Home / Pernikahan / Selir Hati Sang Penguasa / Chapter 7: Ancaman Dari Irene

Share

Chapter 7: Ancaman Dari Irene

Kiara duduk di tepi ranjang, menggenggam gaun tidur sutra yang melekat di tubuhnya. Malam pertama yang seharusnya penuh dengan kebahagiaan malah berakhir dengan rasa sakit fisik dan emosi yang menggelegak. Air matanya telah habis, tetapi luka di hatinya tetap terasa dalam. Dalvin, pria yang baru saja menikahinya, tidak lagi berada di sisinya. Sejak pagi, pria itu pergi ke Amerika untuk sebuah pertemuan penting dengan koleganya, seperti yang sudah sering ia lakukan sebelumnya. Ternyata, ini semua bayaran mahal bagi keinginan Kiara mengubah hidupnya.

Kiara mencoba menghibur dirinya sendiri. Dia mengingat bahwa Dalvin selalu mengatakan bahwa pekerjaan adalah segalanya, tetapi tetap saja, ada perasaan yang tak bisa diabaikan. Rasa diabaikan. Lebih lagi, malam pertama mereka terasa berlalu cepat, tak ada kehangatan yang tersisa kecuali rasa sakit yang membakar tubuhnya. Kiara belum tahu pasti, apakah hanya sebatas itu perasaan setelah berhubungan badan?

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka pelan. Dimas, asisten Dalvin, memasuki ruangan dengan hati-hati.

“Nona Kiara,” sapanya lembut. “Apa kau butuh sesuatu? Aku di sini jika kau ingin bicara.”

Kiara menoleh padanya, melihat wajah Dimas yang selalu ramah dan perhatian. Dimas memang sering berada di sisi Dalvin, terlebih dalam urusan yang melibatkan Kiara. Ia selalu hadir untuk membantu, mungkin karena Dalvin tahu Dimas dapat dipercaya.

Kiara mencoba tersenyum, meskipun rasa sakit masih terasa di tubuhnya. Dimas, pria itu menatapnya dengan penuh kekhawatiran.

“Terima kasih, Dimas. Aku baik-baik saja. Aku hanya perlu istirahat.”

Dimas mengangguk. Ia menghela napas panjang dan mengulas senyum.

"Aku mengerti. Tapi kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk memanggilku. Aku di sini untukmu."

Kiara menghela napas panjang setelah Dimas keluar. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang ia coba abaikan. Malam ini terlalu sunyi, terlalu banyak ruang bagi pikirannya untuk mengembara, dan ia tahu bahwa tak semuanya indah di balik pernikahannya dengan Dalvin.

Ya, ia hanya istri kedua. Tidak lebih.

**

Pagi berikutnya, Kiara memutuskan untuk berjalan-jalan di taman. Udara pagi yang sejuk sedikit membantu menghilangkan beban di dadanya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang wanita duduk dengan kursi roda di dekat air mancur. Sosoknya elegan dengan pakaian yang mewah, matanya tajam dan berkilau dingin.

Wanita itu adalah Irene, istri pertama Dalvin. Ia menggunakan kursi rodanya menghampiri Kiara, tatapannya penuh kesedihan tapi juga penuh amarah. Perasaan Kiara mulai tak karuan.

“Kiara, kan?” sapa Irene dengan senyum yang tipis dan penuh arti. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuat Kiara merasa tidak nyaman.

“Ya, saya Kiara,” jawabnya ragu.

Irene mendekat dengan perlahan, penuh keyakinan. Asistennya membantu kursi roda itu agar mendekat ke arah Kiara.

"Aku sudah lama ingin bicara denganmu, tapi kurasa sekarang adalah saat yang tepat. Maaf jika pertemuan pertama kita buruk."

Kiara meneguk ludahnya, merasakan ketegangan di udara. Seperti inikah berhadapan dengan seseorang yang jauh lebih berhak atas suaminya?

“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?”

Irene tersenyum lagi, kali ini lebih sinis. Jantung Kiara terasa sangat sakit.

"Kau mungkin berpikir bahwa kau telah menikahi Dalvin dan mendapatkan semua yang kau inginkan. Tapi, aku perlu memberitahumu sesuatu."

Kiara menahan napas, tak yakin apa yang akan dikatakan Irene.

"Dalvin tidak menikahimu karena cinta. Dia menikahimu karena dia ingin keturunan," Irene mengucapkan kata-kata itu dengan tegas dan penuh kepastian. "Dalvin telah mengejarku selama tujuh tahun. Dia mencintaiku, bukan dirimu."

Kata-kata itu menghantam Kiara seperti tamparan keras. Ia mencoba menolak kenyataan yang baru saja disampaikan Irene, tetapi ada rasa perih yang tak bisa diabaikan. Mata Irene tak menunjukkan tanda-tanda keraguan.

“Dia hanya melihatmu sebagai alat, Kiara. Alat untuk memberinya anak, sesuatu yang tidak bisa kuberikan padanya,” lanjut Irene dengan nada dingin. "Jadi, jangan terlalu berharap bahwa Dalvin akan mencintaimu. Cinta itu milikku, bukan milikmu."

Kiara terpaku. Air mata mengalir tanpa ia sadari. Kata-kata Irene menghancurkan setiap harapannya, setiap impiannya tentang pernikahan bahagia. Ia tak tahu harus berkata apa. Dalam sekejap, semua terasa runtuh. Pernikahannya, kebahagiaan yang diimpikan, semuanya seolah berubah menjadi kebohongan.

Irene menatapnya sejenak sebelum berbalik pergi, meninggalkan Kiara yang terguncang di sana, sendiri di tengah taman yang sepi. Kiara sempat terlena dengan segala yang Dalvin janjikan, tapi ternyata semua hanya hampa. Menjadi istri kedua adalah kebodohan yang telah ia pilih untuk sebuah harta semata.

**

Saat Kiara kembali ke kamar, Dimas sudah menunggu. Wajahnya langsung berubah khawatir ketika melihat Kiara masuk dengan air mata yang mengalir deras di pipinya.

“Nona Kiara, ada apa?” tanya Dimas cemas, mendekati Kiara dengan cepat.

Kiara mencoba bicara, tetapi suaranya tersendat oleh isakan. Ia hanya bisa menangis. Dimas menarik kursi dan duduk di sampingnya, membiarkan Kiara menangis di pundaknya. Ia menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa banyak berkata.

“Apa yang terjadi?” Dimas bertanya lagi, suaranya penuh perhatian.

Kiara mengangkat wajahnya yang basah, mencoba berkata di antara tangisannya.

“Irene… Dia bilang… Dalvin tidak mencintaiku. Dia hanya menikahiku karena ingin anak.” tutur Kiara lirih. "Aku menyadari hal itu sepenuhnya, tapi saat dikatakan entah mengapa hatiku sakit sekali."

Dimas terdiam sejenak, terlihat merenung. Kemudian, dengan nada lembut, ia berkata, "Kiara, aku tidak tahu pasti apa yang ada di hati Dalvin. Tapi yang aku tahu, kau tidak boleh membiarkan perkataan Irene menghancurkanmu. Dalvin memilihmu. Itu yang penting."

“Tapi bagaimana jika benar? Bagaimana jika aku hanya alat baginya?” Kiara berkata dengan suara parau. “Aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan dengan semua ini.”

Dimas menghela napas panjang, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Tidak ada yang mudah dalam cinta, Kiara. Tapi kau harus ingat satu hal: cinta itu tidak selalu datang secepat yang kita inginkan. Kadang, butuh waktu. Dalvin mungkin tidak menunjukkan cintanya sekarang, tapi bukan berarti itu tidak mungkin. Irene sudah sakit selama beberapa tahun, mereka juga sudah pisah ranjang. Kurasa Irene hanya tengah mengancammu karena rasa takutnya.”

Kiara menatap Dimas dengan mata yang penuh kesedihan. Lelaki itu, ia benar-benar menenangkannya.

“Kenapa kau selalu ada di sini untukku, Dimas?”

Dimas tersenyum lembut. Tatapan seorang lelaki muda yang bertanggung jawab dan sangat perhatian.

“Karena kau layak untuk diperjuangkan. Aku percaya pada kekuatanmu. Dan aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi.”

Kiara merasakan sedikit kelegaan dalam hatinya. Meski hatinya masih terluka, setidaknya ia tahu ada seseorang yang peduli padanya, meskipun itu bukan Dalvin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status