Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu.
"Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun.
"Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita.
"Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, namun tidak ingin bertanya takut membuat Shera tidak nyaman.
"Lo hari ini senggang?"
"Setiap waktu, sih, gue senggang."
"Lo gak belajar untuk UTBK?"
"Swasta aja gue, mah. Atau jalur langit."
"Yaudah kalau gitu ayo jalan aja!" ajak Shera sambil menyunggingkan senyumnya, menepuk bahu Mahesa
Mahesa mengernyitkan dahinya bingung. Alisnya bertaut kala mendengar ajakan tak biasa Shera karena selama ia berteman dengan cewek itu, jarang sekali Shera ngajak jalan seperti sekarang. "Lo gak belajar?"
"Capek," jawab Shera cepat. "Udah buru anjir, ntar kemaleman," cewek itu kembali menepuk pundak dan helm Mahesa secara bergantian, menyuruh cowok manis itu untuk cepat sebelum orang tuanya keluar.
"Sakit, jangan dipukul helm gue," ucap Mahesa kesal karena Shera memukul helmnya dengan kuat. Setelah itu ia mulai menghidupkan motornya, melaju meninggalkan area rumah Shera.
Motor Shera melaju di jalanan yang cukup ramai kendaraan dengan semburat warna kuning campur oranye dari langit Jakarta Sabtu sore ini. Lantas motor itu berhenti saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Cowok itu melirik Shera dari kaca spion, "Lo kenapa gak mau dianter sama Jevan tadi?"
"Gue gak begitu deket sama Jevan. Canggung ntar di motor, males gue."
"Yakin lo cuma itu?"
‘Nggak.’ "Iya, kenapa?"
"Lo nangis ya, tadi?"
Shera tidak kaget. Ia tahu cepat atau lambat Mahesa akan menanyainya. Walau ia sudah berteman dengan teman-teman yang lainnya cukup lama, hanya Mahesa yang benar-benar peka terhadap kondisi orang di sekitarnya. "Iya."
"Tumben lo nangis, kenapa?"
"Putus sama pacar gue," jawab Shera tak acuh.
Dari kaca spion, Mahesa mendengus jengkel. "Lo udah lama putus sama Evan. Kaga usah bohongin gue."
"Iya bohong," Shera tersenyum puas mengejek Mahesa yang sudah kesal. Kemudian motor kembali melaju.
“Shera.”
“Hmm?” Shera menjawab sambil memejamkan matanya menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya.
"Kalau lo ada masalah, jangan sungkan buat cerita ke gue, ya. I’ll put all my efforts to give you solutions."
Shera membuka matanya, tersenyum miris.
...
Tok! Tok! Tok!
Jevan mengalihkan pandangannya dari buku-buku berisi soal dan pembahasan untuk UTBK kala pintunya diketuk seseorang. Mungkin saja Ibunya, karena di rumah ini yang mengetuk pintu meminta izin ke kamarnya hanya Ibunya saja. Ayahnya tidak seperti itu, selalu membuka pintu tanpa ketuk dan bertanya. Jevan juga butuh privasi, padahal hal kecil seperti mengetuk pintu sebelum memasuki kamar atau rumah adalah basic manner.
"Jevan, Bunda masuk, ya?" tanya Ibu Jevan dari luar pintu.
"Iya, masuk aja gak dikunci!" Jevan meninggikan sedikit suaranya agar terdengar dari luar.
Tak lama Ibunya masuk ke dalam kamarnya setelah menutup pintu, duduk di tepi ranjang sambil menatap anak satu-satunya itu yang sedang belajar.
"Bad news or good news?" tanya Jevan penasaran karena jarang sekali Ibunya mengganggu ia belajar.
Ibunya menghela nafas. Wanita 40 tahun itu menggenggam tangannya gugup. "Ayah kamu tetap gak mau kamu lanjut ke Yogya, Nak."
Pensil yang Jevan gunakan untuk menjawab soal berhenti di satu opsi. Cowok dengan mata yang ikut senyum saat ia tersenyum itu menghentikan kegiatannya. Hatinya mencelos saat mendengar kabar tersebut.
"Even UGM?"
Ibunya mengangguk, menatap nanar anak semata wayangnya.
"Bun, ini hidup Jevan. Bukan Ayah," ucap Jevan dengan emosi yang tertahan. Haruskah ia merelakan kampus impiannya demi ego Ayahnya? Tidak mungkin, ini hidupnya yang menyangkut masa depannya.
"Bunda tau, tapi kamu liat sendiri, kan, Ayah kamu bersikeras mau kamu lanjut di sini aja sambil kerja. Ambil yang kelas malam."
Jevan mengernyitkan dahinya. "Swasta?"
"Kenapa? Kamu malu?"
"Bukan masalah malu, tapi selagi ada yang murah kenapa harus milih yang mahal?"
"Kan, kamu kerja, Van. Kamu bisa bayar pake gaji kamu kalau uang dari Bunda sama Ayah kurang."
Jevan mendengus kesal. Ujung-ujungnya ia sendiri yang membiayai pendidikannya padahal itu adalah kewajiban kedua orangtuanya. Tujuan Jevan masuk negeri karena sengaja agar biaya yang dibayar tidak memberatkan. "Jevan udah bilang berkali-kali sama Bunda kalau Jevan gak mau kerja di Pemerintahan."
"Jevan, sekarang Ayahmu itu lagi ada di posisi yang bisa masukin kamu. Kamu juga bisa ikut tes CPNS yang lagi buka sekarang. Kalau kamu kuliah di Yogya sekarang, apa kemungkinan kesempatan kamu buat jadi itu ada?"
Jevan menatap Ibunya speechless. Tidak menyangka Ibunya akan sependapat dengan Ayahnya yang menganggap semua jalan yang ditentukan olehnya sudah pasti benar. "Bunda pikir, semua jurusan yang ada, kerjanya harus jadi Honorer atau PNS?"
"Kurang lebih, ujungnya seperti itu kan?" nada Ibunya juga sama seperti dirinya, emosi tapi harus ditahan. Terlihat dari urat-urat yang muncul di wajah dan mata yang memerah. "Kamu liat sepupu kamu, kuliah berbagai macam jurusan, ujung-ujungnya jadi PNS.”
Jevan mengusap wajahnya gusar, Ibunya ini benar-benar sudah terdoktrin oleh Ayahnya seratus persen. "Bun, itu emang karena jurusannya fleksibel untuk jadi PNS, terutama guru."
"Kamu, gimana?"
"Jevan mau ambil desain. Bunda tau bakat Jevan di menggambar, kan?”
"Iya Bunda tau, tapi ayolah, berapa sih gaji yang dihasilkan dari bakat dan jurusan kamu itu?"
Jevan mengernyitkan dahinya sambil membuka mulutnya tidak percaya. "Bun, yang namanya menggambar dan ngedesain itu perlu ide, kreatifitas, ketelitian, dan kemampuan yang ekstra. Bunda gak bisa mandang suatu pekerjaan dari gajinya aja."
"Setara sama Bunda dan Ayah?"
"Nggak setara karena lebih besar."
"Jevano.”
Jevan memejamkan matanya menahan emosi yang sebentar lagi akan meledak. Tangannya terkepal dengan kuat saat suara Ayahnya di ujung pintu menyambut indra pendengarannya. "Sampai kapan Ayah sama Bunda ikut campur masa depan Jevan?"
"Kamu bisa tidak, turunkan sedikit egomu untuk jalanin apa yang Ayah suruh?"
Jevan menatap Ayahnya tajam, emosinya benar-benar tersulut. "Ayah yang seharusnya nurunin ego Ayah. Sampai kapan Ayah mau aku turutin semua kemauan Ayah?"
"Sampai kamu bisa menghasilkan uang sendiri."
Jevan terdiam, bungkam. Tidak mau menjawab lagi karena perkataan Ayahnya adalah sebuah final.
“Jevano, tolong ikutin kata Ayah sama Bunda selagi kamu masih ditanggung kami berdua. Keperluan kamu, jajan kamu, motor, buku, sekolah semua Ayah sama Bunda yang bayarin. Kalau kamu mau ngatur hidup kamu sendiri, tunggu sudah bisa cari uang. Untuk itu, selagi masih Ayah dan Bunda yang tanggung biaya hidup kamu, diturutin saja tidak usah membangkang!” Ayahnya yang berdiri di ambang pintu, menetralkan nafasnya. Tiga orang di rumah ini sama-sama sedang emosi.
“Ganti jurusanmu dengan hukum atau akuntansi, tidak ada desain-desain. Kamu kan anak IPS, ambil jurusan yang pasti,” setelah mengatakan itu, Ayahnya meninggalkan kamar Jovan. Pria berumur 45 tahun itu membuka kulkas di dapur, mungkin mendinginkan kepalanya.
"Tolong, ya, Nak?" Pundak Jevan yang naik turun dielus Ibunya, mencoba meredakan amarah. Setelah menepuk berapa kali dan tersenyum, wanita itu meninggalkan kamar Jevan dengan menutup pintu kembali.
Tangan Jevan masih terkepal kuat, bahkan sampai terlihat buku-buku putih sangking kuatnya. Kukunya yang tidak terlalu panjang itu bisa saja menembus kulitnya. Nafas Jevan beradu, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya, kepalanya pusing, rasanya benar-benar menyakitkan untuk menahan semua emosinya agar tidak disebut sebagai anak durhaka.
"BANGSAT!!"
Jevan meninju cermin yang ia gantung di dinding dengan segenap tenaga dan emosinya, cermin itu hancur bersamaan dengan mimpi dan cita-citanya.
Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s
Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso
Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera
“Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu
Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d
Malam telah tiba. Waktu bagi semua orang untuk beristirahat entah itu untuk menonton film favorite, bersenda gurau bersama keluarga, makan bersama kerabat, atau memejamkan mata melepaskan penat dari hari panjang yang telah dilalui.Begitu juga dengan Shera, seharusnya gadis itu tengah menonton drama dan series kesukaannya. Tetapi karena paksaan dan tekanan yang tidak kunjung berhenti, gadis itu terpaksa meninggalkan hal kesukaannya demi berkutat di depan buku-buku serta kumpulan soal dan pembahasan UTBK yang akan diadakan 5 bulan lagi.Sejak dirinya dipaksa secara mati-matian oleh kedua orangtuanya untuk mengikuti jejak kakaknya yang lulusan universitas negeri nomor satu di Indonesia, Shera kehilangan semua mimpi, cita-cita, dan angan-angannya yang sudah ia rangkai sedemikian rupa saat masih duduk di Sekolah Dasar.Ia tidak punya lagi mimpi, tidak lagi punya tujuan, semua yang ia lakukan hanyalah mengikuti paksaan ayah dan ibunya —seolah-olah ia adal
"Ketua kelas?""Jevan, Bu!" teriak Haikal dari bangku paling belakang yang merupakan teman sebangku Jevan. Diliriknya Haikal dengan tatapan sinis karena cowok itu lagi makan cireng yang tadi ia beli di kantin dengan alasan ke toilet.Haikal hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum bangga seolah mengatakan, "Keren kan gue."Buru-buru Jevan menelan cirengnya sebelum ketahuan oleh Bu Dara, guru sejarah wajib yang super galak. "Kenapa, Bu?""Kamu tau Shera kemana? Ibu lihat di absensi sudah 3 hari alpa."'Loh, udah tiga hari?' Jevan menolehkan kepalanya ke bangku Anissa, teman sebangkunya Shera sambil meminta bantuan mengenai info kemana perginya cewek itu melalui mimik wajahnya. Sayangnya Anissa tengah mengobrol dengan Raisha.Jevan menghela nafas, "Kurang tau, Bu.""Tidak ada info dari wali kelas?""Ti—""Sakit, Bu!" jawab Anissa tiba-tiba membuat seisi kelas memandangnya takut. Takut Bu Dara akan marah karena
Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat."Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan."Anak pemilik rumahnya, Bu.""Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi."Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal
Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d
“Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu
Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera
Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso
Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s
Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu. "Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun. "Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita. "Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, n
Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakanlightloose jeansdengan atasan kaos putih dibalutouterrajut berwarnacream,tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering."Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya."Keluar sebentar," jawab Shera gugup."Habis bunuh diri kamu mau main?"Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara."Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera."Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambi
"Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini."Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah."Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain."Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan."Apa enaknya? Kan sama-sama kerja.""Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak
Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat."Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan."Anak pemilik rumahnya, Bu.""Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi."Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal