Setidaknya, gagasan Bibi benar. Jenderal adalah dua orang berbeda di depan penghuni dan di depan tim kombat. Aku mengenal begitu banyak tentang Jenderal melalui citra-citra singkat—barangkali dirinya yang selalu mengambil jatah makan paling pertama atau paling terakhir, bahkan dia juga pernah tidak sempat kebagian jatah makan andai Ibu tidak menyadarinya. Ibu barangkali masih takut, tetapi Ibu tim tungku, dan dia sering melihat Jenderal datang sendiri. Aku yakin di suatu titik waktu, akhirnya Ibu mulai membuka dirinya yang ketakutan untuk menghadapi diri Jenderal yang begitu misterius dan gelap.
Dan Bibi adalah orang dengan aura tercerah di Padang Anushka
Bahkan melebihi Ibu—sungguh.
Bibi dicintai penghuni. Dia ceria, mudah bergaul, ramah—tidak seperti tim kombat kebanyakan. Dan Bibi masih sering bersama kandidat percobaan bersama Ibu. Kandidat percobaan mirip kandidat baru, tetapi tampaknya mereka sudah lebih siap untuk menghadapi pertempuran&
“Meri!” seru Bibi, berlari menaiki tangga Balai Dewan. Di pinggangnya ada pedang dengan aura megah. Bibi berlari penuh semangat, rautnya sangat riang, lalu dengan cara paling tidak bersalah, mendobrak pintu ruangan, menemukan Ibu yang sedang mengajar perempuan kecil—lalu menjerit, “MERI!” Yang secara insidental membuat Ibu terkejut dan langsung menjerit:“ASTAGA! KETUK PINTUNYA!”“Meri!” Bibi tidak peduli, langsung meluncur ke meja kecil tempat Ibu dan perempuan kecil itu. “Lihat! Aku dapat pedang baru! Dikasih komandan!”“Komandan?” tanya Ibu, langsung dengan nada normal.“Yah, kita tahu ada semacam peringkat untuk tim kombat, kan?” Bibi mulai menjelaskan, mengedikkan bahunya sesekali. “Aku urutan pertama di keterampilan pedang, dan kemarin aku juga mengalahkan Kapten, jadi aku layak dapat ini.”Ibu melihat pedang itu sejenak—karena secara t
Ibu sedang mencuci sayur ketika Bibi bercerita dengan muram.“Dia sudah berkhianat,” gumam Bibi. “Kita tahu dia hilang, kan? Kemarin aku bertemu dengannya. Baik-baik saja—benar-benar tidak seperti yang selalu kita cemaskan. Dia mengacungkan pedang padaku, dan—dia tidak sedang dipengaruhi. Saat pedang kami bertemu, dia mengucap kekecewaannya, lalu mengajakku ikut ke sisi lain bersamanya. Katanya kami bisa lebih bahagia di sisi lain.”Ibu masih mencuci sayur. Satu ember. Dan membelakangi Bibi, sehingga Ibu tidak benar-benar melihat ekspresi Bibi. Ibu hanya diam, tidak berkomentar apa pun. Bibi semakin gelisah, menggerakkan jemarinya dengan tidak nyaman.“Meri, aku membunuhnya,” ujar Bibi.“Kalau begitu, baguslah,” kata Ibu, langsung.“Apa?”Ibu akhirnya beranjak dari bak pencucian, mengelap tangannya, mendekati Bibi yang sedang duduk di balik meja dapur. “Dia masa la
Di markas tim kombat—yang ada di tengah hutan—Bibi tengah menarget papan panahan ketika Ayahku berdiri di pagar. Ayah tidak lagi basa-basi.“Kau bermasalah dengan Meri?”“Bukannya bagus?” sahut Bibi. “Kau punya bahan obrolan dengannya.”“Aku selalu tidak suka saat kau mengalihkan pembicaraan begini, kulempar bumerang kalau kau masih menghindar. Minta maaf padanya.”“Bukannya kau mau misi?” tanya Bibi.Dan Ayah benar-benar melempar bumerang pada Bibi—yang bisa dihindari Bibi cukup mudah. Bibi melompat ke samping, baru akhirnya menoleh dengan aura penuh tuntutan. “Untuk apa itu? Kau sungguhan?”“Kau yang kebanyakan bercanda. Aku serius sejak awal.”“Aku juga serius tanya padamu. Kau mau misi?”“Kau iri, kan? Kau mau ambil posisiku?”“Bisakah kau berhenti membalasku dengan emosi seperti itu? Cu
Ibu harus berangkat ke pusat medis. Setidaknya selama beberapa hari. Dan Ibu merasa membutuhkan restu Bibi meski situasinya masih belum reda.Berita keberangkatan misi sebenarnya sudah menyebar di kalangan orang-orang yang sering berkumpul di pondok utama. Namun, karena Bibi jarang terlibat lagi di sana, akhirnya dia tidak tahu apa-apa. Yang dia tahu hanya ketika Ibu tiba-tiba terlihat di padang rumput selepas latihan wajib. Para penghuni masih menetap seolah punya bahan tontonan yang lebih menarik. Bibi tentu saja lumayan heran. Firasatnya pasti menangkap sesuatu. Dia melihat Ibu mendekatinya. Tampaknya Bibi berdebar-debar seolah itu menjadi momen ketika akhirnya Ibu berani melabrak dirinya. Ketika Bibi berdiri mengusap keringat dengan handuk, Ibu berhasil sampai di tempatnya, lalu bersuara dengan mantap.“Aku mau pergi misi. Aku butuh restumu.”Bibi terkejut—sejauh yang bisa dia tahan. Bukannya langsung membalas, dia justru memerhatikan sekit
Bibi dan Ibu kembali tak terpisahkan. Perbedaannya, kali ini Bibi yang tidak ingin mereka dipisahkan. Semua penghuni kembali bereaksi seperti ketika mereka tidak berkonflik. Bibi juga meminta maaf pada Esgar, yang hanya mendapat tawa sebagai balasan. “Meri rela membawakanmu oleh-oleh seolah kita berlibur.”Ibu juga mengembalikan izin misi Bibi, membuat Bibi langsung diutus misi dua hari setelah Ibu kembali.“Tidak bisakah aku di sini sedikit lebih lama lagi?” tuntut Bibi, cemberut.“Aku merestuimu,” balas Ibu, tidak peduli. “Sana. Pergi.”Lalu Bibi misi. Lalu Bibi kembali, mendapat sambutan dari Ibu, yang kini agak berubah. Bibi yang sekarang langsung melompat ke pelukan Ibu.Jenderal, tampaknya juga senang melihat mereka kembali bersama. Kini Ibu tidak takut lagi pada Jenderal. Ibu bahkan sering mengutuk sumpah serapah seolah Jenderal sudah melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan dengan mengamb
Kira-kira setahun kemudian, pekarangan di sekitar gubuk Jenderal tidak lagi padang rumput luas. Pekarangan luas itu berubah menjadi ladang bunga berwarna-warni. Tempat sepi itu tiba-tiba sudah semakin sering dikunjungi anak-anak—dan menjadi tempat peristirahatan paling sempurna bagi para pejuang misi. Bibi sempat mendengar Jenderal mengeluh seperti, “Tempat ini jadi berisik.” Dan Bibi berhasil membalas dengan, “Ini biar kau tidak tenggelam di kegelapan lagi.”Bibi dan Jenderal semakin dekat. Sangat dekat.Belakangan ketika Ibu semakin sibuk dengan penghuni yang bertambah, dia harus terus mengatur makanan untuk puluhan orang. Itu membuat Bibi sulit terus bersamanya, jadi Bibi memilih menjaili Jenderal—yang menurutnya lebih menarik dari membantu Ibu memasak. Itu juga yang membuat Jenderal mulai kenal dengan penghuni karena Bibi menyeretnya. Awalnya cukup sulit karena Jenderal terkenal dengan keanehannya, tetapi akhirnya para penghuni m
Belakangan, tampaknya dalam citra itu korban jiwa peperangan mulai agak berkurang. Mereka sudah jarang berjalan menemani jenazah di jalur Telaga. Dalam kurun waktu terakhir, aku sempat melihat mereka hampir setiap hari berjalan di area Telaga yang dingin itu, membakar jasad pejuang yang berhasil dibawa kembali. Itu tidak terjadi di beberapa citra terakhir.“Itu kabar baik,” kata Kara. “Tapi kita juga harus terus mencari.”“Mau mengerahkan misi pencarian skala besar?” tanya Sena.“Kita perlu rapat dewan penghuni untuk itu. Untuk sementara, tahan semua pejuang Padang Anushka berangkat misi. Kebetulan kita punya banyak bahan untuk dirundingkan. Dokter Gelda menyepakati usulan Nadya soal tim medis.”“Oh? Jadi dibuat?” tanya Ayah. “Itu lebih menenangkan.”“Kau bersedia memberitahu ini pada Meri, Al?” tanya Kara.Ayah agak terkejut. “Kok, aku?”K
Aku gembira melihatnya, tetapi itu privasi, jadi aku meminta Fin langsung mempercepat citra yang tidak perlu kulihat. Lagi pula, aku sedang di alam liar, terus berusaha menuruni bukit yang cukup berbahaya. Agak bodoh karena aku berulang kali tersenyum, lalu muram, lalu hampir menangis dalam duniaku sendiri.Citra berikutnya yang kulihat, adalah Ibu yang masih dijaili Jenderal dengan hadiah permen karet berisi kecoak mainan. Ibu hampir mengumpat, tetapi berhasil menahan diri. Jadi, dia mengubahnya menjadi sumpah serapah. “Jangan datang ke dapurku lagi! Siap-siap saja di makananmu ada kecoak!”Jenderal menjadi orang jail yang menakutkan.Sasaran utamanya berganti dari Bibi menjadi Ibu.Ibu mengeluh habis-habisan saat akhirnya punya waktu dengan Bibi. Akhir-akhir ini mereka jarang punya waktu bersama. Bibi sering misi. Kalau dia kembali, Ibu biasanya disibukkan pekerjaan. Ibu harus memasak, lalu saat luang, Ibu senang menjahit. Dia membuat baju.
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t