Aku bangun sangat terlambat dari waktu biasanya.
Entah sejak kapan aku sudah berbaring di sebelah Profesor Merla. Kurang lebih itu memang kasur paling empuk yang pernah kurasakan seolah setiap jengkal tubuhku yang lelah terserap begitu saja. Ketika mataku terbuka, rasanya segar. Tak ada gangguan berarti. Kuharap itu memang karena kasurnya empuk, bukan karena kemampuanku yang melepaskan raga dari kesadaran.
Di sebelahku, Profesor Merla masih terlelap tenang.
Kuputuskan bangkit, lalu membuka semua jendela. Sepertinya aku lancang, tetapi itu lebih baik daripada harus membuat suasana kelam semalam tetap ada saat Profesor Merla bangun. Jendela ada cukup banyak. Hanya saja, satu jendela sengaja kubiarkan tertutup. Jendela tempat pot mawar pemberian ibuku berada. Jendela itu memang seperti didesain seolah tidak akan dibuka lagi selamanya. Bahkan hingga saat ini—aku yakin Profesor Merla terus merawatnya—tetapi bunganya tak pernah muncul lagi. Itu membangkitk
Dua hari kemudian, aku menunggang kuda bersama Fal.Sebenarnya tidak hanya kami. Di pekarangan berkuda dekat danau juga ada Yasha, Mika, Profesor Merla, dan—kabarnya pasangan yang belum meresmikan: Laher dan Lily. Mereka berdua belakangan sering bersama. Tak ada gosip baru dari Bazz. Informan terbaik belum mengonfirmasinya.Lily itu perempuan yang—kelihatannya pendiam, tetapi ketika kami punya kesempatan mengobrol, ternyata dia cerewet—yang tingkatannya bahkan melebihi Lavi ketika punya cerita asyik. Sekali mengobrol, dia langsung mendominasi, lalu bercerita dari satu topik ke topik lain semudah membalikkan panggangan. Di tim tungku, dia ahli bagian makanan air. Obrolan pertama kami tentang ikan. Saat itu sedang api unggun dan ikan yang disajikan hampir tidak punya duri.“Kenapa durinya sangat lembek?” tanyaku, ke Lavi.Yang menjawab bukan Lavi, tetapi Lily. Dia memang di dekat kami, tetapi kupikir dia tidak akan bicara.
Ketika kami kembali di pekarangan berkuda, ternyata di sana sudah ramai.Profesor Merla, Mika, dan Yasha sudah menghentikan kegiatan berkuda—mereka berdiri di depan kerumunan orang-orang berwajah baru. Kalau dipikir lagi, meski sudah berhari-hari, ini pertama kali aku bertemu kandidat baru.Lima laki-laki. Lima perempuan. Imbang.Dhiena dan Lukas seperti sedang menjelaskan sesuatu—sepertinya sedang mengenalkan tiga orang yang menghadap mereka. Profesor Merla dan Yasha pasti sudah dikenal, tetapi aku tidak menyangka Mika belum bertemu satu pun kandidat baru—meski kalau kuingat lagi, tampaknya itu wajar. Ketika aku menjadi kandidat baru, bahkan setelah melewati dua misi, aku juga belum bertemu Mika. Perempuan satu ini benar-benar anti sosial.Pekarangan berkuda Padang Anushka itu ladang rumput yang berpagar. Di dalamnya ada area berkuda dan istal. Para kandidat baru berdiri di luar pagar kayu, berdiri menghadap tiga orang yang masing-masin
Akhirnya mereka mulai memperkenalkan diri. Mulai dari Hela. Sekali lagi menyebut namanya. Perempuan berambut sebahu yang auranya ceria. Sekilas, dia seperti orang yang selalu dipenuhi rasa ingin tahu, tetapi juga kelihatan serius. Dia selalu diikuti dua pengawal setia. Tampaknya mereka pernah kulihat di mimpi yang sama saat aku melihat Hela. Semakin banyak melihat Hela berinteraksi, dengan cara paling janggal, dia mengingatkanku pada Layla. Hanya saja, dengan tipe interaksi Mika. Dia penuh rasa ingin tahu, tetapi tidak menutup diri.Dia orang dengan nuansa paling ringan di antara kandidat baru.“Kau pemilik kemampuan?” tanyaku.“B-Benar!” Dia langsung mengangguk.“Seperti apa kemampuanmu?” tanya Mika.“Em... imajinasi? Aku bisa memanggil benda yang kupikirkan.”Kami diam. Tidak ada yang menanggapi gagasan itu.Yasha yang akhirnya bicara. “Kita bicarakan itu nanti. Lanjut.”
Lavi melarikan diri dari tugas orientasi.“Aku super bosan, tidak banyak yang ajak bicara, mending kabur,” katanya.“Jangan bohong,” tukas Dalton. “Pasti banyak yang ajak bicara. Lukas juga bilang kandidat baru lebih semangat saat ada Kapten.”Lavi mendesis. “Cebol itu terlalu banyak bicara.”“Bilang saja kalau mau dekat Forlan. Aku mengerti.”Aku dan Dalton sedang memperbaiki sepeda di ruangan depan markas baru. Lavi menyeret sofa tunggal ke ruangan depan, lompat ke atasnya, berbaring dengan posisi yang sebenarnya tidak terlalu nyaman, lalu memerhatikan kami. Sebenarnya yang bekerja Dalton, aku hanya ingin teman bicara—kalau dipikir lagi, motifku dan Lavi mirip—aku menemukan Dalton, jadi kalau itu artinya Dalton mau mengajakku bicara, aku tidak masalah disuruh-suruh. Lagi pula, Dalton hanya meminta, “Ambil obeng,” atau, “Bisakah kau pegang senter? Cahaya di s
Kami punya ayunan di pekarangan belakang markas baru.Sebenarnya idenya datang karena aku ingin membuat permainan di markas baru untuk Fal. Elton sempat bilang kalau markas baru semestinya tidak dibangun untuk tempat permainan—meski dia tidak masalah dengan seluruh desain markas—tetapi pada akhirnya, ayunan dibuat karena Lavi berkata, “Aku juga mau.”Dahan pohon tempat Rumah Pohon bertengger terbilang cukup raksasa, jadi Dalton memberikan rantai yang amat kuat, digantung dengan sistem yang rumit—entah, setidaknya dia bilang ayunannya tidak akan mudah rusak, lalu aku memakai papan tempat duduk yang punya karet, sehingga bantalannya sedikit empuk. Maka ayunan itu merupakan ayunan dengan rantai panjang, dan di bagian bawahnya ada tumpukan pasir yang sebenarnya tak terlalu membantu. Kini pekarangan belakang tidak hanya diisi hutan pinus, area panahan, atau boneka jerami, tetapi juga ayunan. Sayangnya, alih-alih Fal yang sering bermain, ayunan
Ini bukan pertama kalinya aku ditantang satu lawan satu.Dan bukan pertama kalinya diajak pertandingan tidak resmi.Aku perlu menahan diri sangat keras agar tidak berkomentar yang aneh—dan untuk menghindari masalah, kuputuskan bicara di kepala Lavi. “Dia?”[“Anak belagu. Jangan dihiraukan.”]Respons pertamaku: aku mengangguk-angguk.Respons keduaku: “Kau mengingatkanku pada seseorang.”Dalton juga sepakat. “Sekarang dia sudah tobat.”Kami menoleh ke Lukas bersamaan. Lukas pura-pura menggaruk kening. Dia sedang duduk di samping Dhiena. Dhiena hanya tersenyum miring.“Hanya satu pertandingan,” desak Calvin.“Kenapa kau mau melawanku?”“Aku ingin tahu beda kemampuanku dengan wakil kapten tim penyerang.”Aku melirik Reila, jelas memasang ekspresi malas.Belum sempat aku bicara lagi, Dhiena menyergah, &ldquo
Entah sudah berapa kali Kara masih bersikeras menggeleng. Barangkali ini sudah ketujuh kali. Haswin bahkan sudah cukup membuat sorot penuh simpati.Aku menendangnya keras. Sebelum dia sempat kena pembatas arena, aku menendang lagi. Kali ini melarangnya keluar. Dia terbanting lagi ke tengah arena.Sorak penonton langsung menyakitkan. Calvin mengerang. Harga dirinya berhasil membuatnya berdiri lagi. Dia masih punya mata petarung.Secara teknis, ini bukan pertempuran. Aku sengaja tidak memakai pedang. Senjataku hanya tongkat kayu. Dan itu sudah lebih dari cukup menghajarnya meski ini bukan senjata yang benar-benar kukuasai.Dia menyerbu lagi dengan pedang kayu. Aku terus menjaga jarak dengan menghunuskan tongkat. Alih-alih dia yang menyerang, aku yang menyerang. Dia berusaha mengayunkan pedang, aku lebih dulu menyerang lengannya, membuatnya kacau. Namun, dia kebal rasa sakit, jadi tidak peduli seberapa banyak aku memukul lengannya dengan ujung tongkat, dia m
Dua hari kemudian, aku dan si kembar tim penyerang memutuskan latihan di hutan belakang Padang Anushka. Elton memintaku menemaninya latihan di alam liar. Kurasa dia memang punya kelemahan besar di fleksibilitasnya ketika langsung berhadapan dengan hutan. Aku setuju, lalu kami mengajak Dalton.Kurang lebih itu latihan terberatku di Padang Anushka.Elton sampai bilang, “Kau tidak tanggung-tanggung.”Aku mencoba seberapa pekat kabut yang bisa kumunculkan—plus seberapa lama aku bisa mempertahankannya. Jadi, kabut yang muncul benar-benar layaknya tirai, tidak terlihat lagi apa yang ada di hadapan kami, sehingga Dalton memutuskan berhenti berlatih di ranting pohon. Satu-satunya area netral yang terlihat di matanya hanya pijakan tanahnya, yang bahkan juga tertutup selimut kabut tipis.Yang kurasakan, kabut itu benar-benar menguras energiku. Di satu sisi, itu bisa membuat orang-orang di sekitarku sulit bergerak. Indera akan tertutup begitu sempu