Tepat ketika pertempuran tampaknya mulai seimbang—seakan kami punya peluang lolos dari serangan monster—aku bertemu pedang dengan Aaron.
Dia bahkan tidak bergeming meskipun jasad Troy di dekatnya.
Ketika kami adu kekuatan dengan pedang satu sama lain—pedangnya tidak seperti pedang yang punya banyak keistimewaan, hanya pedang dengan sisi baja yang terlihat tangguh, bertemu dengan pedang perunggu milikku—aku bergumam, “Kupikir aku berniat menghentikan dua pengkhianat keluar.”
“Kau dengar kami,” geramnya.
“Kau yang bicara terlalu keras di medan tempur.”
“Kau harus dibungkam.”
Setelah beberapa kali saling menangkis, aku sedikit mengerti kemampuan Aaron. Dia bisa tiba-tiba begitu kuat, begitu cepat, begitu keras—seolah dia punya mekanisme yang bisa menambah daya tempur dalam tubuhnya. Itu memang jenis kemampuan aneh yang jarang kutemui, tetapi mengingat kemampuan Isha j
Aku dan Lavi langsung bertautan mata.Kupikir aku bisa bersikap keren sedikit lebih lama lagi, tetapi kami—tentu aku dan Lavi—tahu tidak ada yang perlu bersikap keren di sini. Aku hampir tidak bisa membendung segalanya, jadi begitu kusadari aku sudah membiarkan segalanya menguasaiku. Tangan kami sama-sama terulur. Kami berciuman dalam sekejap.Aku tahu Isha di Joglo akan mengumpat-umpat mendapati kami melanggar protokol wajib bagi pahlawan yang baru kembali misi, tetapi kali ini jauh lebih baik mendengar omelan itu dibanding bersikap tenang.Dan begitu kusadari, aku sudah emosional. Ini aroma Lavi—rambut lembut yang tak peduli seberapa tercemarnya karena alam liar. Ini lekukan bahu khas yang hanya dimiliki Lavi. Ini Lavi. Lavi yang kulihat terlempar di air terjun. Lavi yang sempat kehilangan warnanya. Lavi yang kupikir sudah pergi. Dan dia sungguhan di sini, layaknya tidak pernah terjadi apa-apa, memberiku ketenangan khasnya. Tidak ada yang bis
Jesse, yang menemukan Lavi, langsung memeluknya.“Senang melihatmu kembali, Cewek Perkasa.”“Aku tahu kau mencintaiku, Jesse.”Reila, yang kondisinya lumayan kacau—setidaknya, dia tidak lagi kelihatan seperti orang yang tidak pernah keluar Gerha—juga memeluk Lavi. Bahkan dia tak berniat berkata apa-apa, hanya langsung memeluknya.“Ya ampun. Aku tak menyangka banyak yang mencintaiku,” kelakar Lavi.Menyenangkan melihat mereka seperti itu—aku sudah berniat melihat para cewek saling berpelukan sedikit lebih lama lagi, lalu menghampiri para dewan yang sedang di dalam Joglo—setidaknya, area Gerha tak pernah seramai ini sebelumnya. Ada begitu banyak yang berlalu dari klinik sampai Joglo, berharap ada obat-obatan yang tersisa. Kehadiran Dokter Gelda juga tampaknya membuat tim medis sedikit lebih tenang—atau bahkan jauh lebih tenang. Dalam sekejap tiba-tiba sudah begitu banyak pejuang yang k
Memasuki Joglo, tempat ini sekarang sudah bersekat-sekat.Ada sekat besar yang memisahkan pejuang pertahanan dengan pejuang yang baru kembali dari garis depan. Tentu saja aku dan Dalton masuk di bagian pejuang pertahanan. Sekat pemeriksaan sudah berubah jadi labirin, yang terhubung ke sekat pemisah untuk ruang istirahat. Ruang istirahatnya sendiri sederhana, hanya ada satu kasur dan nampan tempat minuman serta obat-obatan berada. Venus jauh kelewat sibuk dari biasanya. Sebagian menyiapkan makanan, sebagian meracik obat-obatan padahal mereka belum pernah meracik sebelumnya—tetapi Layla percaya ketika mereka biasa meracik bumbu masakan, mereka juga bisa meracik ramuan—tenaga Venus sebagian harus menjadi perawat yang terus memastikan tiap penghuni.Maka sekat awal yang aku dan Dalton temui di bagian pejuang pertahanan itu tempat Isha dan Dokter Gelda duduk menyambut kami.“Oh tidak,” kataku. “Aku lega lihat Dokter Gelda di sini.”
Sayangnya, Dokter Gelda juga bilang, “Tapi itu tidak menjamin dia berhasil bertahan hidup. Hanya meningkatkan kemungkinan dia bisa selamat.”“Seberapa besar? Bila dalam persentase?”Dokter Gelda terdiam sejenak. Matanya menatapku seperti penuh simpati, tetapi aku tahu dia juga sedang menghitung cepat. “Paling besar 30%.”“Kalau tidak dibawa ke sana?”“Paling besar 20%.”“Berarti tetap di sini pun punya persentase cukup besar?”“Kau tahu, Forlan, selama tiga bulan terakhir—bahkan hampir empat bulan terakhir—ada banyak keajaiban terjadi padanya. Ketika kami pergi, dia bahkan bisa mengendalikan kemampuan. Itu perkembangan sangat bagus. Ada kemungkinan keajaiban itu bisa terus terjadi bila dia di sini. Tapi kita juga tidak akan pernah tahu apa yang terjadi bila sejak awal penanganan yang jauh lebih siap seperti di Lembah Palapa menuntunnya. Keputusan ini pa
“Aku malaikat yang tercipta untuk melindungimu. Aku turun dari langit.”Aza menatap api unggun, mulai meletakkan empat tusuk ikan ke dekatnya. Nuansa gelap menguasai sekitar. Nenek menyiapkan minum untuk kami. Biasanya jeruk peras—dan Nenek benar-benar suka jeruk peras sampai membuatku ikut suka. Namun, sesekali aku juga bosan, dan itu disuarakan Aza. Sayangnya, minuman kali ini tidak akan bervariasi karena jeruk peras sudah tiba di tempat kami.“Tidak bisa lebih serius lagi?” tuntutku, cemberut.“Buat anak sebelas tahun itu cukup.”“Aza juga cuma empat belas.”“Kakak juga cuma empat belas,” koreksinya.“Kakak,” kataku.“Ini ikanmu. Setengah matang.”Bercandanya mulai menyebalkan. Aku mengembalikan tusuk itu ke depan api unggun, membuat bumbunya kembali dipercik api.“Boleh tanya, tidak?” kataku.“Kakak, bol
Hal pertama yang kulihat ketika mataku terbuka: wajah Lavi.Sorot kami semata-mata langsung bertemu. Lavi bahkan tersenyum seolah sudah menduga akan bereaksi seperti itu. Tentu saja aku mematung. Senyum yang itu seperti menggetarkan setiap jengkal tubuhku, membuatku tak mampu bergerak, membekukan darah, dan bola mata menenangkan itu masuk ke tubuhku.“Selamat pagi?” sapanya, tidak yakin. “Sekarang sudah tidak pagi, sih.”“Ng, selamat pagi,” balasku.“Baru kutinggal sebentar—kau kenapa?”Aku tidak yakin apa yang harus kukatakan karena perlu kuakui kepalaku cukup terdistorsi. Setengah karena Lavi, setengah karena aku belum mampu ingat apa yang terjadi terakhir kali. Jadi, aku mencari petunjuk, memandangi sekilas di mana aku berada—dan sekali lagi aku menahan napas.“Kita di kamarku,” kata Lavi.Dan itu benar. Aku tidur di ranjangnya, dia duduk di kursi kayu—te
Joglo masih dipenuhi penghuni yang beristirahat. Sebagian juga ada yang tinggal di Gerha Jesse. Gerha paling besar itu memang tempat cocok untuk ini.Hal pertama yang kami lakukan, adalah menghampiri Dokter Gelda.Namun, ketika aku keluar Gerha Lavi, mendapati beberapa penghuni juga tersebar di area Gerha, mereka semua terhenti, tetapi juga segera berpura-pura tidak melihatku. Sorot mereka seperti berusaha menghindar. Dan kurasakan aku mampu mengerti itu. Kalau saja aku terlambat dihentikan, Joglo pasti kacau. Barangkali tak ada fondasi yang roboh, tetapi setidaknya orang yang beristirahat akan terganggu—bahkan terluka. Bukan hal aneh mereka melihatku seperti ancaman.Sayangnya, Lavi segera menyergah, menyeretku. “Ayo.”Hanya dua penghuni yang berani menghampiriku. Mereka berjalan begitu terburu-buru dari lantai Joglo, tampak begitu lega melihatku bisa berjalan normal. “Sejak tadi kami ingin menemuimu,” katanya.&ldquo
Aku tidak mengerti bagaimana Fal bisa berani, tetapi beberapa saat setelah Profesor Merla pergi—ketika aku dan Tara terdiam menatap kubangan besar, suara Fal terdengar, “Forlan! Tara! Kenapa gelap-gelapan?”Rasanya seperti melakukan hal terlarang.Jadi, ketika Fal memilih duduk di pangkuanku, kubilang, “Maaf membuat Fal menunggu. Fal tidak tidur sejak tadi?”Fal menggeleng.“Mau empat mata sekarang?” tanyaku.“Ada Tara juga tidak apa. Jadi,” Fal menghitung. “Enam mata.”“Empat mata?” tanya Tara.“Tara gelap. Kenapa Tara sedih?” tanya Fal, tiba-tiba.Alih-alih melanjutkan sedih, Tara justru menemukan mataku—yang secara kebetulan aku juga mengerutkan kening menatapnya. Kemudian Fal agak tertawa. “Sekarang Tara bingung, ya?”“Bagaimana Fal bisa tahu?” tanyaku.“Warna Tara kelihatan sedih. Fal