Keesokan paginya, Haswin mengajakku berjaga di pondok perbatasan.
Kalau itu masih awal pagi dan Haswin sudah mengajak bicara, biasanya hanya tinggal menunggu waktu sampai pembicaraannya menjadi serius. Dia bahkan tidak mengajak langsung. Lavi yang mengatakannya.
“Setelah makan denganku, temui Haswin.”
Aku khawatir kelihatan muram, tetapi Fal bilang, “Forlan cerah, kok.”
Aku tidak ingin mengerti apa yang dia maksud cerah. Kuharap dia bicara kalau aku tidak terkesan suram. Kebetulan, Lavi juga bilang hal sama.
“Aku lega melihatmu tidak menyalahkan diri sendiri.”
“Sejujurnya aku tidak yakin harus bereaksi seperti apa,” kataku.
“Jangan dipikirkan—maksudku, kenali batasanmu. Aku tidak mau dengar kau sampai tidak tidur berhari-hari karena memikirkan masalah ini. Barangkali tim medis minta bantuan, tapi ini bukan masalahmu seorang. Meski ini bukan bidangku, bukan berarti aku tak bis
Pembicaraan serius tidak berlangsung lama karena Kara harus pergi. Pada akhirnya, Kara memang perlu mengawasi orientasi kandidat baru, yang menurut Yasha karena, “Agar tidak ada orientasi prematur lagi.”“Tidak adil,” kataku.“Cukup satu idiot saja di Padang Anushka,” kata Haswin.“Tidak apa, Nak,” ujar Kara, menghibur. “Orientasimu itu keistimewaan.”Aku jadi ingat momen ketika Dalton menyalahkan Kara atas orientasiku. Itu seperti sudah berlalu seribu tahun. Dalton sangat keren dalam momen singkat.Jadi, Haswin mengajakku bermain catur.“Bagaimana kalau besok kita mengurus ternak?” usul Yasha.“Kau mau memperbudakku lagi?” kataku, menggerakkan pion hitam.“Kita ajak Mika juga. Dia mau lihat ternak.”“Besok jadwal orientasi ke tim bertahan,” Haswin mengingatkan.“Itu, kan, urusanmu,” balas Yasha,
Panggilan untuk mendatangi interogasi datang ketika Fal menuntut padaku karena memainkan pipinya. Fal tidak marah, tetapi terus menuntut.Panggilannya datang melalui telepon. Suara Jesse. [“Ke ruanganku.”]“Kau tahu aku sedang—”Dia mematikan telepon. Memang bukan waktunya basa-basi.Aku tidak yakin harus mengajak Fal, tetapi Reila pasti ikut. Itu artinya, Fal bakal sendirian. Sebenarnya Fal sudah sering sendirian di gerha dan dia punya Pita, si kucing yang senang bermain dengannya. Di gerha juga ada Falcon. Fin juga pasti menjaganya. Secara teknis, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tetapi hampir tiga eksistensi itu tidak memberikan permainan dua arah pada Fal.“Fal mau ke Mika saja,” katanya.“Dia sedang buat baju. Jangan jail.”Dia sudah berlari ke pintu utama. “Dadah!”Belakangan Fal kembali dekat dengan Venus. Dengan cara paling aneh, itu membuat b
“Tidak perlu tegang,” kata Haswin. “Aku teman Dalton dan Forlan.”“B-Baik,” jawab Berlin, tegang.“Aku sudah dengar tentang perjanjian. Kudengar kau berniat membagikan pengetahuanmu tentang tempat asalmu pada kami. Benar?”“Y-Ya.”“Namaku Pita.” Haswin menggenggam tangan Berlin, menjabatnya.“B-Berlin.” Dia berhasil menjabat tangan Haswin. Sangat gugup.Rangkaian itu terjadi begitu cepat, tetapi aku berhasil menangkap namanya.Dalton langsung mengerutkan kening. “Siapa katanya?”“Berlin,” jawab Yasha.“Bukan itu. Nama Haswin?”“Baru saja kau menyebutnya. Haswin.”Dalton menatap Yasha penuh tuntutan. Yasha hanya diam, menatap layar—tidak menggubris sorot Dalton. Aku tidak mengerti siapa yang kelihatan idiot, tetapi saat Yasha tidak bermaksud bercanda, dia bisa membuat lelu
Interogasi kembali dimulai setelah Berlin tenang.Tidak ada tekanan berarti. Tidak ada pertanyaan menusuk. Terlepas Berlin masih menjadi bagian timnya atau bukan, dia benar-benar memberitahu semuanya tanpa syarat. Semua pengetahuannya diberikan secara cuma-cuma.Dan tidak ada satu pun orang di ruangan tim peneliti yang menyangka arah interogasi ini akan berujung menyulitkan Lavi.Interogasi berlanjut dengan pertanyaan Pita. “Berarti kau termasuk pasukan penjelajah Ordo Guru? Berapa banyak pasukan di Ordo Guru?”“Ordo Guru punya sistem Sendi,” jawab Berlin. “Aku secara resmi bagian Sendi Tiga. Nama Bos kami Silver. Aku tidak tahu itu nama asli atau bukan, tapi kami memanggilnya seperti itu. Dia jarang menunjukkan diri. Selama aku di Ordo Guru, aku tidak pernah bertemu. Aku tidak tahu pasti wajahnya. Tapi aku pernah bertemu bos Sendi lain.”“Berapa banyak Sendi di Ordo Guru?”“Tiga belas. T
Lavi pikir aku hanya merangkulnya sampai setidaknya meja resepsionis.Namun, aku terus melangkah keluar Balai Dewan, melewati jalur berpaving yang sepi, lalu berjalan memasuki markas baru. Ketika Lavi pikir kami berbelok ke dalam, aku melewati jalur setapak ke belakang markas hingga danau. Hamparan air luas langsung terbentang. Angin sejuk berembus semilir. Ada beberapa tim stok di tengah danau sedang memancing. Jadi, aku mengajak Lavi duduk di sekat kayu—yang biasanya dipakai geng idiot untuk memancing. Sekat itu bertemu dengan bibir danau, lalu menjadi semacam dermaga kecil tempat kano bisa ditambatkan. Sekat kayu ini awalnya direncanakan sebagai sekat botol komunikasi dengan Ratu Arwah di Pulau Pendiri, tetapi karena Padang Anushka jarang berkomunikasi, dermaga ini beralih fungsi menjadi tempat pemancingan. Karena itu, ada dua bangku panjang yang sengaja ditanam sebagai tempat duduk.Pemandangan dari dermaga kecil itu cukup indah—rasanya seperti sedang d
Aku sedang tertidur di pundak Lavi ketika Jesse berseru keras, “YESS!”Asva juga berseru, “Akhirnya!”Jesse masih tidak mau kalah suara dari Asva. “AKHIRNYA!”Dari semua gangguan yang kurasakan selama terlelap, itu satu-satunya yang berhasil membuat kesadaranku tersambung lagi. Kebetulan, teriakan Jesse muncul ketika kesadaranku mulai kembali. Ratu Arwah benar. Situasinya agak buruk kalau harus meninggalkan raga dalam waktu lama. Seluruh tubuhku seperti kaku. Dalam waktu yang cukup lama, aku kehilangan kendali akan tubuhku sendiri.“Jesse, kau membangunkannya,” tuntut Lavi.“Tempat ini bukan tempat tidur—tapi benar! Lebih baik dia bangun karena kita punya kabar bagus!” Seseorang seperti menepuk-nepuk pipiku penuh masalah personal. “Bangun! Bangun!”“Jesse!”Tepukan itu berhasil membuatku bangkit dari pundak Lavi. Cahaya terang benderang membutaka
Malam berikutnya, aku menghabiskan waktu di Joglo.Sebenarnya aku tidak berniat menemui Aza, tetapi ketika menelusuri jalur yang sama seperti Reila—ketika dia masuk ke bagian terdalam relief dan mendapati lorong dengan pintu, aku juga menemukannya. Perbedaannya, tidak ada pintu Aza. Keberadaannya tidak terasa. Aku hafal letaknya dari ingatan Reila—tetapi pintu itu tidak ada. Aza tidak berniat muncul di depanku layaknya dia di depan Reila.Sepertinya aku kecewa, tetapi karena aku memang tidak berniat menemui Aza, kekecewaan itu justru terasa leleh.“Apa kau punya masalah dengannya, Forlan?” tanya Bibi Nadya.“Mungkin dia baru tahu aku menyembelih sapi terakhirnya.”“Sejujurnya Bibi juga tidak pernah bertemu. Mungkin alasan dia tidak mau muncul juga karena ada arwah penasaran sepertiku bersamamu.”“Yah, sepertinya tidak. Secara teknis, dia juga arwah.”Kuputuskan mengunjungi te
Aku tidak menyangka ada begitu banyak cerita yang kuucapkan pada Bibi seolah-olah aku telah menjadi Lavi yang terus mengoceh tanpa henti. Maksudku, aku suka Lavi ketika bercerita panjang lebar. Caranya bercerita yang bersemangat membuatku nyaman berada di sisinya untuk mendengar segala jenis cerita dari yang paling idiot sampai paling pedih. Dan biasanya aku juga bercerita padanya, lalu dia akan memasang telinga—perhatiannya atau semua jengkal dalam dirinya untuk mendengar setiap detail cerita. Rasanya menyenangkan diperhatikan seperti itu. Pada akhirnya, ketika aku punya gagasan ingin menceritakan semua kejadian yang kualami di pondok pada seseorang dan janji melarangku melakukannya—setelah janji itu terangkat, aku benar-benar tidak terhentikan menceritakan semuanya. Lavi selalu tersenyum, antusias pada setiap cerita. Dia akan berkomentar, tertawa dengan cara yang benar-benar penuh canda seolah dirinya ada di dalam lelucon yang kubuat bersama Aza. Kalau dipikirkan lagi,