Udara malam yang dingin terasa semakin menusuk ketika suasana di taman berubah tegang. Kiara berdiri membeku di antara Dalvin dan Irene. Kata-kata Irene tadi terus menggema di kepalanya. Ada sesuatu yang disembunyikan Dalvin. Sesuatu yang besar.Dalvin menatap Irene dengan mata penuh amarah, tetapi seolah-olah menahan dirinya agar tidak meledak di depan Kiara. Irene mendampinginya selama 15 tahun, apa yang hendak Irene katakan pada madunya itu?“Kau sudah melampaui batas, Irene,” ucapnya dengan suara rendah namun tajam.Irene tersenyum sinis, tidak gentar sedikit pun dengan ancaman suaminya. “Batas?” Irene tertawa kecil. “Aku sudah hidup di bawah ‘batas’ itu selama bertahun-tahun, Dalvin. Sekarang, aku tidak punya apa-apa lagi untuk ditakutkan. Kau mungkin bisa menakut-nakutiku dulu, tapi tidak lagi sekarang.”Kiara memandang mereka berdua dengan kebingungan. Ia merasa seperti orang luar yang tidak tahu apa-apa tentang permainan yang sedang terjadi di antara Dalvin dan Irene. “Apa ya
Kiara terdiam mendengar kata-kata Dimas. Jantungnya berdegup semakin cepat, namun ia tidak tahu apakah itu karena ketegangan atau karena sesuatu yang lain. Dalam beberapa bulan terakhir, Dimas memang selalu ada di sampingnya—mendengarkan keluhannya, memberi saran, bahkan menjadi sandaran ketika dia merasa tak mampu menghadapi tekanan pernikahannya dengan Dalvin. Tetapi kini, setelah mendengar janji yang keluar dari mulut Dimas, Kiara merasa semua menjadi semakin rumit.“Dimas… aku…” Kiara menggantungkan kata-katanya. Kiara tidak tahu harus mengatakan apa. Pikiran tentang Dalvin, Irene, dan sekarang Dimas berputar-putar dalam kepalanya, menciptakan badai yang semakin tak bisa ia kendalikan.Dimas memandang Kiara dengan penuh perhatian. Ia maju selangkah, tapi masih menjaga jarak. “Kiara, aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau tidak sendiri. Apa pun keputusan yang kau ambil, aku akan mendukungmu.”Kiara menunduk, merasakan air mata mengalir lagi
Kiara berdiri membeku di ambang pintu, terpaku oleh pernyataan cinta yang baru saja diucapkan Dimas. Kata-kata pria itu menggema di kepalanya, berulang kali. Ia merasa bagaikan tersedot ke dalam pusaran emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta? Bagaimana mungkin Dimas, sekretaris dan asisten pribadi Dalvin, bisa mencintainya?Dimas menatap Kiara dengan penuh keraguan, tapi di balik keraguan itu, matanya memancarkan ketulusan yang tak terbantahkan. Selayaknya seseorang muda yang kasmaran, Kiara merasa jantungnya berdebar lebih cepat.“Kiara, aku… Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa lagi berpura-pura. Selama ini aku menahan perasaan ini, tapi melihatmu semakin terluka setiap hari, aku tak sanggup lagi. Aku mencintaimu.”Kiara terisak pelan, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Cinta. Kata itu menusuk hatinya. Ia tidak pernah mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Dalvin, suaminya sebelum hari ini. Bahkan ketika Dalvin berusaha memperbaiki hubungan mereka,
Chapter Baru: Di Antara Dua DuniaKiara duduk di tepi tempat tidur, kepalanya masih berdenyut akibat semua yang baru saja terjadi. Dalvin sudah kembali pada kesibukannya bekerja, dan keheningan di rumah membuat pikirannya melayang. Perasaan yang ia rasakan tadi malam, ketika Dimas menyatakan cintanya, masih membekas begitu kuat. Ada perasaan bersalah yang terus menghantui, tapi di sisi lain, ada kelegaan aneh saat Dimas mengungkapkan perasaannya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Kiara merasa diinginkan, dihargai, dan dicintai dengan cara yang tak pernah Dalvin tunjukkan.Untuk pertama kalinya, ia menjadi satu-satunya bagi seorang pria.Namun, perasaan itu salah. Bagaimanapun, ia adalah istri Dalvin. Dalvin, meskipun bukan sosok suami yang sempurna, tetaplah suaminya di mata hukum dan keluarga. Tapi hati kecilnya terus memanggil nama Dimas, pria yang selalu berada di sisinya tanpa pernah memintanya lebih dari yang bisa ia berikan.Pikiran Kiara terganggu saat suara ketukan lembut te
Pagi itu, sinar matahari masuk dengan lembut melalui celah-celah tirai kamar Kiara. Namun, suasana yang cerah di luar terasa begitu kontras dengan kekacauan yang ada di dalam hati dan pikirannya. Kiara baru saja selesai merapikan tempat tidur ketika Dalvin masuk ke kamar, wajahnya menunjukkan senyum tipis yang membuat jantung Kiara berdetak lebih cepat—bukan karena cinta, melainkan perasaan aneh yang semakin mengganggunya.Perasaan yang semula membuncah berubah begitu saja. Apa hati manusia memang cepat berubah?"Kiara," suara Dalvin terdengar rendah, mengisyaratkan niatnya, "sebentar lagi aku harus berangkat kerja, tapi sebelum itu... aku ingin menghabiskan waktu bersamamu. Kau mau kan?"Kiara menelan ludahnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar lebih keras. Dia tahu maksud Dalvin. Meski beberapa minggu terakhir Dalvin semakin sering mendekatinya dengan keinginan yang sama, hari ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Kiara.Dia mencoba tersenyum, mesk
Malam itu, Kiara terjaga di tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya yang terasa dingin dan sepi meskipun Dalvin tidur di sampingnya. Dalvin sudah tertidur lelap, mungkin lelah setelah seharian bekerja, dan dua kali menggauli Kiara. Akan tetapi, Kiara tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, terjebak antara perasaan bersalah dan kebingungan yang semakin menghantui hatinya.Bayangan Dimas terus muncul di kepalanya, seperti kilasan-kilasan yang tak bisa dia abaikan. Dia memikirkan bagaimana pria itu selalu berada di sisinya, menjadi tempat berlabuh ketika hatinya dilanda badai perasaan. Dimas yang selalu memberikan perhatian tulus, berbeda dengan Dalvin yang hanya melihatnya sebagai alat untuk mendapatkan keturunan.Kiara menatap Dalvin yang tidur di sebelahnya, dada pria itu bergerak naik-turun perlahan. Suaminya memang pria yang baik secara materi, bertanggung jawab, dan memiliki kekuasaan, tapi apakah itu cukup? Selama ini, Dalvin selalu menekankan satu hal: dia menginginkan
Irene masuk ke dalam kamar dengan anggun menggunakan kursi rodanya, tampak seperti ratu yang baru saja memasuki ruang mahkamah. Di belakang senyumnya yang terlihat manis, Kiara merasakan aura ketegangan yang melingkupi ruangan. Dengan gerakan perlahan, Irene memposisikan diri di antara Kiara dan Dimas, seolah menghalangi setiap interaksi antara mereka."Kiara, sayang," Irene memulai, suaranya lembut namun penuh makna tersirat. "Bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak berbincang."Kiara mencoba tersenyum, meskipun hatinya berdebar. Sesungguhnya kehadiran Irene menambah pusing perasaan Kiara."Aku baik-baik saja, Irene. Terima kasih telah bertanya." ujar Kiara dengan nada dingin.Irene mengangguk, lalu menatap Dimas dengan tatapan tajam. "Dimas, kau di sini untuk membantu Kiara, bukan? Menjaga istri muda suamiku agar tidak merasa kesepian?"Dimas yang berdiri di samping Kiara, mencoba menjaga wajahnya tetap tenang. Sebenarnya, sejak awal bekerja ia tidak menyukai Irene."Tentu saja, Ny
Kiara memandang ke arah jendela, melihat Dalvin yang semakin mendekat, hatinya berdegup kencang. Sepertinya, pertempuran yang lebih besar baru saja dimulai, dan dia tidak bisa mundur. Dia ingin menunjukkan kepada Irene bahwa dia tidak akan terpinggirkan, tidak lagi.“Kiara, kau tidak sendirian,” Dimas berbisik lembut, mengerti kekhawatiran yang melanda hati Kiara. “Kau punya aku, ingat?”“Aku tahu, Dimas. Tapi aku harus melakukan ini sendiri. Ini adalah hidupku, dan aku ingin membela diriku,” jawab Kiara, mencoba menguatkan dirinya.Irene mengamati interaksi mereka dengan senyuman tipis. “Kau mungkin merasa kuat sekarang, Kiara, tetapi ingatlah, kekuatan yang kau miliki bisa dengan mudah dihancurkan. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa diperjuangkan tanpa strategi.”Dalvin akhirnya memasuki ruangan, dan sorot matanya mencari Kiara. Ketika mereka bertemu, Kiara merasakan nyala semangat dalam dirinya. Dia ingin memperjuangkan cintanya, meskipun bayang-bayang Irene selalu menghantui.“Sayan