Beranda / Young Adult / Senandika / 5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

Share

5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

Penulis: dyin
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-30 16:50:29

Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakan light loose jeans dengan atasan kaos putih dibalut outer rajut berwarna cream, tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering.

"Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya.

"Keluar sebentar," jawab Shera gugup.

"Habis bunuh diri kamu mau main?"

Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara.

"Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera.

"Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambil menikmati sarapan.

"Anak bodoh kaya kamu harusnya diam saja di kamar. Belajar sampai pintar biar bisa sama kaya kakakmu!" Setelah mengatakan hal jahat itu, ayahnya pergi ke halaman belakang tanpa menghabiskan makanannya.

Wanita itu mengelap mulutnya menggunakan tisu, ia juga menyudahi sarapannya. Diambilnya sapu dan serokan serta kain basah untuk membersihkan vas bunga yang pecah.

"Maaf," ucap Shera pelan saat melihat ibunya membersihkan lantai.

Ibunya menjawab dengan tenang. "Mama yang salah, kamu gak usah minta maaf."

"Tapi gara-gara aku mau pergi, Ayah—"

"Mama yang salah dari awal."

"Ma?"

"Mama yang salah karena ngelahirin kamu. Harusnya mama berhenti punya anak sejak kakakmu lahir."

Bagai terkena petir di siang bolong, Shera membeku mendengar ucapan ibunya. Benar, Siyeon adalah anak yang tidak diinginkan. Ia sudah sadar hal itu dari dulu, tapi tidak pernah menyangka bahwa ibunya akan benar-benar mengatakannya di depannya sendiri. Parahnya lagi, ucapan itu terdengar sangat tenang.

Tanpa mengucapkan sepatah kata ataupun pamit, Shera bergegas memakai sepatunya dan keluar dari rumah saat itu juga. Di luar ia menetralkan nafasnya yang sejak tadi tercekat. Matanya perih, ia sungguh ingin menangis tapi pagi ini komplek rumahnya banyak sekali orang yang lalu lalang. Tak lama ojol yang dipesannya datang, sepanjang perjalanan Siyeon hanya diam.

Diam saat ini adalah cara yang paling terbaik untuk menghilangkan rasa ingin menangisnya.

...

Shera : Jevan, gua udah di depan

Jevan menghetikan aktifitasnya mengescroll laman Instagramnya kala notifikasi chat dari Shera muncul di atas layarnya. Dengan segera ia bangkit, menuju ruang tamu dan membukakan pintu. Dilihatnya Shera berdiri di depan pintu dengan kepala yang menunduk.

"Ra?" Jevan menyentuh pelan pundak Shera.

Shera mengangkat kepalanya tersadar. Dapat dilihat Jevan bahwa matanya seperti kemarin saat ia menanyakan keadaan cewek itu, merah seperti hendak menangis.

Menyadari tatapan Jevan, Shera tersenyum sembari melambaikan tangannya. "Hai? Gue gak disuruh masuk?"

"Ayo, masuk," Jevan melebarkan pintu dan menahannya sampai Shera masuk. "Duduk di depan tv aja."

Shera duduk di sofa depan televisi sambil menatap layar benda persegi panjang itu yang menampilkan beranda Netflix tanpa minat.

Hari ini orangtua Jevan pergi menjenguk neneknya dan baru akan kembali nanti malam. Keadaan saat ini sedikit canggung ditambah hening karena sejak memasuki rumah dan duduk, Shera tidak berbicara lagi. Ia hanya diam, menatap layar tv dengan tatapan kosong. Mungkin jika ada tetangga yang melihat Shera memasuki rumahnya, Jevan akan dicurigai berbuat sesuatu yang tidak lazim.

"Sendiri? Gak bareng Julia dan yang lain?" tanya Jevan dari meja bar

berusaha memecah keheningan.

Shera menggeleng pelan, berbohong. "Nggak. Belum pada bangun mereka."

Jevan hanya menanggapinya dengan mengangguk berpura-pura mengerti. Jevan tahu bahwa Shera berbohong, toh, sudah sejak pagi Julia heboh di grup menanyakan Shera akan pergi dengan siapa tapi tidak dijawab. Bahkan cewek itu tidak ada muncul, ia hanya muncul malamnya ketika membahas materi presentasi.

Tiba-tiba saja perut Jevan berbunyi. Jevan membuka lemari pantry, mencari mie instan dan menemukan satu ikat samyang yang sengaja ia beli untuk teman begadang di malam hari. Jevan melirik Shera yang masih diam menatap layar dengan tatapan kosong. "Shera, lo udah sarapan?"

"Belum."

"Mau makan mie? Tapi cuma ada samyang."

"Iya, nggak apa-apa."

Setelah disetujui Shera, Jevan mulai memasak dua bungkus mie pedas tersebut. Shera mendekat, cewek itu melihat mie yang tengah dimasak oleh dari meja barSaat Jevan membalikkan badannya untuk mengambil sumpit yang ada di meja,

ia kaget karena Shera sudah duduk di kursi bar. Menunggu mie yang dibuat Jevan matang, sepertinya juga lapar.

Jevan meletakkan mie yang telah matang ke dalam mangkuk besar. Cowok itu duduk di hadapan Shera setelah meletakkan teflon.

Shera menyuapkan mienya ke dalam mulut dengan kepala yang menunduk. Jevan memperhatikannya dan melihat bulir-bulir air mata yang berjatuhan, sepertinya air mata yang sejak tadi ditahannya. Walau tidak bersuara, entah kenapa tangisan Shera terasa sangat pilu

"Pedas?" tanya Jevan pelan. Sebenarnya maksud lain dari pertanyaannya adalah, 'berat?'.

Jevan mengangguk. "Iya..." dijawabnya dengan suara lirih dan tangisan yang tidak kunjung berhenti.

Jevan meletakkan sumpitnya. Ia berjalan menuju kulkas, mengambil susu kotak varian coklat, meletakkannya di sebelah piring Jevan. "You can feel sad all you want. You are allowed to feel however you want to feel. It's okay to cry, gue harap apa yang lagi lo alami sekarang bisa selesai secepatnya." Jevan mengambil sumpitnya, kembali melanjutkan makannya.

Air mata Shera yang awalnya hendak berhenti, kembali mengalir deras akibat kata-kata yang diucapkan Jevan. Shera benar-benar lemah jika ada yang mengucapkan 'tidak apa-apa' saat dirinya sedang hancur atau berbuat kesalahan. Selama masa pertumbuhannya, ia tidak pernah mendapat perlakuan lembut seperti sekarang. Oleh karena itu Shera selalu menangis jika ada yang memberikan nasihat, kalimat penyemangat dengan nada yang lembut.

Sebenarnya, Shera tidak ingin menangis di depan Jevan seperti ini karena ada sisi yang tidak ingin kita tunjukkan kepada orang lain, tidak peduli mau sedekat apa kita dengan mereka. Tapi saat ini, ia benar-benar menunjukkan sisi yang selama ini disembunyikannya. Entah kenapa harus Jevan, padahal mereka tidak begitu dekat.

Setelah merasa lebih tenang, Shera mengelap sisa-sisa air matanya dengan tisu dan melanjutkan menyuap mie yang disisain Jevan —karena itu jatahnya—masuk ke dalam mulutnya. Jevan sudah selesai, sekarang sedang mencuci perabotan makannya dan teflon yang tadi ia pakai untuk memasak.

"Jevan."

"Kenapa?"

Shera menelan kunyahannya. Menatap punggung Jevan yang sedang mencuci piring. "Makasih, ya."

"Makasih, untuk?" tanya Jevan sedikit tidak mengerti.

"Karena gak nanya gue kenapa and allowed me to cry," Shera membersihkan mulutnya, mienya sudah ia habiskan. Kemudian meminum susu yang diberikan Jevan.

Jevan menjawab dengan anggukan. Ia mengambil piring bekas Shera dan mangkuk yang diisi mie tadi untuk dicuci namun, ditahan cewek itu tidak enak karena Jevan harus mencucinya juga. Sempat saling menawarkan diri, akhirnya Jevan mengalah dan membiarkan Shera mencuci perabotan makannya.

Jevan duduk di kursi bar, mengecek ponselnya, melihat chat yang masuk dari Hayden bahwa mereka sebentar lagi akan tiba di rumah Jevan. "Yang lain udah mau nyampe, mata lo masih sembab. Lo nggak apa-apa?"

Shera mengangguk, membersihkan tangannya yang basah dengan tisu. "Bilang aja kepedasan."

"Yakin?"

"Iya. Kalau yang dateng bukan Mahesa gak apa-apa bilang gitu. Mereka gak terlalu peka."

Shera melemparkan senyumnya sembari mengangguk membenarkan. Ia mengambil susu kotak cokelatnya di samping tangan Jevan yang masih ada isi. "Thanks ya susunya."

Shera meninggalkan area dapur, melangkah dengan ringan tidak seperti sejam yang lalu sambil menjawab telepon dari Julia. Takjub, iba, prihatin, dan miris tergambar di tatapan Jevan saat melihat punggung Shera yang menjauh.

Bab terkait

  • Senandika   6 ; Sore dan Masalah Jevan

    Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu. "Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun. "Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita. "Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, n

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-30
  • Senandika   7 ; Percakapan di Bawah Pohon

    Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-02
  • Senandika   8 ; Perpustakaan

    Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-03
  • Senandika   9 ; Hujan

    Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08
  • Senandika   10 ; Rahasia dan Jebakan

    “Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-14
  • Senandika   11 ; Sakit

    Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-29
  • Senandika   1 ; Luka

    Malam telah tiba. Waktu bagi semua orang untuk beristirahat entah itu untuk menonton film favorite, bersenda gurau bersama keluarga, makan bersama kerabat, atau memejamkan mata melepaskan penat dari hari panjang yang telah dilalui.Begitu juga dengan Shera, seharusnya gadis itu tengah menonton drama dan series kesukaannya. Tetapi karena paksaan dan tekanan yang tidak kunjung berhenti, gadis itu terpaksa meninggalkan hal kesukaannya demi berkutat di depan buku-buku serta kumpulan soal dan pembahasan UTBK yang akan diadakan 5 bulan lagi.Sejak dirinya dipaksa secara mati-matian oleh kedua orangtuanya untuk mengikuti jejak kakaknya yang lulusan universitas negeri nomor satu di Indonesia, Shera kehilangan semua mimpi, cita-cita, dan angan-angannya yang sudah ia rangkai sedemikian rupa saat masih duduk di Sekolah Dasar.Ia tidak punya lagi mimpi, tidak lagi punya tujuan, semua yang ia lakukan hanyalah mengikuti paksaan ayah dan ibunya —seolah-olah ia adal

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-27
  • Senandika   2 ; Kabar Setelah Malam itu

    "Ketua kelas?""Jevan, Bu!" teriak Haikal dari bangku paling belakang yang merupakan teman sebangku Jevan. Diliriknya Haikal dengan tatapan sinis karena cowok itu lagi makan cireng yang tadi ia beli di kantin dengan alasan ke toilet.Haikal hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum bangga seolah mengatakan, "Keren kan gue."Buru-buru Jevan menelan cirengnya sebelum ketahuan oleh Bu Dara, guru sejarah wajib yang super galak. "Kenapa, Bu?""Kamu tau Shera kemana? Ibu lihat di absensi sudah 3 hari alpa."'Loh, udah tiga hari?' Jevan menolehkan kepalanya ke bangku Anissa, teman sebangkunya Shera sambil meminta bantuan mengenai info kemana perginya cewek itu melalui mimik wajahnya. Sayangnya Anissa tengah mengobrol dengan Raisha.Jevan menghela nafas, "Kurang tau, Bu.""Tidak ada info dari wali kelas?""Ti—""Sakit, Bu!" jawab Anissa tiba-tiba membuat seisi kelas memandangnya takut. Takut Bu Dara akan marah karena

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-28

Bab terbaru

  • Senandika   11 ; Sakit

    Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d

  • Senandika   10 ; Rahasia dan Jebakan

    “Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu

  • Senandika   9 ; Hujan

    Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera

  • Senandika   8 ; Perpustakaan

    Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso

  • Senandika   7 ; Percakapan di Bawah Pohon

    Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s

  • Senandika   6 ; Sore dan Masalah Jevan

    Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu. "Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun. "Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita. "Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, n

  • Senandika   5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

    Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakanlightloose jeansdengan atasan kaos putih dibalutouterrajut berwarnacream,tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering."Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya."Keluar sebentar," jawab Shera gugup."Habis bunuh diri kamu mau main?"Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara."Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera."Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambi

  • Senandika   4 ; Satu Kelompok

    "Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini."Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah."Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain."Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan."Apa enaknya? Kan sama-sama kerja.""Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak

  • Senandika   3 ; Hilang dan Hadir

    Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat."Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan."Anak pemilik rumahnya, Bu.""Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi."Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal

DMCA.com Protection Status