Home / Young Adult / Senandika / 8 ; Perpustakaan

Share

8 ; Perpustakaan

Author: dyin
last update Last Updated: 2021-08-03 03:27:43

Shera  : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak?

Anissa : Ngga deh panas hari ini.

Mahesa : Nggak dulu, Ra.

Hayden : Skip, gak suka belajar.

Julia    : Gue juga nggak yaaa.

Felix    : Gue nggak.

Regar  : Gue juga.

Raisha : Nggak, mau nonton.

Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah.

Jevano : Gue mau.

Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keesokan hari, dimana teman-temannya akan meledek bahwa ia menyukai Shera. Padahal tidak seperti itu.

Shera : Serius?

Shera : Okay, Jevan. Ketemuan di perpus, ya.

Notifikasi dari Shera kembali muncul di layar ponselnya. Melihat chat yang dikirim Shera, ide gila muncul di kepalanya begitu saja, tanpa komando. Jevan segera membuka chat pribadi dan mengirimkan sebuah pesan. Setelah itu ia bergegas menyiapkan buku dan alat tulis, berpakaian, lalu mengambil kunci motornya, dan melajukan motornya setelah pamit kepada kedua orang tuanya.

Jevano : Pergi bareng gue, ya?

Jevano : Gue jemput sekarang.

Shera membuka helm miliknya sambil membenarkan rambutnya yang digerai itu berantakan akibat terpaan angin selama berada di jalan. Jevan memutar spionnya, memudahkan Shera untuk memperbaiki penampilannya. Saat ini keduanya sedang berada di parkiran perpustakaan kota, tempat yang sangat mendukung untuk belajar dan fokus.

Setelah selesai dengan urusannya, Jevan mengajak Shera untuk masuk. Sesampainya di ruangan baca yang dilengkapi dengan kursi serta meja, penyejuk ruangan, dan wifi, Shera segera mengambil tempat yang berada di samping jendela, spot kesukaannya ketika belajar di perpustakaan, sambil melihat kendaraan yang berlalu lalang.

“Lo mau ngerjain sub tes yang mana dulu, Ra?” tanya Jevan yang duduk di hadapannya, sambil membuka buku tebalnya. Buku itu terlihat lusuh dan semakin tebal, tanda sering dibuka serta dikerjakan.

“Sub tes yang paling bikin bingung, PBM,” Shera mengeluarkan beberapa bukunya. Yang berukuran sedang, besar, hingga kecil yang isinya ringkasan materi. Ia juga mengeluarkan buku catatannya.

“Bukannya PU?”

“PU yang main nalar, kalau PBM harus teliti terus materinya juga gak sedikit.”

“Gue PK deh kalau gitu, lo udah belajar sampai mana?”

Shera membungkam mulutnya, tersenyum kecut, lalu menggeleng. “Belum, nggak suka menghitung. Mual lihat soalnya.”

Jevan mengangguk mengerti, tangannya mulai mencoret soal demi soal yang belum ia kerjakan. Shera mengamati aktifitas Jevan yang sudah larut dengan aktifitasnya. Cowok itu mengerjakan soal dengan tenang. Setelah berdekatan seperti ini dalam kondisi sadar, Shera baru menyadari bahwa Jevan tampan.

Hidung mancung, alis yang tidak terlalu tebal, rahang tegas, mata yang ikut tersenyum saat cowok itu tersenyum, serta kulitnya yang sawo matang. Pantas saja selama ini banyak adik kelas yang naksir pada Jevan, ternyata Jevan memang tampan. Entah kenapa Shera baru menyadarinya sekarang, mungkin karena efek sekelas dan sudah melihat tingkahnya bersama teman-temannya, membuat ketampanan Jevan tertutup.

Jevan menaikkan kepalanya, matanya beradu pada Shera yang tengah menatapnya sambil tersenyum dengan tangan sebagai tumpuan. Jevan sedikit salah tingkah, pipi dan rambutnya ia coba benarkan takut-takut ada yang sesuatu yang menempel. “Shera? Ada sesuatu ya di wajah gue? Kenapa diliatin?”

Shera segera sadar. Senyumnya tidak menghilang walau matanya melotot karena kaget. Cewek itu memiringkan kepalanya, mengalihkan pandangannya terhadap orang yang lagi serius bermain laptop di belakang Jevan. “Orang di belakang lo…nggak ngapa-ngapain.”

Setelahnya ia memainkan pulpen dengan tangannya, mulai menulis menyatat materi dan mengerjakan soal. Jevan mengerutkan dahinya bingung, tidak mungkin kan Shera dari tadi menatapnya sambil tersenyum? Jevan segera menggelengkan kepalanya, Shera yang tidak sengaja melihat itu tersenyum kecil.

“Ngomong-ngomong, lo udah ngisi grafik nilai yang kemarin dikasih Bu Nana?” tanya Shera mulai membuka percakapan dengan nada pelan.

“Baru nilai aja, kalau rata-rata sama PTN dan prodi belum gue isi.”

“Lo punya kampus impian?”

“Punya, sih. Tapi gak gue kejar soalnya gue tau gue gak bakal lolos.”

“Enak, dong. Gue malah gak punya sama sekali. Yang gue lihat cuma passing grade sama rasio ketetatan prodinya tiap tahun.”

“Sama sekali gak punya?”

“Nggak. Lo udah punya jurusan yang mau diambil?”

Jevan terdiam, cowok itu menghela nafasnya sedikit kasar. Shera yang melihat reaksi Jevan langsung mengerti bahwa ada yang tidak beres dari pemilihan jurusannya. "Udah. Tapi gue gak yakin bakal diizinin untuk daftar ulang kalau misalnya gue lolos."

Shera menganggukkan kepalanya mengerti, problemnya sekarang juga seperti itu. Ah, tidak, mungkin lebih parah karena ia tidak bisa memilih apa yang ia inginkan. "Lo mau ambil apa, Jev?"

"Dkv, desain interior, yang berhubungan dengan desain," saat ini mata Jevan tampak berbinar, cowok itu sangat bersemangat menjawab pertanyaan dari Shera mengenai jurusan yang akan ia pilih. "Lo sendiri gimana?"

Pertanyaan itu, pertanyaan yang sedikit ia hindari karena dirinya sama sekali tidak tahu. Ia hanya mengikuti perintah orang tuanya, tidak pernah memikirkan barang sedetik saja untuk keinginannya sendiri. "Nggak tau."

"Sebulan lagi pemeringkatan SNM, lo masih gak tau?" Jevan tidak terkejut, teman-temannya juga sama seperti Shera yang tidak tahu mau mengambil jurusan apa beserta kampusnya. Memang detik-detik mendekati SNM sangatlah sulit karena satu dan hal lainnya yang bikin ragu.

Shera mengangguk membenarkan sambil tersenyum miris. "Gue...cuma ngikutin pilihan dan apa yang mereka suruh aja."

Jevan hanya tersenyum kecut, setidaknya untuk saat ini ia masih merasa mereka sedang dihadapkan oleh situasi yang sama. “Apa yang bakal lo lakuin kalau masuk pemeringkatan SNM?”

“Ya…bakal tetap belajar? Nggak banyak yang bisa gue lakuin selain belajar, makanya gue iri tiap lihat Lia, Chaca, Raisha, dan Mahesa yang nggak pernah pusing dan nangis karena nggak ngerti materi, kejenuhan belajar, atau ketinggalan belajar sehari.”

Kali ini, Jevan kembali mendekatkan badannya saat mendengar kata nangis keluar dari mulut Shera. Seberapa rapuhnya cewek ini sampai sering menangis, namun tetap berusaha untuk terlihat baik-baik saja. “Lo nangis?”

Shera mengangguk sambil menyatat materi. “Emang lo nggak pernah nangis kalau nggak ngerti materi?”

“Nggak, kalau gak ngerti ya gue tinggalin.”

Shera mendengus, tersenyum dengan wajah muram sambil tetap menyatat. “Gue gak boleh ninggalin satu materi, dituntut mereka harus sempurna. Makanya gue selalu nangis kalau ada materi yang bener-bener gak bisa dikerjain.”

“You okay?”

“Okay, kok. Gue baru stress, belum nyampe tahap gila.”

Jevan menundukkan wajahnya, memainkan pulpen di atas buku sambil tersenyum pahit. “I feel it too. I feel like, I became a zombie.”

Shera menghela nafasnya panjang. Entah kenapa suasana di antara mereka yang tadinya tegang dengan secepat kilat berubah menjadi sendu. Ia merasa bersalah karena membuat Jevan mengakui tentang kondisinya, terlebih lagi Shera tidak bertanya. “Proses menuju dunia yang sebenarnya itu, berat, ya.”

Jevan mengangguk, membenarkan ucapan Shera.

“Ra?"

"Hmm?"

"Mau ke bioskop bareng gue, sekarang?"

Shera mengerjapkan matanya berkali-kali, tidak percaya dengan apa yang barusan keluar dari mulut Jevan. Anggap Shera terlalu pede, tapi Jevan tidak berniat untuk mengajaknya kencan, bukan?

Related chapters

  • Senandika   9 ; Hujan

    Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera

    Last Updated : 2021-10-08
  • Senandika   10 ; Rahasia dan Jebakan

    “Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu

    Last Updated : 2021-10-14
  • Senandika   11 ; Sakit

    Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d

    Last Updated : 2021-10-29
  • Senandika   1 ; Luka

    Malam telah tiba. Waktu bagi semua orang untuk beristirahat entah itu untuk menonton film favorite, bersenda gurau bersama keluarga, makan bersama kerabat, atau memejamkan mata melepaskan penat dari hari panjang yang telah dilalui.Begitu juga dengan Shera, seharusnya gadis itu tengah menonton drama dan series kesukaannya. Tetapi karena paksaan dan tekanan yang tidak kunjung berhenti, gadis itu terpaksa meninggalkan hal kesukaannya demi berkutat di depan buku-buku serta kumpulan soal dan pembahasan UTBK yang akan diadakan 5 bulan lagi.Sejak dirinya dipaksa secara mati-matian oleh kedua orangtuanya untuk mengikuti jejak kakaknya yang lulusan universitas negeri nomor satu di Indonesia, Shera kehilangan semua mimpi, cita-cita, dan angan-angannya yang sudah ia rangkai sedemikian rupa saat masih duduk di Sekolah Dasar.Ia tidak punya lagi mimpi, tidak lagi punya tujuan, semua yang ia lakukan hanyalah mengikuti paksaan ayah dan ibunya —seolah-olah ia adal

    Last Updated : 2021-07-27
  • Senandika   2 ; Kabar Setelah Malam itu

    "Ketua kelas?""Jevan, Bu!" teriak Haikal dari bangku paling belakang yang merupakan teman sebangku Jevan. Diliriknya Haikal dengan tatapan sinis karena cowok itu lagi makan cireng yang tadi ia beli di kantin dengan alasan ke toilet.Haikal hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum bangga seolah mengatakan, "Keren kan gue."Buru-buru Jevan menelan cirengnya sebelum ketahuan oleh Bu Dara, guru sejarah wajib yang super galak. "Kenapa, Bu?""Kamu tau Shera kemana? Ibu lihat di absensi sudah 3 hari alpa."'Loh, udah tiga hari?' Jevan menolehkan kepalanya ke bangku Anissa, teman sebangkunya Shera sambil meminta bantuan mengenai info kemana perginya cewek itu melalui mimik wajahnya. Sayangnya Anissa tengah mengobrol dengan Raisha.Jevan menghela nafas, "Kurang tau, Bu.""Tidak ada info dari wali kelas?""Ti—""Sakit, Bu!" jawab Anissa tiba-tiba membuat seisi kelas memandangnya takut. Takut Bu Dara akan marah karena

    Last Updated : 2021-07-28
  • Senandika   3 ; Hilang dan Hadir

    Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat."Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan."Anak pemilik rumahnya, Bu.""Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi."Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal

    Last Updated : 2021-07-28
  • Senandika   4 ; Satu Kelompok

    "Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini."Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah."Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain."Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan."Apa enaknya? Kan sama-sama kerja.""Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak

    Last Updated : 2021-07-30
  • Senandika   5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

    Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakanlightloose jeansdengan atasan kaos putih dibalutouterrajut berwarnacream,tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering."Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya."Keluar sebentar," jawab Shera gugup."Habis bunuh diri kamu mau main?"Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara."Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera."Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambi

    Last Updated : 2021-07-30

Latest chapter

  • Senandika   11 ; Sakit

    Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d

  • Senandika   10 ; Rahasia dan Jebakan

    “Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu

  • Senandika   9 ; Hujan

    Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera

  • Senandika   8 ; Perpustakaan

    Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso

  • Senandika   7 ; Percakapan di Bawah Pohon

    Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s

  • Senandika   6 ; Sore dan Masalah Jevan

    Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu. "Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun. "Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita. "Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, n

  • Senandika   5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

    Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakanlightloose jeansdengan atasan kaos putih dibalutouterrajut berwarnacream,tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering."Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya."Keluar sebentar," jawab Shera gugup."Habis bunuh diri kamu mau main?"Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara."Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera."Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambi

  • Senandika   4 ; Satu Kelompok

    "Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini."Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah."Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain."Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan."Apa enaknya? Kan sama-sama kerja.""Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak

  • Senandika   3 ; Hilang dan Hadir

    Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat."Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan."Anak pemilik rumahnya, Bu.""Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi."Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal

DMCA.com Protection Status