Pagi itu, rumah dinas gubernur tampak sepi, namun di balik ketenangan tersebut, ada kesibukan yang tak terlihat. Irene, dalam rencananya yang semakin matang, telah mengirim seseorang untuk memata-matai Kiara dan Dimas. Orang itu adalah Budi, seorang petugas kebersihan yang baru direkrut atas rekomendasi seorang kenalan Irene. Dengan penampilannya yang tak mencolok, Budi adalah sosok sempurna untuk menjalankan tugas tersembunyi di bawah radar siapa pun di rumah dinas.Sementara itu, Dalvin, seperti biasa, sibuk dengan tugas-tugasnya sebagai gubernur. Ia lebih sering berada di luar, blusukan ke kampung-kampung, mendengar langsung aspirasi masyarakat. Keberadaannya di rumah dinas semakin jarang, meninggalkan Kiara dalam kesendirian. Kehamilan Kiara kini sudah memasuki trimester kedua, namun tubuhnya masih belum sepenuhnya terbiasa dengan perubahan-perubahan yang datang. Mual dan muntah yang seharusnya berkurang, justru masih sering menyapanya, terutama di pagi hari.Dimas, sang sekretar
Di sebuah ruangan yang redup, Irene duduk di kursi kulitnya, menatap layar ponsel dengan ekspresi puas. Ia baru saja memberikan instruksi terakhir kepada salah satu orang kepercayaannya di kediaman gubernur. Rencananya kini semakin mendekati tahap akhir. Irene tahu bahwa memanfaatkan kelemahan Kiara adalah cara paling efektif untuk menyingkirkan wanita itu dari hidup Dalvin. Kali ini, ia akan mengambil langkah lebih jauh—lebih berani, dan lebih berbahaya.“Kalian takut apa?” Irene berkata sinis saat mendengar beberapa orang protes atas rencananya. Mereka merasa cemas karena Kiara sedang hamil, dan takut jika substansi yang diselundupkan ke dalam minuman Kiara akan berbahaya bagi bayi yang dikandungnya.“Bu, Kiara sedang hamil. Jika sesuatu terjadi, kita bisa dituduh meracuni dia. Bagaimana kalau ada efek samping yang buruk?” Salah satu pelayan yang ditugaskan oleh Irene berbicara dengan penuh kekhawatiran, meskipun suaranya dijaga agar tetap rendah.Irene menggelengkan kepala dengan
Dimas semakin panik. Di hadapannya, Kiara mulai menggeliat tak menentu di atas sofa, napasnya memburu, dan keringat dingin membasahi wajahnya. Kiara tampak menahan sesuatu yang tak dapat dijelaskan, matanya sesekali terpejam erat, dan bibirnya melenguh kecil, seolah berjuang melawan dorongan dari dalam tubuhnya.“Nona Kiara, kau baik-baik saja?” Dimas bertanya, suaranya gemetar dengan nada cemas. Ia merunduk, mencoba membantu Kiara yang tampak kehilangan kendali atas tubuhnya.Namun, Kiara tak dapat memberikan jawaban yang jelas. Tubuhnya terasa panas, pikirannya mulai mengabur. Ia tahu ada yang tidak beres, tetapi tak bisa memahami apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba, ia merasa hasrat yang kuat merambati seluruh tubuhnya, dan itu membuatnya semakin tak nyaman. Rasa aneh yang tadi samar, kini berubah menjadi dorongan yang tak tertahankan.Sementara itu, di dapur dan area pelayanan, para pelayan yang mengetahui bahwa minuman Kiara telah dicampur vitamin penambah gairah semakin ketakutan
Dalvin menatap Kiara dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Sikap istrinya berubah begitu drastis—dorongan hasrat yang menguasai Kiara tak seperti biasanya. Ia tahu ada yang tidak beres, tapi rasa kasih sayangnya pada Kiara membuatnya ragu untuk menolak. Dalam hatinya, Dalvin hanya ingin menyembuhkan istrinya dari rasa gelisah yang tampak menguasai tubuh dan pikirannya."Mas Dalvin... kumohon," desis Kiara, suaranya serak penuh hasrat yang tak terkendali. "Main yuk Mas?"Kiara mendekatkan diri ke Dalvin, menarik tubuh suaminya lebih erat dalam pelukannya, matanya penuh dengan gairah yang membara.Dalvin menarik napas dalam. Mungkin, pikirnya, memenuhi keinginan Kiara adalah satu-satunya cara untuk membuatnya merasa lebih baik. Meskipun tubuhnya sudah mulai lelah, ia tak bisa menolak Kiara yang begitu memohon. Dalvin akhirnya menyerah, menuntaskan keinginan istrinya yang menggelora, berpikir mungkin dengan cara itu, Kiara akan merasa lebih tenang.Namun, seiring berjalannya waktu,
Dimas menatap tajam pada wanita pelayan di depannya, tangan kanannya mencengkeram lengan wanita itu dengan kuat. Ia bisa merasakan ketegangan di sekujur tubuh pelayan tersebut, namun wanita itu tetap bungkam. Dimas menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Segala sesuatu mulai masuk akal—Kiara yang tiba-tiba menunjukkan perilaku tak terkendali, obat yang dicampurkan dalam minuman, dan sekarang pelayan yang jelas-jelas tahu lebih banyak dari apa yang ia sampaikan. “Siapa yang memerintahmu?” desak Dimas, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Jangan berbohong, atau aku akan memastikan kau ditangkap dan diadili.” imbuhnya. Pelayan itu tetap terdiam, kepalanya tertunduk, dan tubuhnya sedikit gemetar. Ia tahu apa yang sedang terjadi, dan ia takut, sangat takut. Namun, ketakutan pada seseorang di balik layar, seseorang yang lebih berbahaya daripada ancaman Dimas, membuatnya tetap bungkam. “Bicaralah sekarang, atau aku akan menyeretmu ke kantor polisi,” ancam Dimas, kali ini dengan nada
Suasana di rumah dinas gubernur terasa tegang sejak kejadian semalam. Kiara terbaring lemas di kamar tidurnya, tubuhnya tampak lebih rapuh dari biasanya. Wajahnya pucat, napasnya sedikit terengah, dan matanya yang biasanya bersinar kini redup. Dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa efek obat perangsang yang diberikan kepadanya memang berbahaya, terutama dalam kondisinya yang sedang hamil.Dalvin duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Kiara dengan penuh penyesalan. Ia tak pernah membayangkan bahwa intrik yang dibuat oleh Irene akan sampai sejauh ini. Pikirannya terus berputar, merencanakan langkah-langkah selanjutnya untuk mengamankan istrinya dari ancaman yang lebih besar. Namun, di tengah kegelisahannya, suara langkah kaki yang cepat terdengar di lorong.Pintu kamar Kiara terbuka lebar, menampakkan sosok Cecilia, keponakan Dalvin sekaligus sahabat terdekat Kiara. Cecilia tampak marah. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, dan sorot matanya penuh dengan amarah
Irene terbaring di ranjang rumah sakit dengan kondisi lemah. Infus tergantung di sebelahnya, perlahan meneteskan cairan yang seharusnya membantu memulihkan kekuatannya. Namun, hatinya masih dipenuhi amarah dan kecewa karena rencananya untuk menghancurkan Kiara gagal total. Dalvin telah mengetahui ulahnya, dan kini ia terisolasi. Tidak ada yang memihaknya, dan kondisinya terus memburuk karena tekanan emosional.Kondisi Irene memang lemah. Akan tetapi ia memaksakan diri agar mendapatkan apa yang diinginkannya. Bukan Irene namanya jika ia tidak bisa melakukan apapun yang diinginkannya.Pintu kamar Irene tiba-tiba terbuka dengan kasar, membuat suara dentingan yang nyaring. Irene menoleh dengan lemah, hanya untuk melihat sosok Cecilia memasuki ruangan dengan langkah cepat dan sorot mata penuh kebencian.Cecilia, meskipun baru berusia 22 tahun, memiliki kepercayaan diri dan kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Dengan latar belakang keluarganya yang terpandang dan kekuasaan orangtuanya yang
Suasana pagi di kediaman dinas gubernur terasa lebih sunyi dari biasanya. Dalvin harus berangkat ke Palembang untuk menghadiri pertemuan para pejabat. Meski biasanya Kiara selalu mendampingi suaminya dalam acara-acara resmi, kali ini kondisi kehamilannya yang semakin membesar membuatnya tidak memungkinkan untuk bepergian jauh. Tubuhnya masih sering terasa lemah, dan Dalvin tahu betul bahwa perjalanan ini terlalu berat untuk Kiara.Di ruang tamu, Dalvin mengenakan jas resmi, bersiap untuk pergi. Kiara duduk di sofa dengan wajah pucat, tangannya menggenggam erat cangkir teh yang sudah dingin. Matanya tampak cemas, mengikuti setiap gerak-gerik suaminya. Dalvin menghampirinya, menunduk untuk mencium keningnya dengan lembut.“Kau yakin baik-baik saja di sini, Kiara?” Dalvin bertanya lembut, meski ada nada khawatir dalam suaranya.Kiara mengangguk pelan, meski tatapannya menghindari mata suaminya. “Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Ini bukan pertama kalinya aku tinggal di sini sendirian
Ruangan rumah sakit penuh dengan kesibukan. Dokter dan perawat berseliweran, membawa berbagai peralatan menuju ruang operasi. Di tengah suasana panik itu, Dimas berdiri di lorong dengan wajah tegang. Sementara itu, Dalvin berdiri tidak jauh darinya, rahangnya mengeras dan matanya tak pernah lepas dari Dimas.Dalvin bisa melihat cinta di mata Dimas. Tatapan mata yang belum pernah Dalvin lihat sepanjang hidupnya bersama Dimas. Karena itulah batin Dalvin berteriak, ia tidak mau melihat Dimas seperti itu.Dokter keluar dari ruang persalinan dengan langkah cepat, menghampiri mereka berdua. "Kami akan segera melakukan operasi caesar. Detak jantung bayi melemah, dan kami harus bertindak cepat," jelas dokter dengan nada serius."Dokter, tolong selamatkan mereka," ujar Dalvin tanpa ragu.Dimas mengangguk tegas. "Lakukan apa pun yang diperlukan. Jangan biarkan istriku atau bayinya terluka."Tatapan Dalvin berpindah ke Dimas, penuh kemarahan. Kata-kata dokter seolah tak terdengar, tenggelam ole
Di ruang kerjanya yang megah, Dalvin duduk termenung. Di hadapannya, segelas kopi yang sejak tadi tak tersentuh mulai mendingin. Sebuah laporan tebal tergeletak di atas meja, tak menarik perhatian Dalvin sama sekali. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Kiara.Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, wajahnya tegas tapi penuh keraguan. Beliau adalah ajudan sekaligus Sekretaris yang kini menggantikan Dimas. Dalvin memutar bola mata, menatap pria itu saksama."Tuan Dalvin, laporan terakhir dari tim kami. Nona Kiara sudah dibawa ke rumah sakit di Amsterdam. Dari informasi yang kami dapat, kemungkinan besar beliau akan melahirkan dalam waktu dekat."Dalvin mengangkat wajahnya, tatapannya tajam. "Amsterdam? Jadi mereka benar-benar pergi sejauh itu..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Benar, Tuan. Tim kami memastikan Dimas masih mendampingi Nona Kiara. Mereka terlihat cukup hati-hati, tapi kami berhasil mengawasi pergerakan mereka," pria itu melanjutkan.Dalvin menghela napas
Kiara terkulai lemah di atas ranjang hotel, matanya setengah terpejam karena kelelahan. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa gelisah dengan kontraksi-kontraksi palsu yang datang silih berganti. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya menggigil dan perutnya terasa kencang. Meski begitu, ia tahu itu bukan tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman itu cukup membuatnya kelelahan."Aduh... Dimas..." Kiara mengeluh, memegangi perutnya yang semakin membesar.Kiara merasa sesak, dan kali ini rasa sakit itu seakan lebih kuat dari sebelumnya.Dimas yang berada di sampingnya, segera duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Kiara dengan lembut. Sejak hari-hari terakhir di Amsterdam, ia tak bisa lagi menahan kekhawatiran melihat Kiara yang semakin menderita. Apalagi kalimat Dalvin, semua itu akan menjadi sebuah ancaman bagi Dimas dan Kiara ke depannya."Ada apa, sayang? Apakah rasa sakit itu semakin menjadi?" Dimas bertanya khawatir, matanya memandan
Dalvin duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan file penting yang menanti untuk ditandatangani. Namun, hari itu pikirannya teralihkan oleh laporan yang baru saja ia terima. Di meja kerjanya, ponsel bergetar, menandakan panggilan masuk. Dalvin mengangkat telepon dengan wajah serius."Tuan Dalvin, saya punya kabar penting," suara suruhan Dalvin terdengar dari ujung telepon. "Kami telah melacak keberadaan Kiara dan Dimas. Mereka berada di Amsterdam."Dalvin terdiam sejenak, terkejut mendengar berita itu. Jantungnya berdebar kencang, dan seketika rasa cemas menyelubunginya. Amsterdam? Kiara dan Dimas? Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa mereka akan pergi sejauh itu."Amsterdam?" Dalvin bertanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. "Apa mereka melakukan perjalanan bersama? Ah ya tentu saja, maksudku apa mereka tinggal bersama?""Ya, Tuan," jawab suruhannya dengan nada hati-hati. "Mereka pergi bersama, dan yang lebih mengejutkan, mereka sudah
Kiara duduk di sofa ruang keluarga dengan tangan memegangi perutnya yang semakin membesar. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia sering mengeluh mulas belakangan ini, dan rasa itu kian hari semakin intens. Dimas yang duduk di sampingnya tampak gelisah, mengawasi Kiara dengan tatapan cemas.“Kiara, kita harus pergi ke dokter sekarang,” desak Dimas, suaranya tegas namun penuh perhatian. "Ini dekat dengan HPL bukan?"“Tapi aku takut, Dimas,” jawab Kiara lirih. “Aku dengar prosedur pemeriksaan untuk pembukaan itu menyakitkan. Aku tidak tahu seperti apa, tapi katanya akan sakit.”Dimas menggenggam tangan Kiara dengan lembut. “Aku ada di sini. Apa pun yang terjadi, aku akan menemanimu. Ini demi kesehatanmu dan bayi yang kamu kandung. Jika nanti sakit, kamu boleh meremas tanganku dengan keras."Kiara menatap mata Dimas yang penuh keyakinan. Akhirnya, ia mengangguk meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Dengan sigap, Dimas membantu Kiara berdiri dan mengenakan mantel. Mer
Pagi itu, Dimas sedang sibuk di dapur. Ia mengaduk adonan pancake dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah Kiara yang duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu tampak sibuk membaca buku tentang persiapan melahirkan, sesekali mengusap perutnya yang semakin besar. Dokter mengatakan bila menunggu dua minggu kedepan untuk melahirkan.“Kiara,” panggil Dimas dari dapur. “Kamu mau tambahan cokelat atau sirup maple di pancake-nya? Atau mau ditambahi ciuman dari aku?” imbuhnya.Kiara menoleh dan tersenyum kecil. Ia gemas pada Dimas yang sudah mulai gombal terhadapnya.“Sirup maple saja. Aku sedang mengurangi yang manis-manis. Kata Dokter berat badanku cepat naik, aku harus menjaganya supaya tidak sulit melahirkan."Dimas mengangguk, menuangkan adonan ke penggorengan. Suara desis adonan bertemu dengan wajan panas memenuhi ruangan, menciptakan aroma manis yang membuat suasana pagi terasa hangat.Namun, di tengah kehangatan itu, ponsel Dimas yang tergeletak di meja makan bergetar. Nama yang tert
Kiara terbangun di pagi itu dengan rasa sakit yang semakin mengganggu di dadanya. Beberapa kali ia terbangun dan meraba dadanya yang terasa sangat penuh dan membengkak. Setiap gerakan terasa begitu nyeri, dan meskipun ia mencoba untuk tidur, rasa sakit itu tak kunjung mereda."Ahh..." Kiara mengeluh pelan, meremas bantal yang ada di sampingnya. Ia tak bisa menahan rasa tidak nyaman itu lebih lama. Tak ada yang bisa membantunya kecuali Dimas, yang tidur dengan tenang di sebelahnya.Dimas yang terbangun mendengar suara desahan Kiara segera menoleh. "Kiara? Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. Matanya masih setengah terpejam, namun ia bisa melihat ekspresi kesakitan di wajah Kiara.Kiara menatap Dimas dengan tatapan penuh harap. "Dimas, dadaku... Sakit sekali," kata Kiara dengan nada lemah. "Aku merasa seperti hampir meledak, ini lebih sakit dari kemarin saat kamu memompanya. Keringatku juga dingin."Dimas menggaruk tengkuknya, sedikit bingung. Ia tidak tahu bagaimana har
Cecilia melangkah keluar dari bandara dengan perasaan campur aduk. Di tangannya, ia menggenggam tiket pesawat yang baru saja ia gunakan untuk kembali ke Indonesia. Hatinya penuh dengan kecemasan dan tekad. Ia tahu, apa yang akan ia lakukan hari ini akan mengubah banyak hal, terutama bagi keluarga Kiara.Keluarga Kiara harus tahu bila putrinya hidup. Hanya itu yang ada di benak Cecilia.Perjalanan ke rumah keluarga Kiara terasa lebih panjang dari biasanya. Ia memandangi jalanan yang penuh kenangan, mengingat bagaimana dulu ia dan Kiara sering melewati jalan ini bersama. Kini, Kiara berada ribuan kilometer jauhnya, berjuang untuk hidup dan bayinya, sementara orangtuanya di sini tidak tahu apa-apa.Ketika mobil berhenti di depan rumah besar dengan taman rapi, Cecilia menarik napas dalam-dalam. Ia turun dari mobil dan melangkah ke pintu depan. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu, seolah ia membawa beban yang terlalu berat untuk disampaikan. Semua salahnya, ia yang telah membawa Kiara da
Di sebuah ruangan besar dengan pencahayaan redup, Irene duduk di kursi roda mewahnya. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kebencian yang dalam. Wanita itu belum puas dengan apa yang terjadi di hidupnya. Ia ingin siapapun yang ia benci, hancur lebur tak bersisa.Di hadapannya berdiri lima orang pria berpenampilan garang, berpakaian serba hitam, dengan wajah tanpa belas kasihan.Irene memutar cangkir teh di tangannya, aroma melati memenuhi udara. Ia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara dengan suara rendah namun penuh wibawa.“Kalian tahu kenapa kalian ada di sini?” tanya Irene, suaranya nyaris seperti bisikan namun cukup untuk membuat semua pria itu tegang.Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya, maju selangkah. “Kami akan mendengar perintah Anda, Nyonya. Kami siap menjalankan apa pun yang Anda inginkan.” ujar pria itu dengan tatapan tajam.Irene tersenyum tipis, namun senyumnya dingin seperti es. Wani