Pagi itu, sinar matahari masuk dengan lembut melalui celah-celah tirai kamar Kiara. Namun, suasana yang cerah di luar terasa begitu kontras dengan kekacauan yang ada di dalam hati dan pikirannya. Kiara baru saja selesai merapikan tempat tidur ketika Dalvin masuk ke kamar, wajahnya menunjukkan senyum tipis yang membuat jantung Kiara berdetak lebih cepat—bukan karena cinta, melainkan perasaan aneh yang semakin mengganggunya.Perasaan yang semula membuncah berubah begitu saja. Apa hati manusia memang cepat berubah?"Kiara," suara Dalvin terdengar rendah, mengisyaratkan niatnya, "sebentar lagi aku harus berangkat kerja, tapi sebelum itu... aku ingin menghabiskan waktu bersamamu. Kau mau kan?"Kiara menelan ludahnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar lebih keras. Dia tahu maksud Dalvin. Meski beberapa minggu terakhir Dalvin semakin sering mendekatinya dengan keinginan yang sama, hari ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Kiara.Dia mencoba tersenyum, mesk
Malam itu, Kiara terjaga di tempat tidur, menatap langit-langit kamarnya yang terasa dingin dan sepi meskipun Dalvin tidur di sampingnya. Dalvin sudah tertidur lelap, mungkin lelah setelah seharian bekerja, dan dua kali menggauli Kiara. Akan tetapi, Kiara tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, terjebak antara perasaan bersalah dan kebingungan yang semakin menghantui hatinya.Bayangan Dimas terus muncul di kepalanya, seperti kilasan-kilasan yang tak bisa dia abaikan. Dia memikirkan bagaimana pria itu selalu berada di sisinya, menjadi tempat berlabuh ketika hatinya dilanda badai perasaan. Dimas yang selalu memberikan perhatian tulus, berbeda dengan Dalvin yang hanya melihatnya sebagai alat untuk mendapatkan keturunan.Kiara menatap Dalvin yang tidur di sebelahnya, dada pria itu bergerak naik-turun perlahan. Suaminya memang pria yang baik secara materi, bertanggung jawab, dan memiliki kekuasaan, tapi apakah itu cukup? Selama ini, Dalvin selalu menekankan satu hal: dia menginginkan
Irene masuk ke dalam kamar dengan anggun menggunakan kursi rodanya, tampak seperti ratu yang baru saja memasuki ruang mahkamah. Di belakang senyumnya yang terlihat manis, Kiara merasakan aura ketegangan yang melingkupi ruangan. Dengan gerakan perlahan, Irene memposisikan diri di antara Kiara dan Dimas, seolah menghalangi setiap interaksi antara mereka."Kiara, sayang," Irene memulai, suaranya lembut namun penuh makna tersirat. "Bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak berbincang."Kiara mencoba tersenyum, meskipun hatinya berdebar. Sesungguhnya kehadiran Irene menambah pusing perasaan Kiara."Aku baik-baik saja, Irene. Terima kasih telah bertanya." ujar Kiara dengan nada dingin.Irene mengangguk, lalu menatap Dimas dengan tatapan tajam. "Dimas, kau di sini untuk membantu Kiara, bukan? Menjaga istri muda suamiku agar tidak merasa kesepian?"Dimas yang berdiri di samping Kiara, mencoba menjaga wajahnya tetap tenang. Sebenarnya, sejak awal bekerja ia tidak menyukai Irene."Tentu saja, Ny
Kiara memandang ke arah jendela, melihat Dalvin yang semakin mendekat, hatinya berdegup kencang. Sepertinya, pertempuran yang lebih besar baru saja dimulai, dan dia tidak bisa mundur. Dia ingin menunjukkan kepada Irene bahwa dia tidak akan terpinggirkan, tidak lagi.“Kiara, kau tidak sendirian,” Dimas berbisik lembut, mengerti kekhawatiran yang melanda hati Kiara. “Kau punya aku, ingat?”“Aku tahu, Dimas. Tapi aku harus melakukan ini sendiri. Ini adalah hidupku, dan aku ingin membela diriku,” jawab Kiara, mencoba menguatkan dirinya.Irene mengamati interaksi mereka dengan senyuman tipis. “Kau mungkin merasa kuat sekarang, Kiara, tetapi ingatlah, kekuatan yang kau miliki bisa dengan mudah dihancurkan. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa diperjuangkan tanpa strategi.”Dalvin akhirnya memasuki ruangan, dan sorot matanya mencari Kiara. Ketika mereka bertemu, Kiara merasakan nyala semangat dalam dirinya. Dia ingin memperjuangkan cintanya, meskipun bayang-bayang Irene selalu menghantui.“Sayan
Pagi itu, udara di rumah Dalvin terasa begitu berat. Sudah seminggu berlalu sejak perhelatan mengenai kedudukan Dalvin di pemerintahan terancam. Irene berusaha mengerahkan diri, relasi dan juga kekuatan untuk mendukung posisi Dalvin. Saat itulah, Kiara mulai mengalah dan tidak menggebu-gebu lagi untuk menjadi pasangan yang diperkenalkan kepada khalayak nantinya. Kiara duduk di sofa, menatap kosong ke arah jendela. Dalam beberapa jam ke depan, Dalvin dan Irene akan terbang ke Singapura untuk kemoterapi. Kiara merasakan kerinduan yang mendalam, meskipun hatinya dipenuhi rasa sakit dan kebingungan. Namun, mau bagaimanapun Dalvin adalah suaminya juga, ia rindu setelah satu minggu diabaikan. Ketika suara langkah kaki terdengar dari arah pintu, Kiara segera mengangkat kepala. Dalvin muncul dengan raut wajah yang serius, mengenakan kemeja formalnya. Ia tampak sangat profesional, tetapi di balik itu semua, Kiara tahu ada beban yang ia tanggung. “Kiara,” Dalvin memanggil lembut, mendekatinya
Setibanya di Bali, Kiara merasakan angin laut yang menerpa wajahnya. Senyum cerah dan keindahan pantai seakan menjadi pelarian dari semua masalah yang menghimpit. Dimas memandangnya dengan senyuman, tampak bersemangat untuk menikmati liburan ini."Jadi, berapa kamar yang ingin kita pesan?" tanya Dimas sambil memeriksa pilihan hotel di ponselnya.Kiara memikirkan sejenak. “Aku pikir, kita hanya butuh satu kamar besar dengan dua ranjang. Bagaimana?”Dimas terkejut. “Satu kamar? Kenapa tidak dua? Kita kan tidak—”“Dimas, ini hanya liburan. Lagipula, aku tidak mau terlalu jauh dari kamu. Satu kamar lebih baik,” Kiara memotong, berharap suasana tetap hangat. "Lebih hemat, biayanya lebih baik kita pakai untuk makan makanan mahal."Dimas mengangguk, meskipun masih merasa sedikit ragu. “Baiklah, satu kamar besar. Tapi kita tetap harus menjaga jarak, ya? Kita kan bukan pasangan.”Kiara tersenyum, mengiyakan. “Iya, aku janji. Kita tidak boleh membuat Dalvin kecewa.”Hari pertama mereka di Bali
Matahari semakin merendah, menembus cakrawala dengan nuansa oranye kemerahan yang membakar langit. Kiara dan Dimas melanjutkan langkah mereka di sepanjang pantai, ombak yang berdebur lembut menghampiri kaki mereka, seolah-olah menenangkan jiwa-jiwa yang gelisah. Meski hatinya masih bergetar oleh pesan misterius yang baru saja diterima, Kiara berusaha menikmati momen ini.Dimas, yang berada di sampingnya, memperhatikan setiap detail perubahan ekspresi Kiara. Kiara pasti resah karena teror terhadapnya.“Kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut, berusaha meredakan resah di hati gadis itu.Kiara mengangguk pelan, meskipun senyumnya tampak dipaksakan. “Aku hanya merasa sedikit cemas, Dimas. Tentang pesan itu… apalagi Dalvin berkata ada sesuatu. Sebenarnya apa yang mereka berdua sembunyikan?”“Lupakan saja untuk saat ini. Mari kita nikmati keindahan ini,” Dimas mengajak, merangkul bahu Kiara dengan lembut. "Biarkan saja mereka meredakan masalah mereka sendiri. Kita jangan terganggu oleh ancaman
Malam di Bali dipenuhi dengan keheningan yang indah. Kiara terbaring di ranjang, memandangi langit-langit kamar yang diterangi cahaya lembut dari lampu tidur. Di sampingnya, Dimas tampak terlelap, tetapi Kiara tidak bisa memejamkan mata. Bayangan ciuman mereka di pantai terus menghantui pikirannya, membuat jantungnya berdebar kencang.Kiara merasa tak nyaman, pikiran dan perasaannya bergejolak. Tanpa dapat menahan diri, ia akhirnya bangkit dari tempat tidurnya, mengendap-endap menuju balkon yang menghadap kolam renang. Suasana malam yang tenang dan angin lembut membuatnya merasa sedikit lebih baik.Dengan langkah pelan, Kiara menatap air kolam yang memantulkan cahaya bulan. Ia berusaha meredakan pikiran yang berkecamuk di kepalanya, tetapi ingatan tentang Dimas tidak bisa diabaikan.“Terlalu banyak yang harus dipikirkan,” gumamnya pada diri sendiri, mengelus rambutnya yang terurai. "Ternyata tidak punya uang bukan satu-satunya masalah pelik."Ia merindukan kedamaian dalam hidupnya, te