Kiara terkulai di dalam mobil, lelah dan tidak berdaya. Setelah pertengkaran hebat dengan Irene, semangatnya runtuh. Perasaannya campur aduk—antara cinta yang terlarang dan ketakutan akan masa depan. Liburan yang seharusnya menjadi pelarian dari semua masalah, berubah menjadi mimpi buruk. Saat mobil berhenti di depan villa, ia terjatuh, dan semuanya menjadi gelap.“Nona Kiara!” teriak Dimas, langsung mengeluarkan tubuhnya dari mobil dan berlari ke arah Kiara. “Kita butuh bantuan! Cepat!” Dimas berteriak kepada petugas keamanan yang kebetulan ada di dekat situ.Dalvin yang terjebak dalam pikirannya, akhirnya menyadari sesuatu yang sangat penting. Ia langsung menghampiri Kiara yang tergeletak. “Kiara!” suaranya penuh kekhawatiran. Ketika Dimas membantu mengangkat Kiara, Dalvin merasa berat di dadanya. Ketidakberdayaannya menghadapi keadaan ini membuatnya merasa bersalah. Akhirnya beberapa petugas membantu mereka untuk membawa Kiara ke Rumah sakit.Di dalam ruang perawatan, tim medis b
Suasana di rumah sakit masih terasa tegang setelah kemunculan Irene di Bali. Namun, setelah ia pergi, Kiara merasakan semacam kelegaan, meskipun ketidakpastian masih menghantuinya. Dalvin dan Dimas berdiri di samping ranjangnya, berusaha menciptakan lingkungan yang lebih tenang bagi Kiara.Gadis itu terjebak dalam keadaan yang rumit. Kiara sungguh tidak menyangka bila pilihan hidupnya itu mengubah segalanya.Dalvin meraih tangan Kiara, menatapnya dengan penuh kasih sayang. Ia iba melihat kondisi istri keduanya itu.“Kiara, aku di sini untukmu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama,” ucapnya dengan nada menenangkan.Kiara mengangguk, tetapi matanya tampak kosong. “Aku hanya merasa bingung. Kenapa semuanya harus jadi seperti ini?” tanyanya, suaranya bergetar. "Mas, tolong jangan buat aku menderita karena pilihanku menikah sama Mas."“Kiara, tidak ada yang menginginkan ini. Kita akan mencari solusi dan memastikan kau dan bayi ini aman,” kata Dalvin. “Aku tidak akan membia
Kediaman Kiara dan Dalvin terasa sunyi saat mereka kembali dari Bali. Senja mulai merayap masuk melalui jendela, menghaluskan tepi-tepi ruangan dengan cahaya oranye lembut. Kiara merasakan suasana berbeda setelah seminggu yang penuh warna dan kehangatan di pulau dewata. Kini, kembali di rumah, semua perasaan yang terpendam muncul kembali—kekhawatiran, ketakutan, dan harapan yang rapuh.Di ruang tamu, Dalvin tampak sibuk dengan berkas-berkas di meja kerjanya. Dia baru saja tiba dari kantor, dan tampak lelah. Meskipun raut wajahnya menunjukkan semangat untuk memulai perannya yang baru, Kiara bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Sambil mengelus perutnya, Kiara berjalan dan duduk di samping Dalvin. Sang suami menoleh, mengulas senyum sambil mengelus perut Kiara."Mas tidak seharusnya bekerja terlalu keras, sayang," ucap Kiara, mengalihkan perhatian suaminya dari tumpukan dokumen."Ini adalah tanggung jawab yang besar, sayangku. Aku harus mempersiapkan segalanya dengan baik," jawab
Malam itu terasa panjang bagi Kiara. Setelah makan malam, suasana di rumah semakin tegang. Dalvin kembali ke mejanya, tenggelam dalam berkas-berkas dan panggilan telepon, sementara Dimas duduk di sebelahnya, memperhatikan Kiara yang tampak murung. Kiara berusaha menyibukkan diri, tetapi pikirannya terus melayang pada kemungkinan yang akan datang—tentang bayi yang akan lahir, tentang Irene, dan tentang Dimas.Setelah beberapa saat terjebak dalam pikiran, Kiara memutuskan untuk keluar ke teras. Ia membutuhkan udara segar, sebuah pelarian dari segala pikiran yang membebani. Dimas mengikutinya, merasa khawatir melihat ekspresi Kiara yang lelah.“Kiara, kau tidak baik-baik saja?” tanya Dimas dengan lembut.Kiara menarik napas dalam-dalam, menatap langit malam yang berbintang. “Entahlah, Dimas. Segalanya terasa begitu rumit. Bagaimana bisa satu keputusan bisa mengubah segalanya?”Dimas berdiri di sampingnya, merasakan ketidakpastian yang mengganggu Kiara. Gadis itu terjebak dalam posisinya
Irene duduk di hadapan Kiara dengan tubuh yang sedikit gemetar. Wajahnya pucat, hampir seperti tidak berdarah. Mata cokelatnya yang biasanya tajam kini kehilangan sinarnya, menyiratkan kelelahan yang mendalam. Kiara, yang baru saja duduk di sofa ruang tamu, bisa merasakan getaran kegelisahan dari wanita di depannya.Mau bagaimanapun Irene berteriak tempo hari, itu tidak bisa menutupi keadaannya yang tengah sakit keras.“Kiara,” suara Irene terdengar lirih, hampir tak terdengar. “Aku tidak bisa lama-lama bicara, jadi aku akan ke intinya saja."Kiara menatap Irene lekat-lekat. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Irene, yang biasanya penuh dengan kebencian dan kemarahan, terlihat rapuh, seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Sementara itu, Kiara hanya bisa merasakan kegelisahan yang tak terucap. Ia tahu kedatangannya kali ini bukan tanpa alasan.“Baiklah Nyonya, silakan bicara saja,” ujar Kiara hati-hati.Irene menarik napas panjang, tampak seolah-olah ia sedang mengumpulkan tenaga untu
Hari pelantikan Dalvin sebagai Gubernur semakin dekat. Di kediaman mereka, suasana tegang menyelimuti setiap sudut ruangan. Kiara duduk di sofa, menatap jendela dengan pikiran yang berkecamuk. Seharusnya hari ini menjadi momen bahagia, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Ia tahu bahwa pelantikan ini tidak hanya berarti perubahan bagi Dalvin, tetapi juga bagi dirinya dan Irene.Sementara itu, Dalvin berdiri di dekat meja, mengatur dokumen-dokumen penting yang harus dibawanya ke acara pelantikan. Sesekali, matanya melirik Kiara, yang tampak terbenam dalam pikirannya.“Kiara,” panggilnya lembut, “apa kau baik-baik saja?”Kiara mengalihkan pandangannya, berusaha tersenyum. “Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit nervous,” jawabnya, meski hatinya dipenuhi rasa bersalah.“Jangan khawatir, semuanya akan berjalan lancar. Kau akan bersamaku di sana, dan kita akan menjalani ini bersama,” Dalvin mencoba meyakinkan, tetapi Kiara merasakan ketegangan yang tak bisa diabaikan.Ketika
Hari pelantikan Gubernur tiba dengan segala kemegahannya. Ruang aula gedung pemerintahan dihiasi dengan lampu kristal dan karpet merah yang terhampar dari pintu masuk hingga podium utama. Para pejabat penting, pengusaha, dan tokoh masyarakat berkumpul untuk menyaksikan momen bersejarah bagi Dalvin—suami Kiara—yang resmi diangkat sebagai Gubernur. Di balik kemegahan itu, Kiara merasakan kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan.Kiara, gadis miskin yang kesulitan ekonomi sekarang menduduki posisi sebagai istri seorang Gubernur dan kehidupannya akan mulai disoroti banyak orang. Benar, seharusnya Irene saja yang di sana. Kiara rasanya belum bisa menerima banyak perubahan drastis itu, ia benar-benar merasa ketakutan."Kiara, semangat. Aku hadir di sini. Jangan khawatir."Cecilia datang karena ia memiliki jabatan dan juga tokoh berpengaruh di daerah. Setidaknya Kiara tidak merasa sendirian, bahkan Dimas juga hadir di sana, setia menemani Dalvin serta Kiara untuk memenuhi kebutuhan suami istri
Kiara masih duduk di kamar hotel mewah yang mereka sewa untuk malam pelantikan itu. Gaunnya telah dilepas, digantung rapi di lemari, tapi jejak-jejak kegelisahan di wajahnya masih terlihat jelas. Dalvin, yang sejak tadi berusaha menenangkannya, kini duduk di sisi ranjang, sibuk dengan ponselnya, membalas pesan-pesan ucapan selamat dari kolega-kolega penting.Kiara memandang ke luar jendela, melihat kota yang terang benderang dengan lampu-lampu jalanan dan gedung pencakar langit. Sementara di dalam dirinya, perasaan kosong terus menghantui. Semua ucapan selamat dan kegembiraan di sekitar Dalvin terasa asing baginya. Suara bising dunia luar yang merayakan pelantikan suaminya tidak mampu menutupi rasa sakit yang ia rasakan dari komentar kebencian yang menyerangnya.Inikah rasanya menjadi pendamping dari pria yang memiliki jabatan? Apakah salah Kiara ingin hidup layak dan menikah dengan Dalvin?“Mas Dalvin…” Kiara memanggil lembut.Dalvin menoleh, alisnya berkerut. “Ya, ada apa, sayang?”
Kiara duduk di tepi tempat tidur, menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Panggilan dari Dalvin baru saja berakhir, menyisakan ruang dalam hati yang terasa kosong. Ia memandang layar ponsel yang kini redup, meresapi setiap kata yang baru saja disampaikan oleh suaminya. Rasa kecewa dan perih berbaur menjadi satu.Dalvin menelefon hanya untuk mengatakan bahwa ia tak bisa menemui Kiara dalam waktu dekat. Ancaman dan sorotan media yang semakin ketat membuat Dalvin khawatir bahwa ada yang akan melacak keberadaan Kiara jika ia sering mengunjunginya di vila terpencil itu. Dalvin memang menginginkan keturunan dari Kiara, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, namun kini Kiara merasa seolah terjebak, seperti bayangan yang ditinggalkan sendirian dalam kegelapan."Dalvin, bagaimana mungkin aku harus terus menunggu seperti ini?" gumam Kiara pelan, airmata menggenang di matanya. "Benar, aku hanya alat untuk menghasilkan keturunanmu saja."Dimas, yang telah mengamati ekspresi Kiara dari k
Kiara duduk di atas ranjang pemeriksaan dengan tatapan kosong. Dokter di hadapannya berbicara dengan suara lembut dan tenang, namun tidak mampu mengurangi kecemasan yang berkecamuk di hatinya. Dimas berdiri di sampingnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sama.“Bu Kiara,” dokter memulai dengan nada penuh pengertian. “Saat ini, kondisi kehamilan Anda membutuhkan perhatian khusus. Ibu mengalami stres berat, yang tidak hanya memengaruhi kondisi fisik, tetapi juga perkembangan janin. Demi kesehatan Ibu dan bayi, sangat penting bagi Ibu untuk beristirahat dengan cukup dan menghindari hal-hal yang bisa memperparah stres.”Kiara menunduk, menahan napas sejenak. Mendengar penjelasan dokter itu membuatnya sadar bahwa kehamilan ini lebih rumit dari yang ia kira. Ini adalah kehamilan pertamanya, sesuatu yang seharusnya membahagiakan, tetapi kini terasa berat karena tekanan yang ia rasakan. Sorotan media, ancaman dari Irene, serta beban yang datang dari posisinya sebagai istri gubernur tela
Suasana pagi di kediaman dinas gubernur terasa lebih sunyi dari biasanya. Dalvin harus berangkat ke Palembang untuk menghadiri pertemuan para pejabat. Meski biasanya Kiara selalu mendampingi suaminya dalam acara-acara resmi, kali ini kondisi kehamilannya yang semakin membesar membuatnya tidak memungkinkan untuk bepergian jauh. Tubuhnya masih sering terasa lemah, dan Dalvin tahu betul bahwa perjalanan ini terlalu berat untuk Kiara.Di ruang tamu, Dalvin mengenakan jas resmi, bersiap untuk pergi. Kiara duduk di sofa dengan wajah pucat, tangannya menggenggam erat cangkir teh yang sudah dingin. Matanya tampak cemas, mengikuti setiap gerak-gerik suaminya. Dalvin menghampirinya, menunduk untuk mencium keningnya dengan lembut.“Kau yakin baik-baik saja di sini, Kiara?” Dalvin bertanya lembut, meski ada nada khawatir dalam suaranya.Kiara mengangguk pelan, meski tatapannya menghindari mata suaminya. “Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Ini bukan pertama kalinya aku tinggal di sini sendirian
Irene terbaring di ranjang rumah sakit dengan kondisi lemah. Infus tergantung di sebelahnya, perlahan meneteskan cairan yang seharusnya membantu memulihkan kekuatannya. Namun, hatinya masih dipenuhi amarah dan kecewa karena rencananya untuk menghancurkan Kiara gagal total. Dalvin telah mengetahui ulahnya, dan kini ia terisolasi. Tidak ada yang memihaknya, dan kondisinya terus memburuk karena tekanan emosional.Kondisi Irene memang lemah. Akan tetapi ia memaksakan diri agar mendapatkan apa yang diinginkannya. Bukan Irene namanya jika ia tidak bisa melakukan apapun yang diinginkannya.Pintu kamar Irene tiba-tiba terbuka dengan kasar, membuat suara dentingan yang nyaring. Irene menoleh dengan lemah, hanya untuk melihat sosok Cecilia memasuki ruangan dengan langkah cepat dan sorot mata penuh kebencian.Cecilia, meskipun baru berusia 22 tahun, memiliki kepercayaan diri dan kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Dengan latar belakang keluarganya yang terpandang dan kekuasaan orangtuanya yang
Suasana di rumah dinas gubernur terasa tegang sejak kejadian semalam. Kiara terbaring lemas di kamar tidurnya, tubuhnya tampak lebih rapuh dari biasanya. Wajahnya pucat, napasnya sedikit terengah, dan matanya yang biasanya bersinar kini redup. Dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa efek obat perangsang yang diberikan kepadanya memang berbahaya, terutama dalam kondisinya yang sedang hamil.Dalvin duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Kiara dengan penuh penyesalan. Ia tak pernah membayangkan bahwa intrik yang dibuat oleh Irene akan sampai sejauh ini. Pikirannya terus berputar, merencanakan langkah-langkah selanjutnya untuk mengamankan istrinya dari ancaman yang lebih besar. Namun, di tengah kegelisahannya, suara langkah kaki yang cepat terdengar di lorong.Pintu kamar Kiara terbuka lebar, menampakkan sosok Cecilia, keponakan Dalvin sekaligus sahabat terdekat Kiara. Cecilia tampak marah. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, dan sorot matanya penuh dengan amarah
Dimas menatap tajam pada wanita pelayan di depannya, tangan kanannya mencengkeram lengan wanita itu dengan kuat. Ia bisa merasakan ketegangan di sekujur tubuh pelayan tersebut, namun wanita itu tetap bungkam. Dimas menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Segala sesuatu mulai masuk akal—Kiara yang tiba-tiba menunjukkan perilaku tak terkendali, obat yang dicampurkan dalam minuman, dan sekarang pelayan yang jelas-jelas tahu lebih banyak dari apa yang ia sampaikan. “Siapa yang memerintahmu?” desak Dimas, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Jangan berbohong, atau aku akan memastikan kau ditangkap dan diadili.” imbuhnya. Pelayan itu tetap terdiam, kepalanya tertunduk, dan tubuhnya sedikit gemetar. Ia tahu apa yang sedang terjadi, dan ia takut, sangat takut. Namun, ketakutan pada seseorang di balik layar, seseorang yang lebih berbahaya daripada ancaman Dimas, membuatnya tetap bungkam. “Bicaralah sekarang, atau aku akan menyeretmu ke kantor polisi,” ancam Dimas, kali ini dengan nada
Dalvin menatap Kiara dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Sikap istrinya berubah begitu drastis—dorongan hasrat yang menguasai Kiara tak seperti biasanya. Ia tahu ada yang tidak beres, tapi rasa kasih sayangnya pada Kiara membuatnya ragu untuk menolak. Dalam hatinya, Dalvin hanya ingin menyembuhkan istrinya dari rasa gelisah yang tampak menguasai tubuh dan pikirannya."Mas Dalvin... kumohon," desis Kiara, suaranya serak penuh hasrat yang tak terkendali. "Main yuk Mas?"Kiara mendekatkan diri ke Dalvin, menarik tubuh suaminya lebih erat dalam pelukannya, matanya penuh dengan gairah yang membara.Dalvin menarik napas dalam. Mungkin, pikirnya, memenuhi keinginan Kiara adalah satu-satunya cara untuk membuatnya merasa lebih baik. Meskipun tubuhnya sudah mulai lelah, ia tak bisa menolak Kiara yang begitu memohon. Dalvin akhirnya menyerah, menuntaskan keinginan istrinya yang menggelora, berpikir mungkin dengan cara itu, Kiara akan merasa lebih tenang.Namun, seiring berjalannya waktu,
Dimas semakin panik. Di hadapannya, Kiara mulai menggeliat tak menentu di atas sofa, napasnya memburu, dan keringat dingin membasahi wajahnya. Kiara tampak menahan sesuatu yang tak dapat dijelaskan, matanya sesekali terpejam erat, dan bibirnya melenguh kecil, seolah berjuang melawan dorongan dari dalam tubuhnya.“Nona Kiara, kau baik-baik saja?” Dimas bertanya, suaranya gemetar dengan nada cemas. Ia merunduk, mencoba membantu Kiara yang tampak kehilangan kendali atas tubuhnya.Namun, Kiara tak dapat memberikan jawaban yang jelas. Tubuhnya terasa panas, pikirannya mulai mengabur. Ia tahu ada yang tidak beres, tetapi tak bisa memahami apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba, ia merasa hasrat yang kuat merambati seluruh tubuhnya, dan itu membuatnya semakin tak nyaman. Rasa aneh yang tadi samar, kini berubah menjadi dorongan yang tak tertahankan.Sementara itu, di dapur dan area pelayanan, para pelayan yang mengetahui bahwa minuman Kiara telah dicampur vitamin penambah gairah semakin ketakutan
Di sebuah ruangan yang redup, Irene duduk di kursi kulitnya, menatap layar ponsel dengan ekspresi puas. Ia baru saja memberikan instruksi terakhir kepada salah satu orang kepercayaannya di kediaman gubernur. Rencananya kini semakin mendekati tahap akhir. Irene tahu bahwa memanfaatkan kelemahan Kiara adalah cara paling efektif untuk menyingkirkan wanita itu dari hidup Dalvin. Kali ini, ia akan mengambil langkah lebih jauh—lebih berani, dan lebih berbahaya.“Kalian takut apa?” Irene berkata sinis saat mendengar beberapa orang protes atas rencananya. Mereka merasa cemas karena Kiara sedang hamil, dan takut jika substansi yang diselundupkan ke dalam minuman Kiara akan berbahaya bagi bayi yang dikandungnya.“Bu, Kiara sedang hamil. Jika sesuatu terjadi, kita bisa dituduh meracuni dia. Bagaimana kalau ada efek samping yang buruk?” Salah satu pelayan yang ditugaskan oleh Irene berbicara dengan penuh kekhawatiran, meskipun suaranya dijaga agar tetap rendah.Irene menggelengkan kepala dengan