Citra-citra bergulir cepat.
Aku seperti terombang-ambing dalam bayangan. Tubuhku seperti telentang, layaknya tengah terayun oleh ombak. Namun, tidak ada apa-apa. Rasanya aku juga tidak sedang bermimpi diayun ombak. Hanya gelap. Aku bisa merasakan tubuhku, tetapi tidak ada lagi yang terlihat. Satu-satunya yang bisa membuatku sadar bahwa ini masih dalam mimpi panjang, adalah suara yang saling tumpang tindih.
Suara acak. Suara-suara itu sangat jelas, tetapi saling bercampur.
Aku bisa dengar suara angin, air terjun, peternakan—seolah-olah suara itu berasal dari masa-masa ketika aku di pondok. Namun, ada juga suara jeritan Reila, suara pancuran air, suara kaca pecah atau sesuatu yang terbanting—seolah-olah itu berasal dari masa ketika Reila akan dibawa pergi. Ada juga suara Ibu. Suara yang begitu menenangkan seolah aku sedang diceritakan dongeng sebelum tidur. Suara-suara yang membuatku terhanyut, betapa aku bisa dibuat nyaman dalam hitungan detik. Rasany
Rasanya aku menyaksikan sesuatu yang bisa membuatku marah.Ada Layla kecil yang terbaring di atas ranjang, terlihat seperti tertidur lelap, tetapi kebenarannya dibius. Dan tidak hanya Layla. Banyak. Setelah beberapa saat, aku baru menyadari bahwa anak-anak yang terlelap di sini adalah anak-anak yang menyaksikan langsung betapa kemampuan Reila meledak menghancurkan fasilitas. Mereka terbaring di atas ranjang empuk, di ruangan terisolasi, dan dipenuhi orang-orang berpakaian putih lengkap bersama alat-alat medis.Layla kecil tampaknya sehabis menangis. Pelupuk matanya sembap.“Bawa pergi anak-anak yang sudah,” perintah seseorang bermasker. “Masih ada berapa banyak lagi?”“Ini kelompok terakhir,” kata seseorang dengan catatan. “Enam anak.”“Berapa banyak yang harus dikunci?”“Khusus yang ini,” dia menunjuk Layla, “kunci sebanyak yang Anda bisa.”“Kau
Hal berikutnya yang kulihat, adalah Padang Anushka.Masih bukan Padang Anushka yang pernah kutempati. Padang Anushka ini lebih mirip seperti ketika masih ada Ibu, tetapi terasa menggantung seolah Padang Anushka tidak berfungsi selayaknya Padang Anushka biasanya.Citra ini juga agak berbeda.Citra ini agak pudar seolah aku tidak diizinkan melihat semuanya. Rasanya seperti berada dalam ingatan seseorang, bukan ingatanku sepenuhnya.Awalnya aku seperti melihat padang rumput yang sunyi, tidak ada penghuni sehingga terasa begitu aneh—terutama ketika saat itu siang, jelas-jelas langit ada di masa paling terang. Namun, padang rumput sepi, tidak ada siapa-siapa. Jadi, citra itu langsung beralih cepat, seolah ketika aku berkedip, aku berpindah tempat.Kali ini di wilayah yang saat ini kukenal asrama.Saat itu masih menumpuk. Bangunan di segala arah dan tak beraturan. Tak ada lingkaran simetris yang membentuk wilayah khusus—meski bentuk wi
Sayangnya, itu bukan akhir dari citra panjang ini.Sebenarnya aku ingin mengumpat. Kupikir ketika aku menangis menyadari keberadaannya, citra menyesakkan ini juga berakhir. Namun, ternyata, kebangkitan dirinya dalam kepalaku hanya sebagai ajang terbukanya gerbang citra baru.Yang kulihat pertama: hutan belantara.Atau lebih tepatnya: sungai, dan mataku melihat bahwa aku baru terjatuh, lalu keningku akan menanduk bebatuan. Sedetik terasa berlangsung dalam sekejap. Kepalaku menumbuk bebatuan, aku terjatuh di atas aliran sungai, dan pandanganku kabur. Keringatku mengucur deras. Kakiku sakit, seperti tubuhku sehabis berlari jauh, menolak untuk bergerak lagi. Rasanya ada bagian diriku yang marah.Dan aku mendengar diriku sendiri bergumam:“Persetan.”Ingatan itu kembali ke kepalaku: mimpi pertamaku tentang Reila.Dan kusadari keadaan Reila saat itu begitu kacau. Reila berusaha bangkit, tetapi kakinya sendiri pincang. Aku tahu d
Suara Reila menggema ke seluruh penjuru.“Apa yang terjadi padanya? Dia hilang ingatan! Dan kalian tiba-tiba mulai menyalahkanku saat akhirnya bisa bertemu dengannya?”Hening. Tidak ada yang menjawab.Aku—benar-benar aku—terbaring di klinik, dengan wajah damai seolah tak pernah terjadi apa-apa. Reila berdiri di samping ranjang, menuntut, bahkan hampir melotot ke tiga dewan yang hadir di sana: Profesor Neil, Kara, Dokter Gelda.“Dengar, aku bersyukur melihat kakakmu kembali,” kata Profesor Neil. “Ini berita bagus untuk semua orang yang pernah mengenalnya di masa lalu. Tapi masih ada hal lain yang perlu kita pertimbangkan. Kita perlu tahu apa yang terjadi selama dia tidak bisa ditemukan. Kita tidak bisa menerimanya begitu saja.”“Oh?” Reila jelas tidak bisa menerima jawaban itu. “Bahkan setelah semua ini—setelah tahu dia hilang ingatan—masih belum puas?”&ldquo
Kara di halaman belakang Gerha Reila bersama si pemilik rumah.“Aku mengerti, Nak,” kata Kara. “Hanya segelintir orang yang tahu semua kebenarannya. Aku bisa bicara dengan Mika, terlebih karena hanya dia satu-satunya yang langsung sadar identitas Forlan. Tapi kurasa Mika bukanlah orang yang suka ikut campur, kecuali Forlan mendekatinya. Maksudku, ketika akhirnya Mika sadar Forlan hilang ingatan, meski tidak memberitahunya, Mika pasti langsung mengerti keadaannya. Tapi, yah, aku mengerti, biar aku yang bicara dengannya.”“Baik,” Reila mengangguk. “Makasih, Kara.”“Dan, Nak, mm... maaf bila aku menyinggungmu sebelumnya.”“Aku juga. Maaf karena membentak.” Reila kelihatan sudah bisa menerima, meski sorotnya masih kosong. “Bagaimana dengan tiga orang lain?”“Aku punya firasat satu-satunya yang ingat hanya Mika. Tapi kita memang perlu memastikannya. Selama sepuluh
“Dasar pembohong,” kata Profesor Merla.“Bibi pikir aku bisa terus bohong?”“Menyiksa diri memang tidak ada salahnya. Sejauh yang kutahu, kakakmu itu cerdas, dan itu tidak berubah setelah sepuluh tahun. Kita tunggu saja.”Mereka di Lembah Palapa, tempat yang kuingat adalah rumah lama kami. Rumah itu masih berdiri, tidak rusak sedikit pun, seolah selama bertahun-tahun tak pernah ada sesuatu yang membuat rumah itu roboh. Rumah itu berjarak tidak jauh dari gang kecil tempatku hilang, jadi Reila sempat melewati gang kecil itu—yang tampaknya mengingatkannya akan momen ketika dia bersembunyi di belakang bak sampah raksasa super bau. Kini, bak sampah itu sudah hilang, dan gang kecil sudah lebih terang. Tidak ada yang kelihatan kotor. Gang kecil itu lebih terawat. Tak ada lagi rumah makan ikan bakar, tergantikan oleh restoran lokal.Di rumah kami, Reila membereskan segalanya, menurunkan semua bingkai yang berisi foto-foto
Hal pertama yang membuatku mengerti bahwa kesadaranku telah kembali, adalah ketika jemariku berhasil merasakan sensasi rumput.Jadi, mataku mulai terbuka, dengan samar melihat rumput di depan mataku. Aku tersungkur, rerumputan basah di bawahku, dan tidak ada apa-apa sejauh mata memandang. Rasanya aneh. Aku mulai mengerang, terbangun—kesadaranku masih belum sepenuhnya kembali, kepalaku pusing, kurasakan sensasi seperti sehabis berkeringat banyak seolah-olah aku baru berolahraga atau lari gunung. Tubuhku seperti lelah. Aku duduk bersila, berusaha mengembalikan segenap kesadaran, lalu mengingat apa yang sebenarnya terjadi.Aku melihat langit biru dan hamparan air. Posisiku seperti di lembah danau, atau kubangan air raksasa. Ada suara samar air terjun. Aroma yang tercium seperti campuran alam liar dan kesegaran embun pagi. Samar, tetapi aku juga mendengar kicauan burung. Rasanya tidak seperti kembali ke Padang Anushka.Dan aku teringat. Jadi, aku langsung memb
Bisa dibilang, Pulau Pendiri adalah hal teraneh dari alam liar.Awalnya, hutan tidak terlihat seperti punya jalur yang bisa dilewati, tetapi ketika kami menginjakkan kaki di akar pohon pertama, tiba-tiba rerumputan tinggi seperti bergerak, dan Reila hampir menjerit—meski dia bisa menahannya, segera melapor padaku, bahwa, “Rumputnya bergerak.”“Ya,” kataku, singkat, seolah aku tidak melihatnya juga.Sebenarnya bukan hanya rumput. Pohon juga bergerak, meski tidak terlalu terasa. Reila yang tidak bisa merasakan alam liar tidak akan merasakannya, tetapi aku bisa mengerti seolah ada beragam informasi masuk ke dalam kepalaku. Struktur tanah, banyaknya pohon, lokasi pohon, besar pohon, tinggi rerumputan, luas pulau, lokasi air terjun—ada banyak—sungai yang mengalir, beragam eksistensi hewan-hewan indah dan langka yang semestinya sudah punah. Hanya dalam satu pijakan kaki, tiba-tiba aku seperti disambut alam liar. Rasanya, hutan