkan kepala untuk memusatkan pikirannya kembali. Dia sendiri juga kebingungan. Namun, yang terpenting ibunya selamat."Dokter. Ya, kamu dokter yang barusan dihubungi?" tanya Ardi. Dokter itu menganggukkan kepala dan masih tidak mengerti."Maafkan saya, Dokter," ucap salah satu suster. "Tadi Dokter datang dan kami melakukan operasi. Tapi, kenapa dokter mengatakan baru datang?""Hei, aku memang baru datang. Bagaimana mungkin aku bisa datang setelah kau menghubungiku? Rumahku lumayan jauh. Cepat katakan. Ada apa ini?""Ya, seperti yang dia katakan," sela Ardi. Dia mendekati dokter itu yang masih kebingungan. "Anda datang dan melakukan operasi."Dokter itu terdiam kaku. Dia tidak bisa menerima ini."Dokter gadungan sudah menggantikan aku. Dia tak mungkin melarikan diri bukan?" Dokter itu meninggalkan Ardi bersama dua suster yang mas
Mita semakin mengamati Midas. Lelaki itu terlihat sangat pucat saat Clara masuk dengan tubuh dipenuhi darah di atas brankar dorong.'Clara, apa yang kau lakukan?'Midas memegang kepalanya. Sangat panik. Dia mengikuti para dokter dan suster masuk ke dalam ruang operasi. Tentu saja dia tidak akan pernah masuk ke dalam, karena suster menahannya. Midas hanya bisa menunggu di luar dan bersembunyi."Kenapa kau?" tanya Mita mengejutkan Midas.Mulut Midas masih tertutup rapat. Dia tidak akan pernah mengatakan apa pun. Walaupun Mita semakin menatap tajam dan mendekatinya."Apa kau mengenal Clara?" tanyanya kembali dengan kedua alis mengerut dalam. Midas masih saja bergeming kaku. "Sudah jelas kau menyebutkan namanya dengan keras.""Aku harus pulang. Aku tidak mengenal Clara," balas Midas menunduk. Dia bergegas untuk pergi dari sana. Langkah itu terhenti karena Mita menahan lengannya."Ke mana kau selama ini, Midas? Kau meninggalkanku begitu saja hampir 10 tahun. Lalu, kau kembali sebagai narap
Midas menarik lengan Ardi dan menggelengkan kepala. Dia tidak mau mencari masalah dengan Brian."Hahaha. Baiklah, jika dia bisa mengalahkan Tomi, aku akan menjadi pelayan seumur hidupnya," balas Brian sambil tertawa dan berkacak pinggang."Ah, aku tidak sabar melihatnya." Ardi kembali menepuk pundak kanan kakaknya. Lalu mengajak Midas pergi dari sana.Midas segera mengikuti Ardi dan masuk ke dalam mobil. Melihat perlakuan Brian, akhirnya Midas memantapkan hatinya untuk kembali.Semalaman, Midas semakin tidak tenang. Waktu sangat dekat, dan dia harus mengungkap identitasnya. Apalagi dia akan bekerja dengan Mita. Wanita yang dia tinggalkan begitu saja."Mita, maafkan aku," gumamnya dan terlelap.Pagi mendadak datang. Midas mendadak terbangun. Dia mendengar ketukan pintu. Dengan cepat dia membukanya."Bangun pemalas!" Tamparan kembali dia dapatkan dari Brian. "Apa kau lupa aku berulang tahun hari ini? Ah, kenapa aku berbicara dengan lelaki bodoh seperti dirimu. Cepat bantu semua pelayan
Seperti biasanya, pesta berakhir dengan sangat berantakan. Brian mendadak terbangun dari kursi sofa. Dia berjalan sempoyongan ketika tanpa sadar hari sudah memasuki pagi hari. Dia terbangun karena ponselnya berdering."Halo."(Apa kau sudah gila? Jam berapa ini? Apa kau lupa kalau hari ini ada dokter dari lulusan universitas terbaik negara J akan datang? Dokter yang sudah menyelamatkan anak gadis kepala pemerintahan. Cepat datang!)Brian tak percaya dirinya akan sangat berantakan. Teriakan Tomi membuatnya tersadar."Midas!" teriaknya keras. "Akan aku bunuh dia! Midas!" Brian kembali terjatuh di atas sofa. Tubuhnya masih lemas akibat alkohol."Dia sudah pergi," ucap Ardi mengejutkannya."Apa maksudmu?" Brian berusaha membuka kedua matanya."Dia sudah pergi dan memang itu yang harus dia lakukan. Dari pada di sini mendapatkan kemarahanmu. Hmm, sebaiknya kau cepat pergi ke rumah sakit. Apa kau tidak mau tahu siapa dokter hebat itu?"Ardi tersenyum melihat Brian sangat panik dan berlari ke
PLAK!!Tamparan keras melayang dari tangan kanan Alma ke pipi Midas. Spontan semua orang terkejut dan melotot tajam melihat itu.Midas, lelaki paling pintar dan selalu mendapatkan pujian dari semua guru ketika bersekolah. Ayahnya bernama Leonidas. Dokter sangat terkenal, mendapatkan julukan sang Legenda. Ibu Midas kala itu meninggal karena sakit saat melahirkan Midas. Leonidas membesarkan Midas seorang diri.Midas mewarisi kepintaran ayahnya. Membuat dia sangat populer di sekolah. Mita yang saat itu gadis tercantik dan terpintar membuatnya terpana. Mereka menjalin kasih dan membuat iri semua siswa. Namun, ketika Midas lulus SMA, dia mendadak menuju ke negara J karena perintah ayahnya.Kepergian Midas membuat Mita sangat frustasi. Perusahaan ayah Mita yang akan mengalami kebangkrutan, membuat Mita harus mau dijodohkan dengan Tomi. Keluarga Tomi sangat kaya. Ayahnya Wakil Kepala rumah sakit di Hospital International dan memiliki beberapa restaurant terkenal di kota.Rumah sakit Hospital,
Seorang wanita tersenyum ke arahnya. Menghentikan pembicaraan serius yang sebelumnya dia lakukan dengan Alma.Dengan sangat seksi, wanita itu berjalan ke arah Midas yang masih bergeming kaku dengan keringat dingin.‘Dia yang berada di sana saat aku melihat ayahku mati. Aku tidak salah lihat. Dia adalah wanita itu.’ Midas mengepalkan kedua tangannya. Senyuman sinis ketika wanita itu menatapnya sebelum dia pingsan delapan tahun lalu, selalu membayangi pikirannya. Clara memang benar. Kembali ke rumah sakit itu dan akan menemukan jawabannya. ‘Aku … tidak akan pernah melepaskannya. Tidak akan pernah!’“Dokter terbaik di Negara J. Lulusan terbaik dan berhasil menyembuhkan penyakit langka. Hmm satu lagi–,” ucapnya terhenti sejenak. Kedua mata hitam berlensa abu wanita itu semakin menatap tajam Midas. “Anak Dokter Leonidas yang sangat hebat. Sayangnya … sang legenda sudah mati,” imbuhnya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.Midas masih menatapnya tajam. Tubuhnya bergetar. Seketik
Midas tersenyum sambil berjalan mendekati pasien yang sudah terbaring dalam keadaan tertidur. “Apa kau yang menangani pasien ini, Mita?” tanya Midas lalu meletakkan koper hitam berisi semua alat penting untuk membedah pasien yang sudah dia rawat dan steril. Semua alat warisan Leonidas yang selalu dia simpan. Awalnya Midas menganggap semua alat itu hilang ketika dia berada di penjara. Tapi, saat dia keluar dari rumah Brian dan sampai di apartemen mewah yang sudah disiapkan Clara, dia sangat senang melihat koper itu sudah berada di atas meja dalam keadaan sangat baik. Ternyata Clara merawatnya selama ini.Saat itu para pengawal utusan Clara menjemput Midas ketika dia berhasil keluar dari rumah Brian diam-diam. Mereka membawa Midas menuju tempat tinggalnya yang baru. Apartemen kelas atas sangat eksklusif yang berada di lantai paling atas. Di sana, Midas merenung sepanjang malam untuk menunggu hari esok. Hari sangat penting dalam hidupnya untuk memulai pembalasan dendam dan asal mula kej