Kiara berdiri membeku di ambang pintu, terpaku oleh pernyataan cinta yang baru saja diucapkan Dimas. Kata-kata pria itu menggema di kepalanya, berulang kali. Ia merasa bagaikan tersedot ke dalam pusaran emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta? Bagaimana mungkin Dimas, sekretaris dan asisten pribadi Dalvin, bisa mencintainya?Dimas menatap Kiara dengan penuh keraguan, tapi di balik keraguan itu, matanya memancarkan ketulusan yang tak terbantahkan. Selayaknya seseorang muda yang kasmaran, Kiara merasa jantungnya berdebar lebih cepat.“Kiara, aku… Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa lagi berpura-pura. Selama ini aku menahan perasaan ini, tapi melihatmu semakin terluka setiap hari, aku tak sanggup lagi. Aku mencintaimu.”Kiara terisak pelan, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Cinta. Kata itu menusuk hatinya. Ia tidak pernah mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Dalvin, suaminya sebelum hari ini. Bahkan ketika Dalvin berusaha memperbaiki hubungan mereka,
Chapter Baru: Di Antara Dua DuniaKiara duduk di tepi tempat tidur, kepalanya masih berdenyut akibat semua yang baru saja terjadi. Dalvin sudah kembali pada kesibukannya bekerja, dan keheningan di rumah membuat pikirannya melayang. Perasaan yang ia rasakan tadi malam, ketika Dimas menyatakan cintanya, masih membekas begitu kuat. Ada perasaan bersalah yang terus menghantui, tapi di sisi lain, ada kelegaan aneh saat Dimas mengungkapkan perasaannya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Kiara merasa diinginkan, dihargai, dan dicintai dengan cara yang tak pernah Dalvin tunjukkan.Untuk pertama kalinya, ia menjadi satu-satunya bagi seorang pria.Namun, perasaan itu salah. Bagaimanapun, ia adalah istri Dalvin. Dalvin, meskipun bukan sosok suami yang sempurna, tetaplah suaminya di mata hukum dan keluarga. Tapi hati kecilnya terus memanggil nama Dimas, pria yang selalu berada di sisinya tanpa pernah memintanya lebih dari yang bisa ia berikan.Pikiran Kiara terganggu saat suara ketukan lembut te
Pagi itu, sinar matahari masuk dengan lembut melalui celah-celah tirai kamar Kiara. Namun, suasana yang cerah di luar terasa begitu kontras dengan kekacauan yang ada di dalam hati dan pikirannya. Kiara baru saja selesai merapikan tempat tidur ketika Dalvin masuk ke kamar, wajahnya menunjukkan senyum tipis yang membuat jantung Kiara berdetak lebih cepat—bukan karena cinta, melainkan perasaan aneh yang semakin mengganggunya.Perasaan yang semula membuncah berubah begitu saja. Apa hati manusia memang cepat berubah?"Kiara," suara Dalvin terdengar rendah, mengisyaratkan niatnya, "sebentar lagi aku harus berangkat kerja, tapi sebelum itu... aku ingin menghabiskan waktu bersamamu. Kau mau kan?"Kiara menelan ludahnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar lebih keras. Dia tahu maksud Dalvin. Meski beberapa minggu terakhir Dalvin semakin sering mendekatinya dengan keinginan yang sama, hari ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Kiara.Dia mencoba tersenyum, mesk
Malam itu, Kiara terjaga di tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya yang terasa dingin dan sepi meskipun Dalvin tidur di sampingnya. Dalvin sudah tertidur lelap, mungkin lelah setelah seharian bekerja, dan dua kali menggauli Kiara. Akan tetapi, Kiara tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, terjebak antara perasaan bersalah dan kebingungan yang semakin menghantui hatinya.Bayangan Dimas terus muncul di kepalanya, seperti kilasan-kilasan yang tak bisa dia abaikan. Dia memikirkan bagaimana pria itu selalu berada di sisinya, menjadi tempat berlabuh ketika hatinya dilanda badai perasaan. Dimas yang selalu memberikan perhatian tulus, berbeda dengan Dalvin yang hanya melihatnya sebagai alat untuk mendapatkan keturunan.Kiara menatap Dalvin yang tidur di sebelahnya, dada pria itu bergerak naik-turun perlahan. Suaminya memang pria yang baik secara materi, bertanggung jawab, dan memiliki kekuasaan, tapi apakah itu cukup? Selama ini, Dalvin selalu menekankan satu hal: dia menginginkan
Irene masuk ke dalam kamar dengan anggun menggunakan kursi rodanya, tampak seperti ratu yang baru saja memasuki ruang mahkamah. Di belakang senyumnya yang terlihat manis, Kiara merasakan aura ketegangan yang melingkupi ruangan. Dengan gerakan perlahan, Irene memposisikan diri di antara Kiara dan Dimas, seolah menghalangi setiap interaksi antara mereka."Kiara, sayang," Irene memulai, suaranya lembut namun penuh makna tersirat. "Bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak berbincang."Kiara mencoba tersenyum, meskipun hatinya berdebar. Sesungguhnya kehadiran Irene menambah pusing perasaan Kiara."Aku baik-baik saja, Irene. Terima kasih telah bertanya." ujar Kiara dengan nada dingin.Irene mengangguk, lalu menatap Dimas dengan tatapan tajam. "Dimas, kau di sini untuk membantu Kiara, bukan? Menjaga istri muda suamiku agar tidak merasa kesepian?"Dimas yang berdiri di samping Kiara, mencoba menjaga wajahnya tetap tenang. Sebenarnya, sejak awal bekerja ia tidak menyukai Irene."Tentu saja, Ny
Kiara memandang ke arah jendela, melihat Dalvin yang semakin mendekat, hatinya berdegup kencang. Sepertinya, pertempuran yang lebih besar baru saja dimulai, dan dia tidak bisa mundur. Dia ingin menunjukkan kepada Irene bahwa dia tidak akan terpinggirkan, tidak lagi.“Kiara, kau tidak sendirian,” Dimas berbisik lembut, mengerti kekhawatiran yang melanda hati Kiara. “Kau punya aku, ingat?”“Aku tahu, Dimas. Tapi aku harus melakukan ini sendiri. Ini adalah hidupku, dan aku ingin membela diriku,” jawab Kiara, mencoba menguatkan dirinya.Irene mengamati interaksi mereka dengan senyuman tipis. “Kau mungkin merasa kuat sekarang, Kiara, tetapi ingatlah, kekuatan yang kau miliki bisa dengan mudah dihancurkan. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa diperjuangkan tanpa strategi.”Dalvin akhirnya memasuki ruangan, dan sorot matanya mencari Kiara. Ketika mereka bertemu, Kiara merasakan nyala semangat dalam dirinya. Dia ingin memperjuangkan cintanya, meskipun bayang-bayang Irene selalu menghantui.“Sayan
Pagi itu, udara di rumah Dalvin terasa begitu berat. Sudah seminggu berlalu sejak perhelatan mengenai kedudukan Dalvin di pemerintahan terancam. Irene berusaha mengerahkan diri, relasi dan juga kekuatan untuk mendukung posisi Dalvin. Saat itulah, Kiara mulai mengalah dan tidak menggebu-gebu lagi untuk menjadi pasangan yang diperkenalkan kepada khalayak nantinya. Kiara duduk di sofa, menatap kosong ke arah jendela. Dalam beberapa jam ke depan, Dalvin dan Irene akan terbang ke Singapura untuk kemoterapi. Kiara merasakan kerinduan yang mendalam, meskipun hatinya dipenuhi rasa sakit dan kebingungan. Namun, mau bagaimanapun Dalvin adalah suaminya juga, ia rindu setelah satu minggu diabaikan. Ketika suara langkah kaki terdengar dari arah pintu, Kiara segera mengangkat kepala. Dalvin muncul dengan raut wajah yang serius, mengenakan kemeja formalnya. Ia tampak sangat profesional, tetapi di balik itu semua, Kiara tahu ada beban yang ia tanggung. “Kiara,” Dalvin memanggil lembut, mendekatinya
Setibanya di Bali, Kiara merasakan angin laut yang menerpa wajahnya. Senyum cerah dan keindahan pantai seakan menjadi pelarian dari semua masalah yang menghimpit. Dimas memandangnya dengan senyuman, tampak bersemangat untuk menikmati liburan ini."Jadi, berapa kamar yang ingin kita pesan?" tanya Dimas sambil memeriksa pilihan hotel di ponselnya.Kiara memikirkan sejenak. “Aku pikir, kita hanya butuh satu kamar besar dengan dua ranjang. Bagaimana?”Dimas terkejut. “Satu kamar? Kenapa tidak dua? Kita kan tidak—”“Dimas, ini hanya liburan. Lagipula, aku tidak mau terlalu jauh dari kamu. Satu kamar lebih baik,” Kiara memotong, berharap suasana tetap hangat. "Lebih hemat, biayanya lebih baik kita pakai untuk makan makanan mahal."Dimas mengangguk, meskipun masih merasa sedikit ragu. “Baiklah, satu kamar besar. Tapi kita tetap harus menjaga jarak, ya? Kita kan bukan pasangan.”Kiara tersenyum, mengiyakan. “Iya, aku janji. Kita tidak boleh membuat Dalvin kecewa.”Hari pertama mereka di Bali
Ruangan rumah sakit penuh dengan kesibukan. Dokter dan perawat berseliweran, membawa berbagai peralatan menuju ruang operasi. Di tengah suasana panik itu, Dimas berdiri di lorong dengan wajah tegang. Sementara itu, Dalvin berdiri tidak jauh darinya, rahangnya mengeras dan matanya tak pernah lepas dari Dimas.Dalvin bisa melihat cinta di mata Dimas. Tatapan mata yang belum pernah Dalvin lihat sepanjang hidupnya bersama Dimas. Karena itulah batin Dalvin berteriak, ia tidak mau melihat Dimas seperti itu.Dokter keluar dari ruang persalinan dengan langkah cepat, menghampiri mereka berdua. "Kami akan segera melakukan operasi caesar. Detak jantung bayi melemah, dan kami harus bertindak cepat," jelas dokter dengan nada serius."Dokter, tolong selamatkan mereka," ujar Dalvin tanpa ragu.Dimas mengangguk tegas. "Lakukan apa pun yang diperlukan. Jangan biarkan istriku atau bayinya terluka."Tatapan Dalvin berpindah ke Dimas, penuh kemarahan. Kata-kata dokter seolah tak terdengar, tenggelam ole
Di ruang kerjanya yang megah, Dalvin duduk termenung. Di hadapannya, segelas kopi yang sejak tadi tak tersentuh mulai mendingin. Sebuah laporan tebal tergeletak di atas meja, tak menarik perhatian Dalvin sama sekali. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Kiara.Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, wajahnya tegas tapi penuh keraguan. Beliau adalah ajudan sekaligus Sekretaris yang kini menggantikan Dimas. Dalvin memutar bola mata, menatap pria itu saksama."Tuan Dalvin, laporan terakhir dari tim kami. Nona Kiara sudah dibawa ke rumah sakit di Amsterdam. Dari informasi yang kami dapat, kemungkinan besar beliau akan melahirkan dalam waktu dekat."Dalvin mengangkat wajahnya, tatapannya tajam. "Amsterdam? Jadi mereka benar-benar pergi sejauh itu..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Benar, Tuan. Tim kami memastikan Dimas masih mendampingi Nona Kiara. Mereka terlihat cukup hati-hati, tapi kami berhasil mengawasi pergerakan mereka," pria itu melanjutkan.Dalvin menghela napas
Kiara terkulai lemah di atas ranjang hotel, matanya setengah terpejam karena kelelahan. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa gelisah dengan kontraksi-kontraksi palsu yang datang silih berganti. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya menggigil dan perutnya terasa kencang. Meski begitu, ia tahu itu bukan tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman itu cukup membuatnya kelelahan."Aduh... Dimas..." Kiara mengeluh, memegangi perutnya yang semakin membesar.Kiara merasa sesak, dan kali ini rasa sakit itu seakan lebih kuat dari sebelumnya.Dimas yang berada di sampingnya, segera duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Kiara dengan lembut. Sejak hari-hari terakhir di Amsterdam, ia tak bisa lagi menahan kekhawatiran melihat Kiara yang semakin menderita. Apalagi kalimat Dalvin, semua itu akan menjadi sebuah ancaman bagi Dimas dan Kiara ke depannya."Ada apa, sayang? Apakah rasa sakit itu semakin menjadi?" Dimas bertanya khawatir, matanya memandan
Dalvin duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan file penting yang menanti untuk ditandatangani. Namun, hari itu pikirannya teralihkan oleh laporan yang baru saja ia terima. Di meja kerjanya, ponsel bergetar, menandakan panggilan masuk. Dalvin mengangkat telepon dengan wajah serius."Tuan Dalvin, saya punya kabar penting," suara suruhan Dalvin terdengar dari ujung telepon. "Kami telah melacak keberadaan Kiara dan Dimas. Mereka berada di Amsterdam."Dalvin terdiam sejenak, terkejut mendengar berita itu. Jantungnya berdebar kencang, dan seketika rasa cemas menyelubunginya. Amsterdam? Kiara dan Dimas? Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa mereka akan pergi sejauh itu."Amsterdam?" Dalvin bertanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. "Apa mereka melakukan perjalanan bersama? Ah ya tentu saja, maksudku apa mereka tinggal bersama?""Ya, Tuan," jawab suruhannya dengan nada hati-hati. "Mereka pergi bersama, dan yang lebih mengejutkan, mereka sudah
Kiara duduk di sofa ruang keluarga dengan tangan memegangi perutnya yang semakin membesar. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia sering mengeluh mulas belakangan ini, dan rasa itu kian hari semakin intens. Dimas yang duduk di sampingnya tampak gelisah, mengawasi Kiara dengan tatapan cemas.“Kiara, kita harus pergi ke dokter sekarang,” desak Dimas, suaranya tegas namun penuh perhatian. "Ini dekat dengan HPL bukan?"“Tapi aku takut, Dimas,” jawab Kiara lirih. “Aku dengar prosedur pemeriksaan untuk pembukaan itu menyakitkan. Aku tidak tahu seperti apa, tapi katanya akan sakit.”Dimas menggenggam tangan Kiara dengan lembut. “Aku ada di sini. Apa pun yang terjadi, aku akan menemanimu. Ini demi kesehatanmu dan bayi yang kamu kandung. Jika nanti sakit, kamu boleh meremas tanganku dengan keras."Kiara menatap mata Dimas yang penuh keyakinan. Akhirnya, ia mengangguk meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Dengan sigap, Dimas membantu Kiara berdiri dan mengenakan mantel. Mer
Pagi itu, Dimas sedang sibuk di dapur. Ia mengaduk adonan pancake dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah Kiara yang duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu tampak sibuk membaca buku tentang persiapan melahirkan, sesekali mengusap perutnya yang semakin besar. Dokter mengatakan bila menunggu dua minggu kedepan untuk melahirkan.“Kiara,” panggil Dimas dari dapur. “Kamu mau tambahan cokelat atau sirup maple di pancake-nya? Atau mau ditambahi ciuman dari aku?” imbuhnya.Kiara menoleh dan tersenyum kecil. Ia gemas pada Dimas yang sudah mulai gombal terhadapnya.“Sirup maple saja. Aku sedang mengurangi yang manis-manis. Kata Dokter berat badanku cepat naik, aku harus menjaganya supaya tidak sulit melahirkan."Dimas mengangguk, menuangkan adonan ke penggorengan. Suara desis adonan bertemu dengan wajan panas memenuhi ruangan, menciptakan aroma manis yang membuat suasana pagi terasa hangat.Namun, di tengah kehangatan itu, ponsel Dimas yang tergeletak di meja makan bergetar. Nama yang tert
Kiara terbangun di pagi itu dengan rasa sakit yang semakin mengganggu di dadanya. Beberapa kali ia terbangun dan meraba dadanya yang terasa sangat penuh dan membengkak. Setiap gerakan terasa begitu nyeri, dan meskipun ia mencoba untuk tidur, rasa sakit itu tak kunjung mereda."Ahh..." Kiara mengeluh pelan, meremas bantal yang ada di sampingnya. Ia tak bisa menahan rasa tidak nyaman itu lebih lama. Tak ada yang bisa membantunya kecuali Dimas, yang tidur dengan tenang di sebelahnya.Dimas yang terbangun mendengar suara desahan Kiara segera menoleh. "Kiara? Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. Matanya masih setengah terpejam, namun ia bisa melihat ekspresi kesakitan di wajah Kiara.Kiara menatap Dimas dengan tatapan penuh harap. "Dimas, dadaku... Sakit sekali," kata Kiara dengan nada lemah. "Aku merasa seperti hampir meledak, ini lebih sakit dari kemarin saat kamu memompanya. Keringatku juga dingin."Dimas menggaruk tengkuknya, sedikit bingung. Ia tidak tahu bagaimana har
Cecilia melangkah keluar dari bandara dengan perasaan campur aduk. Di tangannya, ia menggenggam tiket pesawat yang baru saja ia gunakan untuk kembali ke Indonesia. Hatinya penuh dengan kecemasan dan tekad. Ia tahu, apa yang akan ia lakukan hari ini akan mengubah banyak hal, terutama bagi keluarga Kiara.Keluarga Kiara harus tahu bila putrinya hidup. Hanya itu yang ada di benak Cecilia.Perjalanan ke rumah keluarga Kiara terasa lebih panjang dari biasanya. Ia memandangi jalanan yang penuh kenangan, mengingat bagaimana dulu ia dan Kiara sering melewati jalan ini bersama. Kini, Kiara berada ribuan kilometer jauhnya, berjuang untuk hidup dan bayinya, sementara orangtuanya di sini tidak tahu apa-apa.Ketika mobil berhenti di depan rumah besar dengan taman rapi, Cecilia menarik napas dalam-dalam. Ia turun dari mobil dan melangkah ke pintu depan. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu, seolah ia membawa beban yang terlalu berat untuk disampaikan. Semua salahnya, ia yang telah membawa Kiara da
Di sebuah ruangan besar dengan pencahayaan redup, Irene duduk di kursi roda mewahnya. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kebencian yang dalam. Wanita itu belum puas dengan apa yang terjadi di hidupnya. Ia ingin siapapun yang ia benci, hancur lebur tak bersisa.Di hadapannya berdiri lima orang pria berpenampilan garang, berpakaian serba hitam, dengan wajah tanpa belas kasihan.Irene memutar cangkir teh di tangannya, aroma melati memenuhi udara. Ia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara dengan suara rendah namun penuh wibawa.“Kalian tahu kenapa kalian ada di sini?” tanya Irene, suaranya nyaris seperti bisikan namun cukup untuk membuat semua pria itu tegang.Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya, maju selangkah. “Kami akan mendengar perintah Anda, Nyonya. Kami siap menjalankan apa pun yang Anda inginkan.” ujar pria itu dengan tatapan tajam.Irene tersenyum tipis, namun senyumnya dingin seperti es. Wani