Kiara Parvati berdiri di sudut ruang tamu yang sempit dan gelap. Cahaya matahari hanya mampu menembus jendela kecil yang kotor, membuat ruangan ini terlihat semakin suram. Setiap sudutnya terasa berat dengan bau debu dan kerusakan yang semakin merayap ke seluruh bagian rumah.
Kiara menghela napas, menatap ayahnya yang terbaring di ranjang dengan mata yang lelah dan wajah yang pucat. Sudah hampir satu tahun sang Ayah berjuang melawan sakit ginjal hingga tidak mampu berbuat apa-apa. "Kiara, kamu sudah pulang?" tanya ayahnya dengan suara yang hampir tak terdengar. Kiara menatap wajah tua itu dengan penuh rasa sakit dan kekhawatiran. Ada sesuatu yang membuatnya sakit, akan tetapi tidak dapat diungkapkannya. "Iya, Pa. Aku baru saja pulang dari kantor," jawabnya, meski hati Kiara tertekan dengan kenyataan bahwa hari itu adalah hari terakhirnya di tempat kerja. Sebagai seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun, Kiara merasa hidupnya seperti sebuah lingkaran setan. Ekonomi keluarga mereka yang sudah sulit semakin memburuk dengan sakitnya ayah dan ketidakmampuan ibunya untuk mencari nafkah. Keputusannya untuk mencari pekerjaan tambahan pun tak membuahkan hasil yang signifikan. Kini, setelah dipecat dari pekerjaan terakhirnya, Kiara merasa seperti berada di tepi jurang, tanpa jalan keluar. "Jangan lupa makan Kiara, makan seadanya saja ya nak?" ujar Mama Kiara yang tampak kelelahan. "Nanti saja Ma, aku ke kamar dulu." Kiara menghela napas panjang dan duduk di ranjangnya dengan perasaan kalut. Tiba-tiba sahabatnya Cecilia menghubunginya via telefon. Cecilia adalah orang yang telah lama menjadi teman dekat Kiara. Namun, siapa sangka hari itu Cecilia datang dengan tawaran yang sangat tak terduga. "Kamu benar-benar harus datang ke sini, Kiara. Aku punya sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan," kata Cecilia dengan nada serius saat menelepon Kiara. "Tidak ada yang menjaga ayahku. Apa tidak bisa kita berbincang di telefon?" ujar Kiara dengan nada sedih. "Kiara, aku akan mengganti semua transportnya. Tolong datang ke sini, aku benar-benar ingin membicarakan hal yang serius. Ini demi masa depanmu juga. Sebentar saja." ujar Cecilia dengan nada memohon. "Kamu bisa melaporkanku jika aku menyakitimu. Aku mohon, aku mohon Kiara. Sepanjang kita berteman, baru kali ini aku memohon kepadamu." Kiara iba dan akhirnya berangkat menuju kediaman Cecilia. Ketika Kiara tiba di apartemen Cecilia yang mewah, dia merasa canggung dan tidak nyaman. Suasana mewah yang kontras dengan kondisi hidupnya sendiri hanya menambah rasa kesal di hatinya. Cecilia menyambutnya dengan senyuman canggung, dan segera membawa Kiara ke ruang tamu yang penuh dengan perabotan elegan. "Ada apa, Cecilia? Aku sudah sangat lelah dan tidak tahu harus bagaimana lagi," keluh Kiara, mencoba menenangkan dirinya meski dalam keadaan tertekan. Cecilia mengangguk, seolah memahami betapa berat beban yang dipikul Kiara. "Aku tahu kamu melalui masa sulit. Tapi aku ingin menawarkan sesuatu yang bisa membantu kamu dan keluargamu." Kiara mengerutkan dahi. Ia tidak yakin dengan apa yang akan dikatakan Cecilia. "Apa itu?" tanyanya dengan penuh harapan. Cecilia menghela napas, lalu menjelaskan. "Ada seorang pengusaha kaya, ia Pamanku sendiri bernama Dalvin Pramoedya yang saat ini membutuhkan istri kedua. Istrinya, Irene, tidak bisa memberikan keturunan dan saat ini sedang berjuang melawan kanker. Dalvin mencari seseorang yang bisa menolongnya dalam situasi ini." Kiara merasa otaknya berputar cepat. Tawaran gila macam apa ini? "Maksudmu, kamu ingin aku menjadi istri kedua seorang pria yang bahkan tidak aku kenal?" Cecilia mengangguk. "Ya, aku tahu ini terdengar sangat tidak biasa dan sulit diterima. Namun, Dalvin sangat serius dan siap memberikan imbalan yang sangat besar. Dia ingin membantu keluargamu juga. Lagipula Dalvin bukanlah pria yang buruk." Kiara terdiam sejenak, berpikir tentang ayahnya yang semakin menurun kondisinya dan ibunya yang sudah tidak mampu lagi untuk bekerja. Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke Cecilia, yang sepertinya benar-benar mengharapkan dia untuk mempertimbangkan tawaran tersebut. "Kenapa kamu menawarkan ini padaku?" tanya Kiara dengan nada curiga. Cecilia menggaruk tengkuknya dan menghela napas. Gadis itu terlihat merasa bersalah sekaligus iba pada Kiara. "Aku tahu ini tidak adil untuk kamu, tetapi aku merasa ini adalah satu-satunya cara untuk membantu kamu keluar dari masalah. Kamu membutuhkan uang dan dukungan, dan Dalvin bisa memberikannya. Ayahmu sakit, dan aku memahami betul bagaimana situasimu yang terjepit." Kiara memikirkan tawaran tersebut. Meski hatinya menolak, dia juga tahu bahwa hidupnya saat ini berada dalam keadaan darurat. Sungguh, pilihan berat berada di hadapannya. "Bagaimana jika aku menolak tawaran ini?" tanya Kiara dengan tatapan membulat. Cecilia menatapnya dengan serius. "Jika kamu menolak, kamu harus mencari cara lain untuk menyelesaikan semua permasalahanmu. Aku tidak yakin ada jalan keluar lain yang lebih baik daripada ini. Om Dalvin adalah adik ibuku, kamu bisa mempercayaiku kali ini, ia bukan pria yang akan menyakitimu. Sungguh!" Keputusan sulit ini menggantung di kepala Kiara, namun akhirnya dia mengangguk. Ia tidak tega melihat kondisi ekonomi keluarganya, terlebih lagi ia baru saja dipecat dan ayahnya sudah tidak sanggup melakukan kegiatan apa-apa. Kiara harus menyelamatkan semuanya. "Baiklah, aku akan bertemu dengan pamanmu, Dalvin." Cecilia tersenyum dan tampak lega. "Terima kasih, Kiara. Aku akan mengatur pertemuan untuk kalian." Hari berikutnya, Cecilia membawa Kiara ke sebuah villa mewah yang terletak di pinggiran kota. Villa itu sangat berbeda dengan rumah kecil yang Kiara huni. Ketika mereka masuk ke dalam villa, Kiara merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Dalvin Pramoedya, pria berusia empat puluh lima tahun dengan penampilan yang sangat berwibawa dan karismatik, menyambut mereka. Meskipun usianya terpaut dua puluh tahun dari Kiara, Dalvin memiliki pesona yang membuatnya terlihat lebih muda dari usianya. Dengan senyum lebar dan tatapan yang tegas, Dalvin mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Kiara. "Kiara, senang bertemu denganmu. Cecilia sudah banyak bercerita tentangmu," katanya dengan suara yang berat namun ramah. Kiara membalas jabat tangan Dalvin dengan tangan yang sedikit gemetar. Wibawa Dalvin benar-benar membuatnya tegang, ia tidak yakin pria itu mau menerimanya yang sederhana untuk menjadi istri kedua pria sepertinya. "Terima kasih telah meluangkan waktu untuk bertemu dengan saya." Dalvin mengangguk dan mengajak mereka untuk duduk di ruang tamu yang megah. Kiara benar-benar canggung, akan tetapi Cecilia berusaha menenangkan Kiara bila mereka tengah berhadapan dengan orang yang baik. "Istriku sakit kanker. Aku membutuhkan seseorang yang bisa mendukung karir dan juga tradisi keluargaku. Jika kamu mau menjadi istriku, aku akan mendukungmu." terang Dalvin tanpa berbasa-basi. Cecilia tersenyum. Ia mengusap lengan Kiara dengan lembut sambil menatap pamannya saksama. "Om, Kiara adalah gadis yang baik serta cerdas. Ia pantas berdampingan dengan pria hebat seperti Om, tolong jangan sakiti Kiara dan dukung segala kebutuhannya. Aku tidak ingin sahabatku menderita setelah berkorban menjadi yang kedua." tutur Cecilia serius. Dalvin menganggukkan kepala. Kedua bola matanya tak henti-henti memandangi Kiara dengan hangat. Kiara merasa canggung hingga ia mengepalkan tangan di atas lutut. "Tuan Dalvin, aku merasa terhormat karena tuan memilihku." ujar Kiara dengan sopan. Setelah pertemuan singkat tersebut, Dalvin tampaknya sudah yakin dengan keputusan Kiara. Meski usianya jauh lebih tua, Dalvin menunjukkan rasa hormat dan keseriusan dalam tawarannya. Terlebih lagi, Kiara adalah gadis yang benar-benar cantik walaupun dalam balutan pakaian sederhana. Dalvin yakin, ia akan memiliki keturunan yang tampan serta cantik jika ia menikahi Kiara. Ketika Kiara keluar dari villa, dia merasa campur aduk antara kecemasan dan harapan. Dia tahu bahwa hidupnya akan berubah drastis, tetapi dia juga tahu bahwa ini mungkin satu-satunya jalan keluar dari kesulitan yang dia hadapi. Di dalam mobil Cecilia, Kiara menatap keluar jendela, berpikir tentang keputusan besar yang baru saja dia buat. Dia tahu bahwa hidupnya akan penuh dengan tantangan baru, tetapi dia berharap bahwa keputusan ini akan membawa kebaikan tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ayahnya dan ibunya yang sangat dia cintai. "Mama, Papa ... akhiri penderitaan kalian sampai di sini, aku akan mengubah semua itu."### Chapter 2: Pilihan Berat dan Langkah BaruKiara berdiri di ambang pintu kamar ibunya, sebuah ruangan kecil yang tampak semakin suram dengan setiap hari yang berlalu. Ibunya, Rina, duduk di tepi ranjang, wajahnya tampak lelah dan penuh beban. Kiara merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan berita yang sulit ini."Ma," Kiara memulai dengan suara lembut. "Aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang sangat penting."Rina menoleh. Matanya yang letih menatap putrinya dengan penuh rasa ingin tahu, Kiara hanya bisa menelan saliva dan mengumpulkan segenap kekuatannya untuk berbicara."Ada apa, Kiara? Kamu terlihat sangat serius."Kiara menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. Ia menggigit bibir hingga akhirnya siap mengutarakan maksud dan tujuannya."Aku baru saja bertemu dengan seorang penguasa bernama Dalvin Pramoedya. Dia menawarkan sesuatu yang bisa membantu kita keluar dari masalah keuangan yang sangat mendesak ini."Rina men
Kiara Parvati merasa jantungnya berdegup kencang saat Dalvin Pramoedya mengajaknya ke ruang yang lebih pribadi di dalam villa mewahnya. Ruangan itu didekorasi dengan gaya yang sangat elegan, penuh dengan perabotan mahal dan nuansa yang tenang. Namun, suasana hati Kiara terasa berat, mengingat pertemuan penting yang akan datang.Dalvin mengantarnya menuju sebuah ruangan di sisi lain villa, di mana ia memperkenalkan Kiara pada seorang wanita cantik dengan rambut pendek. Wanita itu terlihat sangat lemah dan duduk di kursi roda, didampingi oleh beberapa perawat yang berdiri di sekelilingnya. Meski wajahnya cantik, tatapannya tampak penuh kesedihan dan kesakitan."Kiara, ini adalah Irene, istri pertamaku," Dalvin memperkenalkan dengan suara lembut. "Irene, ini adalah Kiara, yang akan menjadi istri keduaku."Irene menatap Kiara dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ada campuran antara keputusasaan dan ketenangan di matanya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar, Irene berkata, "Selam
Kiara Parvati merasa campur aduk antara rasa cemas dan keheranan saat dia mulai menjalani kehidupan barunya di kediaman Dalvin Pramoedya. Setelah pertemuan singkat dengan Irene dan percakapan dengan Dalvin, dia diperkenalkan pada banyak hal baru yang akan menjadi bagian dari hidupnya.Pagi hari yang tenang dimulai dengan perkenalan kepada seluruh ajudan dan staf rumah tangga Dalvin. Kiara diperkenalkan kepada setiap orang dengan nama dan posisi mereka, mulai dari para pelayan hingga para asisten yang akan membantunya dalam berbagai hal sehari-hari. Semua orang di rumah tersebut tampak sangat profesional dan menyambut Kiara dengan sikap sopan dan penuh hormat."Selamat datang di rumah, nona Kiara," kata seorang wanita paruh baya yang tampaknya bertanggung jawab atas dapur dan kebutuhan sehari-hari. "Kami akan memastikan bahwa kamu merasa nyaman di sini."Kiara mengangguk dengan senyum yang penuh terima kasih. "Terima kasih banyak. Aku sangat menghargai bantuan kalian semua."Setelah pe
Siang itu, Kiara dan Dimas baru saja selesai berbelanja untuk kebutuhan Pernikahan. Mereka berjalan berdampingan keluar dari pusat perbelanjaan, membawa beberapa tas berisi barang-barang yang sudah dipilih dengan teliti oleh Kiara. Matahari bersinar terang, memberikan suasana hangat yang nyaman, dan mereka berdua memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran kecil di sudut jalan.“Aku lapar, bagaimana kalau kita makan di sini?” Kiara menunjuk sebuah restoran dengan dekorasi yang hangat dan sederhana.Dimas mengangguk setuju, meskipun dia tahu bahwa sebagai asisten Dalvin, seharusnya dia menjaga jarak profesional dengan Kiara. Namun, entah kenapa, kebersamaan dengan Kiara hari itu membuatnya merasa lebih rileks dan santai. Dimas memang tidak memiliki teman, sejak kecil ia sudah ikut Dalvin dan ia sendiri sudah menganggap pria tersebut sebagai pengganti ayahnya sendiri.Mereka memesan makanan dan duduk di meja yang menghadap ke jendela, bisa melihat jalanan yang sibuk di luar. Sambil
Hari pernikahan Kiara dan Dalvin akhirnya tiba, sebuah perayaan yang intim namun mewah, dipenuhi dengan kemegahan dan keanggunan yang tidak pernah Kiara bayangkan sebelumnya. Acara tersebut digelar di sebuah resor terpencil yang dikelilingi oleh hamparan pepohonan dan pantai putih. Sejak pagi, Kiara sudah disibukkan dengan persiapan. Gaun pengantin putihnya berkilauan di bawah cahaya matahari pagi, dengan detail renda yang rumit dan hiasan kristal yang menjuntai di sepanjang ekornya.Kiara tidak pernah membayangkan dirinya menjadi pengantin seperti ini. Segala sesuatu terasa seperti mimpi—mimpi yang menjadi kenyataan hanya dalam waktu semalam. Dalvin, pria dewasa yang kaya raya, telah memilihnya, seseorang yang biasa saja, untuk menjadi pendamping hidupnya. Di matanya, hari ini ia benar-benar merasa seperti seorang putri dalam kisah dongeng. Ketika cermin memantulkan bayangan dirinya yang mempesona, Kiara merasa seolah tidak mengenali siapa yang ada di balik wajah cantik yang berhias
Kiara duduk di tepi ranjang, menggenggam gaun tidur sutra yang melekat di tubuhnya. Malam pertama yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan malah berakhir dengan rasa sakit fisik dan emosi yang menggelegak. Air matanya telah habis, tetapi luka di hatinya tetap terasa dalam. Dalvin, pria yang baru saja menikahinya, tidak lagi berada di sisinya. Sejak pagi, pria itu pergi ke Amerika untuk sebuah pertemuan penting dengan koleganya, seperti yang sudah sering ia lakukan sebelumnya. Ternyata, ini semua bayaran mahal bagi keinginan Kiara mengubah hidupnya.Kiara mencoba menghibur dirinya sendiri. Dia mengingat bahwa Dalvin selalu mengatakan bahwa pekerjaan adalah segalanya, tetapi tetap saja, ada perasaan yang tak bisa diabaikan. Rasa diabaikan. Lebih lagi, malam pertama mereka terasa berlalu cepat, tak ada kehangatan yang tersisa kecuali rasa sakit yang membakar tubuhnya. Kiara belum tahu pasti, apakah hanya sebatas itu perasaan setelah berhubungan badan?Tak lama kemudian, pintu kamar terbu
Kiara duduk di sudut kamar, air mata membasahi pipinya yang pucat. Hatinya terasa hancur, seperti kaca yang jatuh ke lantai dan berkeping-keping. Perkataan Irene masih terngiang-ngiang di telinganya, menusuk setiap sudut hatinya. Irene, istri pertama Dalvin,sudah bertekad bahwa ia tidak akan menyembunyikan kebenciannya terhadap Kiara. Bagi Irene, Kiara hanyalah alat, seseorang yang hanya diperlukan untuk satu tujuan—memberikan keturunan bagi Dalvin. Kiara hanyalah seseorang yang menggantikannya, tidak lebih. Ia tidak akan pernah membiarkan suaminya jatuh ke dalam pelukan Kiara, tidak akan pernah. "Kau hanya istri kedua, Kiara. Dia butuh anak, dan itulah satu-satunya alasan kau ada di sini." Kalimat itu menghantam keras. Meski Kiara sudah berusaha menahan air mata, pada akhirnya ia tak sanggup. Mungkin benar, pikirnya. Ia tak pernah merasakan kasih sayang yang tulus dari Dalvin. Seharusnya Kiara tidak perlu bersedih, bukankah ia juga mau menikah dengan Dalvin karena uang semata? L
Kiara duduk termenung di tepi ranjang, memeluk dirinya sendiri seolah mencoba melindungi hatinya yang rapuh. Setelah percakapan dengan Dalvin, ia merasa hampa, tak tahu ke mana harus melangkah. Namun, di sudut hatinya, ia masih menyimpan harapan bahwa mungkin ada ruang bagi cinta di antara mereka. Mungkin, dengan waktu, Dalvin akan melihatnya lebih dari sekadar calon ibu dari anak-anaknya.Dengan napas berat, Kiara akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Ia merasa perlu berbicara lagi dengan Dalvin, menyampaikan perasaannya lebih dalam. Mungkin kali ini, Dalvin akan lebih mendengarkannya.Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju ruang keluarga, berharap menemukan Dalvin di sana. Namun, ketika Kiara semakin mendekat, ia mendengar suara samar-samar dari dalam ruangan itu.Suara Dalvin. Tapi nadanya berbeda dari biasanya—lebih lembut, lebih hangat daripada saat bersama Kiara. Kiara berhenti sejenak, rasa penasaran menguasai dirinya. Ia mengintip dari balik pintu yang sedikit
Kiara duduk di tepi tempat tidur, menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Panggilan dari Dalvin baru saja berakhir, menyisakan ruang dalam hati yang terasa kosong. Ia memandang layar ponsel yang kini redup, meresapi setiap kata yang baru saja disampaikan oleh suaminya. Rasa kecewa dan perih berbaur menjadi satu.Dalvin menelefon hanya untuk mengatakan bahwa ia tak bisa menemui Kiara dalam waktu dekat. Ancaman dan sorotan media yang semakin ketat membuat Dalvin khawatir bahwa ada yang akan melacak keberadaan Kiara jika ia sering mengunjunginya di vila terpencil itu. Dalvin memang menginginkan keturunan dari Kiara, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, namun kini Kiara merasa seolah terjebak, seperti bayangan yang ditinggalkan sendirian dalam kegelapan."Dalvin, bagaimana mungkin aku harus terus menunggu seperti ini?" gumam Kiara pelan, airmata menggenang di matanya. "Benar, aku hanya alat untuk menghasilkan keturunanmu saja."Dimas, yang telah mengamati ekspresi Kiara dari k
Kiara duduk di atas ranjang pemeriksaan dengan tatapan kosong. Dokter di hadapannya berbicara dengan suara lembut dan tenang, namun tidak mampu mengurangi kecemasan yang berkecamuk di hatinya. Dimas berdiri di sampingnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sama.“Bu Kiara,” dokter memulai dengan nada penuh pengertian. “Saat ini, kondisi kehamilan Anda membutuhkan perhatian khusus. Ibu mengalami stres berat, yang tidak hanya memengaruhi kondisi fisik, tetapi juga perkembangan janin. Demi kesehatan Ibu dan bayi, sangat penting bagi Ibu untuk beristirahat dengan cukup dan menghindari hal-hal yang bisa memperparah stres.”Kiara menunduk, menahan napas sejenak. Mendengar penjelasan dokter itu membuatnya sadar bahwa kehamilan ini lebih rumit dari yang ia kira. Ini adalah kehamilan pertamanya, sesuatu yang seharusnya membahagiakan, tetapi kini terasa berat karena tekanan yang ia rasakan. Sorotan media, ancaman dari Irene, serta beban yang datang dari posisinya sebagai istri gubernur tela
Suasana pagi di kediaman dinas gubernur terasa lebih sunyi dari biasanya. Dalvin harus berangkat ke Palembang untuk menghadiri pertemuan para pejabat. Meski biasanya Kiara selalu mendampingi suaminya dalam acara-acara resmi, kali ini kondisi kehamilannya yang semakin membesar membuatnya tidak memungkinkan untuk bepergian jauh. Tubuhnya masih sering terasa lemah, dan Dalvin tahu betul bahwa perjalanan ini terlalu berat untuk Kiara.Di ruang tamu, Dalvin mengenakan jas resmi, bersiap untuk pergi. Kiara duduk di sofa dengan wajah pucat, tangannya menggenggam erat cangkir teh yang sudah dingin. Matanya tampak cemas, mengikuti setiap gerak-gerik suaminya. Dalvin menghampirinya, menunduk untuk mencium keningnya dengan lembut.“Kau yakin baik-baik saja di sini, Kiara?” Dalvin bertanya lembut, meski ada nada khawatir dalam suaranya.Kiara mengangguk pelan, meski tatapannya menghindari mata suaminya. “Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Ini bukan pertama kalinya aku tinggal di sini sendirian
Irene terbaring di ranjang rumah sakit dengan kondisi lemah. Infus tergantung di sebelahnya, perlahan meneteskan cairan yang seharusnya membantu memulihkan kekuatannya. Namun, hatinya masih dipenuhi amarah dan kecewa karena rencananya untuk menghancurkan Kiara gagal total. Dalvin telah mengetahui ulahnya, dan kini ia terisolasi. Tidak ada yang memihaknya, dan kondisinya terus memburuk karena tekanan emosional.Kondisi Irene memang lemah. Akan tetapi ia memaksakan diri agar mendapatkan apa yang diinginkannya. Bukan Irene namanya jika ia tidak bisa melakukan apapun yang diinginkannya.Pintu kamar Irene tiba-tiba terbuka dengan kasar, membuat suara dentingan yang nyaring. Irene menoleh dengan lemah, hanya untuk melihat sosok Cecilia memasuki ruangan dengan langkah cepat dan sorot mata penuh kebencian.Cecilia, meskipun baru berusia 22 tahun, memiliki kepercayaan diri dan kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Dengan latar belakang keluarganya yang terpandang dan kekuasaan orangtuanya yang
Suasana di rumah dinas gubernur terasa tegang sejak kejadian semalam. Kiara terbaring lemas di kamar tidurnya, tubuhnya tampak lebih rapuh dari biasanya. Wajahnya pucat, napasnya sedikit terengah, dan matanya yang biasanya bersinar kini redup. Dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa efek obat perangsang yang diberikan kepadanya memang berbahaya, terutama dalam kondisinya yang sedang hamil.Dalvin duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Kiara dengan penuh penyesalan. Ia tak pernah membayangkan bahwa intrik yang dibuat oleh Irene akan sampai sejauh ini. Pikirannya terus berputar, merencanakan langkah-langkah selanjutnya untuk mengamankan istrinya dari ancaman yang lebih besar. Namun, di tengah kegelisahannya, suara langkah kaki yang cepat terdengar di lorong.Pintu kamar Kiara terbuka lebar, menampakkan sosok Cecilia, keponakan Dalvin sekaligus sahabat terdekat Kiara. Cecilia tampak marah. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, dan sorot matanya penuh dengan amarah
Dimas menatap tajam pada wanita pelayan di depannya, tangan kanannya mencengkeram lengan wanita itu dengan kuat. Ia bisa merasakan ketegangan di sekujur tubuh pelayan tersebut, namun wanita itu tetap bungkam. Dimas menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Segala sesuatu mulai masuk akal—Kiara yang tiba-tiba menunjukkan perilaku tak terkendali, obat yang dicampurkan dalam minuman, dan sekarang pelayan yang jelas-jelas tahu lebih banyak dari apa yang ia sampaikan. “Siapa yang memerintahmu?” desak Dimas, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Jangan berbohong, atau aku akan memastikan kau ditangkap dan diadili.” imbuhnya. Pelayan itu tetap terdiam, kepalanya tertunduk, dan tubuhnya sedikit gemetar. Ia tahu apa yang sedang terjadi, dan ia takut, sangat takut. Namun, ketakutan pada seseorang di balik layar, seseorang yang lebih berbahaya daripada ancaman Dimas, membuatnya tetap bungkam. “Bicaralah sekarang, atau aku akan menyeretmu ke kantor polisi,” ancam Dimas, kali ini dengan nada
Dalvin menatap Kiara dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Sikap istrinya berubah begitu drastis—dorongan hasrat yang menguasai Kiara tak seperti biasanya. Ia tahu ada yang tidak beres, tapi rasa kasih sayangnya pada Kiara membuatnya ragu untuk menolak. Dalam hatinya, Dalvin hanya ingin menyembuhkan istrinya dari rasa gelisah yang tampak menguasai tubuh dan pikirannya."Mas Dalvin... kumohon," desis Kiara, suaranya serak penuh hasrat yang tak terkendali. "Main yuk Mas?"Kiara mendekatkan diri ke Dalvin, menarik tubuh suaminya lebih erat dalam pelukannya, matanya penuh dengan gairah yang membara.Dalvin menarik napas dalam. Mungkin, pikirnya, memenuhi keinginan Kiara adalah satu-satunya cara untuk membuatnya merasa lebih baik. Meskipun tubuhnya sudah mulai lelah, ia tak bisa menolak Kiara yang begitu memohon. Dalvin akhirnya menyerah, menuntaskan keinginan istrinya yang menggelora, berpikir mungkin dengan cara itu, Kiara akan merasa lebih tenang.Namun, seiring berjalannya waktu,
Dimas semakin panik. Di hadapannya, Kiara mulai menggeliat tak menentu di atas sofa, napasnya memburu, dan keringat dingin membasahi wajahnya. Kiara tampak menahan sesuatu yang tak dapat dijelaskan, matanya sesekali terpejam erat, dan bibirnya melenguh kecil, seolah berjuang melawan dorongan dari dalam tubuhnya.“Nona Kiara, kau baik-baik saja?” Dimas bertanya, suaranya gemetar dengan nada cemas. Ia merunduk, mencoba membantu Kiara yang tampak kehilangan kendali atas tubuhnya.Namun, Kiara tak dapat memberikan jawaban yang jelas. Tubuhnya terasa panas, pikirannya mulai mengabur. Ia tahu ada yang tidak beres, tetapi tak bisa memahami apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba, ia merasa hasrat yang kuat merambati seluruh tubuhnya, dan itu membuatnya semakin tak nyaman. Rasa aneh yang tadi samar, kini berubah menjadi dorongan yang tak tertahankan.Sementara itu, di dapur dan area pelayanan, para pelayan yang mengetahui bahwa minuman Kiara telah dicampur vitamin penambah gairah semakin ketakutan
Di sebuah ruangan yang redup, Irene duduk di kursi kulitnya, menatap layar ponsel dengan ekspresi puas. Ia baru saja memberikan instruksi terakhir kepada salah satu orang kepercayaannya di kediaman gubernur. Rencananya kini semakin mendekati tahap akhir. Irene tahu bahwa memanfaatkan kelemahan Kiara adalah cara paling efektif untuk menyingkirkan wanita itu dari hidup Dalvin. Kali ini, ia akan mengambil langkah lebih jauh—lebih berani, dan lebih berbahaya.“Kalian takut apa?” Irene berkata sinis saat mendengar beberapa orang protes atas rencananya. Mereka merasa cemas karena Kiara sedang hamil, dan takut jika substansi yang diselundupkan ke dalam minuman Kiara akan berbahaya bagi bayi yang dikandungnya.“Bu, Kiara sedang hamil. Jika sesuatu terjadi, kita bisa dituduh meracuni dia. Bagaimana kalau ada efek samping yang buruk?” Salah satu pelayan yang ditugaskan oleh Irene berbicara dengan penuh kekhawatiran, meskipun suaranya dijaga agar tetap rendah.Irene menggelengkan kepala dengan