Share

Senandika
Senandika
Penulis: dyin

1 ; Luka

Penulis: dyin
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-27 20:14:30

Malam telah tiba. Waktu bagi semua orang untuk beristirahat entah itu untuk menonton film favorite, bersenda gurau bersama keluarga, makan bersama kerabat, atau memejamkan mata melepaskan penat dari hari panjang yang telah dilalui.

Begitu juga dengan Shera, seharusnya gadis itu tengah menonton drama dan series kesukaannya. Tetapi karena paksaan dan tekanan yang tidak kunjung berhenti, gadis itu terpaksa meninggalkan hal kesukaannya demi berkutat di depan buku-buku serta kumpulan soal dan pembahasan UTBK yang akan diadakan 5 bulan lagi. 

Sejak dirinya dipaksa secara mati-matian oleh kedua orangtuanya untuk mengikuti jejak kakaknya yang lulusan universitas negeri nomor satu di Indonesia, Shera kehilangan semua mimpi, cita-cita, dan angan-angannya yang sudah ia rangkai sedemikian rupa saat masih duduk di Sekolah Dasar.

Ia tidak punya lagi mimpi, tidak lagi punya tujuan, semua yang ia lakukan hanyalah mengikuti paksaan ayah dan ibunya —seolah-olah ia adalah boneka, demi berhenti mendengar omongan yang keluar dari mulut-mulut jahat para sanak saudara, tetangga, kerabat orangtua, maupun ayah ibunya sendiri yang selalu saja mengatakan betapa ia sangat berbeda dari kakaknya.

Shera tau maksudnya, ia tau bahwa mereka secara tersirat mengatainya bodoh. Setidaknya cukup sopan untuk tidak berterus terang mengatai seseorang bodoh di depan orangnya.

Dan yang bisa dilakukan Shera hanyalah mengulas senyum pahit dengan berbagai macam emosi yang terpendam, emosi yang kapan saja bisa meledak saat sudah tidak lagi mampu untuk menampungnya. 

Shera menghela napasnya kasar. Dipandanginya buku-buku tebal dan berlembar-lembar kertas soal di meja belajarnya dengan emosi yang campur aduk. Sudah. Ia tidak sanggup lagi untuk melanjutkan belajar sampai waktu yang ditentukan oleh orangtuanya yaitu jam 10.

Shera melihat jam dinding, masih pukul 8 yang berarti masih tersisa 2 jam lagi sampai ia dapat menutup buku-buku sialan itu. 'Di sekolah belajar, di bimbel belajar, sekarang di rumah juga disuruh belajar?! Damn, gue bukan Yehsuh yang maniak belajar demi bisa masuk kampus top,' ujarnya dalam hati.

"Sialan," umpat Shera dengan nada lemah sembari menyandarkan punggungnya di penyanggah kursi. Cewek itu menggunakan lengan kanannya untuk menutupi mata —meredakan emosi dan menjernihkan pikiran—agar bisa belajar lagi.

Nihil, pikirannya terlalu kalut untuk sekadar membaca materi. Ia meninggalkan meja belajar menuju jendela kamarnya, memandangi langit gelap berkabut memberi tanda bahwa hujan akan segera turun untuk membasahi bumi. 'Lagi-lagi hujan,' batinnya.

Shera tidak membenci hujan, ia hanya tidak suka hujan yang memunculkan memori-memori pahit nan kelam yang sudah ia kubur dalam-dalam jauh di dasar ingatannya agar tidak timbul kembali selamanya.

'Kayanya gue sama hujan musuhan, doi gak suka ngeliat gue tenang dikit di waktu hujan like other people do. Kalau hujan bisa bikin orang-orang nikmatin indomie rebus atau tidur nyenyak, gue sama hujan dibikin nikmatin sakit kepala yang gak bisa gue definisikan rasa sakitnya.'

Tanpa Shera sadari, Ibunya telah berdiri cukup lama di depan pintu dengan murka melihat anaknya —bonekanya— yang telah meninggalkan meja belajar. Wanita itu mengepalkan tangannya dengan keras, diambilnya sebuah buku kecil namun tebal bertuliskan Bank Soal TKA. "Dasar anak bodoh!"

Bersamaan dengan makian itu, buku kecil tersebut melayang dengan cepat dan mendarat mulus di kepala Shera dengan ujung buku yang keras.

TUKK!!

Dapat Shera rasakan sebuah benda tebal menghantam tengkorak kepalanya dengan keras dan itu cukup membuat pandangannya menghitam beberapa detik dengan rasa sakit yang luar biasa.

“Beraninya kamu ninggalin meja belajar sebelum waktunya selesai?! Sudah pandai melawan?! Sudah pandai membangkang?! Mau jadi apa kamu kalau hidup seperti itu anak bodoh?!” teriak Ibunya tanpa perduli akibat perbuatannya melempar buku tebal itu tadi.

"Jawab!!"

Shera memegang kepalanya, menatap Ibunya marah. "Yang jelas gak jadi orangtua gagal kaya Mama!"

PLAKK!!

"Orangtua gagal kata kamu?! Justru kamu yang gagal karena gak bisa nyeimbangi kemampuan kamu sama kepintaran kakak kamu!"

"Kalau aku yang dibilang gagal, terus Mama sama Papa apa?"

"Shera Zefanya!!"

"Apa?! Mau pukul aku? Ayo cepat lakuin aja! Pukul aku! Tampar aku! Pukul aku sampai aku mati!"

"Dasar anak kurang ajar!" Kali ini bukan Ibunya, melainkan Ayahnya dengan setelan kantor yang lengkap menandakan bahwa laki-laki itu baru saja pulang.

Satu tamparan membelai kulit wajah Shera lagi. Anehnya tidak sakit sama sekali. Tidak ada yang Shera rasakan selain kepalanya yang terus berdenyut hebat dan emosi yang tercampur aduk menjadi satu.

Wajah dan tubuhnya sudah kebal dengan tamparan, pukulan, bantingan, serta bentuk kekerasan apapun yang dilakukan oleh Ayah dan Ibunya hingga ia tidak merasakan apa-apa lagi.

"Papa sama Mama mati-matian kerja buat bayarin semua biaya pendidikan kamu yang nggak murah, tapi kamu membangkang seperti ini. Kamu mau jadi anak liar? Kalau kamu mau, sudah pergi sana dari rumah ini! Kami tidak butuh anak tidak berguna kaya kamu!"

"Pa, udah. Ayo keluar!," Ibunya menarik lengan Sang Suami, mengajak suaminya itu untuk segera keluar sebelum mengamuk.

"I told you Shera, you are the worst child ever," Jari telunjuk laki-laki tua itu menunjuk-nunjuk wajah Shera seolah memperjelas objek yang dibicarakan. "Kerjaannya cuma bisa bikin kami malu di depan orang-orang. Nggak punya bakat, nggak punya prestasi, nggak punya kemampuan, dan nggak pintar. Satu pun gak ada dari kamu yang bisa dibanggain."

Ibu Shera semakin menarik lengan suaminya itu untuk keluar. "Sudah, Pa!"

Lelaki itu menarik lengannya yang ditarik Sang Istri, menatap istrinya dengan marah. "Seharusnya kamu gugurin saja dia kalau besarnya seperti ini."

"Keluar!" teriak Shera pada akhirnya. Cukup jangan menambahi luka dan beban yang tidak perlu, kepalanya sudah berdenyut sangat hebat, ditambah lagi ayah dan ibunya yang kini malah bertengkar. Tidak ada yang sadar dari keduanya bagaimana kondisinya sekarang dengan rasa sakit yang sangat hebat di kepala, pipi yang merah, dan tubuh yang mulai lemas karena menahan sakit.

"Tolong keluar..." pintanya lirih hampir seperti tidak terdengar.

Orangtuanya saling pandang, lalu benar-benar meninggalkan kamar Shera tanpa peduli, tanpa sepatah kata seolah-olah kejadian yang tadi tidak pernah terjadi. Selalu seperti itu, setiap waktu. Benar-benar dibuang.

'Mati! Gue harus mati malam ini juga'. Shera berjalan dengan sempoyongan menuju laci meja belajarnya. Ia mengambil cutter yang dibungkus dengan tisu agar tidak ketahuan oleh siapapun di rumah ini.

"Haaaa sial... akhirnya gue bener-bener bisa mati..." ucapnya setelah menggores lengan kanannya cukup dalam tepat di venanya sebanyak 3 goresan. Tidak butuh waktu lama, cairan kental berwarna merah menembus keluar dengan volume yang sangat banyak. Shera benar-benar ingin mengakhiri hidupnya.

Pandangannya perlahan mulai kabur, kemudian sekelebat kenangan bersama teman-temannya muncul begitu saja tanpa diperintah seolah menunjukkan ia akan segera meninggalkan orang-orang yang menjadi alasannya untuk tetap hidup sampai beberapa menit yang lalu.

Shera tersenyum, senyuman yang tidak seharusnya ia keluarkan di detik-detik ajal menjemput dan entah bagaimana setetes air mata jatuh dari kelopak matanya. Setetes demi tetes akhirnya membasahi wajah Shera, tersenyum sambil menangis menikmati saat-saat terakhir.

'Gue masih mempertanyakan sebenarnya di kehidupan sebelumnya gue pernah ngelakuin dosa sebesar apa sampai harus ngalamin hal-hal buruk kaya gini bahkan ngebunuh diri sendiri? Apa gue emang pantas mati untuk nebus kesalahan fatal gue di masa lalu? Kalau emang iya, gue mohon sama Tuhan untuk maafin diri gue yang hina di masa lalu demi kehidupan gue di masa sekarang. Gue mohon...'

“Shera!!”

Yang terdengar terakhir kali sebelum dirinya jatuh ke lantai yang penuh darah dan menutup mata adalah langkah kaki dan teriakan Kakaknya yang berlari masuk menerobos kamarnya. Setelah itu, semuanya menjadi gelap.

'Tolong....'

Bab terkait

  • Senandika   2 ; Kabar Setelah Malam itu

    "Ketua kelas?""Jevan, Bu!" teriak Haikal dari bangku paling belakang yang merupakan teman sebangku Jevan. Diliriknya Haikal dengan tatapan sinis karena cowok itu lagi makan cireng yang tadi ia beli di kantin dengan alasan ke toilet.Haikal hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum bangga seolah mengatakan, "Keren kan gue."Buru-buru Jevan menelan cirengnya sebelum ketahuan oleh Bu Dara, guru sejarah wajib yang super galak. "Kenapa, Bu?""Kamu tau Shera kemana? Ibu lihat di absensi sudah 3 hari alpa."'Loh, udah tiga hari?' Jevan menolehkan kepalanya ke bangku Anissa, teman sebangkunya Shera sambil meminta bantuan mengenai info kemana perginya cewek itu melalui mimik wajahnya. Sayangnya Anissa tengah mengobrol dengan Raisha.Jevan menghela nafas, "Kurang tau, Bu.""Tidak ada info dari wali kelas?""Ti—""Sakit, Bu!" jawab Anissa tiba-tiba membuat seisi kelas memandangnya takut. Takut Bu Dara akan marah karena

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-28
  • Senandika   3 ; Hilang dan Hadir

    Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat."Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan."Anak pemilik rumahnya, Bu.""Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi."Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-28
  • Senandika   4 ; Satu Kelompok

    "Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini."Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah."Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain."Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan."Apa enaknya? Kan sama-sama kerja.""Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-30
  • Senandika   5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

    Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakanlightloose jeansdengan atasan kaos putih dibalutouterrajut berwarnacream,tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering."Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya."Keluar sebentar," jawab Shera gugup."Habis bunuh diri kamu mau main?"Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara."Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera."Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambi

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-30
  • Senandika   6 ; Sore dan Masalah Jevan

    Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu. "Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun. "Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita. "Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, n

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-30
  • Senandika   7 ; Percakapan di Bawah Pohon

    Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-02
  • Senandika   8 ; Perpustakaan

    Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-03
  • Senandika   9 ; Hujan

    Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-08

Bab terbaru

  • Senandika   11 ; Sakit

    Motor Mahesa dengan Shera di jok belakang tiba di halaman rumah Jevan. Mereka menjadi yang terakhir tiba di rumah Jevan karena tadi Shera harus menjawab telepon dari orangtuanya. Shera membuka helm sembari merapikan rambutnya melalui spion. Di sela-sela pantulan wajahnya ia dapat melihat Mahesa berdiri di belakangnya dengan wajah serius. “Ra,” panggil Mahesa membuat Shera mengalihkan pandangannya. “Kenapa?” “Lo sama Jevan kemarin beneran nggak ada apa-apa?” Shera mengernyitkan keningnya bingung, tidak mengerti kenapa Mahesa tiba-tiba menanyakan topik di kantin yang jelas-jelas sudah basi. “Nggak.” “Bohong.” Shera memejamkan matanya kemudian menghela nafasnya kasar. Ia tahu bahwa Mahesa peka terhadap situasi maupun perasaan seseorang di sekitarnya, tetapi bisa kan tidak terang-terangan seperti ini? Memang apa salahnya jika ia tidak ingin ada yang tahu? Toh, mau ia ada hubungan apapun dengan Jevan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali d

  • Senandika   10 ; Rahasia dan Jebakan

    “Shera?” “Hm?” “Gue boleh…meluk lo?” Shera membulatkan matanya, tidak percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Jevan. Memang sekarang keadaan mereka cukup romantis dengan rintik hujan kalau di lihat dari sudut pandang orang-orang yang lewat. Tapi pertanyaan tiba-tiba dari Jevan itu membuatnya langsung tersadar, mereka tidak cukup dekat untuk saling berpelukan. Lantas Shera menggelengkan kepalanya sambil menjawab dengan tegas, “Nggak.” Berkat penolakan itu, Jevan memerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya panas dan telinganya berubah menjadi warna merah dikarenakan malu. Cowok itu segera menjauhkan tangannya dari wajah Shera, entah bagaimana tangannya juga terasa panas. Ia tidak ada maksud apapun selain membuat cewek itu merasa aman dipelukannya. “Nggak usah malu. Maaf ya,” Shera terkekeh pelan melihat reaksi Jevan yang seperti itu setelah ia tolak. “Gue kaget, makanya jawab nggak.” Jevan mengusap telinganya yang memerah itu

  • Senandika   9 ; Hujan

    Shera dan Jevan keluar bersama dari bioskop setelah menonton film horor yang dirilis dua hari lalu. Sejujurnya Shera sekarang sangat malu dengan pikirannya sendiri karena di perpustakaan tadi ia mengira bahwa Jevan mengajaknya kencan, ternyata murni karena cowok jangkung itu ingin menonton. "Gimana filmnya?" tanya Jevan sembari menyeruput cola yang dibelinya sesaat sebelum film diputar. "Lumayan." "Jawaban yang lebih spesifik dari itu dong." "Iya seru, tapi gue ngga takut." Jevan menyunggingkan senyumnya, terkekeh pada seruan yang tiba-tiba itu. "Gue nggak nanya lo takut atau nggak, kok. Keliatan tadi lo biasa aja pas adegan jumpscare." Shera mengangguk membenarkan. Ia memang tidak pernah takut jika menonton film horor, toh semua yang ada di layar itu manusia biasa. "Mau kemana lagi?" Jevan menggelengkan kepalanya tidak tahu sambil melihat sekeliling mall, tidak terlalu ramai padahal ini sudah malam. Kini Jevan dan Shera

  • Senandika   8 ; Perpustakaan

    Shera : Guys, ada yang mau belajar bareng gue nggak? Anissa : Ngga deh panas hari ini. Mahesa : Nggak dulu, Ra. Hayden : Skip, gak suka belajar. Julia : Gue juga nggak yaaa. Felix : Gue nggak. Regar : Gue juga. Raisha : Nggak, mau nonton. Jevan menatap layar ponselnya yang menampilkan grup chat teman-temannya, menunggu ada yang mau mengikuti Shera belajar. Namun nihil, teman-temannya itu tidak ada yang mau. Jevan memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menimang ajakan tersebut. Hari ini ia memang mau belajar, tapi tidak di rumah. Jevano : Gue mau. Setelah mengirim chat, Jevan melempar ponselnya ke kasur. Mengacak-acak rambutnya karena hanya ia satu-satunya yang menerima ajakan itu. Sedikit takut menghadapi keeso

  • Senandika   7 ; Percakapan di Bawah Pohon

    Bel istirahat berbunyi sejak lima menit yang lalu, Bu Nana yang sedang mengajar di kelas Shera barusan keluar membuat hampir seisi kelas berbondong-bondong ke kantin. Terkecuali Shera, cewek itu duduk di bangkunya sambil melihat grafik nilai yang tadi diberikan oleh Bu Nana. “Ikut ke kantin nggak?” tanya Anissa sambil mengeluarkan dompet dari tasnya sedangkan Julia dan Raisha sudah menunggu di depan kelas. Shera menggeleng, sedang tidak ingin makan siang di kantin. “Nggak, deh. Males.” Anissa mendecakkan lidah, sudah biasa dengan tolakan Shera jika diajak ke kantin. “Yaudah hati-hati di kelas, gue cabut dulu yak.” Setelah dapat anggukan dari Shera, Anissa bersama Julia dan Raisha bergegas ke kantin untuk mengisi perut mereka. Shera masih diam menatap kertas di hadapannya tanpa minat. Susu cokelat pemberian dari Jevan kemarin tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. Ada rasa ingin berbalas budi. Dilihatnya bangku Jevan, dimana cowok tinggi itu s

  • Senandika   6 ; Sore dan Masalah Jevan

    Motor Mahesa tiba di depan rumah Shera. Tadi saat selesai kerja kelompok, Jevan sempat menawarkan untuk mengantar Shera pulang. Tetapi langsung ditolak oleh Shera karena ia tidak ingin merepotkan sang pemilik rumah. Untung saja Mahesa pergi sendiri dan jok motornya kosong, tanpa babibu Shera segera merangkul bahu Seungmin sambil mengatakan pada Jevan bahwa ia akan pulang dengan cowok manis itu. "Lo gak mau turun, nih?" tanya Shera sedikit sewot karena Shera tidak kunjung turun dari motornya. Dilihat dari spion, cewek itu hanya memandang rumahnya tanpa ada niat untuk turun. "Gak tau," jawab Shera murung. Ia sama sekali tidak ada niat untuk pulang ke rumah jika kondisi rumahnya tidak ada yang berubah. Ayah dan Ibu yang sama-sama gila prestasi serta kehormatan hingga membuat anak yang tidak terlalu pintar di akademis seperti Shera harus menderita. "Jadi gimana?" Mahesa khawatir sejak Shera menjawab pertanyaannya tadi. Ia tahu bahwa sedang ada yang tidak beres, n

  • Senandika   5 ; Semangkuk Samyang dan Tangisan

    Dari lantai atas terdengar langkah kaki menuruni tangga. Terlihat Shera turun dengan pakaian rapi Sabtu pagi ini. Cewek itu mengenakanlightloose jeansdengan atasan kaos putih dibalutouterrajut berwarnacream,tak lupa dengan totebag putih dan rambut yang masih setengah kering."Mau kemana?" tanya ayahnya tajam dari meja makan, pria paruh baya itu menikmati sarapannya."Keluar sebentar," jawab Shera gugup."Habis bunuh diri kamu mau main?"Shera diam. Tidak berani menjawab, nada ayahnya saat ini benar-benar bisa membunuhnya langsung jika ia mengeluarkan suara."Kenapa tidak dijawab?!" Sebuah garpu dilemparkan bersamaan dengan bentakan itu dan memecahkan vas bunga yang ada di samping Shera."Enggak main..." nada Shera bergetar menjawab bentakan itu. Ia benar-benar takut, ingin sekali langsung pergi tanpa diinterogasi seperti ini. Bahkan ibunya pun hanya diam saja sambi

  • Senandika   4 ; Satu Kelompok

    "Semua udah kebagian hasil ujiannya?" tanya Bu Sarah, guru Geografi sekaligus wali kelas IPS 3. Kemarin beliau mengadakan ujian dan hasilnya baru dibagikan hari ini."Sudah bu," berbagai macam suaranya menjawab pertanyaan Bu Sarah."Yang remed besok ya, hari ini ibu mau kasih tugas kelompok," bersamaan dengan pemberitahuan itu, Bu Sarah menulis banyak kelompok dan nama-nama anggotanya di papan tulis.Dari tempat duduknya, Shera melihat papan tulis dengan tidak begitu tertarik. Baginya mau sekelompok sama siapa saja tidak masalah, asal mau sama-sama bekerja, bukan hanya menumpang nama dan tugasnya dibebankan ke orang lain."Enak banget lo satu kelompok sama Jevan," bisik Chaca sambil menyikut lengan Shera membuat cewek itu mencari namanya di papan. Ada di kelompok 3, di bawah nama Jevan."Apa enaknya? Kan sama-sama kerja.""Enak pokoknya sekelompok sama Jevan. Doi selalu nawarin diri buat jadi ketua, terus ngerjainnya juga di rumahnya. Banyak

  • Senandika   3 ; Hilang dan Hadir

    Motor Scoopy abu-abu dope Jevan berhenti tepat di depan pagar rumah Shera. Kepalanya menoleh sana sini mencari kehidupan di pekarangan rumah minimalis dengan dua lantai itu. Biasanya sih, kalau Jevan mengantar Shera, ada satu mobil HRV putih di bagasi. Tapi hari ini mobil tersebut tidak terlihat."Nyari siapa, Nak?" seorang wanita paruh baya mendekati Jevan dengan perlahan."Anak pemilik rumahnya, Bu.""Ohhh, tapi rumah ini sudah empat hari kosong.”"Apa nggak ada orang sama sekali, Bu?" Jevan kaget. Pikirannya mengatakan bahwa Shera pindah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun. Kalau benar begitu, dia harus bilang apa ke Bu Dara dan Bu Sarah—wali kelasnya—? Tidak mungkin kan, berbohong lagi."Sepenglihatan saya sih belum ada. Kemarin saya lihat ada mobil putih keluar dari sini malem-malem, setelah malem itu ya, kosong," wanita paruh baya itu berbicara dengan menatap Jevan penuh selidik sambil sesekali matanya menerawang hal-hal

DMCA.com Protection Status