Suasana di rumah sakit masih terasa tegang setelah kemunculan Irene di Bali. Namun, setelah ia pergi, Kiara merasakan semacam kelegaan, meskipun ketidakpastian masih menghantuinya. Dalvin dan Dimas berdiri di samping ranjangnya, berusaha menciptakan lingkungan yang lebih tenang bagi Kiara.Gadis itu terjebak dalam keadaan yang rumit. Kiara sungguh tidak menyangka bila pilihan hidupnya itu mengubah segalanya.Dalvin meraih tangan Kiara, menatapnya dengan penuh kasih sayang. Ia iba melihat kondisi istri keduanya itu.“Kiara, aku di sini untukmu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama,” ucapnya dengan nada menenangkan.Kiara mengangguk, tetapi matanya tampak kosong. “Aku hanya merasa bingung. Kenapa semuanya harus jadi seperti ini?” tanyanya, suaranya bergetar. "Mas, tolong jangan buat aku menderita karena pilihanku menikah sama Mas."“Kiara, tidak ada yang menginginkan ini. Kita akan mencari solusi dan memastikan kau dan bayi ini aman,” kata Dalvin. “Aku tidak akan membia
Kediaman Kiara dan Dalvin terasa sunyi saat mereka kembali dari Bali. Senja mulai merayap masuk melalui jendela, menghaluskan tepi-tepi ruangan dengan cahaya oranye lembut. Kiara merasakan suasana berbeda setelah seminggu yang penuh warna dan kehangatan di pulau dewata. Kini, kembali di rumah, semua perasaan yang terpendam muncul kembali—kekhawatiran, ketakutan, dan harapan yang rapuh.Di ruang tamu, Dalvin tampak sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya. Dia baru saja tiba dari kantor, dan tampak lelah. Meskipun raut wajahnya menunjukkan semangat untuk memulai perannya yang baru, Kiara bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Sambil mengelus perutnya, Kiara berjalan dan duduk di samping Dalvin. Sang suami menoleh, mengulas senyum sambil mengelus perut Kiara."Mas tidak seharusnya bekerja terlalu keras, sayang," ucap Kiara, mengalihkan perhatian suaminya dari tumpukan dokumen."Ini adalah tanggung jawab yang besar, sayangku. Aku harus mempersiapkan segalanya dengan baik," jawab
Malam itu terasa panjang bagi Kiara. Setelah makan malam, suasana di rumah semakin tegang. Dalvin kembali ke mejanya, tenggelam dalam berkas-berkas dan panggilan telepon, sementara Dimas duduk di sebelahnya, memperhatikan Kiara yang tampak murung. Kiara berusaha menyibukkan diri, tetapi pikirannya terus melayang pada kemungkinan yang akan datang—tentang bayi yang akan lahir, tentang Irene, dan tentang Dimas.Setelah beberapa saat terjebak dalam pikiran, Kiara memutuskan untuk keluar ke teras. Ia membutuhkan udara segar, sebuah pelarian dari segala pikiran yang membebani. Dimas mengikutinya, merasa khawatir melihat ekspresi Kiara yang lelah.“Kiara, kau tidak baik-baik saja?” tanya Dimas dengan lembut.Kiara menarik napas dalam-dalam, menatap langit malam yang berbintang. “Entahlah, Dimas. Segalanya terasa begitu rumit. Bagaimana bisa satu keputusan bisa mengubah segalanya?”Dimas berdiri di sampingnya, merasakan ketidakpastian yang mengganggu Kiara. Gadis itu terjebak dalam posisinya
Irene duduk di hadapan Kiara dengan tubuh yang sedikit gemetar. Wajahnya pucat, hampir seperti tidak berdarah. Mata cokelatnya yang biasanya tajam kini kehilangan sinarnya, menyiratkan kelelahan yang mendalam. Kiara, yang baru saja duduk di sofa ruang tamu, bisa merasakan getaran kegelisahan dari wanita di depannya.Mau bagaimanapun Irene berteriak tempo hari, itu tidak bisa menutupi keadaannya yang tengah sakit keras.“Kiara,” suara Irene terdengar lirih, hampir tak terdengar. “Aku tidak bisa lama-lama bicara, jadi aku akan ke intinya saja."Kiara menatap Irene lekat-lekat. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Irene, yang biasanya penuh dengan kebencian dan kemarahan, terlihat rapuh, seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Sementara itu, Kiara hanya bisa merasakan kegelisahan yang tak terucap. Ia tahu kedatangannya kali ini bukan tanpa alasan.“Baiklah Nyonya, silakan bicara saja,” ujar Kiara hati-hati.Irene menarik napas panjang, tampak seolah-olah ia sedang mengumpulkan tenaga untu
Hari pelantikan Dalvin sebagai Gubernur semakin dekat. Di kediaman mereka, suasana tegang menyelimuti setiap sudut ruangan. Kiara duduk di sofa, menatap jendela dengan pikiran yang berkecamuk. Seharusnya hari ini menjadi momen bahagia, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Ia tahu bahwa pelantikan ini tidak hanya berarti perubahan bagi Dalvin, tetapi juga bagi dirinya dan Irene.Sementara itu, Dalvin berdiri di dekat meja, mengatur dokumen-dokumen penting yang harus dibawanya ke acara pelantikan. Sesekali, matanya melirik Kiara, yang tampak terbenam dalam pikirannya.“Kiara,” panggilnya lembut, “apa kau baik-baik saja?”Kiara mengalihkan pandangannya, berusaha tersenyum. “Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit nervous,” jawabnya, meski hatinya dipenuhi rasa bersalah.“Jangan khawatir, semuanya akan berjalan lancar. Kau akan bersamaku di sana, dan kita akan menjalani ini bersama,” Dalvin mencoba meyakinkan, tetapi Kiara merasakan ketegangan yang tak bisa diabaikan.Ketika
Hari pelantikan Gubernur tiba dengan segala kemegahannya. Ruang aula gedung pemerintahan dihiasi dengan lampu kristal dan karpet merah yang terhampar dari pintu masuk hingga podium utama. Para pejabat penting, pengusaha, dan tokoh masyarakat berkumpul untuk menyaksikan momen bersejarah bagi Dalvin—suami Kiara—yang resmi diangkat sebagai Gubernur. Di balik kemegahan itu, Kiara merasakan kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan.Kiara, gadis miskin yang kesulitan ekonomi sekarang menduduki posisi sebagai istri seorang Gubernur dan kehidupannya akan mulai disoroti banyak orang. Benar, seharusnya Irene saja yang di sana. Kiara rasanya belum bisa menerima banyak perubahan drastis itu, ia benar-benar merasa ketakutan."Kiara, semangat. Aku hadir di sini. Jangan khawatir."Cecilia datang karena ia memiliki jabatan dan juga tokoh berpengaruh di daerah. Setidaknya Kiara tidak merasa sendirian, bahkan Dimas juga hadir di sana, setia menemani Dalvin serta Kiara untuk memenuhi kebutuhan suami istri
Kiara masih duduk di kamar hotel mewah yang mereka sewa untuk malam pelantikan itu. Gaunnya telah dilepas, digantung rapi di lemari, tapi jejak-jejak kegelisahan di wajahnya masih terlihat jelas. Dalvin, yang sejak tadi berusaha menenangkannya, kini duduk di sisi ranjang, sibuk dengan ponselnya, membalas pesan-pesan ucapan selamat dari kolega-kolega penting.Kiara memandang ke luar jendela, melihat kota yang terang benderang dengan lampu-lampu jalanan dan gedung pencakar langit. Sementara di dalam dirinya, perasaan kosong terus menghantui. Semua ucapan selamat dan kegembiraan di sekitar Dalvin terasa asing baginya. Suara bising dunia luar yang merayakan pelantikan suaminya tidak mampu menutupi rasa sakit yang ia rasakan dari komentar kebencian yang menyerangnya.Inikah rasanya menjadi pendamping dari pria yang memiliki jabatan? Apakah salah Kiara ingin hidup layak dan menikah dengan Dalvin?“Mas Dalvin…” Kiara memanggil lembut.Dalvin menoleh, alisnya berkerut. “Ya, ada apa, sayang?”
Pagi itu, langit tampak kelabu seiring dengan perasaan Kiara yang tak menentu. Pikirannya masih berkecamuk soal pesan dari Irene semalam. Setelah menimbang-nimbang sepanjang malam, ia memutuskan untuk memenuhi permintaan Irene dan menemui wanita itu di tempat yang disebutkan dalam pesan singkatnya. Namun, keputusan ini tidak datang tanpa beban.Ibu mana yang mau anaknya dibawa oleh orang lain? Irene, wanita itu ular!Dalvin sudah berangkat ke kantor gubernur pagi-pagi sekali, dan Kiara bersyukur untuk itu. Ia tidak yakin bisa menyembunyikan kegelisahannya jika suaminya tetap berada di rumah. Sambil menghela napas, ia meraih mantel panjangnya dan melangkah keluar rumah. Tempat pertemuan yang dimaksud Irene adalah sebuah kafe tua di pinggiran kota, tempat yang tidak mencolok dan jarang dikunjungi orang.Setibanya di sana, Kiara membuka pintu kafe yang berderit dan langsung melihat sosok Irene duduk di kursi roda sudut ruangan, mengenakan gaun hitam sederhana dengan kacamata hitam menutu