Kiara tidak bisa mengingat bagaimana caranya ia sampai kembali ke rumah. Kepalanya penuh dengan suara Irene, ancaman yang berputar-putar seperti badai di dalam pikirannya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya tidak pernah seaktif ini. Bayi di dalam perutnya, Dalvin, Irene, media sosial, masyarakat—semuanya berputar menjadi satu, menghimpitnya dari segala arah.Setelah memasuki rumah, Kiara langsung menuju dapur dan membuka kulkas. Ia merasa pusing dan membutuhkan segelas air. Tangannya gemetar saat meraih gelas, airnya tumpah sedikit, tetapi ia tidak peduli. Ia minum dengan cepat, berharap rasa dingin bisa menenangkan jantungnya yang terus berdegup kencang.Saat ia meletakkan gelas di meja, sebuah getaran kecil datang dari ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kiara menatap layar ponsel itu dengan enggan, seolah-olah benda itu akan menyampaikan kabar buruk lainnya.Pesan baru muncul di layar: “Sudah dipikirkan baik-baik? Waktu terus berjalan.”Pengirimnya tak lain adalah Irene. Jantung K
Di dalam ruang tamu megah yang penuh dengan hiasan bunga segar, Kiara duduk lemas di atas sofa berwarna krem. Wajahnya yang pucat kontras dengan gaun satin biru yang ia kenakan. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menghadap taman luas. Di luar, mentari sore yang seharusnya hangat tak bisa mengusir dinginnya perasaan di hatinya. Setiap helaan napasnya berat, dipenuhi oleh rasa khawatir yang tak kunjung hilang.Sejak pagi tadi, ancaman Irene telah menghantui benaknya. Perempuan itu, dengan segala kekuasaannya, membuat Kiara merasa tak berdaya. Sebagai istri gubernur, seharusnya ia memiliki kedudukan yang kuat, tapi kenyataannya, ia tak memiliki kekuatan apapun untuk melawan. Bahkan, kehadirannya sebagai istri gubernur tak lebih dari sekadar simbol; dia merasa kosong, tak punya kekuasaan maupun pengaruh untuk mempertahankan dirinya sendiri. Setiap detik yang berlalu membuat Kiara semakin tenggelam dalam kegelisahan.Dimas, sekretaris pribadi sang gubernur yang sekarang menj
Pagi itu, udara terasa segar dengan hembusan angin sejuk yang menembus sela-sela daun pohon di halaman rumah dinas gubernur. Di ruang makan, Dalvin tengah duduk di meja, menyeruput kopi hitam sambil menatap Kiara yang duduk di depannya. Wajah Kiara tampak pucat, mungkin karena kehamilannya yang mulai memasuki trimester pertama. Waktu yang seharusnya menjadi momen bahagia itu ternyata diwarnai dengan rasa cemas yang tak kunjung hilang dari wajah Kiara."Sayang, aku harus dinas ke luar kota hari ini," ujar Dalvin tiba-tiba, mengakhiri keheningan pagi. Ia meletakkan cangkir kopinya dengan pelan, lalu menatap Kiara penuh perhatian.Kiara mengangguk lemah. “Aku tahu. Apa Mas yakin harus pergi sekarang? Keadaanku—”Dalvin memotong, suaranya terdengar tegas namun lembut. “Ini penting. Ada rapat dengan para pejabat di provinsi tetangga yang tidak bisa ditunda. Tapi, aku tidak ingin meninggalkanmu sendiri, terutama dengan kehamilanmu yang semakin berat. Karena itu, aku sudah minta Dimas untuk
Matahari tengah hari terasa hangat ketika Dimas dan Kiara berjalan keluar dari klinik. Setelah pemeriksaan tadi, Dimas merasa bahwa Kiara butuh sedikit hiburan, terlebih setelah semua kecemasan dan beban yang dirasakan selama ini. Ia ingin membuat suasana lebih santai, meski hanya sejenak, agar Kiara bisa sedikit melupakan tekanan yang selalu mengikutinya.“Kiara, bagaimana kalau kita makan siang dulu sebelum pulang?” tanya Dimas, mencoba mengusulkan ide spontan.Kiara, yang sejak tadi terlihat sedikit lelah namun masih tersenyum, melirik Dimas. “Makan siang? Kau yakin?”“Ya, aku pikir kamu akan senang makan bersamaku. Lagi pula, setelah kunjungan ke dokter, pasti kau butuh energi lebih. Aku tahu tempat yang tenang dan tidak terlalu ramai.”Kiara berpikir sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Baiklah, kenapa tidak? Mungkin memang aku butuh sedikit bersantai.”Dimas tersenyum lega, lalu mengarahkan mobil menuju sebuah restoran kecil yang tersembunyi di sudut kota. Tempat itu dikenal tid
Di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh sinar redup dari jendela kecil, Irene duduk dengan wajah tegang, tangannya menggenggam erat lengan kursi kulit di bawahnya. Rasa kecewa yang menguasai hatinya tidak bisa lagi disembunyikan. Ia menatap tajam ke arah dua pria di depannya, anak buahnya yang baru saja kembali dari tugas mereka.“Kalian mengecewakanku, bajingan ini.” suara Irene terdengar dingin, hampir tanpa emosi, namun sarat dengan kekecewaan yang mendalam. “Aku sudah mempercayakan tugas penting ini kepada kalian, tapi apa yang kalian bawa pulang? Hanya foto-foto tak berguna!” bentak Irene.Salah satu pria itu, seorang yang bertubuh besar dengan tatapan canggung, mencoba berbicara untuk menjelaskan keadaan.“Maaf, Bu Irene, kami hampir berhasil. Kami sudah mengambil beberapa foto, tapi sekretaris itu—Dimas—menyadari keberadaan kami dan mengusir kami sebelum kami bisa mendapatkan lebih banyak bukti.” terang Pria itu.Irene menghela napas panjang, menutup matanya sejenak u
Pagi itu, rumah dinas gubernur tampak sepi, namun di balik ketenangan tersebut, ada kesibukan yang tak terlihat. Irene, dalam rencananya yang semakin matang, telah mengirim seseorang untuk memata-matai Kiara dan Dimas. Orang itu adalah Budi, seorang petugas kebersihan yang baru direkrut atas rekomendasi seorang kenalan Irene. Dengan penampilannya yang tak mencolok, Budi adalah sosok sempurna untuk menjalankan tugas tersembunyi di bawah radar siapa pun di rumah dinas.Sementara itu, Dalvin, seperti biasa, sibuk dengan tugas-tugasnya sebagai gubernur. Ia lebih sering berada di luar, blusukan ke kampung-kampung, mendengar langsung aspirasi masyarakat. Keberadaannya di rumah dinas semakin jarang, meninggalkan Kiara dalam kesendirian. Kehamilan Kiara kini sudah memasuki trimester kedua, namun tubuhnya masih belum sepenuhnya terbiasa dengan perubahan-perubahan yang datang. Mual dan muntah yang seharusnya berkurang, justru masih sering menyapanya, terutama di pagi hari.Dimas, sang sekretar
Di sebuah ruangan yang redup, Irene duduk di kursi kulitnya, menatap layar ponsel dengan ekspresi puas. Ia baru saja memberikan instruksi terakhir kepada salah satu orang kepercayaannya di kediaman gubernur. Rencananya kini semakin mendekati tahap akhir. Irene tahu bahwa memanfaatkan kelemahan Kiara adalah cara paling efektif untuk menyingkirkan wanita itu dari hidup Dalvin. Kali ini, ia akan mengambil langkah lebih jauh—lebih berani, dan lebih berbahaya.“Kalian takut apa?” Irene berkata sinis saat mendengar beberapa orang protes atas rencananya. Mereka merasa cemas karena Kiara sedang hamil, dan takut jika substansi yang diselundupkan ke dalam minuman Kiara akan berbahaya bagi bayi yang dikandungnya.“Bu, Kiara sedang hamil. Jika sesuatu terjadi, kita bisa dituduh meracuni dia. Bagaimana kalau ada efek samping yang buruk?” Salah satu pelayan yang ditugaskan oleh Irene berbicara dengan penuh kekhawatiran, meskipun suaranya dijaga agar tetap rendah.Irene menggelengkan kepala dengan
Dimas semakin panik. Di hadapannya, Kiara mulai menggeliat tak menentu di atas sofa, napasnya memburu, dan keringat dingin membasahi wajahnya. Kiara tampak menahan sesuatu yang tak dapat dijelaskan, matanya sesekali terpejam erat, dan bibirnya melenguh kecil, seolah berjuang melawan dorongan dari dalam tubuhnya.“Nona Kiara, kau baik-baik saja?” Dimas bertanya, suaranya gemetar dengan nada cemas. Ia merunduk, mencoba membantu Kiara yang tampak kehilangan kendali atas tubuhnya.Namun, Kiara tak dapat memberikan jawaban yang jelas. Tubuhnya terasa panas, pikirannya mulai mengabur. Ia tahu ada yang tidak beres, tetapi tak bisa memahami apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba, ia merasa hasrat yang kuat merambati seluruh tubuhnya, dan itu membuatnya semakin tak nyaman. Rasa aneh yang tadi samar, kini berubah menjadi dorongan yang tak tertahankan.Sementara itu, di dapur dan area pelayanan, para pelayan yang mengetahui bahwa minuman Kiara telah dicampur vitamin penambah gairah semakin ketakutan