Malam semakin larut, dan udara Bali yang hangat berhembus lembut, membawa aroma laut yang menenangkan. Namun, di dalam hati Dimas, ketenangan itu terganggu oleh pesan yang baru saja ia terima dari Dalvin. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi rasa cemas menggelayuti pikirannya.Kiara yang terbaring di sampingnya tampak damai, tanpa tahu apa yang sedang terjadi di luar tidur nyenyaknya. Dimas menghela napas, berusaha mengalihkan perhatian dari ponselnya yang masih bergetar dalam diam. Namun, ia tidak bisa melupakan peringatan yang mungkin saja akan mengubah segalanya.“Dimas?” Suara Kiara memecahkan keheningan, membuat Dimas tersentak. Ia menoleh dan melihat Kiara yang terbangun dengan mata masih setengah terpejam. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat cemas?”Dimas berusaha tersenyum, tetapi tidak bisa sepenuhnya menutupi rasa gelisah di hatinya. “Tidak, hanya... sedikit terganggu. Mungkin aku terlalu banyak berpikir.”Kiara mengangguk, meskipun ia tampak tidak sepenuhnya yakin. “Kalau begi
Suasana di Bandara Ngurah Rai terasa hangat dan penuh kehidupan. Dalvin baru saja mendarat, dan meskipun sinar matahari Bali bersinar cerah, perasaan gelisah menggerogoti hatinya. Ia tahu Kiara dan Dimas sedang berada di sana, menikmati liburan, tetapi bayangan kecemasan tentang hubungan mereka menghantuinya."Kenapa aku harus merasa seperti ini?" gumam Dalvin pada dirinya sendiri sambil melangkah menuju pintu keluar. "Dia istri keduaku, tapi..."Dari kejauhan, ia melihat seorang sopir yang memegang papan nama bertuliskan namanya. Setelah menjabat tangan sopir tersebut, Dalvin segera melesat menuju mobil yang menunggunya. Perasaannya campur aduk antara percaya dan ragu. Apakah Kiara benar-benar setia padanya, ataukah ia mulai terjerat dalam pesona Dimas yang lebih muda?Setelah menempuh perjalanan singkat, Dalvin tiba di hotel tempat Kiara dan Dimas menginap. Ia langsung menghubungi Dimas melalui pesan singkat.“Temui saya di lobi. Penting.”Dimas menerima pesan itu dan segera bergega
Kiara terkejut saat mendengar suara Irene yang menggelegar di luar restoran. Wajahnya menjadi pucat, sementara Dalvin dan Dimas langsung mengalihkan perhatian mereka ke arah wanita yang baru saja datang.“Irene!” seru Dalvin, nada suaranya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Irene, yang duduk di kursi roda, mengarahkan tatapannya yang tajam ke arah Kiara. “Aku tahu ada yang tidak beres dengan kamu,” ucapnya sinis, suaranya bergetar penuh amarah. “Kau berani mengkhianatiku, Kiara?”Kiara merasakan ketegangan di udara, tubuhnya bergetar saat menghadapi tatapan membara Irene. “Nyonya Irene, bukan seperti itu...” Kiara mencoba menjelaskan, tetapi suaranya terhenti saat melihat kemarahan di wajah Irene.“Diam!” Irene teriak, dan semua orang di restoran menoleh ke arah mereka. “Kau tidak pantas mendapatkan kebahagiaan ini! Kau hanya istri kedua yang mencoba merebut semuanya dariku!”Dimas berusaha menenangkan suasana. Orang-orang di sekitar mulai mem
Kiara terkulai di dalam mobil, lelah dan tidak berdaya. Setelah pertengkaran hebat dengan Irene, semangatnya runtuh. Perasaannya campur aduk—antara cinta yang terlarang dan ketakutan akan masa depan. Liburan yang seharusnya menjadi pelarian dari semua masalah, berubah menjadi mimpi buruk. Saat mobil berhenti di depan villa, ia terjatuh, dan semuanya menjadi gelap.“Nona Kiara!” teriak Dimas, langsung mengeluarkan tubuhnya dari mobil dan berlari ke arah Kiara. “Kita butuh bantuan! Cepat!” Dimas berteriak kepada petugas keamanan yang kebetulan ada di dekat situ.Dalvin yang terjebak dalam pikirannya, akhirnya menyadari sesuatu yang sangat penting. Ia langsung menghampiri Kiara yang tergeletak. “Kiara!” suaranya penuh kekhawatiran. Ketika Dimas membantu mengangkat Kiara, Dalvin merasa berat di dadanya. Ketidakberdayaannya menghadapi keadaan ini membuatnya merasa bersalah. Akhirnya beberapa petugas membantu mereka untuk membawa Kiara ke Rumah sakit.Di dalam ruang perawatan, tim medis b
Suasana di rumah sakit masih terasa tegang setelah kemunculan Irene di Bali. Namun, setelah ia pergi, Kiara merasakan semacam kelegaan, meskipun ketidakpastian masih menghantuinya. Dalvin dan Dimas berdiri di samping ranjangnya, berusaha menciptakan lingkungan yang lebih tenang bagi Kiara.Gadis itu terjebak dalam keadaan yang rumit. Kiara sungguh tidak menyangka bila pilihan hidupnya itu mengubah segalanya.Dalvin meraih tangan Kiara, menatapnya dengan penuh kasih sayang. Ia iba melihat kondisi istri keduanya itu.“Kiara, aku di sini untukmu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama,” ucapnya dengan nada menenangkan.Kiara mengangguk, tetapi matanya tampak kosong. “Aku hanya merasa bingung. Kenapa semuanya harus jadi seperti ini?” tanyanya, suaranya bergetar. "Mas, tolong jangan buat aku menderita karena pilihanku menikah sama Mas."“Kiara, tidak ada yang menginginkan ini. Kita akan mencari solusi dan memastikan kau dan bayi ini aman,” kata Dalvin. “Aku tidak akan membia
Kediaman Kiara dan Dalvin terasa sunyi saat mereka kembali dari Bali. Senja mulai merayap masuk melalui jendela, menghaluskan tepi-tepi ruangan dengan cahaya oranye lembut. Kiara merasakan suasana berbeda setelah seminggu yang penuh warna dan kehangatan di pulau dewata. Kini, kembali di rumah, semua perasaan yang terpendam muncul kembali—kekhawatiran, ketakutan, dan harapan yang rapuh.Di ruang tamu, Dalvin tampak sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya. Dia baru saja tiba dari kantor, dan tampak lelah. Meskipun raut wajahnya menunjukkan semangat untuk memulai perannya yang baru, Kiara bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Sambil mengelus perutnya, Kiara berjalan dan duduk di samping Dalvin. Sang suami menoleh, mengulas senyum sambil mengelus perut Kiara."Mas tidak seharusnya bekerja terlalu keras, sayang," ucap Kiara, mengalihkan perhatian suaminya dari tumpukan dokumen."Ini adalah tanggung jawab yang besar, sayangku. Aku harus mempersiapkan segalanya dengan baik," jawab
Malam itu terasa panjang bagi Kiara. Setelah makan malam, suasana di rumah semakin tegang. Dalvin kembali ke mejanya, tenggelam dalam berkas-berkas dan panggilan telepon, sementara Dimas duduk di sebelahnya, memperhatikan Kiara yang tampak murung. Kiara berusaha menyibukkan diri, tetapi pikirannya terus melayang pada kemungkinan yang akan datang—tentang bayi yang akan lahir, tentang Irene, dan tentang Dimas.Setelah beberapa saat terjebak dalam pikiran, Kiara memutuskan untuk keluar ke teras. Ia membutuhkan udara segar, sebuah pelarian dari segala pikiran yang membebani. Dimas mengikutinya, merasa khawatir melihat ekspresi Kiara yang lelah.“Kiara, kau tidak baik-baik saja?” tanya Dimas dengan lembut.Kiara menarik napas dalam-dalam, menatap langit malam yang berbintang. “Entahlah, Dimas. Segalanya terasa begitu rumit. Bagaimana bisa satu keputusan bisa mengubah segalanya?”Dimas berdiri di sampingnya, merasakan ketidakpastian yang mengganggu Kiara. Gadis itu terjebak dalam posisinya
Irene duduk di hadapan Kiara dengan tubuh yang sedikit gemetar. Wajahnya pucat, hampir seperti tidak berdarah. Mata cokelatnya yang biasanya tajam kini kehilangan sinarnya, menyiratkan kelelahan yang mendalam. Kiara, yang baru saja duduk di sofa ruang tamu, bisa merasakan getaran kegelisahan dari wanita di depannya.Mau bagaimanapun Irene berteriak tempo hari, itu tidak bisa menutupi keadaannya yang tengah sakit keras.“Kiara,” suara Irene terdengar lirih, hampir tak terdengar. “Aku tidak bisa lama-lama bicara, jadi aku akan ke intinya saja."Kiara menatap Irene lekat-lekat. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Irene, yang biasanya penuh dengan kebencian dan kemarahan, terlihat rapuh, seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Sementara itu, Kiara hanya bisa merasakan kegelisahan yang tak terucap. Ia tahu kedatangannya kali ini bukan tanpa alasan.“Baiklah Nyonya, silakan bicara saja,” ujar Kiara hati-hati.Irene menarik napas panjang, tampak seolah-olah ia sedang mengumpulkan tenaga untu