Kiara Parvati berdiri di sudut ruang tamu yang sempit dan gelap. Cahaya matahari hanya mampu menembus jendela kecil yang kotor, membuat ruangan ini terlihat semakin suram. Setiap sudutnya terasa berat dengan bau debu dan kerusakan yang semakin merayap ke seluruh bagian rumah.
Kiara menghela napas, menatap ayahnya yang terbaring di ranjang dengan mata yang lelah dan wajah yang pucat. Sudah hampir satu tahun sang Ayah berjuang melawan sakit ginjal hingga tidak mampu berbuat apa-apa. "Kiara, kamu sudah pulang?" tanya ayahnya dengan suara yang hampir tak terdengar. Kiara menatap wajah tua itu dengan penuh rasa sakit dan kekhawatiran. Ada sesuatu yang membuatnya sakit, akan tetapi tidak dapat diungkapkannya. "Iya, Pa. Aku baru saja pulang dari kantor," jawabnya, meski hati Kiara tertekan dengan kenyataan bahwa hari itu adalah hari terakhirnya di tempat kerja. Sebagai seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun, Kiara merasa hidupnya seperti sebuah lingkaran setan. Ekonomi keluarga mereka yang sudah sulit semakin memburuk dengan sakitnya ayah dan ketidakmampuan ibunya untuk mencari nafkah. Keputusannya untuk mencari pekerjaan tambahan pun tak membuahkan hasil yang signifikan. Kini, setelah dipecat dari pekerjaan terakhirnya, Kiara merasa seperti berada di tepi jurang, tanpa jalan keluar. "Jangan lupa makan Kiara, makan seadanya saja ya nak?" ujar Mama Kiara yang tampak kelelahan. "Nanti saja Ma, aku ke kamar dulu." Kiara menghela napas panjang dan duduk di ranjangnya dengan perasaan kalut. Tiba-tiba sahabatnya Cecilia menghubunginya via telefon. Cecilia adalah orang yang telah lama menjadi teman dekat Kiara. Namun, siapa sangka hari itu Cecilia datang dengan tawaran yang sangat tak terduga. "Kamu benar-benar harus datang ke sini, Kiara. Aku punya sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan," kata Cecilia dengan nada serius saat menelepon Kiara. "Tidak ada yang menjaga ayahku. Apa tidak bisa kita berbincang di telefon?" ujar Kiara dengan nada sedih. "Kiara, aku akan mengganti semua transportnya. Tolong datang ke sini, aku benar-benar ingin membicarakan hal yang serius. Ini demi masa depanmu juga. Sebentar saja." ujar Cecilia dengan nada memohon. "Kamu bisa melaporkanku jika aku menyakitimu. Aku mohon, aku mohon Kiara. Sepanjang kita berteman, baru kali ini aku memohon kepadamu." Kiara iba dan akhirnya berangkat menuju kediaman Cecilia. Ketika Kiara tiba di apartemen Cecilia yang mewah, dia merasa canggung dan tidak nyaman. Suasana mewah yang kontras dengan kondisi hidupnya sendiri hanya menambah rasa kesal di hatinya. Cecilia menyambutnya dengan senyuman canggung, dan segera membawa Kiara ke ruang tamu yang penuh dengan perabotan elegan. "Ada apa, Cecilia? Aku sudah sangat lelah dan tidak tahu harus bagaimana lagi," keluh Kiara, mencoba menenangkan dirinya meski dalam keadaan tertekan. Cecilia mengangguk, seolah memahami betapa berat beban yang dipikul Kiara. "Aku tahu kamu melalui masa sulit. Tapi aku ingin menawarkan sesuatu yang bisa membantu kamu dan keluargamu." Kiara mengerutkan dahi. Ia tidak yakin dengan apa yang akan dikatakan Cecilia. "Apa itu?" tanyanya dengan penuh harapan. Cecilia menghela napas, lalu menjelaskan. "Ada seorang pengusaha kaya, ia Pamanku sendiri bernama Dalvin Pramoedya yang saat ini membutuhkan istri kedua. Istrinya, Irene, tidak bisa memberikan keturunan dan saat ini sedang berjuang melawan kanker. Dalvin mencari seseorang yang bisa menolongnya dalam situasi ini." Kiara merasa otaknya berputar cepat. Tawaran gila macam apa ini? "Maksudmu, kamu ingin aku menjadi istri kedua seorang pria yang bahkan tidak aku kenal?" Cecilia mengangguk. "Ya, aku tahu ini terdengar sangat tidak biasa dan sulit diterima. Namun, Dalvin sangat serius dan siap memberikan imbalan yang sangat besar. Dia ingin membantu keluargamu juga. Lagipula Dalvin bukanlah pria yang buruk." Kiara terdiam sejenak, berpikir tentang ayahnya yang semakin menurun kondisinya dan ibunya yang sudah tidak mampu lagi untuk bekerja. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke Cecilia, yang sepertinya benar-benar mengharapkan dia untuk mempertimbangkan tawaran tersebut. "Kenapa kamu menawarkan ini padaku?" tanya Kiara dengan nada curiga. Cecilia menggaruk tengkuknya dan menghela napas. Gadis itu terlihat merasa bersalah sekaligus iba pada Kiara. "Aku tahu ini tidak adil untuk kamu, tetapi aku merasa ini adalah satu-satunya cara untuk membantu kamu keluar dari masalah. Kamu membutuhkan uang dan dukungan, dan Dalvin bisa memberikannya. Ayahmu sakit, dan aku memahami betul bagaimana situasimu yang terjepit." Kiara memikirkan tawaran tersebut. Meski hatinya menolak, dia juga tahu bahwa hidupnya saat ini berada dalam keadaan darurat. Sungguh, pilihan berat berada di hadapannya. "Bagaimana jika aku menolak tawaran ini?" tanya Kiara dengan tatapan membulat. Cecilia menatapnya dengan serius. "Jika kamu menolak, kamu harus mencari cara lain untuk menyelesaikan semua permasalahanmu. Aku tidak yakin ada jalan keluar lain yang lebih baik daripada ini. Om Dalvin adalah adik ibuku, kamu bisa mempercayaiku kali ini, ia bukan pria yang akan menyakitimu. Sungguh!" Keputusan sulit ini menggantung di kepala Kiara, namun akhirnya dia mengangguk. Ia tidak tega melihat kondisi ekonomi keluarganya, terlebih lagi ia baru saja dipecat dan ayahnya sudah tidak sanggup melakukan kegiatan apa-apa. Kiara harus menyelamatkan semuanya. "Baiklah, aku akan bertemu dengan pamanmu, Dalvin." Cecilia tersenyum dan tampak lega. "Terima kasih, Kiara. Aku akan mengatur pertemuan untuk kalian." Hari berikutnya, Cecilia membawa Kiara ke sebuah villa mewah yang terletak di pinggiran kota. Villa itu sangat berbeda dengan rumah kecil yang Kiara huni. Ketika mereka masuk ke dalam villa, Kiara merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Dalvin Pramoedya, pria berusia empat puluh lima tahun dengan penampilan yang sangat berwibawa dan karismatik, menyambut mereka. Meskipun usianya terpaut dua puluh tahun dari Kiara, Dalvin memiliki pesona yang membuatnya terlihat lebih muda dari usianya. Dengan senyum lebar dan tatapan yang tegas, Dalvin mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Kiara. "Kiara, senang bertemu denganmu. Cecilia sudah banyak bercerita tentangmu," katanya dengan suara yang berat namun ramah. Kiara membalas jabat tangan Dalvin dengan tangan yang sedikit gemetar. Wibawa Dalvin benar-benar membuatnya tegang, ia tidak yakin pria itu mau menerimanya yang sederhana untuk menjadi istri kedua pria sepertinya. "Terima kasih telah meluangkan waktu untuk bertemu dengan saya." Dalvin mengangguk dan mengajak mereka untuk duduk di ruang tamu yang megah. Kiara benar-benar canggung, akan tetapi Cecilia berusaha menenangkan Kiara bila mereka tengah berhadapan dengan orang yang baik. "Istriku sakit kanker. Aku membutuhkan seseorang yang bisa mendukung karir dan juga tradisi keluargaku. Jika kamu mau menjadi istriku, aku akan mendukungmu." terang Dalvin tanpa berbasa-basi. Cecilia tersenyum. Ia mengusap lengan Kiara dengan lembut sambil menatap pamannya saksama. "Om, Kiara adalah gadis yang baik serta cerdas. Ia pantas berdampingan dengan pria hebat seperti Om, tolong jangan sakiti Kiara dan dukung segala kebutuhannya. Aku tidak ingin sahabatku menderita setelah berkorban menjadi yang kedua." tutur Cecilia serius. Dalvin menganggukkan kepala. Kedua bola matanya tak henti-henti memandangi Kiara dengan hangat. Kiara merasa canggung hingga ia mengepalkan tangan di atas lutut. "Tuan Dalvin, aku merasa terhormat karena tuan memilihku." ujar Kiara dengan sopan. Setelah pertemuan singkat tersebut, Dalvin tampaknya sudah yakin dengan keputusan Kiara. Meski usianya jauh lebih tua, Dalvin menunjukkan rasa hormat dan keseriusan dalam tawarannya. Terlebih lagi, Kiara adalah gadis yang benar-benar cantik walaupun dalam balutan pakaian sederhana. Dalvin yakin, ia akan memiliki keturunan yang tampan serta cantik jika ia menikahi Kiara. Ketika Kiara keluar dari villa, dia merasa campur aduk antara kecemasan dan harapan. Dia tahu bahwa hidupnya akan berubah drastis, tetapi dia juga tahu bahwa ini mungkin satu-satunya jalan keluar dari kesulitan yang dia hadapi. Di dalam mobil Cecilia, Kiara menatap keluar jendela, berpikir tentang keputusan besar yang baru saja dia buat. Dia tahu bahwa hidupnya akan penuh dengan tantangan baru, tetapi dia berharap bahwa keputusan ini akan membawa kebaikan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ayahnya dan ibunya yang sangat dia cintai. "Mama, Papa ... akhiri penderitaan kalian sampai di sini, aku akan mengubah semua itu."### Chapter 2: Pilihan Berat dan Langkah BaruKiara berdiri di ambang pintu kamar ibunya, sebuah ruangan kecil yang tampak semakin suram dengan setiap hari yang berlalu. Ibunya, Rina, duduk di tepi ranjang, wajahnya tampak lelah dan penuh beban. Kiara merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan berita yang sulit ini."Ma," Kiara memulai dengan suara lembut. "Aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang sangat penting."Rina menoleh. Matanya yang letih menatap putrinya dengan penuh rasa ingin tahu, Kiara hanya bisa menelan saliva dan mengumpulkan segenap kekuatannya untuk berbicara."Ada apa, Kiara? Kamu terlihat sangat serius."Kiara menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. Ia menggigit bibir hingga akhirnya siap mengutarakan maksud dan tujuannya."Aku baru saja bertemu dengan seorang penguasa bernama Dalvin Pramoedya. Dia menawarkan sesuatu yang bisa membantu kita keluar dari masalah keuangan yang sangat mendesak ini."Rina men
Kiara Parvati merasa jantungnya berdegup kencang saat Dalvin Pramoedya mengajaknya ke ruang yang lebih pribadi di dalam villa mewahnya. Ruangan itu didekorasi dengan gaya yang sangat elegan, penuh dengan perabotan mahal dan nuansa yang tenang. Namun, suasana hati Kiara terasa berat, mengingat pertemuan penting yang akan datang.Dalvin mengantarnya menuju sebuah ruangan di sisi lain villa, di mana ia memperkenalkan Kiara pada seorang wanita cantik dengan rambut pendek. Wanita itu terlihat sangat lemah dan duduk di kursi roda, didampingi oleh beberapa perawat yang berdiri di sekelilingnya. Meski wajahnya cantik, tatapannya tampak penuh kesedihan dan kesakitan."Kiara, ini adalah Irene, istri pertamaku," Dalvin memperkenalkan dengan suara lembut. "Irene, ini adalah Kiara, yang akan menjadi istri keduaku."Irene menatap Kiara dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ada campuran antara keputusasaan dan ketenangan di matanya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar, Irene berkata, "Selam
Kiara Parvati merasa campur aduk antara rasa cemas dan keheranan saat dia mulai menjalani kehidupan barunya di kediaman Dalvin Pramoedya. Setelah pertemuan singkat dengan Irene dan percakapan dengan Dalvin, dia diperkenalkan pada banyak hal baru yang akan menjadi bagian dari hidupnya.Pagi hari yang tenang dimulai dengan perkenalan kepada seluruh ajudan dan staf rumah tangga Dalvin. Kiara diperkenalkan kepada setiap orang dengan nama dan posisi mereka, mulai dari para pelayan hingga para asisten yang akan membantunya dalam berbagai hal sehari-hari. Semua orang di rumah tersebut tampak sangat profesional dan menyambut Kiara dengan sikap sopan dan penuh hormat."Selamat datang di rumah, nona Kiara," kata seorang wanita paruh baya yang tampaknya bertanggung jawab atas dapur dan kebutuhan sehari-hari. "Kami akan memastikan bahwa kamu merasa nyaman di sini."Kiara mengangguk dengan senyum yang penuh terima kasih. "Terima kasih banyak. Aku sangat menghargai bantuan kalian semua."Setelah pe
Siang itu, Kiara dan Dimas baru saja selesai berbelanja untuk kebutuhan Pernikahan. Mereka berjalan berdampingan keluar dari pusat perbelanjaan, membawa beberapa tas berisi barang-barang yang sudah dipilih dengan teliti oleh Kiara. Matahari bersinar terang, memberikan suasana hangat yang nyaman, dan mereka berdua memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran kecil di sudut jalan.“Aku lapar, bagaimana kalau kita makan di sini?” Kiara menunjuk sebuah restoran dengan dekorasi yang hangat dan sederhana.Dimas mengangguk setuju, meskipun dia tahu bahwa sebagai asisten Dalvin, seharusnya dia menjaga jarak profesional dengan Kiara. Namun, entah kenapa, kebersamaan dengan Kiara hari itu membuatnya merasa lebih rileks dan santai. Dimas memang tidak memiliki teman, sejak kecil ia sudah ikut Dalvin dan ia sendiri sudah menganggap pria tersebut sebagai pengganti ayahnya sendiri.Mereka memesan makanan dan duduk di meja yang menghadap ke jendela, bisa melihat jalanan yang sibuk di luar. Sambil
Hari pernikahan Kiara dan Dalvin akhirnya tiba, sebuah perayaan yang intim namun mewah, dipenuhi dengan kemegahan dan keanggunan yang tidak pernah Kiara bayangkan sebelumnya. Acara tersebut digelar di sebuah resor terpencil yang dikelilingi oleh hamparan pepohonan dan pantai putih. Sejak pagi, Kiara sudah disibukkan dengan persiapan. Gaun pengantin putihnya berkilauan di bawah cahaya matahari pagi, dengan detail renda yang rumit dan hiasan kristal yang menjuntai di sepanjang ekornya.Kiara tidak pernah membayangkan dirinya menjadi pengantin seperti ini. Segala sesuatu terasa seperti mimpi—mimpi yang menjadi kenyataan hanya dalam waktu semalam. Dalvin, pria dewasa yang kaya raya, telah memilihnya, seseorang yang biasa saja, untuk menjadi pendamping hidupnya. Di matanya, hari ini ia benar-benar merasa seperti seorang putri dalam kisah dongeng. Ketika cermin memantulkan bayangan dirinya yang mempesona, Kiara merasa seolah tidak mengenali siapa yang ada di balik wajah cantik yang berhias
Kiara duduk di tepi ranjang, menggenggam gaun tidur sutra yang melekat di tubuhnya. Malam pertama yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan malah berakhir dengan rasa sakit fisik dan emosi yang menggelegak. Air matanya telah habis, tetapi luka di hatinya tetap terasa dalam. Dalvin, pria yang baru saja menikahinya, tidak lagi berada di sisinya. Sejak pagi, pria itu pergi ke Amerika untuk sebuah pertemuan penting dengan koleganya, seperti yang sudah sering ia lakukan sebelumnya. Ternyata, ini semua bayaran mahal bagi keinginan Kiara mengubah hidupnya.Kiara mencoba menghibur dirinya sendiri. Dia mengingat bahwa Dalvin selalu mengatakan bahwa pekerjaan adalah segalanya, tetapi tetap saja, ada perasaan yang tak bisa diabaikan. Rasa diabaikan. Lebih lagi, malam pertama mereka terasa berlalu cepat, tak ada kehangatan yang tersisa kecuali rasa sakit yang membakar tubuhnya. Kiara belum tahu pasti, apakah hanya sebatas itu perasaan setelah berhubungan badan?Tak lama kemudian, pintu kamar terbu
Kiara duduk di sudut kamar, air mata membasahi pipinya yang pucat. Hatinya terasa hancur, seperti kaca yang jatuh ke lantai dan berkeping-keping. Perkataan Irene masih terngiang-ngiang di telinganya, menusuk setiap sudut hatinya. Irene, istri pertama Dalvin,sudah bertekad bahwa ia tidak akan menyembunyikan kebenciannya terhadap Kiara. Bagi Irene, Kiara hanyalah alat, seseorang yang hanya diperlukan untuk satu tujuan—memberikan keturunan bagi Dalvin. Kiara hanyalah seseorang yang menggantikannya, tidak lebih. Ia tidak akan pernah membiarkan suaminya jatuh ke dalam pelukan Kiara, tidak akan pernah. "Kau hanya istri kedua, Kiara. Dia butuh anak, dan itulah satu-satunya alasan kau ada di sini." Kalimat itu menghantam keras. Meski Kiara sudah berusaha menahan air mata, pada akhirnya ia tak sanggup. Mungkin benar, pikirnya. Ia tak pernah merasakan kasih sayang yang tulus dari Dalvin. Seharusnya Kiara tidak perlu bersedih, bukankah ia juga mau menikah dengan Dalvin karena uang semata? L
Kiara duduk termenung di tepi ranjang, memeluk dirinya sendiri seolah mencoba melindungi hatinya yang rapuh. Setelah percakapan dengan Dalvin, ia merasa hampa, tak tahu ke mana harus melangkah. Namun, di sudut hatinya, ia masih menyimpan harapan bahwa mungkin ada ruang bagi cinta di antara mereka. Mungkin, dengan waktu, Dalvin akan melihatnya lebih dari sekadar calon ibu dari anak-anaknya.Dengan napas berat, Kiara akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Ia merasa perlu berbicara lagi dengan Dalvin, menyampaikan perasaannya lebih dalam. Mungkin kali ini, Dalvin akan lebih mendengarkannya.Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju ruang keluarga, berharap menemukan Dalvin di sana. Namun, ketika Kiara semakin mendekat, ia mendengar suara samar-samar dari dalam ruangan itu.Suara Dalvin. Tapi nadanya berbeda dari biasanya—lebih lembut, lebih hangat daripada saat bersama Kiara. Kiara berhenti sejenak, rasa penasaran menguasai dirinya. Ia mengintip dari balik pintu yang sedikit
Ruangan rumah sakit penuh dengan kesibukan. Dokter dan perawat berseliweran, membawa berbagai peralatan menuju ruang operasi. Di tengah suasana panik itu, Dimas berdiri di lorong dengan wajah tegang. Sementara itu, Dalvin berdiri tidak jauh darinya, rahangnya mengeras dan matanya tak pernah lepas dari Dimas.Dalvin bisa melihat cinta di mata Dimas. Tatapan mata yang belum pernah Dalvin lihat sepanjang hidupnya bersama Dimas. Karena itulah batin Dalvin berteriak, ia tidak mau melihat Dimas seperti itu.Dokter keluar dari ruang persalinan dengan langkah cepat, menghampiri mereka berdua. "Kami akan segera melakukan operasi caesar. Detak jantung bayi melemah, dan kami harus bertindak cepat," jelas dokter dengan nada serius."Dokter, tolong selamatkan mereka," ujar Dalvin tanpa ragu.Dimas mengangguk tegas. "Lakukan apa pun yang diperlukan. Jangan biarkan istriku atau bayinya terluka."Tatapan Dalvin berpindah ke Dimas, penuh kemarahan. Kata-kata dokter seolah tak terdengar, tenggelam ole
Di ruang kerjanya yang megah, Dalvin duduk termenung. Di hadapannya, segelas kopi yang sejak tadi tak tersentuh mulai mendingin. Sebuah laporan tebal tergeletak di atas meja, tak menarik perhatian Dalvin sama sekali. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Kiara.Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, wajahnya tegas tapi penuh keraguan. Beliau adalah ajudan sekaligus Sekretaris yang kini menggantikan Dimas. Dalvin memutar bola mata, menatap pria itu saksama."Tuan Dalvin, laporan terakhir dari tim kami. Nona Kiara sudah dibawa ke rumah sakit di Amsterdam. Dari informasi yang kami dapat, kemungkinan besar beliau akan melahirkan dalam waktu dekat."Dalvin mengangkat wajahnya, tatapannya tajam. "Amsterdam? Jadi mereka benar-benar pergi sejauh itu..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Benar, Tuan. Tim kami memastikan Dimas masih mendampingi Nona Kiara. Mereka terlihat cukup hati-hati, tapi kami berhasil mengawasi pergerakan mereka," pria itu melanjutkan.Dalvin menghela napas
Kiara terkulai lemah di atas ranjang hotel, matanya setengah terpejam karena kelelahan. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa gelisah dengan kontraksi-kontraksi palsu yang datang silih berganti. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya menggigil dan perutnya terasa kencang. Meski begitu, ia tahu itu bukan tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman itu cukup membuatnya kelelahan."Aduh... Dimas..." Kiara mengeluh, memegangi perutnya yang semakin membesar.Kiara merasa sesak, dan kali ini rasa sakit itu seakan lebih kuat dari sebelumnya.Dimas yang berada di sampingnya, segera duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Kiara dengan lembut. Sejak hari-hari terakhir di Amsterdam, ia tak bisa lagi menahan kekhawatiran melihat Kiara yang semakin menderita. Apalagi kalimat Dalvin, semua itu akan menjadi sebuah ancaman bagi Dimas dan Kiara ke depannya."Ada apa, sayang? Apakah rasa sakit itu semakin menjadi?" Dimas bertanya khawatir, matanya memandan
Dalvin duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan file penting yang menanti untuk ditandatangani. Namun, hari itu pikirannya teralihkan oleh laporan yang baru saja ia terima. Di meja kerjanya, ponsel bergetar, menandakan panggilan masuk. Dalvin mengangkat telepon dengan wajah serius."Tuan Dalvin, saya punya kabar penting," suara suruhan Dalvin terdengar dari ujung telepon. "Kami telah melacak keberadaan Kiara dan Dimas. Mereka berada di Amsterdam."Dalvin terdiam sejenak, terkejut mendengar berita itu. Jantungnya berdebar kencang, dan seketika rasa cemas menyelubunginya. Amsterdam? Kiara dan Dimas? Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa mereka akan pergi sejauh itu."Amsterdam?" Dalvin bertanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. "Apa mereka melakukan perjalanan bersama? Ah ya tentu saja, maksudku apa mereka tinggal bersama?""Ya, Tuan," jawab suruhannya dengan nada hati-hati. "Mereka pergi bersama, dan yang lebih mengejutkan, mereka sudah
Kiara duduk di sofa ruang keluarga dengan tangan memegangi perutnya yang semakin membesar. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia sering mengeluh mulas belakangan ini, dan rasa itu kian hari semakin intens. Dimas yang duduk di sampingnya tampak gelisah, mengawasi Kiara dengan tatapan cemas.“Kiara, kita harus pergi ke dokter sekarang,” desak Dimas, suaranya tegas namun penuh perhatian. "Ini dekat dengan HPL bukan?"“Tapi aku takut, Dimas,” jawab Kiara lirih. “Aku dengar prosedur pemeriksaan untuk pembukaan itu menyakitkan. Aku tidak tahu seperti apa, tapi katanya akan sakit.”Dimas menggenggam tangan Kiara dengan lembut. “Aku ada di sini. Apa pun yang terjadi, aku akan menemanimu. Ini demi kesehatanmu dan bayi yang kamu kandung. Jika nanti sakit, kamu boleh meremas tanganku dengan keras."Kiara menatap mata Dimas yang penuh keyakinan. Akhirnya, ia mengangguk meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Dengan sigap, Dimas membantu Kiara berdiri dan mengenakan mantel. Mer
Pagi itu, Dimas sedang sibuk di dapur. Ia mengaduk adonan pancake dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah Kiara yang duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu tampak sibuk membaca buku tentang persiapan melahirkan, sesekali mengusap perutnya yang semakin besar. Dokter mengatakan bila menunggu dua minggu kedepan untuk melahirkan.“Kiara,” panggil Dimas dari dapur. “Kamu mau tambahan cokelat atau sirup maple di pancake-nya? Atau mau ditambahi ciuman dari aku?” imbuhnya.Kiara menoleh dan tersenyum kecil. Ia gemas pada Dimas yang sudah mulai gombal terhadapnya.“Sirup maple saja. Aku sedang mengurangi yang manis-manis. Kata Dokter berat badanku cepat naik, aku harus menjaganya supaya tidak sulit melahirkan."Dimas mengangguk, menuangkan adonan ke penggorengan. Suara desis adonan bertemu dengan wajan panas memenuhi ruangan, menciptakan aroma manis yang membuat suasana pagi terasa hangat.Namun, di tengah kehangatan itu, ponsel Dimas yang tergeletak di meja makan bergetar. Nama yang tert
Kiara terbangun di pagi itu dengan rasa sakit yang semakin mengganggu di dadanya. Beberapa kali ia terbangun dan meraba dadanya yang terasa sangat penuh dan membengkak. Setiap gerakan terasa begitu nyeri, dan meskipun ia mencoba untuk tidur, rasa sakit itu tak kunjung mereda."Ahh..." Kiara mengeluh pelan, meremas bantal yang ada di sampingnya. Ia tak bisa menahan rasa tidak nyaman itu lebih lama. Tak ada yang bisa membantunya kecuali Dimas, yang tidur dengan tenang di sebelahnya.Dimas yang terbangun mendengar suara desahan Kiara segera menoleh. "Kiara? Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. Matanya masih setengah terpejam, namun ia bisa melihat ekspresi kesakitan di wajah Kiara.Kiara menatap Dimas dengan tatapan penuh harap. "Dimas, dadaku... Sakit sekali," kata Kiara dengan nada lemah. "Aku merasa seperti hampir meledak, ini lebih sakit dari kemarin saat kamu memompanya. Keringatku juga dingin."Dimas menggaruk tengkuknya, sedikit bingung. Ia tidak tahu bagaimana har
Cecilia melangkah keluar dari bandara dengan perasaan campur aduk. Di tangannya, ia menggenggam tiket pesawat yang baru saja ia gunakan untuk kembali ke Indonesia. Hatinya penuh dengan kecemasan dan tekad. Ia tahu, apa yang akan ia lakukan hari ini akan mengubah banyak hal, terutama bagi keluarga Kiara.Keluarga Kiara harus tahu bila putrinya hidup. Hanya itu yang ada di benak Cecilia.Perjalanan ke rumah keluarga Kiara terasa lebih panjang dari biasanya. Ia memandangi jalanan yang penuh kenangan, mengingat bagaimana dulu ia dan Kiara sering melewati jalan ini bersama. Kini, Kiara berada ribuan kilometer jauhnya, berjuang untuk hidup dan bayinya, sementara orangtuanya di sini tidak tahu apa-apa.Ketika mobil berhenti di depan rumah besar dengan taman rapi, Cecilia menarik napas dalam-dalam. Ia turun dari mobil dan melangkah ke pintu depan. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu, seolah ia membawa beban yang terlalu berat untuk disampaikan. Semua salahnya, ia yang telah membawa Kiara da
Di sebuah ruangan besar dengan pencahayaan redup, Irene duduk di kursi roda mewahnya. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kebencian yang dalam. Wanita itu belum puas dengan apa yang terjadi di hidupnya. Ia ingin siapapun yang ia benci, hancur lebur tak bersisa.Di hadapannya berdiri lima orang pria berpenampilan garang, berpakaian serba hitam, dengan wajah tanpa belas kasihan.Irene memutar cangkir teh di tangannya, aroma melati memenuhi udara. Ia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara dengan suara rendah namun penuh wibawa.“Kalian tahu kenapa kalian ada di sini?” tanya Irene, suaranya nyaris seperti bisikan namun cukup untuk membuat semua pria itu tegang.Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya, maju selangkah. “Kami akan mendengar perintah Anda, Nyonya. Kami siap menjalankan apa pun yang Anda inginkan.” ujar pria itu dengan tatapan tajam.Irene tersenyum tipis, namun senyumnya dingin seperti es. Wani