SIAPA SELLY ITU?
"Andai saja semua ini tak terjadi pasti yang menikah dengan Pak Dion bukan aku kan, Kak? Pasti Bima tak kan pernah hadir di dunia ini. Pasti kau dan Steven akan bertemu, namun ternyata Tuhan memiliki jalan takdir lain. Apakah benar kata mereka, Kak? Apakah aku merebut kebahagianmu?" tanya Aruna. Tak ada jawaban, hening. Hanya deru angin saja yang terdengar menerpa wajah Aruna. Dia menghela nafas panjang sambil menatap nisan milik Seruni. Aruna tersenyum kecut dan meletakkan buket bunga itu diatasnya."Kak Seruni, seperti pesanmu dulu semasa hidup, aku akan tetap menjadi orang kuat. Aku sekarang juga berjanji akan menjadi orang tua mandiri membesarkan putraku Bima, meskipun tanpa sosok Bapak. Sama sepertimu, Bima akan aku didik menjadi anak yang ceria, pemaaf, meskipun semua ini sangat sakit. Kak Seruni, aku juga sudah bertemu dengan Steven, aku akan segera mengurus semua pembagian rumah susun yang kita beli dulu," ucap Aruna sambil tersenyum pahit.KEDATANGAN ORANG TUA ARUNA"Wahh, informasi ini agak mengejutkan," gumam Aruna. Rendi menoleh dan menghela nafasnya panjangnya."Jangan bicara sembarangan, Bima! Jangan kau dengarkan Aruna, Bima itu hanya asal bicara saja," sahut Rendi."Benarkah? Siapa itu Kak Selly? Apakh itu pacarmu, Mas?" tanya Aruna pada Rendi.Rendi diam tak menjawab, dia asik memotong buah yang akan dia gunakan untuk membuat salad buah. Semakin Rendi diam, justru membuat Aruna makin gemas dan ingin menggodanya. Dia mendekat ke arah Rendi lalu memakan buah yang sudah di potong oleh dokter muda tersebut."Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Rendi melirik sekilas."Menurutku ini agak aneh, Mas. Benarkah sosok Dokter Rendi, ahli jantung yang terkenal sangan dingin seperti kulkas lima pintu sepertimu juga bisa jatuh cinta? Aku penasaran dengan gadis yang di panggil Kak Selly oleh Bima. Apakah dia cantik? Berapakah umurnya? Apakah dia menyukaimu? Apakah kalian saling mengenal? Apakah aku pernah bertemu denganny
MENIKAHLAH DENGAN ARUNA, RENDI!"Kau jangan keceplosan, kau jangan mengatakan apapun tentang Ayah Baik di hadapan Eyang Kakung dan Eyang putrimu," jawab Aruna."Kenapa memangnya, Bu?" tanya Bima."Kau masih ingin bertemu dengan Ayah Baikmu kan?" tanya Aruna. Bima pun menganggukkan kepalanya. Karena dia memang masih menginginkan bertemu dengan Dion, karena menurutnya memang itu adalah ayahnya. Jadi wajar saja jika dia ingin bertemu dengannya apalagi selama ini Ayah Baiknya sangat memanjakannya. Bahkan apapun yang diinginkannya pasti akan diberikan tanpa banyak bertanya atau cerewet seperti ibunya. Itulah yang membuat Bima lebih senang jika menghabiskan waktu bersama ayah baiknya itu."Nah jika nanti Eyang Putri tahu tentang Ayah Baik, rasanya mereka akan marah," gumam Aruna."Marah? Marah kenapa, Bu?" tanya Bima."Ya, tentu marah. Karena Ayah baik kan belum berkenalan dengan Eyang Putri dan Eyang Kakung," jawab Aruna."Mengapa mereka tak berkenalan, Bu?" tanya Bima. "Itu karena Ayah
BUKAN KEMEWAHAN TAPI ANAK YANG HIDUP BAHAGIA!"Tidak, Pakde! Tidak, Bima hanya mengada-ngada saja...""Bohong! Ayah Rendi bohong, Eyang. Kemarin kakak Selly sendiri yang mengatakan jika dia akan menikah dengan Ayah Rendi!" teriak Bima memprotesnya."Tuh kan iya kan! Mas Rendi sekarang punya pacar kan! Sungguh aku tak menyangka Mas Rendi bisa seperti itu, bahkan saat Mas Rendi punya pacar tak mau jujur dan mengatakan padaku lebih dulu. Kejam sekali rasanya," kata Aruna merajuk.Rendi hanya menggarukkan kepalanya saja. Percuma saja dia menjelaskan kepada Aruna jika tidak mempertemukannya langsung dengan Selly. Mereka pun makan bersama, setelah itu juragan Waluyo mengajak Rendi untuk sekedar berbincang di luar, mereka memilih taman perumahan. Karena karena juragan Waluyo ingin merokok."Pakde sebaiknya pakde kurang-kurangi lah merokok Pakde, kan sudah tua. Bukannya apa-apa harga rokok itu tak seberapa, Pakde. Justru Rendi begini karena Rendi sayang dengan Pakde. Ingat Pakde, merokok itu
IBU AKU MERINDUKAN AYAH BAIK"Bapak tenang saja, percayalah pada Aruna. Semoga Aruna memang benar-benar memiliki rencana dan tujuan lain dalam hidupnya. Apa yang bisa kita lakukan selain mendukung keputusannya dan mendoakan agar itu yang terbaik, Pakde? Kita tak berhak untuk menuntut Aruna menjadi apa dan seperti apa yang kita mau, Pakde. Biarkan Aruna menentukan sendiri jalan hidup dan takdirnya seperti apa," kata Rendi mengakhiri."Apakah itu artinya kau tahu siapa lelaki itu, Le?" tanya Juragan Waluyo.Rendi terdiam, dia tak bisa menjawab ucapan lelaki setengah baya itu. Dia menghela nafas begitu panjang dan berat. Tanda bahwa dia tak bisa mengatakannya. Juragan Waluyo pun hanya tersenyum dan menghormati keputusan lelaki itu."Tak apa, tak masalah. Pakde hormati semua keputusanmu," ucapnya."Ayah Rendi!" teriak Bima yang menyusul mereka dari belakang."Ah, syukurlah ada Bima," batin Rendi dalam hati.Mereka semua menoleh ke belakang. Nampak bocah lucu itu berlari ke arah mereka,
BIMA CEMBURU"Apakah kita harus pergi ke playground bersama atau kita harus di rumah saja tidur berguling-guling sambil menonton film?" usul Aruna. Bima menggelengkan kepalanya."Ibu aku merindukan Ayah Baik, bolehkah aku sekedar menelponnya? Hanya itu permintaan Bima," jawabnya.Aruna hanya menghela nafasnya panjang, dia menatap wajah Bima. Wajah yang memang menduplikat seratus persen wajah Dion, bahkan dirinya hanya kebagian wataknya saja sedikit. Semua yanga da dalam Bima adalah Dion, seolah Tuhan hendak menunjukkan bahwa Bima adalah anak Dion yang tak bisa di sangkal.Sebagai seorang Ibu, Aruna sadar jika Bima tak harusnya terlibat dalam pertengkarannya dengan Dion. Dia tak mungkin menghalangi anaknya untuk bertemu dengan sang Bapak. Rasanya akan egois sekali jika dia melakukan itu, karena dia sadar yang bermasalah di sini dirinya dan Dion sedangkan Bima adalah anak yang tak tahu apa-apa. Aruna tersenyum dan mengelus kepala Bima."Baiklah Ibu akan menelponkannya untukmu. Tapi Ib
KESEMPATAN KEDUA RENDI"Bima kau dengan sendiri kan dari Ayah Rendi? Ayah Rendy ingin berbicara dengan Ibu. Bolehkah ibu keluar sebentar?" tanya Aruna."Kau bisa melihat film dulu di kamar sendiri kan? Kau tak papa kan?" tanya Aruna lagi memastikan. Bima pun menganggukkan kepalanya, Aruna segera berjalan menuju balkon kamar sambil terus mengawasi Bima. Dia tersenyum ke arah Bima sekarang memastikan bahwa dia baik- baik saja."Apakah kau sudah sendiri sekarang?" tanya Rendi."Iya sudah, Mas. Sekarang katakanlah, apa hal yang penting itu? Apa yang salah dengan Bima, Mas? Kondisi Bima baik- baik saja kan?" cerca Aruna dengan paniknya."Hah? Bima? Memang ada apa dengan Bima? sahut Rendi bingung."Loh kan Mas Rendi sendiri tadi yang bilang bahwa ada yang penting, bukankah itu berkitan dengan Bima? Apalagi yang penting di dunia ini bagiku jika bukan Bima, Mas? Rasanya tak ada," ujar Aruna."Bukan Aruna, bukan itu. Aku hanya ingin menanyakan sesuatu tentangmu," ucap Rendi."Sesuatu? Tenta
RENDI MENCOBA MENGUNGKAPKAN PERASAANNYA"Terima kasih kau dan sudah benar-benar berakhir," kata Rendi."Hah? Apa maksudmu, Mas?" tanya Aruna heran dengan ucapan Rendi."Ah, tidak! Aku salah merangkai kata saja, maksudku untuk kali ini apakah kau akan berakhir dengan Pak Dion?" tanya Rendi.Aruna menghela nafasnya panjang. Dia terduduk di kursi balkon kamarnya yang memang sengaja di siapkannya untuk menikmati waktu me time nya sendiri. Aruna menghirup kopinya perlahan. Rendi duduk di samping Aruna."Iya, Mas. Kali ini aku benar-benar sudah berakhir, Mas. Aku lelah," gumam Aruna."Jujur saja, aku memang agak sedih awalnya. Namun aku akan mencari cara untuk bertahan. Bagaimana pun juga ada begitu banyak dan hal penting dalam hidupku ini bukan hanya sekedar tentang cinta saja. Bagiku sekarang cinta bukanlah segalanya atau pun prioritas lagi dalam hidupku," jawab Aruna."Aku mendengar semua ucapan mu itu seperti perkataan yang bagus, Aruna! Aku rasanya kembali senang karena Aruna yang sel
PRAHARA CINTA!"Apakah kau tak sadar semua yang kau katakan itu, kriteria lelaki idamanmu, semua ada pada diriku. Bukankah aku sosok laki-laki yang bisa menjadi pasangnmu? Kenapa kau harus mencari lagi? Bukankah pria yang kau cari selama ini ada di hadapanmu?" tanya Rendy dengan wajah yang serius."Ck! Mas Rendi, apakah kau mau aku siram dengan air kopi ini! Mengapa kau begitu tega menggodaku seperti itu. Apakah kau tak sadar jika adikmu ini benar- benar sakit hati dan galau karena baru saja patah hati? Kau tega menggodaku begini," protes Aruna. "Hahaha," sahut Rendi tersenyum kecut sambil berbalik arah dan tersenyum getir.Rendi menghela nafasnya panjang, dia menyadari sekarang bahwa dia benar- benar tak memiliki kesan lain selain kakak. Rendi menghela nafasnya panjang sambil mencengkram pagar besi yang ada di sekitar balkon taman milik Aruna."Aruna," panggil Rendi."Ya," jawab Aruna."Bagaimana jika aku serius dengan semua ucapanku tadi?" tanya Rendi."Maksudnya?" sahut Aruna men