Kiara duduk di tepi ranjang, menggenggam gaun tidur sutra yang melekat di tubuhnya. Malam pertama yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan malah berakhir dengan rasa sakit fisik dan emosi yang menggelegak. Air matanya telah habis, tetapi luka di hatinya tetap terasa dalam. Dalvin, pria yang baru saja menikahinya, tidak lagi berada di sisinya. Sejak pagi, pria itu pergi ke Amerika untuk sebuah pertemuan penting dengan koleganya, seperti yang sudah sering ia lakukan sebelumnya. Ternyata, ini semua bayaran mahal bagi keinginan Kiara mengubah hidupnya.
Kiara mencoba menghibur dirinya sendiri. Dia mengingat bahwa Dalvin selalu mengatakan bahwa pekerjaan adalah segalanya, tetapi tetap saja, ada perasaan yang tak bisa diabaikan. Rasa diabaikan. Lebih lagi, malam pertama mereka terasa berlalu cepat, tak ada kehangatan yang tersisa kecuali rasa sakit yang membakar tubuhnya. Kiara belum tahu pasti, apakah hanya sebatas itu perasaan setelah berhubungan badan? Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka pelan. Dimas, asisten Dalvin, memasuki ruangan dengan hati-hati. “Nona Kiara,” sapanya lembut. “Apa kau butuh sesuatu? Aku di sini jika kau ingin bicara.” Kiara menoleh padanya, melihat wajah Dimas yang selalu ramah dan perhatian. Dimas memang sering berada di sisi Dalvin, terlebih dalam urusan yang melibatkan Kiara. Ia selalu hadir untuk membantu, mungkin karena Dalvin tahu Dimas dapat dipercaya. Kiara mencoba tersenyum, meskipun rasa sakit masih terasa di tubuhnya. Dimas, pria itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Terima kasih, Dimas. Aku baik-baik saja. Aku hanya perlu istirahat.” Dimas mengangguk. Ia menghela napas panjang dan mengulas senyum. "Aku mengerti. Tapi kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk memanggilku. Aku di sini untukmu." Kiara menghela napas panjang setelah Dimas keluar. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang ia coba abaikan. Malam ini terlalu sunyi, terlalu banyak ruang bagi pikirannya untuk mengembara, dan ia tahu bahwa tak semuanya indah di balik pernikahannya dengan Dalvin. Ya, ia hanya istri kedua. Tidak lebih. ** Pagi berikutnya, Kiara memutuskan untuk berjalan-jalan di taman. Udara pagi yang sejuk sedikit membantu menghilangkan beban di dadanya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang wanita duduk dengan kursi roda di dekat air mancur. Sosoknya elegan dengan pakaian yang mewah, matanya tajam dan berkilau dingin. Wanita itu adalah Irene, istri pertama Dalvin. Ia menggunakan kursi rodanya menghampiri Kiara, tatapannya penuh kesedihan tapi juga penuh amarah. Perasaan Kiara mulai tak karuan. “Kiara, kan?” sapa Irene dengan senyum yang tipis dan penuh arti. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Kiara merasa tidak nyaman. “Ya, saya Kiara,” jawabnya ragu. Irene mendekat dengan perlahan, penuh keyakinan. Asistennya membantu kursi roda itu agar mendekat ke arah Kiara. "Aku sudah lama ingin bicara denganmu, tapi kurasa sekarang adalah saat yang tepat. Maaf jika pertemuan pertama kita buruk." Kiara meneguk ludahnya, merasakan ketegangan di udara. Seperti inikah berhadapan dengan seseorang yang jauh lebih berhak atas suaminya? “Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Irene tersenyum lagi, kali ini lebih sinis. Jantung Kiara terasa sangat sakit. "Kau mungkin berpikir bahwa kau telah menikahi Dalvin dan mendapatkan semua yang kau inginkan. Tapi, aku perlu memberitahumu sesuatu." Kiara menahan napas, tak yakin apa yang akan dikatakan Irene. "Dalvin tidak menikahimu karena cinta. Dia menikahimu karena dia ingin keturunan," Irene mengucapkan kata-kata itu dengan tegas dan penuh kepastian. "Dalvin telah mengejarku selama tujuh tahun. Dia mencintaiku, bukan dirimu." Kata-kata itu menghantam Kiara seperti tamparan keras. Ia mencoba menolak kenyataan yang baru saja disampaikan Irene, tetapi ada rasa perih yang tak bisa diabaikan. Mata Irene tak menunjukkan tanda-tanda keraguan. “Dia hanya melihatmu sebagai alat, Kiara. Alat untuk memberinya anak, sesuatu yang tidak bisa kuberikan padanya,” lanjut Irene dengan nada dingin. "Jadi, jangan terlalu berharap bahwa Dalvin akan mencintaimu. Cinta itu milikku, bukan milikmu." Kiara terpaku. Air mata mengalir tanpa ia sadari. Kata-kata Irene menghancurkan setiap harapannya, setiap impiannya tentang pernikahan bahagia. Ia tak tahu harus berkata apa. Dalam sekejap, semua terasa runtuh. Pernikahannya, kebahagiaan yang diimpikan, semuanya seolah berubah menjadi kebohongan. Irene menatapnya sejenak sebelum berbalik pergi, meninggalkan Kiara yang terguncang di sana, sendiri di tengah taman yang sepi. Kiara sempat terlena dengan segala yang Dalvin janjikan, tapi ternyata semua hanya hampa. Menjadi istri kedua adalah kebodohan yang telah ia pilih untuk sebuah harta semata. ** Saat Kiara kembali ke kamar, Dimas sudah menunggu. Wajahnya langsung berubah khawatir ketika melihat Kiara masuk dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. “Nona Kiara, ada apa?” tanya Dimas cemas, mendekati Kiara dengan cepat. Kiara mencoba bicara, tetapi suaranya tersendat oleh isakan. Ia hanya bisa menangis. Dimas menarik kursi dan duduk di sampingnya, membiarkan Kiara menangis di pundaknya. Ia menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa banyak berkata. “Apa yang terjadi?” Dimas bertanya lagi, suaranya penuh perhatian. Kiara mengangkat wajahnya yang basah, mencoba berkata di antara tangisannya. “Irene… Dia bilang… Dalvin tidak mencintaiku. Dia hanya menikahiku karena ingin anak.” tutur Kiara lirih. "Aku menyadari hal itu sepenuhnya, tapi saat dikatakan entah mengapa hatiku sakit sekali." Dimas terdiam sejenak, terlihat merenung. Kemudian, dengan nada lembut, ia berkata, "Kiara, aku tidak tahu pasti apa yang ada di hati Dalvin. Tapi yang aku tahu, kau tidak boleh membiarkan perkataan Irene menghancurkanmu. Dalvin memilihmu. Itu yang penting." “Tapi bagaimana jika benar? Bagaimana jika aku hanya alat baginya?” Kiara berkata dengan suara parau. “Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan dengan semua ini.” Dimas menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Tidak ada yang mudah dalam cinta, Kiara. Tapi kau harus ingat satu hal: cinta itu tidak selalu datang secepat yang kita inginkan. Kadang, butuh waktu. Dalvin mungkin tidak menunjukkan cintanya sekarang, tapi bukan berarti itu tidak mungkin. Irene sudah sakit selama beberapa tahun, mereka juga sudah pisah ranjang. Kurasa Irene hanya tengah mengancammu karena rasa takutnya.” Kiara menatap Dimas dengan mata yang penuh kesedihan. Lelaki itu, ia benar-benar menenangkannya. “Kenapa kau selalu ada di sini untukku, Dimas?” Dimas tersenyum lembut. Tatapan seorang lelaki muda yang bertanggung jawab dan sangat perhatian. “Karena kau layak untuk diperjuangkan. Aku percaya pada kekuatanmu. Dan aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi.” Kiara merasakan sedikit kelegaan dalam hatinya. Meski hatinya masih terluka, setidaknya ia tahu ada seseorang yang peduli padanya, meskipun itu bukan Dalvin.Kiara duduk di sudut kamar, air mata membasahi pipinya yang pucat. Hatinya terasa hancur, seperti kaca yang jatuh ke lantai dan berkeping-keping. Perkataan Irene masih terngiang-ngiang di telinganya, menusuk setiap sudut hatinya. Irene, istri pertama Dalvin,sudah bertekad bahwa ia tidak akan menyembunyikan kebenciannya terhadap Kiara. Bagi Irene, Kiara hanyalah alat, seseorang yang hanya diperlukan untuk satu tujuan—memberikan keturunan bagi Dalvin. Kiara hanyalah seseorang yang menggantikannya, tidak lebih. Ia tidak akan pernah membiarkan suaminya jatuh ke dalam pelukan Kiara, tidak akan pernah. "Kau hanya istri kedua, Kiara. Dia butuh anak, dan itulah satu-satunya alasan kau ada di sini." Kalimat itu menghantam keras. Meski Kiara sudah berusaha menahan air mata, pada akhirnya ia tak sanggup. Mungkin benar, pikirnya. Ia tak pernah merasakan kasih sayang yang tulus dari Dalvin. Seharusnya Kiara tidak perlu bersedih, bukankah ia juga mau menikah dengan Dalvin karena uang semata? L
Kiara duduk termenung di tepi ranjang, memeluk dirinya sendiri seolah mencoba melindungi hatinya yang rapuh. Setelah percakapan dengan Dalvin, ia merasa hampa, tak tahu ke mana harus melangkah. Namun, di sudut hatinya, ia masih menyimpan harapan bahwa mungkin ada ruang bagi cinta di antara mereka. Mungkin, dengan waktu, Dalvin akan melihatnya lebih dari sekadar calon ibu dari anak-anaknya.Dengan napas berat, Kiara akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Ia merasa perlu berbicara lagi dengan Dalvin, menyampaikan perasaannya lebih dalam. Mungkin kali ini, Dalvin akan lebih mendengarkannya.Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju ruang keluarga, berharap menemukan Dalvin di sana. Namun, ketika Kiara semakin mendekat, ia mendengar suara samar-samar dari dalam ruangan itu.Suara Dalvin. Tapi nadanya berbeda dari biasanya—lebih lembut, lebih hangat daripada saat bersama Kiara. Kiara berhenti sejenak, rasa penasaran menguasai dirinya. Ia mengintip dari balik pintu yang sedikit
Malam itu, Kiara kembali ke kamarnya setelah tangisannya mereda di hadapan Dimas. Meski hatinya terasa sedikit lebih ringan setelah menumpahkan segala yang ia rasakan, perasaan hampa dan sakit masih menguasai dirinya. Langit di luar sudah gelap, dan rumah terasa begitu sunyi. Seolah-olah dunia di sekitarnya membeku, namun di dalam dirinya, badai masih mengamuk.Kiara duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menembus jendela yang menampilkan malam yang tenang. Namun, kedamaian di luar sana tidak bisa menghapus kenyataan pahit yang baru saja ia alami. Gambaran Dalvin dan Irene yang berciuman terus menghantui pikirannya, seolah diputar berulang kali dalam kepalanya.Dalvin memang sangat tampan di usianya yang ke 45 tahun, ia memiliki tinggi sekitar 190cm dengan kulit yang benar-benar bersih seperti seorang Vampire. Wajahnya tampan, mirip aktor-aktor China sehingga wanita mudah luluh hanya dengan sekali tatapan saja. Irene pun cantik luar biasa meskipun ia tengah sakit kanker, hal itu mem
Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui tirai kamar, menghangatkan kulit Kiara yang masih berbaring di ranjang. Ia perlahan membuka mata, kepalanya masih terasa berat oleh perasaan yang campur aduk. Semalam, ia akhirnya menyerah pada Dalvin—merelakan tubuhnya untuk suaminya dengan harapan tipis akan cinta. Namun, di lubuk hatinya, Kiara tahu bahwa perasaan itu masih samar-samar, tak sepenuhnya tulus.Saat ia mencoba menenangkan pikirannya, pintu kamar terbuka. Dalvin masuk dengan wajah segar, senyum tipis menghiasi bibirnya. Pria itu sudah bangun terlebih dahulu dan juga sudah mandi. Ia sangat tampan dengan kaus putih polosnya."Pagi, sayang. Bagaimana tidurmu?" tanya Dalvin, menghampiri Kiara yang masih duduk di tepi ranjang.Kiara menatapnya sejenak, mencoba memahami apa yang sebenarnya ia rasakan. Dalvin mendekat dan mengecup keningnya."Cukup baik," jawabnya pelan, berusaha tersenyum meskipun fisiknya terasa lelah akibat gempuran semalam.Dalvin duduk di sebelahnya, tanga
Setelah memutuskan untuk menunda janji menemani Kiara, Dalvin akhirnya mengambil keputusan yang membuat Kiara semakin merasakan jarak di antara mereka. "Dimas," panggil Dalvin dari ruang kerjanya, "kemari sebentar."Dimas, yang tak pernah jauh dari majikannya, segera muncul di ambang pintu. Asisten pribadi Dalvin itu mengenakan kemeja biru rapi, rambutnya disisir dengan teliti, menampilkan kesan profesional yang sudah menjadi ciri khasnya. "Ya, Tuan Dalvin?" jawabnya dengan tenang, sedikit menunduk sebagai tanda hormat.Dalvin mendekat, menyerahkan sebuah amplop tebal kepada Dimas. "Kau akan menemani Kiara ke rumah orangtuanya. Aku tidak bisa pergi karena Irene sedang tidak enak badan." Nada Dalvin datar, seperti biasa, penuh perhitungan tanpa emosi yang berlebihan. "Tolong jaga istriku baik-baik, mungkin ia marah padaku. Kupercayakan ia padamu."Kiara, yang berdiri di dekat pintu kamar, mendengar percakapan itu. Hatinya langsung jatuh. Dalvin, seperti yang ia duga, memilih untuk te
Saat Kiara melangkahkan kaki memasuki rumah orangtuanya, perasaan hangat segera menyelimuti hatinya. Di balik segala kerumitan yang terjadi di rumah bersama Dalvin dan Irene, rumah ini adalah satu-satunya tempat di mana Kiara merasa benar-benar aman. Senyum lebar terlukis di wajah kedua orangtuanya ketika mereka melihat Kiara, meskipun ayahnya yang sakit ginjal tampak lemah, duduk di sofa dengan selang infus terpasang di lengan. Akan tetapi ada kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata."Kiara, sayangku!" panggil ibunya, Rina, dengan wajah penuh kebahagiaan. Ia segera menghampiri Kiara, memeluknya erat seolah sudah lama tak bertemu. "Bagaimana kabarmu? Kami sangat merindukanmu!""Aku baik-baik saja, Bu," jawab Kiara sambil memeluk ibunya erat. Meskipun senyumnya tampak cerah, ada bayangan kekhawatiran yang terselip di matanya. Sebagian dari dirinya ingin berbagi masalah yang ia hadapi, tapi sebagian lagi merasa tak ingin membuat orangtuanya khawatir.Ayah Kiara, yang
Dalvin berdiri di ambang pintu ruang tamu, wajahnya datar, tapi ada ketegangan yang jelas di matanya. Kiara, yang baru saja memasuki rumah bersama Dimas, merasakan hawa dingin menyelimuti suasana. Dimas, di sampingnya, berusaha tetap tenang, meski tak bisa menyembunyikan perasaan tidak nyaman.“Kiara, Dimas,” ulang Dalvin dengan suara lebih tegas. “Kita perlu bicara.”Kiara menatap suaminya dengan perasaan campur aduk. Setelah kejadian di rumah orangtuanya, pikiran tentang Dimas dan kehidupannya bersama Dalvin terus berkecamuk. Perkataan ibunya masih terngiang-ngiang di kepalanya, seolah memaksa untuk dipikirkan lebih jauh. Namun, ia mencoba mengesampingkan semua itu, terlebih saat melihat tatapan Dalvin yang tajam.“Ada apa, Mas?” tanya Kiara lembut, berusaha mengurangi ketegangan.Dalvin tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Dimas yang masih berdiri di dekat Kiara. Dengan gerakan pelan, ia menepuk kursi di ruang tamu, mengisyaratkan agar mereka duduk.“Dimas,
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Kiara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang tampak lelah. Surat dari Irene masih tergenggam erat di tangannya. Ia belum bisa memutuskan, apakah ia akan benar-benar menemui Irene di taman belakang, atau lebih baik membiarkan rasa penasaran ini terpendam.Namun, ada sesuatu yang mendorongnya. Rasa ingin tahu yang tak bisa ia abaikan. Apa yang Irene ingin bicarakan? Kenapa harus diam-diam, di malam hari, tanpa sepengetahuan Dalvin?Kiara menghela napas panjang dan menatap keluar jendela kamarnya. Langit malam gelap, hanya diterangi oleh bulan pucat yang menggantung di atas sana. Ia tahu, jika ia keluar sekarang, tak ada yang akan menyadari. Dalvin sedang di ruang kerjanya, mungkin tak akan peduli pada kepergiannya. Dimas juga pasti sudah beristirahat setelah seharian menemani mereka.Ia menarik selimut tipis dari tempat tidur, membungkus tubuhnya yang dingin. Setelah menarik napas dalam-dalam, Kiara akhirnya memutuskan. Ia akan