Home / Young Adult / Senandika / 3 ; Hilang dan Hadir

Share

3 ; Hilang dan Hadir

Author: dyin
last update Last Updated: 2021-07-28 17:48:05

Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat.

"Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan.

"Anak pemilik rumahnya, Bu."

"Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”

"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi.

"Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal yang ia ingat.

"Tapi, kamu mau ngapain ya?"

"Oh, itu... Saya ketua kelasnya Shera. Udah 3 hari Shera alpha, jadi saya mutusin buat kesini nyari kabarnya," jawab Jevan dengan senormal mungkin agar tidak dicurigai lagi. Tidak nyaman ditatap penuh selidik.

"Maaf Bu, tapi apa ibu punya nomor salah satu anggota keluarganya?"

"Punya, Nak. Tapi rumah saya masih jauh di ujung sana. Kalau kamu mau nunggu, saya ambilin," tawar wanita itu yang tentu saja langsung di tolak oleh Jevan. Masa orang tua disuruh bulak-balik, mana jalan kaki.

"Udah Bu, gak apa-apa. Lain kali aja saya kesini lagi."

Wanita itu tersenyum, menggendong anjingnya yang tadi ia pegang melalui kalung di tangannya. "Kalau gitu saya duluan, ya.”

"Hati-hati ya, Bu."

Wanita itu balas dengan tersenyum, lalu beliau dan anjing yang digendongannya pergi dengan langkah santai. Jevan melihat punggung wanita itu yang perlahan menjauh, tersenyum getir. "Kapan kira-kira gue bisa santai kaya Ibu itu?"

Tak lama saku celananya bergetar, tanda ponselnya masuk sebuah notifikasi. Ia merogoh saku celananya dan mengambil ponsel.

Lia          : Gimana, van? Udah dapet kabarnya?

Chaca     : Ada di rumah nggak si Shera?

Mahesa : Nggak ada ya, Van?

Raisha   : Serius beneran nggak ada?!

Haikal   : Cabut aja lah kalau emang gak ada

Jevano : Iya nggak ada, udah empat hari katanya rumahnya kosong

Hayden : Pindah apa gimana lo Ra @Shera

Jevano : Liat aja hari Senin gimana

Regar    : Kita udah mau lulus, yakali pindah

Mahesa : Liburan kali

Haikal   : Liburan mah harusnya izin

Felix      : Van sini nyusul lah, warkopnya Hasung

Felix      : Mabar kita

Jevano : Otw

Jevan mengunci layar ponselnya. Cowok itu kembali memakai helm, mengaitkan kedua kaitan sambil berpikir kemana perginya Shera yang tiba-tiba menghilang. Sebenarnya untuk seorang Shera yang sering bolos sih wajar aja sehari atau dua hari tidak ada kabar, tapi ini sampai tiga hari yang berarti benar-benar ada yang tidak beres. Nggak mungkin beneran pindah, kan?

Setelah diam cukup lama di depan pagar rumah Shera, Jevan akhirnya melajukan motornya menuju warkop Kang Hasung.

...

Hari Senin, hari pertama bekerja, sekolah, dan memulai aktivitas lain sehabis libur selama dua hari. Khusus untuk para siswa, mereka cukup membenci Senin karena harus upacara. Tapi untuk hari ini, Dewi Fortuna sedang berpihak kepada mereka. Hujan turun dari jam 6 pagi dengan sangat deras, bahkan parkiran yang biasanya penuh dengan kendaraan roda dua, hari ini hanya terlihat beberapa.

Shera pagi ini diantar oleh kakaknya, Rosie. Tanpa mengucapkan apa-apa, Syiera langsung keluar dari mobil. Ia hanya berjalan lurus menuju kelasnya, tidak peduli kakaknya itu masih menatapnya sendu dari dalam mobil. Setelah agak jauh, mobil itu meninggalkan lapangan sekolah.

"Kenapa harus hujan lagi, sih. Gue jadi terpaksa minum obat pagi-pagi," Shera menggerutu. Cuaca hari ini sangat dingin dengan hujan yang deras, langit mendung, dan angin yang bertiup kencang.

Tapi ada untungnya juga karena Shera tidak perlu repot-repot menjelaskan kepada teman-temannya mengapa ia memakai kardigan —jika tidak hujan— demi menutupi perban di tangannya.

"Shera!" Suara teriakan dari arah belakang membuat Shera menghentikan langkahnya. Ia berbalik, mendapati Mahesa tengah berlari ke arahnya dengan senyum lebar di wajahnya. 

Kantong plastik hitam diserahkan cowok itu kepada Shera, saat dilihat isinya berbagai macam snack yang biasa ia beli kalau ke kantin. "Tumben banget lo traktirin gue ginian."

"Btw lo kemana dah, tiga hari gak ada kabar?"

"Healing."

"Dih? Kemana?"

"Gunung."

"Mau jadi anak indie ya lo, pulang-pulang tau segalanya tentang dunia."

"Emang kenapa, sih? Gue kan udah sering gak masuk tanpa kabar."

"Tapi kan nggak pernah lebih dari dua hari. Lia sama Jevan sampe kesusahan nyari alasan buat bikin keterangan lo.”

"Tinggal bikin alpa doang."

"Nah itu, masalahnya hari Jumat si Chaca nipu Bu Dara kalau lo sakit."

“Seriusan lo? Terus gimana?”

"Diinterogasi dah tuh si Jevan, Lia, ama Chaca. Bahkan Jevan sampe datengin rumah lo."

Langkah Shera berhenti tepat di depan kelasnya, 12 IPS 3. Mahesa juga terpaksa berhenti ka. "Jevan?"

"Iya. Hari Sabtu doi ke rumah lo. Kata tetangga lo, rumah lo kosong berhari-hari."

"Tetangga gue tau gue kemana?" Shera sangat cemas dan takut sekarang. Jangan sampai teman-temannya tahu kalau selama itu ia dirawat di rumah sakit pasca percobaan bunuh diri.

"Kurang tau, coba lo tanyain ke Jevan," Kemudian matanya melihat siluet Jevan dari jauh sedang berjalan sendiri menuju kelas mereka. "Tuh si Jevan. Samperin dah lo. Bye."

"Shera? Lo udah kelar menghilangnya? Lo gak pindah, kan?" Jevan sangat antusias, lega sekaligus jengkel saat melihat Shera berdiri di depannya. Sudah capek-capek datang ke rumahnya, mengira ia pindah, ternyata hari ini malah muncul.

“Pindah kemana? Gue di sini aja, tuh.”

“Syukurlah. Gue kira lo pindah diem-diem."

“Yakali udah mau lulus gini malah pindah."

“Mana tau orangtua lo pindah tugas dinas."

Shera mendecak kesal kemudian menggeleng. "Orangtua gue bukan PNS. Btw, lo ke rumah gue kemarin?"

"Iya. Lo gak ada tapi."

"Lo tau gue kemana?" pertanyaan Shera sekarang membuat Jevan mengerutkan keningnya bingung tidak mengerti. Jelas dong tidak tahu, jika tahu mungkin sudah disusul hari itu juga.

“Maksud lo?”

“Yaa…abis dari rumah gue, lo tau gue kemana? Dapet kabar dari tetangga gue mungkin.”

“Gue gak tau, makanya langsung pulang."

"Beneran?" Shera menatap Jevan serius. Meminta jawaban yang sebenarnya dari cowok itu karena ia sekarang benar-benar takut. Shera benar-benar tidak mau teman-temannya tahu tentang kondisinya.

Jevan mengernyitkan dahinya. Benar-benar tidak mengerti mengapa Shera terlihat cemas begitu. "Iya, gak tau. Tetangga lo juga gak tau lo kemana."

Setelah menjawab dengan yang sebenar-benarnya, Shera menghela nafas dengan lega, ekspresinya kembali tenang seperti biasanya. Benar-benar perubahan yang sangat cepat.

Shera mengambil salah satu snack dari kantong pemberian Mahesa, memberi Jevan sebungkus Bengbeng. "Makasih, Van. Gue harap lo beneran jujur jawabnya."

Jevan hanya mengangguk. Tapi ia menangkap ada yang aneh dari Shera. Kenapa cewek itu terlihat sangat takut saat Jevan mengatakan bahwa ia mendatangi rumahnya.

"Ra," panggil Jevan.

"Kenapa?"

"Are you... okay?"

Lontaran pertanyaan itu, pertanyaan yang paling dihindari Shera saat ia sedang tertekan seperti ini. Cukup lama Shera dan Jevan saling bertatapan sebelum akhirnya Anissa memanggil, membuat kontak mata itu terputus. Shera hanya tersenyum sebagai balasan, tidak sanggup menjawab. 

Satu yang dapat Jevan sadari dari senyuman Shera, bahwa garis mata bawahnya yang tiba-tiba menjadi merah. Menahan tangis, tanda bahwa Shera tidak baik-baik saja.

Related chapters

  • Senandika   4 ; Satu Kelompok

    "Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini."Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah."Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain."Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan."Apa enaknya? Kan sama-sama kerja.""Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak

    Last Updated : 2021-07-30
  • Senandika   5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

    Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakanlightloose jeansdengan atasan kaos putih dibalutouterrajut berwarnacream,tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering."Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya."Keluar sebentar," jawab Shera gugup."Habis bunuh diri kamu mau main?"Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara."Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera."Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambi

    Last Updated : 2021-07-30
  • Senandika   6 ; Sore dan Masalah Jevan

    Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu. "Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun. "Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita. "Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, n

    Last Updated : 2021-07-30
  • Senandika   7 ; Percakapan di Bawah Pohon

    Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s

    Last Updated : 2021-08-02
  • Senandika   8 ; Perpustakaan

    Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso

    Last Updated : 2021-08-03
  • Senandika   9 ; Hujan

    Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera

    Last Updated : 2021-10-08
  • Senandika   10 ; Rahasia dan Jebakan

    “Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu

    Last Updated : 2021-10-14
  • Senandika   11 ; Sakit

    Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d

    Last Updated : 2021-10-29

Latest chapter

  • Senandika   11 ; Sakit

    Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d

  • Senandika   10 ; Rahasia dan Jebakan

    “Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu

  • Senandika   9 ; Hujan

    Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera

  • Senandika   8 ; Perpustakaan

    Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso

  • Senandika   7 ; Percakapan di Bawah Pohon

    Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s

  • Senandika   6 ; Sore dan Masalah Jevan

    Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu. "Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun. "Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita. "Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, n

  • Senandika   5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

    Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakanlightloose jeansdengan atasan kaos putih dibalutouterrajut berwarnacream,tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering."Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya."Keluar sebentar," jawab Shera gugup."Habis bunuh diri kamu mau main?"Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara."Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera."Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambi

  • Senandika   4 ; Satu Kelompok

    "Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini."Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah."Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain."Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan."Apa enaknya? Kan sama-sama kerja.""Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak

  • Senandika   3 ; Hilang dan Hadir

    Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat."Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan."Anak pemilik rumahnya, Bu.""Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi."Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal

DMCA.com Protection Status