Lavi pikir aku hanya merangkulnya sampai setidaknya meja resepsionis.
Namun, aku terus melangkah keluar Balai Dewan, melewati jalur berpaving yang sepi, lalu berjalan memasuki markas baru. Ketika Lavi pikir kami berbelok ke dalam, aku melewati jalur setapak ke belakang markas hingga danau. Hamparan air luas langsung terbentang. Angin sejuk berembus semilir. Ada beberapa tim stok di tengah danau sedang memancing. Jadi, aku mengajak Lavi duduk di sekat kayu—yang biasanya dipakai geng idiot untuk memancing. Sekat itu bertemu dengan bibir danau, lalu menjadi semacam dermaga kecil tempat kano bisa ditambatkan. Sekat kayu ini awalnya direncanakan sebagai sekat botol komunikasi dengan Ratu Arwah di Pulau Pendiri, tetapi karena Padang Anushka jarang berkomunikasi, dermaga ini beralih fungsi menjadi tempat pemancingan. Karena itu, ada dua bangku panjang yang sengaja ditanam sebagai tempat duduk.
Pemandangan dari dermaga kecil itu cukup indah—rasanya seperti sedang d
Aku sedang tertidur di pundak Lavi ketika Jesse berseru keras, “YESS!”Asva juga berseru, “Akhirnya!”Jesse masih tidak mau kalah suara dari Asva. “AKHIRNYA!”Dari semua gangguan yang kurasakan selama terlelap, itu satu-satunya yang berhasil membuat kesadaranku tersambung lagi. Kebetulan, teriakan Jesse muncul ketika kesadaranku mulai kembali. Ratu Arwah benar. Situasinya agak buruk kalau harus meninggalkan raga dalam waktu lama. Seluruh tubuhku seperti kaku. Dalam waktu yang cukup lama, aku kehilangan kendali akan tubuhku sendiri.“Jesse, kau membangunkannya,” tuntut Lavi.“Tempat ini bukan tempat tidur—tapi benar! Lebih baik dia bangun karena kita punya kabar bagus!” Seseorang seperti menepuk-nepuk pipiku penuh masalah personal. “Bangun! Bangun!”“Jesse!”Tepukan itu berhasil membuatku bangkit dari pundak Lavi. Cahaya terang benderang membutaka
Malam berikutnya, aku menghabiskan waktu di Joglo.Sebenarnya aku tidak berniat menemui Aza, tetapi ketika menelusuri jalur yang sama seperti Reila—ketika dia masuk ke bagian terdalam relief dan mendapati lorong dengan pintu, aku juga menemukannya. Perbedaannya, tidak ada pintu Aza. Keberadaannya tidak terasa. Aku hafal letaknya dari ingatan Reila—tetapi pintu itu tidak ada. Aza tidak berniat muncul di depanku layaknya dia di depan Reila.Sepertinya aku kecewa, tetapi karena aku memang tidak berniat menemui Aza, kekecewaan itu justru terasa leleh.“Apa kau punya masalah dengannya, Forlan?” tanya Bibi Nadya.“Mungkin dia baru tahu aku menyembelih sapi terakhirnya.”“Sejujurnya Bibi juga tidak pernah bertemu. Mungkin alasan dia tidak mau muncul juga karena ada arwah penasaran sepertiku bersamamu.”“Yah, sepertinya tidak. Secara teknis, dia juga arwah.”Kuputuskan mengunjungi te
Aku tidak menyangka ada begitu banyak cerita yang kuucapkan pada Bibi seolah-olah aku telah menjadi Lavi yang terus mengoceh tanpa henti. Maksudku, aku suka Lavi ketika bercerita panjang lebar. Caranya bercerita yang bersemangat membuatku nyaman berada di sisinya untuk mendengar segala jenis cerita dari yang paling idiot sampai paling pedih. Dan biasanya aku juga bercerita padanya, lalu dia akan memasang telinga—perhatiannya atau semua jengkal dalam dirinya untuk mendengar setiap detail cerita. Rasanya menyenangkan diperhatikan seperti itu. Pada akhirnya, ketika aku punya gagasan ingin menceritakan semua kejadian yang kualami di pondok pada seseorang dan janji melarangku melakukannya—setelah janji itu terangkat, aku benar-benar tidak terhentikan menceritakan semuanya. Lavi selalu tersenyum, antusias pada setiap cerita. Dia akan berkomentar, tertawa dengan cara yang benar-benar penuh canda seolah dirinya ada di dalam lelucon yang kubuat bersama Aza. Kalau dipikirkan lagi,
“Merla termasuk yang paling muda di antara pejuang garis depan,” ungkap Bibi. “Dia seperti... adik semua orang. Semua penghuni menjaganya, bahkan ibumu juga melarang keras membawanya ke garis depan. Tapi, yah, Merla terdorong ingin melakukan sesuatu untuk Padang Anushka. Ibumu sia-sia menghentikannya. Kalau ini terulang lagi ke Fal, mungkin dia juga akan seperti itu, Sayang.”“Aku pasti melarangnya mati-matian,” ujarku.“Melarangnya masuk tim penyerang?”“Sebaiknya dia masuk tim medis.”“Itu pilihan yang oke.” Bibi tertawa.Mudah sekali mengatakan itu. Benar-benar sangat mudah membayangkan masa depan di mana Fal bisa memilih tim. Kondisinya sekarang memang berada di tahap paling oke, tetapi benarkah Fal akan selamanya seperti itu? Bayangan masa depan Fal membuatku tersenyum, tetapi senyum itu juga tidak lepas dari pilu. Aku tidak pernah berhenti berharap Fal memiliki waktu lebi
Masih sekitar satu jam lagi sampai matahari terbit.Bibi punya saran sebaiknya aku menunggu pagi, tetapi kuputuskan bergerak sekarang. Jadi, pada akhirnya, Bibi ikut. Secara teknis, aku melanggar jam malam dan tidak mau membuat keributan. Demi kebaikan bersama, aku tidak melapor pada petugas patroli—entah siapa—lalu bersembunyi di balik kabut. Wujudku tak akan terlihat, lalu melintasi jalur penghubung hingga mencapai Balai Dewan. Tidak ada siapa-siapa di lobi Balai Dewan. Meja resepsionis kosong. Kalau aku mendekat ke ruangan tim peneliti, mungkin aku bisa mendengar beberapa suara. Sayangnya, aku tidak ingin bercanda. Kuputuskan langsung ke lantai dua.Kurasakan Profesor Merla di ruangannya, tetapi aku tidak yakin.“Fin, Bibi Merla di dalam, kan?”[“Ada.”]“Bibi Nadya juga di sini?” Aku menoleh ke sekitar.[“Sudah di dalam.”]Sepertinya Bibi Nadya lebih cema
Aku bangun sangat terlambat dari waktu biasanya.Entah sejak kapan aku sudah berbaring di sebelah Profesor Merla. Kurang lebih itu memang kasur paling empuk yang pernah kurasakan seolah setiap jengkal tubuhku yang lelah terserap begitu saja. Ketika mataku terbuka, rasanya segar. Tak ada gangguan berarti. Kuharap itu memang karena kasurnya empuk, bukan karena kemampuanku yang melepaskan raga dari kesadaran.Di sebelahku, Profesor Merla masih terlelap tenang.Kuputuskan bangkit, lalu membuka semua jendela. Sepertinya aku lancang, tetapi itu lebih baik daripada harus membuat suasana kelam semalam tetap ada saat Profesor Merla bangun. Jendela ada cukup banyak. Hanya saja, satu jendela sengaja kubiarkan tertutup. Jendela tempat pot mawar pemberian ibuku berada. Jendela itu memang seperti didesain seolah tidak akan dibuka lagi selamanya. Bahkan hingga saat ini—aku yakin Profesor Merla terus merawatnya—tetapi bunganya tak pernah muncul lagi. Itu membangkitk
Dua hari kemudian, aku menunggang kuda bersama Fal.Sebenarnya tidak hanya kami. Di pekarangan berkuda dekat danau juga ada Yasha, Mika, Profesor Merla, dan—kabarnya pasangan yang belum meresmikan: Laher dan Lily. Mereka berdua belakangan sering bersama. Tak ada gosip baru dari Bazz. Informan terbaik belum mengonfirmasinya.Lily itu perempuan yang—kelihatannya pendiam, tetapi ketika kami punya kesempatan mengobrol, ternyata dia cerewet—yang tingkatannya bahkan melebihi Lavi ketika punya cerita asyik. Sekali mengobrol, dia langsung mendominasi, lalu bercerita dari satu topik ke topik lain semudah membalikkan panggangan. Di tim tungku, dia ahli bagian makanan air. Obrolan pertama kami tentang ikan. Saat itu sedang api unggun dan ikan yang disajikan hampir tidak punya duri.“Kenapa durinya sangat lembek?” tanyaku, ke Lavi.Yang menjawab bukan Lavi, tetapi Lily. Dia memang di dekat kami, tetapi kupikir dia tidak akan bicara.
Ketika kami kembali di pekarangan berkuda, ternyata di sana sudah ramai.Profesor Merla, Mika, dan Yasha sudah menghentikan kegiatan berkuda—mereka berdiri di depan kerumunan orang-orang berwajah baru. Kalau dipikir lagi, meski sudah berhari-hari, ini pertama kali aku bertemu kandidat baru.Lima laki-laki. Lima perempuan. Imbang.Dhiena dan Lukas seperti sedang menjelaskan sesuatu—sepertinya sedang mengenalkan tiga orang yang menghadap mereka. Profesor Merla dan Yasha pasti sudah dikenal, tetapi aku tidak menyangka Mika belum bertemu satu pun kandidat baru—meski kalau kuingat lagi, tampaknya itu wajar. Ketika aku menjadi kandidat baru, bahkan setelah melewati dua misi, aku juga belum bertemu Mika. Perempuan satu ini benar-benar anti sosial.Pekarangan berkuda Padang Anushka itu ladang rumput yang berpagar. Di dalamnya ada area berkuda dan istal. Para kandidat baru berdiri di luar pagar kayu, berdiri menghadap tiga orang yang masing-masin
Medan awal kami tidak terlalu mengerikan. Bahkan sesuai dugaanku. Tanah cukup rata. Pohon-pohon juga renggang, tidak seperti hutan alam liar biasanya. Aku bisa merasakan kami ada di area luar gunung. Kami di dataran tinggi normal. Tidak ada area berbahaya yang kurasakan. Hanya seperti alam liar normal.Meskipun begitu, bukan berarti areanya benar-benar datar. Masih ada celah-celah kecil seperti jurang bekas longsor. Biasanya itu bisa dihindari dengan mudah. Sayangnya, gelap. Malam telah menguasai alam liar. Haswin dan Yasha memakai senter sorot di kepalanya. Mereka mengikat senter itu di kepala, lalu mengarahkan itu ke sekitar yang membuat semua kelihatan jelas.“Cahayanya terlalu terang,” kata Dalton.“Kurasa begitu,” ujar Haswin.“Memberi cahaya terlalu terang seperti memberi sinyal musuh.”“Aku tahu itu.” Haswin akhirnya mengecilkan tingkat kecerahan senter.“Kelihatannya kita tidak di
Lavi tidak ingin tertidur sampai jam keberangkatan karena ingin bisa tidur saat di alam liar, jadi dia tetap terjaga—dan aku juga tetap terjaga. Di Rumah Pohon kami saling menenangkan pada apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan.Di satu jam sebelum keberangkatan, kami makan malam di dapur yang jujur saja sudah mirip seperti kamp pelatihan. Dalton memberitahu kami jika punggawa misi akan makan bersama di dapur. Kupikirkan kami hanya seperti di jadwal makan biasa. Duduk tersebar dan menyantap makanan masing-masing. Ternyata tidak. Di dapur sudah ada meja khusus bagi punggawa misi—meja yang membentang lurus dengan banyak makanan tersedia. Itu membuatku melongo dan hampir semua orang sudah di sana. Haswin sampai menuntut saat kami datang.“Cepat duduk! Kami menunggu kalian!”Aku tidak percaya apa yang kulihat. Tempat dudukku di sebelah Lavi dan Dalton. Di depanku ada Leo dan Reila. Leo berkata, “Padang Anushka sekarang ini benar-
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c