Hari pernikahan Kiara dan Dalvin akhirnya tiba, sebuah perayaan yang intim namun mewah, dipenuhi dengan kemegahan dan keanggunan yang tidak pernah Kiara bayangkan sebelumnya. Acara tersebut digelar di sebuah resor terpencil yang dikelilingi oleh hamparan pepohonan dan pantai putih. Sejak pagi, Kiara sudah disibukkan dengan persiapan. Gaun pengantin putihnya berkilauan di bawah cahaya matahari pagi, dengan detail renda yang rumit dan hiasan kristal yang menjuntai di sepanjang ekornya.
Kiara tidak pernah membayangkan dirinya menjadi pengantin seperti ini. Segala sesuatu terasa seperti mimpi—mimpi yang menjadi kenyataan hanya dalam waktu semalam. Dalvin, pria dewasa yang kaya raya, telah memilihnya, seseorang yang biasa saja, untuk menjadi pendamping hidupnya. Di matanya, hari ini ia benar-benar merasa seperti seorang putri dalam kisah dongeng. Ketika cermin memantulkan bayangan dirinya yang mempesona, Kiara merasa seolah tidak mengenali siapa yang ada di balik wajah cantik yang berhias riasan sempurna itu. Acara pernikahan berlangsung khidmat. Hanya segelintir orang terdekat yang diundang, seperti yang diinginkan oleh Dalvin—sebuah pesta eksklusif yang lebih berfokus pada keintiman daripada kemegahan. Selama prosesi, Kiara mencoba mencari-cari sosok Irene, mantan istri Dalvin yang sedang sakit keras, namun ia tidak tampak di antara para tamu. Namun, satu sosok yang tidak bisa ia abaikan adalah Dimas. Dari sudut matanya, Kiara bisa melihat Dimas memperhatikannya dari kejauhan, berdiri di barisan belakang dengan ekspresi yang sulit ditebak. Hatinya berdebar sejenak, namun ia segera kembali fokus pada upacara yang berlangsung. Seusai prosesi, pesta resepsi dimulai. Para tamu berdansa, bertepuk tangan, dan menikmati malam penuh kemewahan. Kilauan lampu kristal dan alunan musik klasik menambah suasana magis malam itu. Di tengah keramaian, Kiara sejenak merasa asing dengan semua yang terjadi. Kehidupan yang kini ia jalani terasa begitu berbeda dari yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Dalvin sesekali menggenggam tangannya dengan erat, memberikan senyum meyakinkan, meski dalam tatapannya ada sesuatu yang tidak bisa Kiara uraikan. Ketika pesta mencapai puncaknya, Kiara berusaha mengabaikan tatapan Dimas yang beberapa kali tertuju padanya. Setiap kali ia bertemu mata dengan Dimas, hatinya terasa seperti tertikam sesuatu yang tajam. Ia tahu bahwa hubungan mereka tidak pernah bisa kembali seperti dulu. Kini, ia adalah istri Dalvin. Masa-masa pertemanan dengan Dimas sudah menjadi kenangan yang seharusnya ia simpan rapat-rapat di dalam lubuk hatinya. Namun, tatapan itu—ada sesuatu di sana yang membuat Kiara merasa tidak tenang. Malam semakin larut, dan pesta akhirnya usai. Para tamu satu per satu meninggalkan tempat, termasuk Dimas, yang pergi tanpa sepatah kata. Kini, hanya tersisa Kiara dan Dalvin, di kamar pengantin mereka yang megah. Kamar itu luas, dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang menebarkan aroma harum. Sebuah ranjang berkanopi putih berdiri di tengah ruangan, tampak megah dan sekaligus mengintimidasi bagi Kiara. Ini adalah malam pertama mereka sebagai suami istri, dan Kiara tidak bisa menahan rasa gugup yang perlahan menyelimuti dirinya. Dalvin mendekat dengan senyum lembut, namun dalam sorot matanya, Kiara bisa melihat keinginan yang tidak tersembunyi. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap wajah Kiara dengan lembut, menyibak rambutnya yang masih terikat dengan rapi dengan beberapa hiasan bunga yang cantik. "Kiara," suaranya terdengar serak, "sudah hampir dua tahun aku tidak merasakan hubungan suami istri." Kiara hanya terdiam mendengar kalimat tersebut. Dalvin melanjutkan, "Irene... dia sakit, dan aku tidak bisa memaksanya. Tapi sekarang... sekarang aku ingin engkau melayaniku, Kiara. Aku butuh kehangatanmu." Hati Kiara berdegup kencang. Ia tahu malam ini akan datang, tapi mendengarnya secara langsung dari Dalvin membuat tubuhnya gemetar. Dalvin mendekat lagi, mencium bibirnya dengan intensitas yang semakin memanas. Kiara mencoba mengikuti, tapi hatinya belum sepenuhnya siap. Ini pertama kalinya baginya, dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Dalvin mulai melepas gaun pengantinnya, dan Kiara hanya bisa pasrah. Ia menutup matanya, mencoba untuk tenang, namun tubuhnya menegang seiring dengan setiap gerakan yang Dalvin lakukan. Gairah Dalvin semakin membara, dan Kiara merasa tersesat di tengah arus yang ia tidak bisa kendalikan. "Mas aku malu!" Gaun Kiara terlepas sepenuhnya dan Dalvin mulai membuka kemejanya. Lelaki itu seolah melihat seonggok daging segar yang siap memangsa Kiara. Ia mendekap Kiara, menciumi tengkuk istri keduanya dengan penuh gairah. "Mas!" Dalvin menyesap kedua dada Kiara yang besar itu bergantian. Jemarinya menyusuri kehangatan Kiara, membelah kehangatan itu dan memainkannya dengan jemarinya hingga Kiara mengeluarkan suara lenguhan yang kacau. Kiara baru pertama kali merasakan dirinya disentuh sedemikan rupa oleh lelaki, ia benar-benar takut. "Enak sayangku?" tanya Dalvin sambil memperhatikan Kiara yang terus melenguh. Kiara merasakan pipinya memerah. Dalvin mundur dan kepalanya berada diantara kedua kaki Kiara. Ia mencumbui kehangatan Kiara, dan tanpa permisi langsung menyesap kehangatan Kiara. Kiara hanya berteriak dan melenguh sambil menjambak rambut suaminya itu. Pinggangnya terangkat dan itu memperdalam Dalvin dalam memperdaya istrinya. "Manis sekali." ujar Dalvin sambil mulai menempatkan pinggangnya diantara kaki Kiara. Ketika Dalvin akhirnya menuntut lebih, Kiara merasakan sakit yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Tubuhnya terasa tertarik dan tertekan di segala arah, dan tangisnya pecah tanpa ia sadari. Air mata mengalir di pipinya, namun Dalvin tampaknya tidak menyadari atau mungkin tidak peduli. Ia terus memacu dirinya dengan nafsu yang tak terbendung, sementara Kiara hanya bisa menangis, berusaha menahan sakit yang mendera. "Mas sakit Mas, berhenti Mas!" Kiara memegang lengan Dalvin kuat-kuat sambil merasakan pinggang suaminya itu naik turun. "Nikmat sekali Kiara. Tahan sebentar, kau akan menikmati malam ini." Di luar kamar, Dimas berdiri di koridor, diam-diam mendengarkan suara yang datang dari dalam. Suara tangisan Kiara membuat hatinya hancur berkeping-keping. Dimas tidak seharusnya berada di sana, tetapi ia tidak bisa menahan dirinya. Ia tahu bahwa pernikahan ini sudah terjadi dan Kiara kini milik Dalvin, tapi perasaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. Setiap suara tangisan yang terdengar dari balik pintu itu membuat dada Dimas terasa sesak. Ia tidak berani masuk, tidak berani melakukan apa pun. Tapi di dalam hatinya, ada pergolakan yang begitu hebat. Dalam kamarnya, Kiara terus menahan sakit, tetapi pada akhirnya ia merasa tubuhnya tidak mampu lagi melawan. Malam itu terasa begitu panjang, dan ketika semuanya berakhir, ia hanya bisa terbaring lemah di ranjang. Dalvin memeluknya dari belakang, seolah tidak terjadi apa-apa. "Kau akan terbiasa," bisiknya di telinga Kiara, sebelum akhirnya ia tertidur pulas. "Terima kasih, aku akan memintanya setiap hari." Namun bagi Kiara, malam itu meninggalkan luka yang mendalam, bukan hanya pada tubuhnya, tetapi juga di hatinya. Dan di luar sana, Dimas hanya bisa meratapi, terjebak dalam dilema dan perasaan yang tak Dimas pahami. Ada apa dengan perasaannya itu?Kiara duduk di tepi ranjang, menggenggam gaun tidur sutra yang melekat di tubuhnya. Malam pertama yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan malah berakhir dengan rasa sakit fisik dan emosi yang menggelegak. Air matanya telah habis, tetapi luka di hatinya tetap terasa dalam. Dalvin, pria yang baru saja menikahinya, tidak lagi berada di sisinya. Sejak pagi, pria itu pergi ke Amerika untuk sebuah pertemuan penting dengan koleganya, seperti yang sudah sering ia lakukan sebelumnya. Ternyata, ini semua bayaran mahal bagi keinginan Kiara mengubah hidupnya.Kiara mencoba menghibur dirinya sendiri. Dia mengingat bahwa Dalvin selalu mengatakan bahwa pekerjaan adalah segalanya, tetapi tetap saja, ada perasaan yang tak bisa diabaikan. Rasa diabaikan. Lebih lagi, malam pertama mereka terasa berlalu cepat, tak ada kehangatan yang tersisa kecuali rasa sakit yang membakar tubuhnya. Kiara belum tahu pasti, apakah hanya sebatas itu perasaan setelah berhubungan badan?Tak lama kemudian, pintu kamar terbu
Kiara duduk di sudut kamar, air mata membasahi pipinya yang pucat. Hatinya terasa hancur, seperti kaca yang jatuh ke lantai dan berkeping-keping. Perkataan Irene masih terngiang-ngiang di telinganya, menusuk setiap sudut hatinya.Irene, istri pertama Dalvin,sudah bertekad bahwa ia tidak akan menyembunyikan kebenciannya terhadap Kiara. Bagi Irene, Kiara hanyalah alat, seseorang yang hanya diperlukan untuk satu tujuan—memberikan keturunan bagi Dalvin. Kiara hanyalah seseorang yang menggantikannya, tidak lebih. Ia tidak akan pernah membiarkan suaminya jatuh ke dalam pelukan Kiara, tidak akan pernah."Kau hanya istri kedua, Kiara. Dia butuh anak, dan itulah satu-satunya alasan kau ada di sini."Kalimat itu menghantam keras. Meski Kiara sudah berusaha menahan air mata, pada akhirnya ia tak sanggup. Mungkin benar, pikirnya. Ia tak pernah merasakan kasih sayang yang tulus dari Dalvin. Seharusnya Kiara tidak perlu bersedih, bukankah ia juga mau menikah dengan Dalvin karena uang semata? Lalu k
Kiara Parvati berdiri di sudut ruang tamu yang sempit dan gelap. Cahaya matahari hanya mampu menembus jendela kecil yang kotor, membuat ruangan ini terlihat semakin suram. Setiap sudutnya terasa berat dengan bau debu dan kerusakan yang semakin merayap ke seluruh bagian rumah.Kiara menghela napas, menatap ayahnya yang terbaring di ranjang dengan mata yang lelah dan wajah yang pucat. Sudah hampir satu tahun sang Ayah berjuang melawan sakit ginjal hingga tidak mampu berbuat apa-apa."Kiara, kamu sudah pulang?" tanya ayahnya dengan suara yang hampir tak terdengar.Kiara menatap wajah tua itu dengan penuh rasa sakit dan kekhawatiran. Ada sesuatu yang membuatnya sakit, akan tetapi tidak dapat diungkapkannya."Iya, Pa. Aku baru saja pulang dari kantor," jawabnya, meski hati Kiara tertekan dengan kenyataan bahwa hari itu adalah hari terakhirnya di tempat kerja.Sebagai seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun, Kiara merasa hidupnya seperti sebuah lingkaran setan. Ekonomi keluarga mere
### Chapter 2: Pilihan Berat dan Langkah BaruKiara berdiri di ambang pintu kamar ibunya, sebuah ruangan kecil yang tampak semakin suram dengan setiap hari yang berlalu. Ibunya, Rina, duduk di tepi ranjang, wajahnya tampak lelah dan penuh beban. Kiara merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan berita yang sulit ini."Ma," Kiara memulai dengan suara lembut. "Aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang sangat penting."Rina menoleh. Matanya yang letih menatap putrinya dengan penuh rasa ingin tahu, Kiara hanya bisa menelan saliva dan mengumpulkan segenap kekuatannya untuk berbicara."Ada apa, Kiara? Kamu terlihat sangat serius."Kiara menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. Ia menggigit bibir hingga akhirnya siap mengutarakan maksud dan tujuannya."Aku baru saja bertemu dengan seorang penguasa bernama Dalvin Pramoedya. Dia menawarkan sesuatu yang bisa membantu kita keluar dari masalah keuangan yang sangat mendesak ini."Rina men
Kiara Parvati merasa jantungnya berdegup kencang saat Dalvin Pramoedya mengajaknya ke ruang yang lebih pribadi di dalam villa mewahnya. Ruangan itu didekorasi dengan gaya yang sangat elegan, penuh dengan perabotan mahal dan nuansa yang tenang. Namun, suasana hati Kiara terasa berat, mengingat pertemuan penting yang akan datang.Dalvin mengantarnya menuju sebuah ruangan di sisi lain villa, di mana ia memperkenalkan Kiara pada seorang wanita cantik dengan rambut pendek. Wanita itu terlihat sangat lemah dan duduk di kursi roda, didampingi oleh beberapa perawat yang berdiri di sekelilingnya. Meski wajahnya cantik, tatapannya tampak penuh kesedihan dan kesakitan."Kiara, ini adalah Irene, istri pertamaku," Dalvin memperkenalkan dengan suara lembut. "Irene, ini adalah Kiara, yang akan menjadi istri keduaku."Irene menatap Kiara dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ada campuran antara keputusasaan dan ketenangan di matanya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar, Irene berkata, "Selam
Kiara Parvati merasa campur aduk antara rasa cemas dan keheranan saat dia mulai menjalani kehidupan barunya di kediaman Dalvin Pramoedya. Setelah pertemuan singkat dengan Irene dan percakapan dengan Dalvin, dia diperkenalkan pada banyak hal baru yang akan menjadi bagian dari hidupnya.Pagi hari yang tenang dimulai dengan perkenalan kepada seluruh ajudan dan staf rumah tangga Dalvin. Kiara diperkenalkan kepada setiap orang dengan nama dan posisi mereka, mulai dari para pelayan hingga para asisten yang akan membantunya dalam berbagai hal sehari-hari. Semua orang di rumah tersebut tampak sangat profesional dan menyambut Kiara dengan sikap sopan dan penuh hormat."Selamat datang di rumah, nona Kiara," kata seorang wanita paruh baya yang tampaknya bertanggung jawab atas dapur dan kebutuhan sehari-hari. "Kami akan memastikan bahwa kamu merasa nyaman di sini."Kiara mengangguk dengan senyum yang penuh terima kasih. "Terima kasih banyak. Aku sangat menghargai bantuan kalian semua."Setelah pe
Siang itu, Kiara dan Dimas baru saja selesai berbelanja untuk kebutuhan Pernikahan. Mereka berjalan berdampingan keluar dari pusat perbelanjaan, membawa beberapa tas berisi barang-barang yang sudah dipilih dengan teliti oleh Kiara. Matahari bersinar terang, memberikan suasana hangat yang nyaman, dan mereka berdua memutuskan untuk makan siang di sebuah restoran kecil di sudut jalan.“Aku lapar, bagaimana kalau kita makan di sini?” Kiara menunjuk sebuah restoran dengan dekorasi yang hangat dan sederhana.Dimas mengangguk setuju, meskipun dia tahu bahwa sebagai asisten Dalvin, seharusnya dia menjaga jarak profesional dengan Kiara. Namun, entah kenapa, kebersamaan dengan Kiara hari itu membuatnya merasa lebih rileks dan santai. Dimas memang tidak memiliki teman, sejak kecil ia sudah ikut Dalvin dan ia sendiri sudah menganggap pria tersebut sebagai pengganti ayahnya sendiri.Mereka memesan makanan dan duduk di meja yang menghadap ke jendela, bisa melihat jalanan yang sibuk di luar. Sambil