Matahari tengah hari terasa hangat ketika Dimas dan Kiara berjalan keluar dari klinik. Setelah pemeriksaan tadi, Dimas merasa bahwa Kiara butuh sedikit hiburan, terlebih setelah semua kecemasan dan beban yang dirasakan selama ini. Ia ingin membuat suasana lebih santai, meski hanya sejenak, agar Kiara bisa sedikit melupakan tekanan yang selalu mengikutinya.“Kiara, bagaimana kalau kita makan siang dulu sebelum pulang?” tanya Dimas, mencoba mengusulkan ide spontan.Kiara, yang sejak tadi terlihat sedikit lelah namun masih tersenyum, melirik Dimas. “Makan siang? Kau yakin?”“Ya, aku pikir kamu akan senang makan bersamaku. Lagi pula, setelah kunjungan ke dokter, pasti kau butuh energi lebih. Aku tahu tempat yang tenang dan tidak terlalu ramai.”Kiara berpikir sejenak, kemudian tersenyum tipis. “Baiklah, kenapa tidak? Mungkin memang aku butuh sedikit bersantai.”Dimas tersenyum lega, lalu mengarahkan mobil menuju sebuah restoran kecil yang tersembunyi di sudut kota. Tempat itu dikenal tid
Di sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh sinar redup dari jendela kecil, Irene duduk dengan wajah tegang, tangannya menggenggam erat lengan kursi kulit di bawahnya. Rasa kecewa yang menguasai hatinya tidak bisa lagi disembunyikan. Ia menatap tajam ke arah dua pria di depannya, anak buahnya yang baru saja kembali dari tugas mereka.“Kalian mengecewakanku, bajingan ini.” suara Irene terdengar dingin, hampir tanpa emosi, namun sarat dengan kekecewaan yang mendalam. “Aku sudah mempercayakan tugas penting ini kepada kalian, tapi apa yang kalian bawa pulang? Hanya foto-foto tak berguna!” bentak Irene.Salah satu pria itu, seorang yang bertubuh besar dengan tatapan canggung, mencoba berbicara untuk menjelaskan keadaan.“Maaf, Bu Irene, kami hampir berhasil. Kami sudah mengambil beberapa foto, tapi sekretaris itu—Dimas—menyadari keberadaan kami dan mengusir kami sebelum kami bisa mendapatkan lebih banyak bukti.” terang Pria itu.Irene menghela napas panjang, menutup matanya sejenak u
Pagi itu, rumah dinas gubernur tampak sepi, namun di balik ketenangan tersebut, ada kesibukan yang tak terlihat. Irene, dalam rencananya yang semakin matang, telah mengirim seseorang untuk memata-matai Kiara dan Dimas. Orang itu adalah Budi, seorang petugas kebersihan yang baru direkrut atas rekomendasi seorang kenalan Irene. Dengan penampilannya yang tak mencolok, Budi adalah sosok sempurna untuk menjalankan tugas tersembunyi di bawah radar siapa pun di rumah dinas.Sementara itu, Dalvin, seperti biasa, sibuk dengan tugas-tugasnya sebagai gubernur. Ia lebih sering berada di luar, blusukan ke kampung-kampung, mendengar langsung aspirasi masyarakat. Keberadaannya di rumah dinas semakin jarang, meninggalkan Kiara dalam kesendirian. Kehamilan Kiara kini sudah memasuki trimester kedua, namun tubuhnya masih belum sepenuhnya terbiasa dengan perubahan-perubahan yang datang. Mual dan muntah yang seharusnya berkurang, justru masih sering menyapanya, terutama di pagi hari.Dimas, sang sekretar
Di sebuah ruangan yang redup, Irene duduk di kursi kulitnya, menatap layar ponsel dengan ekspresi puas. Ia baru saja memberikan instruksi terakhir kepada salah satu orang kepercayaannya di kediaman gubernur. Rencananya kini semakin mendekati tahap akhir. Irene tahu bahwa memanfaatkan kelemahan Kiara adalah cara paling efektif untuk menyingkirkan wanita itu dari hidup Dalvin. Kali ini, ia akan mengambil langkah lebih jauh—lebih berani, dan lebih berbahaya.“Kalian takut apa?” Irene berkata sinis saat mendengar beberapa orang protes atas rencananya. Mereka merasa cemas karena Kiara sedang hamil, dan takut jika substansi yang diselundupkan ke dalam minuman Kiara akan berbahaya bagi bayi yang dikandungnya.“Bu, Kiara sedang hamil. Jika sesuatu terjadi, kita bisa dituduh meracuni dia. Bagaimana kalau ada efek samping yang buruk?” Salah satu pelayan yang ditugaskan oleh Irene berbicara dengan penuh kekhawatiran, meskipun suaranya dijaga agar tetap rendah.Irene menggelengkan kepala dengan
Dimas semakin panik. Di hadapannya, Kiara mulai menggeliat tak menentu di atas sofa, napasnya memburu, dan keringat dingin membasahi wajahnya. Kiara tampak menahan sesuatu yang tak dapat dijelaskan, matanya sesekali terpejam erat, dan bibirnya melenguh kecil, seolah berjuang melawan dorongan dari dalam tubuhnya.“Nona Kiara, kau baik-baik saja?” Dimas bertanya, suaranya gemetar dengan nada cemas. Ia merunduk, mencoba membantu Kiara yang tampak kehilangan kendali atas tubuhnya.Namun, Kiara tak dapat memberikan jawaban yang jelas. Tubuhnya terasa panas, pikirannya mulai mengabur. Ia tahu ada yang tidak beres, tetapi tak bisa memahami apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba, ia merasa hasrat yang kuat merambati seluruh tubuhnya, dan itu membuatnya semakin tak nyaman. Rasa aneh yang tadi samar, kini berubah menjadi dorongan yang tak tertahankan.Sementara itu, di dapur dan area pelayanan, para pelayan yang mengetahui bahwa minuman Kiara telah dicampur vitamin penambah gairah semakin ketakutan
Dalvin menatap Kiara dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Sikap istrinya berubah begitu drastis—dorongan hasrat yang menguasai Kiara tak seperti biasanya. Ia tahu ada yang tidak beres, tapi rasa kasih sayangnya pada Kiara membuatnya ragu untuk menolak. Dalam hatinya, Dalvin hanya ingin menyembuhkan istrinya dari rasa gelisah yang tampak menguasai tubuh dan pikirannya."Mas Dalvin... kumohon," desis Kiara, suaranya serak penuh hasrat yang tak terkendali. "Main yuk Mas?"Kiara mendekatkan diri ke Dalvin, menarik tubuh suaminya lebih erat dalam pelukannya, matanya penuh dengan gairah yang membara.Dalvin menarik napas dalam. Mungkin, pikirnya, memenuhi keinginan Kiara adalah satu-satunya cara untuk membuatnya merasa lebih baik. Meskipun tubuhnya sudah mulai lelah, ia tak bisa menolak Kiara yang begitu memohon. Dalvin akhirnya menyerah, menuntaskan keinginan istrinya yang menggelora, berpikir mungkin dengan cara itu, Kiara akan merasa lebih tenang.Namun, seiring berjalannya waktu,
Kiara Parvati berdiri di sudut ruang tamu yang sempit dan gelap. Cahaya matahari hanya mampu menembus jendela kecil yang kotor, membuat ruangan ini terlihat semakin suram. Setiap sudutnya terasa berat dengan bau debu dan kerusakan yang semakin merayap ke seluruh bagian rumah.Kiara menghela napas, menatap ayahnya yang terbaring di ranjang dengan mata yang lelah dan wajah yang pucat. Sudah hampir satu tahun sang Ayah berjuang melawan sakit ginjal hingga tidak mampu berbuat apa-apa."Kiara, kamu sudah pulang?" tanya ayahnya dengan suara yang hampir tak terdengar.Kiara menatap wajah tua itu dengan penuh rasa sakit dan kekhawatiran. Ada sesuatu yang membuatnya sakit, akan tetapi tidak dapat diungkapkannya."Iya, Pa. Aku baru saja pulang dari kantor," jawabnya, meski hati Kiara tertekan dengan kenyataan bahwa hari itu adalah hari terakhirnya di tempat kerja.Sebagai seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun, Kiara merasa hidupnya seperti sebuah lingkaran setan. Ekonomi keluarga mere
### Chapter 2: Pilihan Berat dan Langkah BaruKiara berdiri di ambang pintu kamar ibunya, sebuah ruangan kecil yang tampak semakin suram dengan setiap hari yang berlalu. Ibunya, Rina, duduk di tepi ranjang, wajahnya tampak lelah dan penuh beban. Kiara merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan berita yang sulit ini."Ma," Kiara memulai dengan suara lembut. "Aku harus berbicara denganmu tentang sesuatu yang sangat penting."Rina menoleh. Matanya yang letih menatap putrinya dengan penuh rasa ingin tahu, Kiara hanya bisa menelan saliva dan mengumpulkan segenap kekuatannya untuk berbicara."Ada apa, Kiara? Kamu terlihat sangat serius."Kiara menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. Ia menggigit bibir hingga akhirnya siap mengutarakan maksud dan tujuannya."Aku baru saja bertemu dengan seorang penguasa bernama Dalvin Pramoedya. Dia menawarkan sesuatu yang bisa membantu kita keluar dari masalah keuangan yang sangat mendesak ini."Rina men