Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana.
“Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas.
Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.”
Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.”
Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi.
Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu sedang menyatat sesuatu yang Shera duga sebagai tugas yang akan dikumpulkan nanti untuk pelajaran setelah bel istirahat. Shera menghela nafasnya, ia segera berjalan menuju bangku Jevan.
“Van.”
Jevan menoleh, mengangkat kedua alisnya saat melihat Shera berdiri di depan mejanya.
“Udah siap nyalinnya?”
“Dikit lagi, kenapa?”
“Mau keluar sebentar?”
“Ada yang mau diomongin?”
“Iya.”
Jevan mengangguk mengerti, menyalin dengan kecepatan kilat hingga tugas itu selesai dalam 5 menit. “Ke kantin?”
“Nggak usah, itu di bawah pohon lapangan basket aja. Kantin ramai.”
“Okay,” Jevan berdiri, mengajak Shera berjalan bersama keluar kelas.
Saat keduanya berjalan di lapangan basket, tiba-tiba saja Shera menghentikan langkahnya, membuat Jevan yang sudah di depannya terpaksa berhenti. “Lo duduk duluan aja, Van. Gue mau beli cemilan dulu di kantin. Tunggu, ya?”
Setelah itu Shera mengambil langkah besar menuju kantin, meninggalkan Jevan yang berdiri canggung di tengah lapangan basket. Cowok itu terkekeh sambil menggelengkan kepalanya kemudian duduk di kursi yang berada di pinggir lapangan basket. Spot yang sangat disukai semua siswa sekolah mereka karena terletak di bawah pohon yang sangat rindang.
Selang berapa menit, Shera datang sambil membawa dua kotak susu, dengan varian rasa yang berbeda. Ia memberi Jevan susu varian cokelat setelah duduk, lalu meminum varian full cream untuk dirinya sendiri. “Makasih ya, susunya kemarin. Tapi gue lebih suka yang full cream.”
“Bukannya nggak enak?”
Shera melototkan matanya, tidak setuju varian kesukaannya dibilang tidak enak. “Enak kok, jahat banget yang bilang full cream nggak enak. Sama kaya yang bilang matcha rasanya kaya rumput, padahal enak.”
“Selera lo aneh-aneh, ya,” Jevan mengangguk-angguk takjub sambil menepuk tangannya. “Samyang yang kemarin gimana? Pedes?”
Shera terkekeh pelan, “Pas yang dimakan berdua sama lo nggak pedes. Besoknya pas dimakan bareng-bareng baru kerasa.”
Jevan mengangguk setuju, saat melihat Shera menangis dengan tersedu-tersedu, sensasi pedas yang sebelumnya dapat ia rasakan itu pun hilang entah kemana. “Mungkin karena perasaan lo campur aduk, jadinya nggak kerasa.”
Shera menyeruput susunya, menikmati rasa asin campur plain tersebut mengecap indra perasanya. “Lo udah tau mau lanjut kemana?”
“Kalau kampus belum, kota udah.”
“Yogya, ya?”
Jevan melebarkan matanya, melihat Shera takjub. “Lo tau dari Hayden?”
“Nggak, gue nebak aja, sih. Soalnya Yogya yang paling sering jadi wishlist anak laki-laki.”
“Perempuan juga, kok.”
“Okay, semua pelajar.”
“Lo sendiri gimana? Yogya juga?”
Shera menggeleng lemah, dengan senyumannya. “Nggak, di sini aja. Bahaya Yogya mah biaya hidupnya bisa bikin gue nggak mau pulang.”
Jevan menoleh, melihat Shera yang sedang menikmati susu full creamnya sambil melihat siswa yang berlalu lalang. Entah kenapa ia merasa kasihan. “Lo udah nggak apa-apa?”
“Maksud lo?”
“Yang kemarin, udah feel better?”
“Not really, but it’s okay.”
“Lo kenapa ngajak gue keluar gini?”
“Mau balas budi, kan kemarin lo udah ngasih gue susu. Next time samyang lagi.”
Jevan menggeleng dengan cepat, tidak terlalu suka dengan ide itu. “Nggak usah, kemarin pure karena gue laper.”
“Yang kemarin... lo nggak kasih tau siapa-siapa, kan?”
“Nggak, sebegitunya ya lo gak pengen mereka ngeliat lo nangis?”
Shera mengangguk, tersenyum pahit. “Lebih tepatnya, gue gak mau ngeliatin sisi gue yang kemarin ke mereka.”
“Tapi lo ngeliatin ke gue.”
“Yah, itu, terjadi gitu aja.”
Hening, tidak ada percakapan lagi. Keduanya sama-sama diam, dengan pikiran masing-masing di dalam kepala. Tanpa sadar, Jevan menatap Shera dengan tatapan kasihan terkait kondisi cewek itu yang sedang menunduk sambil menggoyangkan kotak susunya.
Sadar sedari tadi ditatap oleh Jevan, Shera mengangkat kepalanya. Ditatapnya wajah Jevan yang selalu tersenyum sampai kedua matanya itu juga ikut tersenyum seolah-olah tidak ada beban. Ia sudah tidak tahan untuk jujur, setelah kejadian samyang kemarin Jevan selalu menatapnya dengan iba. “Jevan, lo mungkin gak nyadar ini, tapi gue selalu ngeliat lo natap gue dengan ekspresi kasihan dan iba.”
Jevan mengedipkan matanya beberapa kali, menelan salivanya dengan berat. ‘Kentara banget?’ tanyanya dalam hati. Kemudian ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, salah tingkah takut Shera tidak nyaman.
“No need to say sorry but, tolong ngeliat gue seperti lo ngeliat temen-temen yang lain. Gue gak ada bedanya sama mereka, jangan karena gue pernah nunjukin sisi yang gak pernah gue liatin ke siapapun, lo jadi kasihan sama gue,” Shera menyisir rambutnya yang sedang tidak dikuncir itu kebelakang menggunakan jari.
“Gue gak perlu dikasihani,” Shera menatap Jevan lurus ke dalam manik mata hitam tersebut.
Jevan balas menatap Shera, mencari guratan kesedihan cewek itu seperti hari Sabtu kemarin, namun tidak ada. Kemudian matanya tidak sengaja melihat bekas jahitan di lengan Shera, ia tahu persis bekas luka seperti apa itu beserta penyebabnya. Dirogohnya saku celana osisnya, untung masih ada plester penutup luka Regar kemarin.
“Untuk apa plesternya?” tanya Shera, cewek itu mengernyitkan dahinya saat Jevan mengeluarkan plester bermotif kartun hewan.
Jevan membuka plester itu, menarik lengan Shera lalu menempelkannya dengan pelan pada luka jahitan di lengan Shera membuat cewek itu sangat terkejut dan membeku seketika. Lagi-lagi, Jevan yang melihat segala sesuatu yang ditutupinnya serapat mungkin. ‘Kenapa harus Jevan?’ batinnya.
“Ditutupin, ya. Biar gak diliatin sama orang lain,” Jevan berdiri setelah memasang plester, hendak kembali menuju kelas karena tidak enak sudah membuat Shera terkejut.
Satu langkah sebelum ia meninggalkan Shera, badannya berhenti, berbalik arah melihat Shera yang masih menunduk sambil memegang lengannya. “Satu lagi, seberat apapun masalah lo sekarang, tolong jangan menyerah.”
“Makasih untuk susunya.”
Shera mengangkat kepalanya, memandangi punggung Jevan yang semakin menjauh sambil berharap Jevan melupakan apa yang barusan ia lakukan.
"Jevan!"
Dengan suara yang samar itu, Jevan membalikkan badannya. Shera berjalan mendekat, berhenti tepat di hadapannya. Dua orang ini sekarang sedang berada di tengah-tengah lapangan.
Shera menyentuh lengan Jevan, "Gue tau lo lagi mendem sesuatu. Apa pun itu, giliran gue yang nanya."
Jevan tetap memandang Shera lekat-lekat, menanti pertanyaan yang akan keluar.
"Are you... okay?"
Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso
Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera
“Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu
Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d
Malam telah tiba. Waktu bagi semua orang untuk beristirahat entah itu untuk menonton film favorite, bersenda gurau bersama keluarga, makan bersama kerabat, atau memejamkan mata melepaskan penat dari hari panjang yang telah dilalui.Begitu juga dengan Shera, seharusnya gadis itu tengah menonton drama dan series kesukaannya. Tetapi karena paksaan dan tekanan yang tidak kunjung berhenti, gadis itu terpaksa meninggalkan hal kesukaannya demi berkutat di depan buku-buku serta kumpulan soal dan pembahasan UTBK yang akan diadakan 5 bulan lagi.Sejak dirinya dipaksa secara mati-matian oleh kedua orangtuanya untuk mengikuti jejak kakaknya yang lulusan universitas negeri nomor satu di Indonesia, Shera kehilangan semua mimpi, cita-cita, dan angan-angannya yang sudah ia rangkai sedemikian rupa saat masih duduk di Sekolah Dasar.Ia tidak punya lagi mimpi, tidak lagi punya tujuan, semua yang ia lakukan hanyalah mengikuti paksaan ayah dan ibunya —seolah-olah ia adal
"Ketua kelas?""Jevan, Bu!" teriak Haikal dari bangku paling belakang yang merupakan teman sebangku Jevan. Diliriknya Haikal dengan tatapan sinis karena cowok itu lagi makan cireng yang tadi ia beli di kantin dengan alasan ke toilet.Haikal hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum bangga seolah mengatakan, "Keren kan gue."Buru-buru Jevan menelan cirengnya sebelum ketahuan oleh Bu Dara, guru sejarah wajib yang super galak. "Kenapa, Bu?""Kamu tau Shera kemana? Ibu lihat di absensi sudah 3 hari alpa."'Loh, udah tiga hari?' Jevan menolehkan kepalanya ke bangku Anissa, teman sebangkunya Shera sambil meminta bantuan mengenai info kemana perginya cewek itu melalui mimik wajahnya. Sayangnya Anissa tengah mengobrol dengan Raisha.Jevan menghela nafas, "Kurang tau, Bu.""Tidak ada info dari wali kelas?""Ti—""Sakit, Bu!" jawab Anissa tiba-tiba membuat seisi kelas memandangnya takut. Takut Bu Dara akan marah karena
Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat."Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan."Anak pemilik rumahnya, Bu.""Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi."Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal
"Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini."Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah."Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain."Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan."Apa enaknya? Kan sama-sama kerja.""Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak
Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d
“Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu
Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera
Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso
Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s
Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu. "Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun. "Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita. "Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, n
Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakanlightloose jeansdengan atasan kaos putih dibalutouterrajut berwarnacream,tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering."Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya."Keluar sebentar," jawab Shera gugup."Habis bunuh diri kamu mau main?"Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara."Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera."Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambi
"Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini."Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah."Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain."Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan."Apa enaknya? Kan sama-sama kerja.""Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak
Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat."Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan."Anak pemilik rumahnya, Bu.""Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi."Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal