Gang itu benar-benar membangkitkan kenangan mimpi lama.
Suasananya persis sama. Sekarang aku mengerti itu bukan hanya mimpi. Itu masa lalu yang bangkit dalam mimpi. Anak gembrot itu tampak di belakang anak tinggi, melempar batu ke tempatku. Tidak ada yang kena. Terutama ketika aku bisa menghindarinya. Tampaknya permainan lempar tangkap bola berguna untuk situasi semacam ini. Aku mengerti sebenarnya Ayah hanya ingin membuatku siap sejak sangat dini—dengan cara paling halus yang bisa kuterima—yang mungkin tidak bisa dimengerti Ibu.
Jadi, karena semua batu bisa dihindari dengan mudah. Kini yang datang tidak lagi batu. Botol, kelereng, sampah bau—apa pun selama bisa dilempar.
Jeritan anak gembrot itu yang paling nyaring. “ANAK IBLIS!”
“Usir dia dari sini!” sambut anak yang lain.
“Pergi! Anak terkutuk harus pergi!”
Tidak ada yang kulakukan. Hanya berdiri tegak.
Semua lemparan itu bisa d
Belakangan aku baru menyadari bahwa jauh sebelum aku tiba di pondok—jauh sebelum aku dijelaskan segala hal tentang pemilik kemampuan—Ibu ternyata sudah menjelaskan semuanya, tentang bagaimana kami tidak normal.Semua dimulai ketika Ibu melarangku tidur sendirian. Ada bagian tubuhku yang masih sulit digerakkan, jadi gagasan tidur sendiri adalah hal terlarang menurut Ibu. Jadi, Ibu tidur di kamarku—entah berapa lama malam berlalu sejak aku babak belur, tetapi pada akhirnya di tengah kegelapan malam yang sunyi, aku bertanya, “Ibu belum tidur, kan? Boleh aku bilang sesuatu?”Ibu terpanggil, langsung menoleh menghadapku. “Kenapa, Sayang?”Hening sejenak, setidaknya beberapa saat ketika mata kami bertautan.“Ibu,” suaraku yang itu lumayan tajam. “Ibu bohong.”“Bohong?” Ibu lumayan terkejut. “Bohong apa?”“Ibu bilang aku tidak boleh bohong, jadi Ibu juga
Lompatan penglihatan berikutnya terjadi sangat cepat.Rasanya tidak terlihat jauh berbeda. Namun, sesuatu seperti mengambang. Aku melihat Ayah memeluk Ibu, dan seberapa bodohnya aku melihat itu, aku tahu Ibu seperti melarang Ayah melepasnya.Tampaknya kami sudah tidak di rumah yang terakhir kulihat. Kali ini kami di tempat yang jauh lebih bercahaya, seolah di luar ruangan ini, matahari bersinar menembus kubah tanah. Dan aku duduk dengan Reila. Reila menatap Ayah dan Ibu yang tengah berpelukan, memeluk boneka kuning, sembari termenung.Pada akhirnya, Ayah melepas pelukan, berhasil meyakinkan Ibu.Baru kusadari di dekat mereka ada orang yang familier: Kara. Jadi, selepas memeluk Ayah, Kara langsung berusaha menenangkan Ibu.Ayah menghampiriku. “Forlan, jaga Ibu dan Reila, oke?”Pertanyaan pertamaku langsung tajam. “Kapan Ayah pulang lagi?”“Secepatnya,” janji Ayah. “Kara butuh bantuan Ayah. Bila
Penglihatan berikutnya dimulai dari suara nyaring Layla kecil: “Reila main sama aku, ya. Forlan lagi marah.”Begitu pandanganku terbuka sepenuhnya, Reila sudah dibawa pergi Layla.Aku sedang duduk di jungkat-jungkit, tepatnya di posisi bawah. Layla dan Reila baru pergi. Sepertinya jadi lawan main jungkat-jungkit. Dan aku terdiam di posisi itu selama beberapa saat, seolah tidak ada lagi yang bisa kulakukan.“REILA!” jeritku, pada akhirnya.Dari kejauhan terdengar teriakan Layla, “REILA SAMA AKU!”Sepertinya aku baru memutuskan menarik Reila kembali adalah salah satu gebrakan paling tidak berguna, jadi aku mendecak, melangkah masuk rumah.Rumah itu sedikit berbeda dari rumah sebelumnya. Rumah yang ini sedikit lebih besar, dengan interior yang sedikit lebih mewah. Ruangan tengahnya kelewat besar, meski di sana hanya ada dua wanita—yang satu duduk di kursi, sementara yang satu seperti asisten yang memban
Kilasan itu mulai berganti cepat lagi.Sebagian besar memperlihatkan permainan bersama Profesor Merla. Jadi, aku mengerti bahwa salah satu yang membuat gerak motorik Profesor Merla cepat kembali juga karena permainan bulu tangkis yang kulakukan bersamanya. Gerakan-gerakan kecil itu tampaknya menjadi salah satu pengobatan tercepat bagi kakinya untuk bisa kembali menghadapi situasi garis depan.Dan dalam kilasan itu, bisa kupastikan Profesor Merla benar.Profesor Merla adalah pengganti Ibu. Dia orang yang menemaniku terjaga sepanjang malam, menemaniku menangis ketika merindukan Ayah dan Ibu, satu-satunya orang yang tahu betapa aku selalu melihat Reila dari jauh, memastikan dia dalam kondisi baik-baik saja, sekaligus orang yang paling keras memperingatiku. “Kau itu kakaknya, bukan penjaganya. Sekali-kali ajak dia main!”Namun, sebenarnya aku sering mengajak Reila main. Bahkan kami seperti tidak bisa dipisahkan. Sewaktu-waktu kami pernah berbelanj
Aku tidak pernah menyangka menyaksikan diriku tersisa seorang diri akan terasa begitu sepi—bahkan begitu menyakitkan seperti ini.Tampaknya ada semacam pembelajaran khusus di tempat ini layaknya Aza dan Nenek yang sering memakai waktu tertentu sebagai masa belajar—tampaknya itu juga sering dilakukan Fal di Padang Anushka yang sering Layla sebut sebagai: sekolah. Namun, dalam citra ini, aku benar-benar kehilangan apa yang semestinya kumiliki. Aku selalu menghabiskan waktu dengan menyendiri di depan pancuran air. Terkadang menatap langit, terkadang menatap riak air, dan barangkali kini aku telah kehilangan harapan bahwa Ayah dan Ibu akan kembali menjemput. Aku yakin masih sulit menerima kebenaran bahwa adikku telah diambil.Aku semakin sering melihat burung terbang. Melayang ke sana kemari—terkadang berdampingan dengan burung lain, terkadang menukik sendirian. Aku bisa merasakan betapa kosong benak yang menghantui anak ini.Citra terakhir yang ku
Sudah lama aku tidak mendapat penglihatan ini.Hanya saja, titik awalnya agak berbeda. Aku sudah tidak lagi hinggap di aku yang kulupakan, melainkan dalam sudut pandang yang biasa ada di mimpiku: tubuh kucing. Dan bukan di gang kecil, tetapi di sudut kecil jalan kota, tempat ruko-ruko berdiri, dipenuhi pembeli yang bergantian masuk setiap satu detik sekali. Kota kecil ini ramai, diterangi remang-remang lampu, dipenuhi kebisingan memuakkan.Hal pertama yang kulihat, adalah gerombolan preman yang masuk ke gang kecil lusuh, tempat aku pernah dihajar habis-habisan.Kucing ini melompat, melihat gang kecil itu dari sudut ketinggian.Gang itu gelap, kotor, tidak berubah sama sekali seperti yang terakhir kali diperlihatkan citra-citra ini. Kucing ini duduk di atas atap rumah rendah, dan di sana aku berada. Seorang bocah babak belur di sisi tempat sampah yang bau. Bocah yang kurus, lemah, seolah sebentar lagi dia akan pergi meninggalkan dunia. Di badannya hanya ad
Citra-citra bergulir cepat.Aku seperti terombang-ambing dalam bayangan. Tubuhku seperti telentang, layaknya tengah terayun oleh ombak. Namun, tidak ada apa-apa. Rasanya aku juga tidak sedang bermimpi diayun ombak. Hanya gelap. Aku bisa merasakan tubuhku, tetapi tidak ada lagi yang terlihat. Satu-satunya yang bisa membuatku sadar bahwa ini masih dalam mimpi panjang, adalah suara yang saling tumpang tindih.Suara acak. Suara-suara itu sangat jelas, tetapi saling bercampur.Aku bisa dengar suara angin, air terjun, peternakan—seolah-olah suara itu berasal dari masa-masa ketika aku di pondok. Namun, ada juga suara jeritan Reila, suara pancuran air, suara kaca pecah atau sesuatu yang terbanting—seolah-olah itu berasal dari masa ketika Reila akan dibawa pergi. Ada juga suara Ibu. Suara yang begitu menenangkan seolah aku sedang diceritakan dongeng sebelum tidur. Suara-suara yang membuatku terhanyut, betapa aku bisa dibuat nyaman dalam hitungan detik. Rasany
Rasanya aku menyaksikan sesuatu yang bisa membuatku marah.Ada Layla kecil yang terbaring di atas ranjang, terlihat seperti tertidur lelap, tetapi kebenarannya dibius. Dan tidak hanya Layla. Banyak. Setelah beberapa saat, aku baru menyadari bahwa anak-anak yang terlelap di sini adalah anak-anak yang menyaksikan langsung betapa kemampuan Reila meledak menghancurkan fasilitas. Mereka terbaring di atas ranjang empuk, di ruangan terisolasi, dan dipenuhi orang-orang berpakaian putih lengkap bersama alat-alat medis.Layla kecil tampaknya sehabis menangis. Pelupuk matanya sembap.“Bawa pergi anak-anak yang sudah,” perintah seseorang bermasker. “Masih ada berapa banyak lagi?”“Ini kelompok terakhir,” kata seseorang dengan catatan. “Enam anak.”“Berapa banyak yang harus dikunci?”“Khusus yang ini,” dia menunjuk Layla, “kunci sebanyak yang Anda bisa.”“Kau