Share

Chapter 5: Kebersamaan yang berbeda

Siang itu, Kiara dan Dimas baru saja selesai berbelanja untuk kebutuhan Pernikahan. Mereka berjalan berdampingan keluar dari pusat perbelanjaan, membawa beberapa tas berisi barang-barang yang sudah dipilih dengan teliti oleh Kiara. Matahari bersinar terang, memberikan suasana hangat yang nyaman, dan mereka berdua memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran kecil di sudut jalan.

“Aku lapar, bagaimana kalau kita makan di sini?” Kiara menunjuk sebuah restoran dengan dekorasi yang hangat dan sederhana.

Dimas mengangguk setuju, meskipun dia tahu bahwa sebagai asisten Dalvin, seharusnya dia menjaga jarak profesional dengan Kiara. Namun, entah kenapa, kebersamaan dengan Kiara hari itu membuatnya merasa lebih rileks dan santai. Dimas memang tidak memiliki teman, sejak kecil ia sudah ikut Dalvin dan ia sendiri sudah menganggap pria tersebut sebagai pengganti ayahnya sendiri.

Mereka memesan makanan dan duduk di meja yang menghadap ke jendela, bisa melihat jalanan yang sibuk di luar. Sambil menunggu pesanan datang, mereka berbincang santai. Untuk pertama kalinya, Dimas tampak lebih terbuka. Senyumnya yang biasanya jarang terlihat kini lebih sering menghiasi wajahnya, membuat Kiara merasa nyaman di dekatnya.

Saat makanan tiba, keduanya mulai makan dengan lahap. Percakapan ringan terus berlanjut, diselingi tawa kecil dari Kiara. Namun, momen yang tak terduga tiba ketika Dimas, dengan cerobohnya, Dimas bersin hingga segelas jus yang ia pegang di atas meja, membasahi baju Kiara.

"Oh tidak! Maaf!" Dimas buru-buru mengambil serbet dan mencoba mengeringkan bagian baju Kiara yang terkena jus, sementara Kiara hanya tertawa. Yang lebih lucunya, Dimas mengeluarkan ingus.

"Tidak apa-apa, Dimas. Aku baik-baik saja." tutur Kiara. "Lebih baik buang ingusmu terlebih dahulu."

"Ah nona maafkan aku, sepertinya cuaca sangat dingin sehingga sinusku kambuh. Maaf!" ujar Dimas kikuk.

Senyum Kiara melebar saat melihat wajah panik Dimas, dan sejenak, kekikukan yang sempat terasa di antara mereka menghilang.

Setelah itu, mereka tertawa bersama seolah kejadian tadi merupakan hal paling lucu yang pernah mereka alami. Suasana semakin santai, dan Kiara merasa Dimas berbeda dari biasanya. Ada sisi yang lebih hangat dari pria itu, sesuatu yang membuatnya semakin nyaman untuk berbicara dan bercanda.

Setelah makan siang selesai, Dimas tiba-tiba mengusulkan sesuatu. "Nona, apa setelah ini mau main di arcade?" tanyanya, setengah bercanda namun juga serius.

Kiara, yang awalnya ragu, akhirnya mengangguk antusias. "Kenapa tidak? Aku sudah lama tidak bersenang-senang."

Mereka berdua berjalan ke sebuah arcade yang tidak jauh dari restoran. Di sana, Kiara merasa seperti kembali ke masa kecilnya, di mana bermain tanpa beban adalah hal yang wajar. Dimas dan Kiara mencoba berbagai permainan, dari menembak bola basket hingga menembak alien di layar. Mereka tertawa lepas, seolah hari itu adalah momen pelarian dari semua tanggung jawab dan tekanan yang biasa mereka hadapi.

Di salah satu permainan, Dimas dengan bercanda mencoba menyaingi Kiara, yang ternyata sangat mahir menembak bola basket.

"Aku tidak menyangka kamu jago bermain ini," kata Dimas sambil tersenyum lebar.

Kiara hanya mengangkat bahu dengan gaya angkuh, namun kemudian tertawa lagi. "Ada banyak hal yang kamu belum tahu tentang aku," katanya sambil mengejek ringan.

Waktu berlalu tanpa terasa, dan setelah beberapa jam bermain, keduanya mulai merasa kelelahan. Kiara, yang sejak awal sudah merasa sedikit tidak enak badan, mulai merasakan efeknya. Wajahnya perlahan berubah pucat, dan ia mulai merasa mual. Tanpa banyak bicara, Kiara menutup mulutnya dan berlari menuju toilet.

Dimas yang menyadari keadaan Kiara segera mengejarnya, namun tidak bisa menghindari kecemasan yang merayapi pikirannya. Saat Kiara keluar dari toilet, wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya. Dia memegang perutnya dengan tangan gemetar, berusaha menahan muntah yang datang lagi.

"Kiara, kamu baik-baik saja?" tanya Dimas dengan nada khawatir, mendekatinya dengan cemas.

"Aku... aku rasa jus yang tadi aku minum membuatku mual," jawab Kiara lemah, sebelum ia harus berlari kembali ke toilet untuk muntah lagi.

Dimas tidak berpikir dua kali. Ia langsung memutuskan untuk membawa Kiara ke rumah sakit. Dengan sigap, ia memapah Kiara keluar dari arcade, menuntunnya menuju mobil. Sepanjang perjalanan, Dimas tidak bisa menutupi kekhawatirannya. Kiara tampak begitu lemah, dan ia tahu bahwa ini bukan sekadar mual biasa.

Setibanya di rumah sakit, Dimas dengan cepat mengurus administrasi dan memastikan Kiara mendapatkan perawatan secepatnya. Setelah pemeriksaan singkat, dokter menyatakan bahwa Kiara mengalami keracunan makanan ringan, mungkin dari jus yang diminumnya, namun tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara serius.

Meski begitu, Dimas memutuskan untuk tetap berada di samping Kiara, memastikan bahwa ia merasa nyaman dan diperhatikan. Dalam ruangan rumah sakit yang hening, Dimas duduk di samping ranjang Kiara. Kiara mengulurkan tangan memegang tangan Dimas dengan lembut.

“Maaf, aku tidak mengawasi apa yang kamu minum,” kata Dimas pelan, merasa sedikit bersalah. "Tuan Dalvin akan sangat marah jika tahu aku melakukan kelalaian."

“Tidak perlu minta maaf, Dimas. Ini bukan salahmu,” jawab Kiara lemah, namun dengan senyum yang tetap hangat.

Meski tubuhnya terasa lemah, hatinya justru terasa hangat oleh perhatian Dimas yang begitu tulus. Kiara merasa ujiannya sangat berat, mengapa ia harus didampingi sosok seperti Dimas? Mereka berdua sebaya, tentu orang-orang akan menyangka mereka pasangan dibandingkan asisten dan majikan.

Selama Dalvin berada di Singapura untuk urusan bisnis, Dimas-lah yang mengambil alih untuk merawat Kiara. Setiap hari, ia memastikan bahwa Kiara mendapatkan makanan yang baik, mengatur segala keperluan di rumah sakit, dan selalu berada di sisinya tanpa henti. Perhatian Dimas terasa begitu berbeda dari sebelumnya. Ini bukan lagi sekadar peran seorang asisten yang melaksanakan perintah. Kiara bisa merasakan ada perasaan yang lebih dari sekadar tanggung jawab.

Malam itu, ketika hanya ada mereka berdua di ruangan, Kiara terbaring di ranjang rumah sakit sambil menatap Dimas yang sedang membereskan beberapa barang. Hatinya bertanya-tanya tentang semua yang Kiara rasakan. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Dimas memperlakukannya. Kebersamaan mereka terasa hangat dan intim, jauh lebih dalam dari hubungan biasa antara seorang majikan dan asisten.

"Dimas," panggil Kiara perlahan.

Dimas menoleh, menatapnya dengan penuh perhatian.

“Ya, nona Kiara?”

“Terima kasih, sudah menjagaku,” ucap Kiara tulus, dan matanya menatap Dimas dengan lembut. “Aku merasa... ada yang berbeda denganmu. Kebersamaan ini... kau tidak lebih dari sekadar tanggung jawab kan?”

Dimas terdiam sejenak, pandangannya sedikit berkabut. Namun, ia tidak bisa mengelak.

“Aku... mungkin, ya. Aku hanya ingin memastikan nona baik-baik saja.” ujar Dimas. "Kita pulang malam ini, dokter sudah mengizinkan nona untuk pulang."

Kiara tersenyum kecil, namun dalam senyum itu ada rasa yang mendalam. Hari itu, Kiara tidur dengan perasaan yang campur aduk. Sementara di luar, Dimas terus berjaga di sampingnya, merenungkan perasaan yang mulai mengisi hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status