Aku tidak mengerti bagaimana Fal bisa berani, tetapi beberapa saat setelah Profesor Merla pergi—ketika aku dan Tara terdiam menatap kubangan besar, suara Fal terdengar, “Forlan! Tara! Kenapa gelap-gelapan?”
Rasanya seperti melakukan hal terlarang.
Jadi, ketika Fal memilih duduk di pangkuanku, kubilang, “Maaf membuat Fal menunggu. Fal tidak tidur sejak tadi?”
Fal menggeleng.
“Mau empat mata sekarang?” tanyaku.
“Ada Tara juga tidak apa. Jadi,” Fal menghitung. “Enam mata.”
“Empat mata?” tanya Tara.
“Tara gelap. Kenapa Tara sedih?” tanya Fal, tiba-tiba.
Alih-alih melanjutkan sedih, Tara justru menemukan mataku—yang secara kebetulan aku juga mengerutkan kening menatapnya. Kemudian Fal agak tertawa. “Sekarang Tara bingung, ya?”
“Bagaimana Fal bisa tahu?” tanyaku.
“Warna Tara kelihatan sedih. Fal
Fal punya kebiasaan tertidur setelah menangis keras.Agaknya suasananya lumayan canggung, dan Tara berusaha menitikkan air mata sedemikian rupa ketika Fal menangis, jadi ketika Fal tidur, satu-satunya yang berhasil diucapkan Tara cuma satu, “Mau sampai kapan dia seperti ini?”“Harus cari cara lain,” gumamku.“Kau harus istirahat.” Tara menatapku seperti Layla. “Kalian harus tidur. Kara minta malam ini semua penghuni tidur. Besok ada yang harus dikerjakan.”Tidak ada yang ingin membantah, dan aku tidak mau membiarkan Fal pergi, jadi ketika Tara mengatakan ada kasur busa yang bisa kami gunakan, aku segera mengangkut kasur itu, membawanya ke ruang sekat Dalton yang sudah terbangun, dia sedang baca buku—hal yang sepertinya tidak akan pernah dilakukan Dalton—lalu bertanya, “Kau baru meledak lagi? Kenapa kelihatan marah?”Aku masih menggendong Fal, membanting kasur itu, menidurkan Fa
Itu pertama kali aku menyaksikan bagaimana pejuang diantarkan.Setidaknya, ada enam orang meninggal, yang menurut Kara di luar dugaan awalnya—mengingat skala penyerangan begitu besar: lima ledakan disusul serbuan monster. Sudah suatu keajaiban hanya ada enam korban jiwa, meski aku dan Dalton menyebutnya empat korban, karena dua orang lagi agaknya ada di area abu-abu—tetapi Kara bersikeras korbannya ada enam.Aku tidak tahu berapa banyak anggota tim bertahan—tetapi kurasa sekitar sembilan. Jadi, dengan penangkapan Aaron, kematian Troy, dan asumsi Reila tidak akan lanjut di tim bertahan—dengan fakta ada satu orang gugur dari tim bertahan, plus kaptennya yang dalam kondisi aneh, bisa dibilang anggota tim bertahan hampir habis. Dalton juga bilang, “Sisa empat.”Fal bersamaku, menyantap es krim Lavi, lalu aku berkata, “Aku tahu dua.”“Dua lagi, kan, kau lawan di latihan tanding pertamamu. Yang bongsor.&rdqu
Matahari sudah terbenam. Secara teknis, aku tidak sabar lagi dengan malam, tetapi aku lebih tidak sabar berbaring di gerhaku yang seperti tidak pernah meledak.Namun, ketika aku selesai membuka kunci pintu, memutar gagang semudah tidak pernah terjadi apa-apa—seseorang tinggi sudah berdiri di balik pintu, segera menyeringai, membuatku terkejut, menjerit, “WAA!” bahkan sampai membuatku melompat mundur, dan aku tidak berani menuntut karena Jenderal sudah berkata, “Merindukanku, Bocah Alam?”Jantungku masih menderu kaget, dan secara teknis, aku hanya bisa berpikir Jenderal akan menghabisiku karena sudah menguping.“Bocah Alam,” bisik Jenderal, tajam, mendekat. “Jawab.”“Ya!” Aku melompat mundur. “Ya! Ya. Rindu Jenderal. Sangat.”“Tapi aku tidak rindu denganmu!” protesnya.Aku tidak tahu harus membalas apa, jadi aku hanya mengangguk.Dan Jenderal masi
Sayangnya, niat Jenderal di Gerhaku bukan untuk melihat bunga biru.Namun, keperluan itu perlu ditunda karena tiba-tiba aku perlu buang air kecil—setidaknya, itu yang kukatakan pada Jenderal. Yang sebenarnya terjadi: aku masuk kamar, mengunci pintu dengan harapan Jenderal tidak menerobos tiba-tiba, lalu dengan kepala pusing, aku berkata, “Aku tidak mengerti.”Pendar putih itu sungguhan mewujud.[“Ini bukan sesuatu yang sulit dimengerti, Forlan.”]“Oh, tidak.” Aku meringis ngeri. “Sungguhan.”[“Kurasa memang sudah waktunya terjadi.”]“Pertama, bagaimana aku harus menyebut... mm, Bibi?” tanyaku.Nuansa itu menghangat. Pendar putih Nadya tersenyum. Sangat penuh arti.[“Dulu kau memanggilku Bibi. Nadamu biasanya lebih nyaring dari ini.”]“Ng, oke. Boleh tanya sesuatu?” sahutku. “Tapi itu buka
Kepalaku semakin pusing.Satu-satunya penjelasan Jenderal setelah semua itu hanya diucapkan dalam satu tarikan napas. “Kupikir Aaron kembali ke jiwanya yang waras. Kau yang tahu kejadian langsung, kau perlu bicara dengannya—meski itu gagal.” Lalu Jenderal mendecak. “Alden sanggup melakukan itu. Pemilik kemampuan jiwa bisa mengikat jiwa pengikutnya, membuat boneka baru, yang mampu berkomunikasi kapan pun, mengetahui lokasi satu sama lain persis batu jiwa yang kau miliki. Tapi dia takkan bisa menemukan tempat ini—kita dilindungi kemampuan roh. Dia yang kita incar, Bocah Alam. Dia yang menghabisi sebagian penghuni jauh sebelum sepuluh tahun lalu. Dia abadi. Dia yang membuat pengkhianatan ini ada. Dan kebenarannya, dia tahu tentangmu. Kau sudah diincar sejak lama. Kau perlu bersiap, terutama dengan kemampuan yang kau bawa sekarang. Masih banyak yang perlu kau tahu.”Jenderal berhenti menjelaskan ketika kami sampai di depan Gerhaku. Tiba-
Aku tidak tahu sejak kapan terbangun, tetapi kami tertutup selimut tebal—setengah berbulu—dan Lavi, secara teknis, di pundakku. Jadi, satu-satunya yang kulihat sejak kesadaranku kembali, adalah citra Lavi yang paling alami.Lavi juga sudah terbangun. Suara burung berkicau di luar. Beberapa garis matahari cerah mulai memasuki celah jendela. Baru awal pagi—tetapi kami terjaga meski hanya terdiam satu sama lain menikmati waktu yang berjalan. Suasananya menenangkan, nyaman, begitu damai. Kurasa aku tidak akan peduli kekacauan apa pun yang terjadi ketika kami dalam kedekatan ini.Tentu saja aku berbaring menghadap Lavi, memerhatikan wajah manisnya dari dekat. Rambutnya terurai, sebagian di dekat mataku. Aku bisa mengungkapkan kasih sayang pada raut Lavi yang tenang—memberinya kecupan selamat pagi, atau sekadar menyugar rambutnya—tetapi kuputuskan tetap diam memerhatikannya.Karena dalam kedekatan ini, Lavi menatap langit-langit dengan so
Kuputuskan tetap berbaring di kasur, menyelimuti diri—ketika Lavi turun membuat minum. Aku ingin jadi kungkang seharian ini.Terdengar suara berisik blender—sepertinya Lavi buat jus, dan benar, tidak lama berselang, dia sudah mengikat rambut, membawa dua jus alpukat dingin. Aku sudah berpikir dia menggerutu melihatku masih berbaring, tetapi entah bagaimana seharian ini dia terasa begitu berbeda karena satu-satunya yang dia katakan setelah meletakkan gelas hanya, “Tadi Haswin dan Yasha ke Joglo, kau tidak ke sana?”“Aku mau di sini,” kataku.“Pemalas.” Namun, dia ikut berbaring kembali, melepas ikat rambut.“Biasanya kau mandi,” balasku. “Dan sangaaaaat lama.”“Aku sudah cantik meski tidak mandi. Mau tidur denganku lagi?”“Kedengaran congkak, tapi itu benar, jadi jangan menantang.”“Mau lanjut dengar cerita?” Dia ikut membungkus
Keheningan sempat terjadi ketika mata kami bertautan.“Tidak sekarang.” Lavi menggeleng saat aku masih mengusap pipinya. Dia pasti terpaksa untuk tersenyum, tetapi entah bagaimana senyum itu terkesan jauh lebih murni dari Lavi yang biasanya. “Aku tidak bisa memberi posisi pada orang yang bahkan belum benar-benar bisa mengendalikan ledakan kemampuan.”“Itu cukup menyinggung,” komentarku. “Tapi Dalton bisa.”“Kau mengerti Dalton harus tetap di area abu-abu, kan?”Sebenarnya aku tidak menduga Lavi akan pakai istilah itu—meski aku tahu Lavi akan pakai alasan itu. “Kalau begitu, Elton.”“Kau yakin? Kita takkan pernah dapat anggota baru sampai kapan pun.”“Kau bisa buat Elton menangis.”“Aku takkan beri posisi ini selain padamu. Masalahnya, tidak sekarang.”“Kau tahu apa yang sebenarnya kupikirkan? Aku—”