Interogasi kembali dimulai setelah Berlin tenang.
Tidak ada tekanan berarti. Tidak ada pertanyaan menusuk. Terlepas Berlin masih menjadi bagian timnya atau bukan, dia benar-benar memberitahu semuanya tanpa syarat. Semua pengetahuannya diberikan secara cuma-cuma.
Dan tidak ada satu pun orang di ruangan tim peneliti yang menyangka arah interogasi ini akan berujung menyulitkan Lavi.
Interogasi berlanjut dengan pertanyaan Pita. “Berarti kau termasuk pasukan penjelajah Ordo Guru? Berapa banyak pasukan di Ordo Guru?”
“Ordo Guru punya sistem Sendi,” jawab Berlin. “Aku secara resmi bagian Sendi Tiga. Nama Bos kami Silver. Aku tidak tahu itu nama asli atau bukan, tapi kami memanggilnya seperti itu. Dia jarang menunjukkan diri. Selama aku di Ordo Guru, aku tidak pernah bertemu. Aku tidak tahu pasti wajahnya. Tapi aku pernah bertemu bos Sendi lain.”
“Berapa banyak Sendi di Ordo Guru?”
“Tiga belas. T
Lavi pikir aku hanya merangkulnya sampai setidaknya meja resepsionis.Namun, aku terus melangkah keluar Balai Dewan, melewati jalur berpaving yang sepi, lalu berjalan memasuki markas baru. Ketika Lavi pikir kami berbelok ke dalam, aku melewati jalur setapak ke belakang markas hingga danau. Hamparan air luas langsung terbentang. Angin sejuk berembus semilir. Ada beberapa tim stok di tengah danau sedang memancing. Jadi, aku mengajak Lavi duduk di sekat kayu—yang biasanya dipakai geng idiot untuk memancing. Sekat itu bertemu dengan bibir danau, lalu menjadi semacam dermaga kecil tempat kano bisa ditambatkan. Sekat kayu ini awalnya direncanakan sebagai sekat botol komunikasi dengan Ratu Arwah di Pulau Pendiri, tetapi karena Padang Anushka jarang berkomunikasi, dermaga ini beralih fungsi menjadi tempat pemancingan. Karena itu, ada dua bangku panjang yang sengaja ditanam sebagai tempat duduk.Pemandangan dari dermaga kecil itu cukup indah—rasanya seperti sedang d
Aku sedang tertidur di pundak Lavi ketika Jesse berseru keras, “YESS!”Asva juga berseru, “Akhirnya!”Jesse masih tidak mau kalah suara dari Asva. “AKHIRNYA!”Dari semua gangguan yang kurasakan selama terlelap, itu satu-satunya yang berhasil membuat kesadaranku tersambung lagi. Kebetulan, teriakan Jesse muncul ketika kesadaranku mulai kembali. Ratu Arwah benar. Situasinya agak buruk kalau harus meninggalkan raga dalam waktu lama. Seluruh tubuhku seperti kaku. Dalam waktu yang cukup lama, aku kehilangan kendali akan tubuhku sendiri.“Jesse, kau membangunkannya,” tuntut Lavi.“Tempat ini bukan tempat tidur—tapi benar! Lebih baik dia bangun karena kita punya kabar bagus!” Seseorang seperti menepuk-nepuk pipiku penuh masalah personal. “Bangun! Bangun!”“Jesse!”Tepukan itu berhasil membuatku bangkit dari pundak Lavi. Cahaya terang benderang membutaka
Malam berikutnya, aku menghabiskan waktu di Joglo.Sebenarnya aku tidak berniat menemui Aza, tetapi ketika menelusuri jalur yang sama seperti Reila—ketika dia masuk ke bagian terdalam relief dan mendapati lorong dengan pintu, aku juga menemukannya. Perbedaannya, tidak ada pintu Aza. Keberadaannya tidak terasa. Aku hafal letaknya dari ingatan Reila—tetapi pintu itu tidak ada. Aza tidak berniat muncul di depanku layaknya dia di depan Reila.Sepertinya aku kecewa, tetapi karena aku memang tidak berniat menemui Aza, kekecewaan itu justru terasa leleh.“Apa kau punya masalah dengannya, Forlan?” tanya Bibi Nadya.“Mungkin dia baru tahu aku menyembelih sapi terakhirnya.”“Sejujurnya Bibi juga tidak pernah bertemu. Mungkin alasan dia tidak mau muncul juga karena ada arwah penasaran sepertiku bersamamu.”“Yah, sepertinya tidak. Secara teknis, dia juga arwah.”Kuputuskan mengunjungi te
Aku tidak menyangka ada begitu banyak cerita yang kuucapkan pada Bibi seolah-olah aku telah menjadi Lavi yang terus mengoceh tanpa henti. Maksudku, aku suka Lavi ketika bercerita panjang lebar. Caranya bercerita yang bersemangat membuatku nyaman berada di sisinya untuk mendengar segala jenis cerita dari yang paling idiot sampai paling pedih. Dan biasanya aku juga bercerita padanya, lalu dia akan memasang telinga—perhatiannya atau semua jengkal dalam dirinya untuk mendengar setiap detail cerita. Rasanya menyenangkan diperhatikan seperti itu. Pada akhirnya, ketika aku punya gagasan ingin menceritakan semua kejadian yang kualami di pondok pada seseorang dan janji melarangku melakukannya—setelah janji itu terangkat, aku benar-benar tidak terhentikan menceritakan semuanya. Lavi selalu tersenyum, antusias pada setiap cerita. Dia akan berkomentar, tertawa dengan cara yang benar-benar penuh canda seolah dirinya ada di dalam lelucon yang kubuat bersama Aza. Kalau dipikirkan lagi,
“Merla termasuk yang paling muda di antara pejuang garis depan,” ungkap Bibi. “Dia seperti... adik semua orang. Semua penghuni menjaganya, bahkan ibumu juga melarang keras membawanya ke garis depan. Tapi, yah, Merla terdorong ingin melakukan sesuatu untuk Padang Anushka. Ibumu sia-sia menghentikannya. Kalau ini terulang lagi ke Fal, mungkin dia juga akan seperti itu, Sayang.”“Aku pasti melarangnya mati-matian,” ujarku.“Melarangnya masuk tim penyerang?”“Sebaiknya dia masuk tim medis.”“Itu pilihan yang oke.” Bibi tertawa.Mudah sekali mengatakan itu. Benar-benar sangat mudah membayangkan masa depan di mana Fal bisa memilih tim. Kondisinya sekarang memang berada di tahap paling oke, tetapi benarkah Fal akan selamanya seperti itu? Bayangan masa depan Fal membuatku tersenyum, tetapi senyum itu juga tidak lepas dari pilu. Aku tidak pernah berhenti berharap Fal memiliki waktu lebi
Masih sekitar satu jam lagi sampai matahari terbit.Bibi punya saran sebaiknya aku menunggu pagi, tetapi kuputuskan bergerak sekarang. Jadi, pada akhirnya, Bibi ikut. Secara teknis, aku melanggar jam malam dan tidak mau membuat keributan. Demi kebaikan bersama, aku tidak melapor pada petugas patroli—entah siapa—lalu bersembunyi di balik kabut. Wujudku tak akan terlihat, lalu melintasi jalur penghubung hingga mencapai Balai Dewan. Tidak ada siapa-siapa di lobi Balai Dewan. Meja resepsionis kosong. Kalau aku mendekat ke ruangan tim peneliti, mungkin aku bisa mendengar beberapa suara. Sayangnya, aku tidak ingin bercanda. Kuputuskan langsung ke lantai dua.Kurasakan Profesor Merla di ruangannya, tetapi aku tidak yakin.“Fin, Bibi Merla di dalam, kan?”[“Ada.”]“Bibi Nadya juga di sini?” Aku menoleh ke sekitar.[“Sudah di dalam.”]Sepertinya Bibi Nadya lebih cema
Aku bangun sangat terlambat dari waktu biasanya.Entah sejak kapan aku sudah berbaring di sebelah Profesor Merla. Kurang lebih itu memang kasur paling empuk yang pernah kurasakan seolah setiap jengkal tubuhku yang lelah terserap begitu saja. Ketika mataku terbuka, rasanya segar. Tak ada gangguan berarti. Kuharap itu memang karena kasurnya empuk, bukan karena kemampuanku yang melepaskan raga dari kesadaran.Di sebelahku, Profesor Merla masih terlelap tenang.Kuputuskan bangkit, lalu membuka semua jendela. Sepertinya aku lancang, tetapi itu lebih baik daripada harus membuat suasana kelam semalam tetap ada saat Profesor Merla bangun. Jendela ada cukup banyak. Hanya saja, satu jendela sengaja kubiarkan tertutup. Jendela tempat pot mawar pemberian ibuku berada. Jendela itu memang seperti didesain seolah tidak akan dibuka lagi selamanya. Bahkan hingga saat ini—aku yakin Profesor Merla terus merawatnya—tetapi bunganya tak pernah muncul lagi. Itu membangkitk
Dua hari kemudian, aku menunggang kuda bersama Fal.Sebenarnya tidak hanya kami. Di pekarangan berkuda dekat danau juga ada Yasha, Mika, Profesor Merla, dan—kabarnya pasangan yang belum meresmikan: Laher dan Lily. Mereka berdua belakangan sering bersama. Tak ada gosip baru dari Bazz. Informan terbaik belum mengonfirmasinya.Lily itu perempuan yang—kelihatannya pendiam, tetapi ketika kami punya kesempatan mengobrol, ternyata dia cerewet—yang tingkatannya bahkan melebihi Lavi ketika punya cerita asyik. Sekali mengobrol, dia langsung mendominasi, lalu bercerita dari satu topik ke topik lain semudah membalikkan panggangan. Di tim tungku, dia ahli bagian makanan air. Obrolan pertama kami tentang ikan. Saat itu sedang api unggun dan ikan yang disajikan hampir tidak punya duri.“Kenapa durinya sangat lembek?” tanyaku, ke Lavi.Yang menjawab bukan Lavi, tetapi Lily. Dia memang di dekat kami, tetapi kupikir dia tidak akan bicara.
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak