Aku tidak pernah menyangka menyaksikan diriku tersisa seorang diri akan terasa begitu sepi—bahkan begitu menyakitkan seperti ini.
Tampaknya ada semacam pembelajaran khusus di tempat ini layaknya Aza dan Nenek yang sering memakai waktu tertentu sebagai masa belajar—tampaknya itu juga sering dilakukan Fal di Padang Anushka yang sering Layla sebut sebagai: sekolah. Namun, dalam citra ini, aku benar-benar kehilangan apa yang semestinya kumiliki. Aku selalu menghabiskan waktu dengan menyendiri di depan pancuran air. Terkadang menatap langit, terkadang menatap riak air, dan barangkali kini aku telah kehilangan harapan bahwa Ayah dan Ibu akan kembali menjemput. Aku yakin masih sulit menerima kebenaran bahwa adikku telah diambil.
Aku semakin sering melihat burung terbang. Melayang ke sana kemari—terkadang berdampingan dengan burung lain, terkadang menukik sendirian. Aku bisa merasakan betapa kosong benak yang menghantui anak ini.
Citra terakhir yang ku
Sudah lama aku tidak mendapat penglihatan ini.Hanya saja, titik awalnya agak berbeda. Aku sudah tidak lagi hinggap di aku yang kulupakan, melainkan dalam sudut pandang yang biasa ada di mimpiku: tubuh kucing. Dan bukan di gang kecil, tetapi di sudut kecil jalan kota, tempat ruko-ruko berdiri, dipenuhi pembeli yang bergantian masuk setiap satu detik sekali. Kota kecil ini ramai, diterangi remang-remang lampu, dipenuhi kebisingan memuakkan.Hal pertama yang kulihat, adalah gerombolan preman yang masuk ke gang kecil lusuh, tempat aku pernah dihajar habis-habisan.Kucing ini melompat, melihat gang kecil itu dari sudut ketinggian.Gang itu gelap, kotor, tidak berubah sama sekali seperti yang terakhir kali diperlihatkan citra-citra ini. Kucing ini duduk di atas atap rumah rendah, dan di sana aku berada. Seorang bocah babak belur di sisi tempat sampah yang bau. Bocah yang kurus, lemah, seolah sebentar lagi dia akan pergi meninggalkan dunia. Di badannya hanya ad
Citra-citra bergulir cepat.Aku seperti terombang-ambing dalam bayangan. Tubuhku seperti telentang, layaknya tengah terayun oleh ombak. Namun, tidak ada apa-apa. Rasanya aku juga tidak sedang bermimpi diayun ombak. Hanya gelap. Aku bisa merasakan tubuhku, tetapi tidak ada lagi yang terlihat. Satu-satunya yang bisa membuatku sadar bahwa ini masih dalam mimpi panjang, adalah suara yang saling tumpang tindih.Suara acak. Suara-suara itu sangat jelas, tetapi saling bercampur.Aku bisa dengar suara angin, air terjun, peternakan—seolah-olah suara itu berasal dari masa-masa ketika aku di pondok. Namun, ada juga suara jeritan Reila, suara pancuran air, suara kaca pecah atau sesuatu yang terbanting—seolah-olah itu berasal dari masa ketika Reila akan dibawa pergi. Ada juga suara Ibu. Suara yang begitu menenangkan seolah aku sedang diceritakan dongeng sebelum tidur. Suara-suara yang membuatku terhanyut, betapa aku bisa dibuat nyaman dalam hitungan detik. Rasany
Rasanya aku menyaksikan sesuatu yang bisa membuatku marah.Ada Layla kecil yang terbaring di atas ranjang, terlihat seperti tertidur lelap, tetapi kebenarannya dibius. Dan tidak hanya Layla. Banyak. Setelah beberapa saat, aku baru menyadari bahwa anak-anak yang terlelap di sini adalah anak-anak yang menyaksikan langsung betapa kemampuan Reila meledak menghancurkan fasilitas. Mereka terbaring di atas ranjang empuk, di ruangan terisolasi, dan dipenuhi orang-orang berpakaian putih lengkap bersama alat-alat medis.Layla kecil tampaknya sehabis menangis. Pelupuk matanya sembap.“Bawa pergi anak-anak yang sudah,” perintah seseorang bermasker. “Masih ada berapa banyak lagi?”“Ini kelompok terakhir,” kata seseorang dengan catatan. “Enam anak.”“Berapa banyak yang harus dikunci?”“Khusus yang ini,” dia menunjuk Layla, “kunci sebanyak yang Anda bisa.”“Kau
Hal berikutnya yang kulihat, adalah Padang Anushka.Masih bukan Padang Anushka yang pernah kutempati. Padang Anushka ini lebih mirip seperti ketika masih ada Ibu, tetapi terasa menggantung seolah Padang Anushka tidak berfungsi selayaknya Padang Anushka biasanya.Citra ini juga agak berbeda.Citra ini agak pudar seolah aku tidak diizinkan melihat semuanya. Rasanya seperti berada dalam ingatan seseorang, bukan ingatanku sepenuhnya.Awalnya aku seperti melihat padang rumput yang sunyi, tidak ada penghuni sehingga terasa begitu aneh—terutama ketika saat itu siang, jelas-jelas langit ada di masa paling terang. Namun, padang rumput sepi, tidak ada siapa-siapa. Jadi, citra itu langsung beralih cepat, seolah ketika aku berkedip, aku berpindah tempat.Kali ini di wilayah yang saat ini kukenal asrama.Saat itu masih menumpuk. Bangunan di segala arah dan tak beraturan. Tak ada lingkaran simetris yang membentuk wilayah khusus—meski bentuk wi
Sayangnya, itu bukan akhir dari citra panjang ini.Sebenarnya aku ingin mengumpat. Kupikir ketika aku menangis menyadari keberadaannya, citra menyesakkan ini juga berakhir. Namun, ternyata, kebangkitan dirinya dalam kepalaku hanya sebagai ajang terbukanya gerbang citra baru.Yang kulihat pertama: hutan belantara.Atau lebih tepatnya: sungai, dan mataku melihat bahwa aku baru terjatuh, lalu keningku akan menanduk bebatuan. Sedetik terasa berlangsung dalam sekejap. Kepalaku menumbuk bebatuan, aku terjatuh di atas aliran sungai, dan pandanganku kabur. Keringatku mengucur deras. Kakiku sakit, seperti tubuhku sehabis berlari jauh, menolak untuk bergerak lagi. Rasanya ada bagian diriku yang marah.Dan aku mendengar diriku sendiri bergumam:“Persetan.”Ingatan itu kembali ke kepalaku: mimpi pertamaku tentang Reila.Dan kusadari keadaan Reila saat itu begitu kacau. Reila berusaha bangkit, tetapi kakinya sendiri pincang. Aku tahu d
Suara Reila menggema ke seluruh penjuru.“Apa yang terjadi padanya? Dia hilang ingatan! Dan kalian tiba-tiba mulai menyalahkanku saat akhirnya bisa bertemu dengannya?”Hening. Tidak ada yang menjawab.Aku—benar-benar aku—terbaring di klinik, dengan wajah damai seolah tak pernah terjadi apa-apa. Reila berdiri di samping ranjang, menuntut, bahkan hampir melotot ke tiga dewan yang hadir di sana: Profesor Neil, Kara, Dokter Gelda.“Dengar, aku bersyukur melihat kakakmu kembali,” kata Profesor Neil. “Ini berita bagus untuk semua orang yang pernah mengenalnya di masa lalu. Tapi masih ada hal lain yang perlu kita pertimbangkan. Kita perlu tahu apa yang terjadi selama dia tidak bisa ditemukan. Kita tidak bisa menerimanya begitu saja.”“Oh?” Reila jelas tidak bisa menerima jawaban itu. “Bahkan setelah semua ini—setelah tahu dia hilang ingatan—masih belum puas?”&ldquo
Kara di halaman belakang Gerha Reila bersama si pemilik rumah.“Aku mengerti, Nak,” kata Kara. “Hanya segelintir orang yang tahu semua kebenarannya. Aku bisa bicara dengan Mika, terlebih karena hanya dia satu-satunya yang langsung sadar identitas Forlan. Tapi kurasa Mika bukanlah orang yang suka ikut campur, kecuali Forlan mendekatinya. Maksudku, ketika akhirnya Mika sadar Forlan hilang ingatan, meski tidak memberitahunya, Mika pasti langsung mengerti keadaannya. Tapi, yah, aku mengerti, biar aku yang bicara dengannya.”“Baik,” Reila mengangguk. “Makasih, Kara.”“Dan, Nak, mm... maaf bila aku menyinggungmu sebelumnya.”“Aku juga. Maaf karena membentak.” Reila kelihatan sudah bisa menerima, meski sorotnya masih kosong. “Bagaimana dengan tiga orang lain?”“Aku punya firasat satu-satunya yang ingat hanya Mika. Tapi kita memang perlu memastikannya. Selama sepuluh
“Dasar pembohong,” kata Profesor Merla.“Bibi pikir aku bisa terus bohong?”“Menyiksa diri memang tidak ada salahnya. Sejauh yang kutahu, kakakmu itu cerdas, dan itu tidak berubah setelah sepuluh tahun. Kita tunggu saja.”Mereka di Lembah Palapa, tempat yang kuingat adalah rumah lama kami. Rumah itu masih berdiri, tidak rusak sedikit pun, seolah selama bertahun-tahun tak pernah ada sesuatu yang membuat rumah itu roboh. Rumah itu berjarak tidak jauh dari gang kecil tempatku hilang, jadi Reila sempat melewati gang kecil itu—yang tampaknya mengingatkannya akan momen ketika dia bersembunyi di belakang bak sampah raksasa super bau. Kini, bak sampah itu sudah hilang, dan gang kecil sudah lebih terang. Tidak ada yang kelihatan kotor. Gang kecil itu lebih terawat. Tak ada lagi rumah makan ikan bakar, tergantikan oleh restoran lokal.Di rumah kami, Reila membereskan segalanya, menurunkan semua bingkai yang berisi foto-foto
Pencarian tetap dilanjutkan. Timnya tetap. Jadi, Lavi bertahan denganku di ruangan itu sampai setidaknya aku bisa bergerak lancar lagi. Semua orang percaya Lavi tidak akan membuatku melakukan hal aneh-aneh, dan kuakui itu benar. Hanya dengan melihat Lavi yang kacau saja, aku tahu tidak akan bisa aneh-aneh—meski hal yang kulakukan tadi tidak kurencanakan untuk berakhir seaneh itu.Aku hanya menyandarkan punggung di gundukan tanah, dan Lavi duduk di sisiku. Kurang lebih, kami hening beberapa saat.“Aku,” kata Lavi, “tahu kau takkan kenapa-kenapa.”“Ya,” kataku.“Tapi tadi... aku merasa bakal kehilanganmu. Aku takut.”“Ya.”“Jangan membuatku jantungan lagi. Aku tidak suka melihatnya.”“Ya,” kali ini aku berjanji.Tubuhku sudah lumayan ringan. Setidaknya, kembali seperti sebelum aku melakukan rangkaian pelepasan energi besar. Jadi, alih-alih L
Reila berniat menyergahku dengan beragam pertanyaan—sudah kelihatan dari wajahnya, tetapi kubilang, “Lavi.”Aku hanya menyebut namanya, tetapi Lavi mengerti. Dia mendekat ke Reila yang membuat Reila heran, tetapi Lavi tidak menunggu tuntutan Reila karena sudah meminta Reila menjauh dan berkata, “Jangan terlalu banyak menuntut pada orang yang berusaha menggapai informasi. Aku bisa mengerti kau ingin bertemu ibumu, tapi sebagai tim dan sebagai orang yang dipercaya, aku harus menahanmu.”Reila semakin ingin menuntut, tetapi aura Lavi mendadak menajam.Kurang lebih itu dirasakan Profesor Merla dan Leo juga.“Lavi, jangan terlalu menekannya,” kataku.“Maaf,” kata Lavi.Aku mengulurkan lengan seperti berusaha menggapai sesuatu. Di depanku hanya ada dinding tanah, tetapi aku tetap di posisi itu dan mulai memejamkan mata. Kurasakan aliran energi di sekitar. Kurasakan aura Ibu. Kurasakan juga aura
Tidak lama kemudian, Leo dan Jenderal muncul dari kegelapan gua.Aku sudah duduk bersama Reila di tumpukan batu. Begitu menyadari Leo dan Jenderal yang kembali, Reila langsung mengangkat kepala. Namun, mendapati ekspresi yang dibuat Leo, kami semua tahu jawabannya.“Tidak ada,” Leo tetap menjelaskan.“Tidak ada petunjuk juga?” tanya Nadir.“Kami belum sedetail itu mencarinya. Hanya memasuki ruangan terdekat. Bagian dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada penerangan. Tapi udara masih ada. Kita masih bisa bernapas normal. Kemampuan Helvin tidak sepenuhnya hilang—dan... ya, masih ada kemungkinan Bibi Meri ada di bagian dalam. Bibi Meri mampu merasakan ujung lain gua. Mungkin dia berjalan menelusuri itu.”Aku tahu Leo bermaksud menenangkan kami dengan gagasan itu.Namun, aku juga tahu apa yang sudah kupikirkan. Kemungkinannya sangat kecil Ibu bisa menelusuri gua gelap yang bahkan belum pernah dia kunjungi&
Pintu gua itu lebih mirip seperti cekungan tanah raksasa yang menjorok ke dalam. Bebatuan raksasa menutupi sebagian besar pintu masuk, jadi kesimpulan itu tepat: pintu gua ini tertutup. Dan sangat rapi seolah bukan dengan bebatuan, tetapi dengan tanah yang berbentuk sama seperti pola dinding tebing sekitarnya.Bagian dalamnya gelap. Sangat gelap. Aku seperti melihat kegelapan yang berniat menelanku. Pintu masuk gua hanya terbuka sebagian. Itu artinya, cahayanya juga sangat minim. Hanya bisa masuk sekitar setengah pintu masuk gua. Cahayanya hanya bisa mencapai beberapa meter dari mulut gua.Lavi sedang duduk di bagian dalam gua, tidak jauh dari bebatuan yang jatuh bersama Nadir. Jenderal dan Leo tidak ada batang hidungnya. Lavi melihat kami yang tiba di mulut gua, dan dia langsung berdiri, mengulurkan tangan padaku yang berdiri di mulut gua. Aku tidak bergerak, hanya menatap kegelapan di dalam gua. Lavi langsung memelukku.“Bersabarlah, jangan berpikir aneh
[“Forlan, darurat. Turunlah saat kau sudah bisa lihat tebing.”]Aku sudah bisa melihat keberadaan tebing di kejauhan. Hanya saja, belum sempat aku bertanya mengapa Lavi meminta seperti itu, kurasakan Lavi memudar. Semakin sering kami terhubung, aku juga semakin mengerti seperti apa rasanya saat Lavi tak lagi memusatkan fokusnya untuk terhubung. Ketika kami terhubung, Lavi rasanya seperti melekat di kepalaku. Namun, saat komunikasi telah terputus, Lavi seperti meleleh. Aku tahu dia tidak akan menyahut.Tebing itu terlihat tidak terlalu tinggi hingga aku melihat bawah. Kusadari permukaan tanah sudah turun jauh. Tebing itu masih buram karena jarak, dan ketika sudah mulai terlihat wujudnya, suara Fin menggema di kepalaku.[“Aku tidak bisa lebih dekat lagi.”]Itu sudah membuatku terkejut. Jadi, tiba-tiba aku menghentikan gerakan—aku hanya melayang di udara. Falcon mendadak berhenti, yang juga ikut membuat P
Semestinya kami meneruskan perjalanan, tetapi Profesor Merla menyebut gagasan bagus: “Lebih baik kita tunggu koordinat. Rasanya sia-sia kalau kita sudah berjalan jauh, tapi akhirnya juga akan lewat jalur udara.”“Kita setuju pakai jalur udara?” tanyaku.“Aku setuju,” kata Reila, langsung.“Itu lebih efisien,” kata Profesor Merla.“Baiklah, aku juga setuju,” kataku.Maka kami beristirahat melebihi waktu yang direncanakan. Wilayah sekitar kami tampaknya bukan pedalaman hutan. Pepohonan memang banyak, tetapi tidak terlalu seperti kedalaman hutan. Pohon-pohonnya cenderung lebih pendek dan tak terlalu lebat. Batangnya barangkali besar, tetapi jarak antar pohon lumayan lengang. Kurasa aku mengerti mengapa tim Lavi bisa sampai berpikir sedang mengitari area gunung. Wilayah ini memang tidak seperti jalur memasuki gunung.Kami duduk di bebatuan yang tertutup semak tinggi. Bebatuan besar juga
Sekitar setengah jam kami berjalan, ketika kami menelusuri hutan belantara yang kiri kanannya hanya semak tinggi, Reila terbangun sepenuhnya.Dia bergumam di bahuku. “Kak?”Aku menoleh, melihat matanya terbuka. Profesor Merla juga melihat. Kami berjalan beriringan. Begitu Reila membuka mata, kami langsung tahu. Lagi-lagi di antara semua yang bisa Reila ucapkan sebagai kata-kata sambutan, dia memutuskan berkata hal menyedihkan, “Maaf. Aku pasti menghambat.”“Bicara apa kau ini?” balasku.“Karena aku tidur, Kakak berangkat belakangan.”“Kau bermimpi soal itu?”“...tidak.”“Berarti kau tidak tahu apa yang terjadi. Jangan menyimpulkan sendiri.”Dia terdiam. Profesor Merla tidak bicara. Aku masih menggendong Reila.Lalu setelah beberapa waktu, setelah Profesor Merla menghalau rerumputan tinggi yang menghalangi jalur kami—dan aku memberit
Profesor Merla bilang aku juga perlu istirahat, jadi aku memejamkan mata sejenak—berharap tidak tertidur, dan ternyata aku tertidur. Aku yakin tidak tertidur. Kesadaranku masih tersisa ketika mataku terpejam. Apa yang kulihat hanya gelap, tetapi ketika aku membuka mata lagi, Profesor Merla bilang, “Cepat sekali tidurmu. Kupikir kau bakal tidur sampai jam sembilan.”“Apa?” Aku langsung bangkit. “Sekarang jam berapa?”“Hampir delapan.”Kesadaranku benar-benar langsung kembali. Entah bagaimana caranya aku sudah berbaring di pangkuan Profesor Merla di sisi kiri—dan aku mendapati Reila di sisi kanan. Profesor Merla tersenyum.“Tenang,” katanya. “Selama kau bisa tahu posisi Lavi, kita bisa menyusul dengan cara apa pun. Kita bisa lewat udara seperti kalian. Istirahatlah.”Itu memang benar. Aku mengendurkan kesiapanku lagi.Profesor Merla masih belum berhenti terseny
Tim Lavi berangkat sekitar sepuluh menit sejak keputusan keluar. Mereka berangkat dengan empat orang: Jenderal, Nadir, Lavi, Leo. Mereka akan berjelajah sesuai ingatan Leo dan melaporkannya secara berkala ke kepalaku. Lavi kali ini tak kelihatan cemas atau dihantui ketakutan, dia hanya tersenyum seperti biasa, bahkan sempat berkata, “Jangan merindukanku. Jangan mencemaskanku.”“Tutup mulutmu, beri aku jimat,” kataku.“Tidak mau. Kalau terlalu sering nanti tidak istimewa lagi.”Aku cemberut. Dia tertawa. Lalu dengan gerakan tak terduga, dia mendekat dan mengecupku. Kejadian itu berlalu sangat cepat sampai aku hanya bisa bereaksi dengan mengangkat alis. Dan dia tidak berniat menegaskannya lagi karena sudah bangkit dan melambaikan tangan. “Dadah, Kuda Putih.”Lavi melakukan hal sama—menoleh ke belakang dan melambaikan tangan hingga lenyap ditelan barisan pohon. Bedanya, kini dia tersenyum lebar.Ak