Kiara masih duduk di kamar hotel mewah yang mereka sewa untuk malam pelantikan itu. Gaunnya telah dilepas, digantung rapi di lemari, tapi jejak-jejak kegelisahan di wajahnya masih terlihat jelas. Dalvin, yang sejak tadi berusaha menenangkannya, kini duduk di sisi ranjang, sibuk dengan ponselnya, membalas pesan-pesan ucapan selamat dari kolega-kolega penting.Kiara memandang ke luar jendela, melihat kota yang terang benderang dengan lampu-lampu jalanan dan gedung pencakar langit. Sementara di dalam dirinya, perasaan kosong terus menghantui. Semua ucapan selamat dan kegembiraan di sekitar Dalvin terasa asing baginya. Suara bising dunia luar yang merayakan pelantikan suaminya tidak mampu menutupi rasa sakit yang ia rasakan dari komentar kebencian yang menyerangnya.Inikah rasanya menjadi pendamping dari pria yang memiliki jabatan? Apakah salah Kiara ingin hidup layak dan menikah dengan Dalvin?“Mas Dalvin…” Kiara memanggil lembut.Dalvin menoleh, alisnya berkerut. “Ya, ada apa, sayang?”
Pagi itu, langit tampak kelabu seiring dengan perasaan Kiara yang tak menentu. Pikirannya masih berkecamuk soal pesan dari Irene semalam. Setelah menimbang-nimbang sepanjang malam, ia memutuskan untuk memenuhi permintaan Irene dan menemui wanita itu di tempat yang disebutkan dalam pesan singkatnya. Namun, keputusan ini tidak datang tanpa beban.Ibu mana yang mau anaknya dibawa oleh orang lain? Irene, wanita itu ular!Dalvin sudah berangkat ke kantor gubernur pagi-pagi sekali, dan Kiara bersyukur untuk itu. Ia tidak yakin bisa menyembunyikan kegelisahannya jika suaminya tetap berada di rumah. Sambil menghela napas, ia meraih mantel panjangnya dan melangkah keluar rumah. Tempat pertemuan yang dimaksud Irene adalah sebuah kafe tua di pinggiran kota, tempat yang tidak mencolok dan jarang dikunjungi orang.Setibanya di sana, Kiara membuka pintu kafe yang berderit dan langsung melihat sosok Irene duduk di kursi roda sudut ruangan, mengenakan gaun hitam sederhana dengan kacamata hitam menutu
Kiara tidak bisa mengingat bagaimana caranya ia sampai kembali ke rumah. Kepalanya penuh dengan suara Irene, ancaman yang berputar-putar seperti badai di dalam pikirannya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya tidak pernah seaktif ini. Bayi di dalam perutnya, Dalvin, Irene, media sosial, masyarakat—semuanya berputar menjadi satu, menghimpitnya dari segala arah.Setelah memasuki rumah, Kiara langsung menuju dapur dan membuka kulkas. Ia merasa pusing dan membutuhkan segelas air. Tangannya gemetar saat meraih gelas, airnya tumpah sedikit, tetapi ia tidak peduli. Ia minum dengan cepat, berharap rasa dingin bisa menenangkan jantungnya yang terus berdegup kencang.Saat ia meletakkan gelas di meja, sebuah getaran kecil datang dari ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kiara menatap layar ponsel itu dengan enggan, seolah-olah benda itu akan menyampaikan kabar buruk lainnya.Pesan baru muncul di layar: “Sudah dipikirkan baik-baik? Waktu terus berjalan.”Pengirimnya tak lain adalah Irene. Jantung K
Di dalam ruang tamu megah yang penuh dengan hiasan bunga segar, Kiara duduk lemas di atas sofa berwarna krem. Wajahnya yang pucat kontras dengan gaun satin biru yang ia kenakan. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menghadap taman luas. Di luar, mentari sore yang seharusnya hangat tak bisa mengusir dinginnya perasaan di hatinya. Setiap helaan napasnya berat, dipenuhi oleh rasa khawatir yang tak kunjung hilang.Sejak pagi tadi, ancaman Irene telah menghantui benaknya. Perempuan itu, dengan segala kekuasaannya, membuat Kiara merasa tak berdaya. Sebagai istri gubernur, seharusnya ia memiliki kedudukan yang kuat, tapi kenyataannya, ia tak memiliki kekuatan apapun untuk melawan. Bahkan, kehadirannya sebagai istri gubernur tak lebih dari sekadar simbol; dia merasa kosong, tak punya kekuasaan maupun pengaruh untuk mempertahankan dirinya sendiri. Setiap detik yang berlalu membuat Kiara semakin tenggelam dalam kegelisahan.Dimas, sekretaris pribadi sang gubernur yang sekarang menj
Pagi itu, udara terasa segar dengan hembusan angin sejuk yang menembus sela-sela daun pohon di halaman rumah dinas gubernur. Di ruang makan, Dalvin tengah duduk di meja, menyeruput kopi hitam sambil menatap Kiara yang duduk di depannya. Wajah Kiara tampak pucat, mungkin karena kehamilannya yang mulai memasuki trimester pertama. Waktu yang seharusnya menjadi momen bahagia itu ternyata diwarnai dengan rasa cemas yang tak kunjung hilang dari wajah Kiara."Sayang, aku harus dinas ke luar kota hari ini," ujar Dalvin tiba-tiba, mengakhiri keheningan pagi. Ia meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, lalu menatap Kiara penuh perhatian.Kiara mengangguk lemah. “Aku tahu. Apa Mas yakin harus pergi sekarang? Keadaanku—”Dalvin memotong, suaranya terdengar tegas namun lembut. “Ini penting. Ada rapat dengan para pejabat di provinsi tetangga yang tidak bisa ditunda. Tapi, aku tidak ingin meninggalkanmu sendiri, terutama dengan kehamilanmu yang semakin berat. Karena itu, aku sudah minta Dimas untuk
Matahari tengah hari terasa hangat ketika Dimas dan Kiara berjalan keluar dari klinik. Setelah pemeriksaan tadi, Dimas merasa bahwa Kiara butuh sedikit hiburan, terlebih setelah semua kecemasan dan beban yang dirasakan selama ini. Ia ingin membuat suasana lebih santai, meski hanya sejenak, agar Kiara bisa sedikit melupakan tekanan yang selalu mengikutinya.“Kiara, bagaimana kalau kita makan siang dulu sebelum pulang?” tanya Dimas, mencoba mengusulkan ide spontan.Kiara, yang sejak tadi terlihat sedikit lelah namun masih tersenyum, melirik Dimas. “Makan siang? Kau yakin?”“Ya, aku pikir kamu akan senang makan bersamaku. Lagi pula, setelah kunjungan ke dokter, pasti kau butuh energi lebih. Aku tahu tempat yang tenang dan tidak terlalu ramai.”Kiara berpikir sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Baiklah, kenapa tidak? Mungkin memang aku butuh sedikit bersantai.”Dimas tersenyum lega, lalu mengarahkan mobil menuju sebuah restoran kecil yang tersembunyi di sudut kota. Tempat itu dikenal tid
Di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh sinar redup dari jendela kecil, Irene duduk dengan wajah tegang, tangannya menggenggam erat lengan kursi kulit di bawahnya. Rasa kecewa yang menguasai hatinya tidak bisa lagi disembunyikan. Ia menatap tajam ke arah dua pria di depannya, anak buahnya yang baru saja kembali dari tugas mereka.“Kalian mengecewakanku, bajingan ini.” suara Irene terdengar dingin, hampir tanpa emosi, namun sarat dengan kekecewaan yang mendalam. “Aku sudah mempercayakan tugas penting ini kepada kalian, tapi apa yang kalian bawa pulang? Hanya foto-foto tak berguna!” bentak Irene.Salah satu pria itu, seorang yang bertubuh besar dengan tatapan canggung, mencoba berbicara untuk menjelaskan keadaan.“Maaf, Bu Irene, kami hampir berhasil. Kami sudah mengambil beberapa foto, tapi sekretaris itu—Dimas—menyadari keberadaan kami dan mengusir kami sebelum kami bisa mendapatkan lebih banyak bukti.” terang Pria itu.Irene menghela napas panjang, menutup matanya sejenak u
Pagi itu, rumah dinas gubernur tampak sepi, namun di balik ketenangan tersebut, ada kesibukan yang tak terlihat. Irene, dalam rencananya yang semakin matang, telah mengirim seseorang untuk memata-matai Kiara dan Dimas. Orang itu adalah Budi, seorang petugas kebersihan yang baru direkrut atas rekomendasi seorang kenalan Irene. Dengan penampilannya yang tak mencolok, Budi adalah sosok sempurna untuk menjalankan tugas tersembunyi di bawah radar siapa pun di rumah dinas.Sementara itu, Dalvin, seperti biasa, sibuk dengan tugas-tugasnya sebagai gubernur. Ia lebih sering berada di luar, blusukan ke kampung-kampung, mendengar langsung aspirasi masyarakat. Keberadaannya di rumah dinas semakin jarang, meninggalkan Kiara dalam kesendirian. Kehamilan Kiara kini sudah memasuki trimester kedua, namun tubuhnya masih belum sepenuhnya terbiasa dengan perubahan-perubahan yang datang. Mual dan muntah yang seharusnya berkurang, justru masih sering menyapanya, terutama di pagi hari.Dimas, sang sekretar