Home / Young Adult / Senandika / 4 ; Satu Kelompok

Share

4 ; Satu Kelompok

Author: dyin
last update Last Updated: 2021-07-30 16:14:52

"Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini.

"Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah.

"Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.

Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain.

"Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan.

"Apa enaknya? Kan sama-sama kerja."

"Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak makanan."

"Dasar manusia kapitalis," sahut Regar dari bangku depan, tak lupa dengan tatapan sinisnya. Shera tersenyum mendengarnya, ia dan Regar melakukan tos ria dengan pelan.

"Ra, lo beneran healing?" tanya Regar penasaran. Kini badannya ia miringkan demi bisa mengobrol dengan Shera. Untung saja ia sekelompok dengan Shera dan Bu Sarah menyuruh mereka untuk bergabung dengan kelompoknya.

"Iya, beneran."

"Banyak gaya lu healing, absen lo tuh apa kabar," Hayden datang dengan tiba-tiba bersama Jevan. Cowok itu langsung menduduki kursi Chaca dan entah sejak kapan Chaca pindah ke tempatnya Felix.

Shera memukul kepala Hayden dengan brutal. Hayden dan Felix benar-benar kombinasi yang sempurna untuk membuat orang kesal, untung saja mereka tidak satu kelompok.

Lia datang sambil menggeret kursinya, mengambil tempat di samping Jevan. Awalnya ia ingin duduk di samping Regar, tapi Mahesa sudah datang duluan. "Ntar kalau lo mau ngilang lagi, sehari sebelumnya jangan lupa bikin surat terus titipin ke gue, ya. Gue kelabakan bikinin absen lo."

Shera membalas dengan senyuman bersalah, cewek itu mengambil snack pemberian Mahesa kepada Lia. "Sorry ya."

Saat itu, ia tidak sengaja menatap Jevan yang tengah menatapnya juga. Tiba-tiba atmosfer canggung menyelimuti mereka berdua di kala yang lainnya sibuk berinteraksi satu sama lain. Sekitar lima detik, Shera memutuskan tatapan itu dengan mengobrol bareng Hayden.

"Semuanya perhatikan papan tulis!" seru Bu Sarah sambil menepuk tangannya membuat seisi kelas menjadi diam. "Materi yang ibu berikan untuk tugas kelompok kali ini adalah, struktur keruangan kota. Di dalam struktur ini dibagi menjadi 5 teori, bisa kalian lihat di masing-masing kelompok sudah ibu berikan teorinya."

"Kita dapet apa?" tanya Mahesa penasaran karena dirinya membelakangi papan tulis. Cowok itu juga tidak tertarik, bisa dilihat dari tangannya yang menggeledah kotak pensil Lia.

"Teori Konsektoral Tipe Amerika Latin," jawab Shera disambut dengan sorakan kagum dari Hayden. Tentu saja dibalas dengan sinisian.

"Tugasnya ibu beri waktu seminggu. Masing-masing teori itu kalian jabarkan dalam bentuk PPT. Ingat ya, ambil intinya saja agar mudah dimengerti, paham?"

"Paham, bu."

Bersamaan dengan jawaban serentak itu, bel pulang akhirnya berbunyi dengan nyaring. Membuat siswa-siswi yang sebelumnya merasa jenuh dengan materi di jam pelajaran terakhir, menjadi semangat lagi. Bahkan ada yang membereskan barang-barangnya saat Bu Sarah masih belum selesai memberikan instruktur. Setelah memberikan salam, kelas dibubarkan dan para murid bergerombolan keluar dari kelas seolah besok adalah hari libur.

"Kerjain dimana, nih?" tanya Lia sebelum keluar dari kelas.

Hayden, Regar, Mahesa, Shera, dan Jevan saling pandang. Tidak tahu ingin menjawab dimana karena mereka belum sempat diskusi sudah didahuluin oleh bel pulang.

"Di rumah Jevan aja, banyak makanan!" seru Haikal dari depan pintu kelas. Mereka berenam saling lihat, ada Evan, Bumi, Haikal, Yuan dan Jendra di depan sana sedang berdiri menunggu anak-anak cowok seperti kumpulan gangster.

Shera bergidik ngeri, padahal mereka bisa saja tidak berdiri bersamaan seperti itu. Tapi untunglah ada Bumi. Manusia kalem setelah Mahesa ditambah visual yang menenangkan.

"Gimana, Van?" senggol Regar membuat Jevan mengangguk.

"Hari Sabtu sama Minggu, ya. Pagi," tawar Jevan yang diangguki oleh Regar, Mahesa, dan Shera.

"Kalau Minggu pagi, gue sama Lia datengnya telat," mereka berempat melihat Lia dan Hayden, menyadari bahwa runitas keduanya di Minggu pagi adalah ke Gereja.

"Kelarnya jam berapa?" tanya Shera.

"12 kalau gak ada kegiatan tambahan," jawab Lia diangguki Hayden. Setelah itu ia pamit duluan karena Yuan di depan pintu sana sudah melambaikan tangannya. Ah, mereka berdua berpacaran.

"Sepakat, ya? Gue cabut dulu kalau gitu," pamit Regar sambil menarik Jevan meninggalkan kelas bersama Evan, Haikal, dan Jendra. Disusul dengan yang lainnya.

...

Sore ini, sepulangnya dari sekolah, Jevan beserta teman-temannya memutuskan untuk singgah menikmati kopi, semangkuk Indomie, atau bermain game di warung kopi Kang Hasung, tempat langganan mereka yang terletak di jalan belakang sekolah. Warung kopi ini benar-benar setiap Senin-Jumat selalu dikunjungi Jevan dan teman-temannya ketika pulang sekolah.

"Oi, Jen. Siapa cewe lo sekarang?" Jendra yang lagi menyeruput kopi hitam pahitnya tersedak mendengar pertanyaan tiba-tiba Chandra serta kehadiran cowok dengan suara rendah itu.

"Rahasia," jawab Jendra sambil menyeruput kopinya. Cowok itu benar ada pacar, tapi tidak ingin orang-orang tahu tentang hubungannya.

"Dih, jangan-jangan pacar lo si Jevan," celetuk Felix iseng. Cowok itu hanya mengangkat kedua alisnya kala mendapat tatapan sinis dari Jevan.

"Sinting, gue masih normal," Jendra menjawab dengan sedikit kesal.

Sedangkan Jevan hanya menghisap rokoknya dengan tenang. Tidak tertarik mengobrol dengan yang lainnya, pikirannya sekarang dipenuhi dengan tanda tanya mengenai UTBK, penentangan orang tuanya, dan kondisi Shera. 'Sial, bisa-bisanya,' gumam Jevan.

"Woi, Jevan!" teriak Regar tepat di depan wajahnya.

Jevan melemparkan tatapan sinisnya pada Regar, cowok bergingsul itu justru tidak peduli. Hayden kembali bertanya, "Futsal kaga, malem ini? Gue booking kalau iya."

"Gas, lah. Udah lama nih kaki gue nganggur gak nendang bola," Evan menggerakkan kakinya seolah-olah ada bola di depannya. Sekadar info, Evan adalah anak yang ambis, bahkan jika ada yang bilang bahwa Jevan sudah paling ambis, Evan lebih daripada itu. Makanya Evan sulit untuk diajak ngumpul.

"Fix nih?" Hayden memastikan jawaban sebelum menghubungi lapangan futsal langganan mereka. Haikal, Felix, Regar, Jendra, Evan, Chandra, dan Bumi—yang sedari tadi diam, menganggukkan kepala tanda setuju.

"Lo gimana, Van?" tanya Bumi. Cowok itu menyikut lengan Jevan, membawanya kembali ke alam sadar.

Jevan menekan ujung rokoknya pada asbak, ia menggeleng lemah. "Gak dulu. Nyokap gue malam ini sendiri di rumah."

Atas penolakan yang tiba-tiba disertai alasan itu, Jevan mendapat tatapan mencurigakan dari teman-temannya.

"Ngedate sama cewe lo?" Felix memicingkan matanya curiga.

"Jevan jomblo," ujar Regar santai.

"Bukannya sama Jendra?" tanya Chandra yang detik itu juga dilempari Jevan sebungkus rokok yang isinya masih banyak, mengenai tepat kepalanya.

"Gue masih suka sama cewe ya, anjing," Jevan menggeram tidak suka.

"Jadi lo ikut kaga, Van?" tanya Hayden sekali lagi, memastikan orang-orang yang sudah pasti ikut.

"Nggak. Next time aja deh gue ikut, bareng gengnya Yuan"

"Sparing?"

"Yoi. Latihan deh malem ini lo semua, biar gak kalah pas sparing," cowok itu mengambil kunci motornya berserta rokok yang tergeletak di atas meja. Jevan memakai jaket dan ranselnya, kemudian membayar minumannya ke Kang Hasung.

"Tumben jam segini maneh udah pulang," ucap Kang Hasung heran sambil memberikan kembalian.

"Keburu maghrib. Udah ya, duluan, Kang."

"Yoi, hati-hati, Van!"

Jevan keluar dari warkop Kang Hasung setelah berpamitan dengan teman-temannya. Ia menaiki motornya lalu memakai helm, dan saat hendak menancap gas, ponselnya bergetar melihatkan pesan seseorang melalui notifikasi yang muncul di layar kunci.

Bunda : Pulang sekarang kalau gak mau buku-buku kamu dibakar Ayahmu.

Jevan buru-buru menyimpan ponselnya di ransel, cowok itu menancap gas dengan kecepatan tinggi demi menyelamatkan buku-buku pedoman menuju masa depan dan universitas impiannya. Jika memang benar dibakar, Jovan tidak tahu lagi harus bereaksi seperti apa terhadap apa yang telah dilakukan Ayahnya.

Related chapters

  • Senandika   5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

    Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakanlightloose jeansdengan atasan kaos putih dibalutouterrajut berwarnacream,tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering."Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya."Keluar sebentar," jawab Shera gugup."Habis bunuh diri kamu mau main?"Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara."Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera."Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambi

    Last Updated : 2021-07-30
  • Senandika   6 ; Sore dan Masalah Jevan

    Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu. "Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun. "Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita. "Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, n

    Last Updated : 2021-07-30
  • Senandika   7 ; Percakapan di Bawah Pohon

    Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s

    Last Updated : 2021-08-02
  • Senandika   8 ; Perpustakaan

    Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso

    Last Updated : 2021-08-03
  • Senandika   9 ; Hujan

    Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera

    Last Updated : 2021-10-08
  • Senandika   10 ; Rahasia dan Jebakan

    “Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu

    Last Updated : 2021-10-14
  • Senandika   11 ; Sakit

    Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d

    Last Updated : 2021-10-29
  • Senandika   1 ; Luka

    Malam telah tiba. Waktu bagi semua orang untuk beristirahat entah itu untuk menonton film favorite, bersenda gurau bersama keluarga, makan bersama kerabat, atau memejamkan mata melepaskan penat dari hari panjang yang telah dilalui.Begitu juga dengan Shera, seharusnya gadis itu tengah menonton drama dan series kesukaannya. Tetapi karena paksaan dan tekanan yang tidak kunjung berhenti, gadis itu terpaksa meninggalkan hal kesukaannya demi berkutat di depan buku-buku serta kumpulan soal dan pembahasan UTBK yang akan diadakan 5 bulan lagi.Sejak dirinya dipaksa secara mati-matian oleh kedua orangtuanya untuk mengikuti jejak kakaknya yang lulusan universitas negeri nomor satu di Indonesia, Shera kehilangan semua mimpi, cita-cita, dan angan-angannya yang sudah ia rangkai sedemikian rupa saat masih duduk di Sekolah Dasar.Ia tidak punya lagi mimpi, tidak lagi punya tujuan, semua yang ia lakukan hanyalah mengikuti paksaan ayah dan ibunya —seolah-olah ia adal

    Last Updated : 2021-07-27

Latest chapter

  • Senandika   11 ; Sakit

    Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d

  • Senandika   10 ; Rahasia dan Jebakan

    “Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu

  • Senandika   9 ; Hujan

    Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera

  • Senandika   8 ; Perpustakaan

    Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso

  • Senandika   7 ; Percakapan di Bawah Pohon

    Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s

  • Senandika   6 ; Sore dan Masalah Jevan

    Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu. "Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun. "Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita. "Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, n

  • Senandika   5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

    Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakanlightloose jeansdengan atasan kaos putih dibalutouterrajut berwarnacream,tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering."Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya."Keluar sebentar," jawab Shera gugup."Habis bunuh diri kamu mau main?"Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara."Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera."Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambi

  • Senandika   4 ; Satu Kelompok

    "Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini."Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah."Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain."Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan."Apa enaknya? Kan sama-sama kerja.""Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak

  • Senandika   3 ; Hilang dan Hadir

    Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat."Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan."Anak pemilik rumahnya, Bu.""Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi."Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal

DMCA.com Protection Status