Malam itu terasa panjang bagi Kiara. Setelah makan malam, suasana di rumah semakin tegang. Dalvin kembali ke mejanya, tenggelam dalam berkas-berkas dan panggilan telepon, sementara Dimas duduk di sebelahnya, memperhatikan Kiara yang tampak murung. Kiara berusaha menyibukkan diri, tetapi pikirannya terus melayang pada kemungkinan yang akan datang—tentang bayi yang akan lahir, tentang Irene, dan tentang Dimas.Setelah beberapa saat terjebak dalam pikiran, Kiara memutuskan untuk keluar ke teras. Ia membutuhkan udara segar, sebuah pelarian dari segala pikiran yang membebani. Dimas mengikutinya, merasa khawatir melihat ekspresi Kiara yang lelah.“Kiara, kau tidak baik-baik saja?” tanya Dimas dengan lembut.Kiara menarik napas dalam-dalam, menatap langit malam yang berbintang. “Entahlah, Dimas. Segalanya terasa begitu rumit. Bagaimana bisa satu keputusan bisa mengubah segalanya?”Dimas berdiri di sampingnya, merasakan ketidakpastian yang mengganggu Kiara. Gadis itu terjebak dalam posisinya
Irene duduk di hadapan Kiara dengan tubuh yang sedikit gemetar. Wajahnya pucat, hampir seperti tidak berdarah. Mata cokelatnya yang biasanya tajam kini kehilangan sinarnya, menyiratkan kelelahan yang mendalam. Kiara, yang baru saja duduk di sofa ruang tamu, bisa merasakan getaran kegelisahan dari wanita di depannya.Mau bagaimanapun Irene berteriak tempo hari, itu tidak bisa menutupi keadaannya yang tengah sakit keras.“Kiara,” suara Irene terdengar lirih, hampir tak terdengar. “Aku tidak bisa lama-lama bicara, jadi aku akan ke intinya saja."Kiara menatap Irene lekat-lekat. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Irene, yang biasanya penuh dengan kebencian dan kemarahan, terlihat rapuh, seperti bayangan dari dirinya yang dulu. Sementara itu, Kiara hanya bisa merasakan kegelisahan yang tak terucap. Ia tahu kedatangannya kali ini bukan tanpa alasan.“Baiklah Nyonya, silakan bicara saja,” ujar Kiara hati-hati.Irene menarik napas panjang, tampak seolah-olah ia sedang mengumpulkan tenaga untu
Hari pelantikan Dalvin sebagai Gubernur semakin dekat. Di kediaman mereka, suasana tegang menyelimuti setiap sudut ruangan. Kiara duduk di sofa, menatap jendela dengan pikiran yang berkecamuk. Seharusnya hari ini menjadi momen bahagia, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Ia tahu bahwa pelantikan ini tidak hanya berarti perubahan bagi Dalvin, tetapi juga bagi dirinya dan Irene.Sementara itu, Dalvin berdiri di dekat meja, mengatur dokumen-dokumen penting yang harus dibawanya ke acara pelantikan. Sesekali, matanya melirik Kiara, yang tampak terbenam dalam pikirannya.“Kiara,” panggilnya lembut, “apa kau baik-baik saja?”Kiara mengalihkan pandangannya, berusaha tersenyum. “Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit nervous,” jawabnya, meski hatinya dipenuhi rasa bersalah.“Jangan khawatir, semuanya akan berjalan lancar. Kau akan bersamaku di sana, dan kita akan menjalani ini bersama,” Dalvin mencoba meyakinkan, tetapi Kiara merasakan ketegangan yang tak bisa diabaikan.Ketika
Hari pelantikan Gubernur tiba dengan segala kemegahannya. Ruang aula gedung pemerintahan dihiasi dengan lampu kristal dan karpet merah yang terhampar dari pintu masuk hingga podium utama. Para pejabat penting, pengusaha, dan tokoh masyarakat berkumpul untuk menyaksikan momen bersejarah bagi Dalvin—suami Kiara—yang resmi diangkat sebagai Gubernur. Di balik kemegahan itu, Kiara merasakan kekhawatiran yang sulit ia sembunyikan.Kiara, gadis miskin yang kesulitan ekonomi sekarang menduduki posisi sebagai istri seorang Gubernur dan kehidupannya akan mulai disoroti banyak orang. Benar, seharusnya Irene saja yang di sana. Kiara rasanya belum bisa menerima banyak perubahan drastis itu, ia benar-benar merasa ketakutan."Kiara, semangat. Aku hadir di sini. Jangan khawatir."Cecilia datang karena ia memiliki jabatan dan juga tokoh berpengaruh di daerah. Setidaknya Kiara tidak merasa sendirian, bahkan Dimas juga hadir di sana, setia menemani Dalvin serta Kiara untuk memenuhi kebutuhan suami istri
Kiara masih duduk di kamar hotel mewah yang mereka sewa untuk malam pelantikan itu. Gaunnya telah dilepas, digantung rapi di lemari, tapi jejak-jejak kegelisahan di wajahnya masih terlihat jelas. Dalvin, yang sejak tadi berusaha menenangkannya, kini duduk di sisi ranjang, sibuk dengan ponselnya, membalas pesan-pesan ucapan selamat dari kolega-kolega penting.Kiara memandang ke luar jendela, melihat kota yang terang benderang dengan lampu-lampu jalanan dan gedung pencakar langit. Sementara di dalam dirinya, perasaan kosong terus menghantui. Semua ucapan selamat dan kegembiraan di sekitar Dalvin terasa asing baginya. Suara bising dunia luar yang merayakan pelantikan suaminya tidak mampu menutupi rasa sakit yang ia rasakan dari komentar kebencian yang menyerangnya.Inikah rasanya menjadi pendamping dari pria yang memiliki jabatan? Apakah salah Kiara ingin hidup layak dan menikah dengan Dalvin?“Mas Dalvin…” Kiara memanggil lembut.Dalvin menoleh, alisnya berkerut. “Ya, ada apa, sayang?”
Pagi itu, langit tampak kelabu seiring dengan perasaan Kiara yang tak menentu. Pikirannya masih berkecamuk soal pesan dari Irene semalam. Setelah menimbang-nimbang sepanjang malam, ia memutuskan untuk memenuhi permintaan Irene dan menemui wanita itu di tempat yang disebutkan dalam pesan singkatnya. Namun, keputusan ini tidak datang tanpa beban.Ibu mana yang mau anaknya dibawa oleh orang lain? Irene, wanita itu ular!Dalvin sudah berangkat ke kantor gubernur pagi-pagi sekali, dan Kiara bersyukur untuk itu. Ia tidak yakin bisa menyembunyikan kegelisahannya jika suaminya tetap berada di rumah. Sambil menghela napas, ia meraih mantel panjangnya dan melangkah keluar rumah. Tempat pertemuan yang dimaksud Irene adalah sebuah kafe tua di pinggiran kota, tempat yang tidak mencolok dan jarang dikunjungi orang.Setibanya di sana, Kiara membuka pintu kafe yang berderit dan langsung melihat sosok Irene duduk di kursi roda sudut ruangan, mengenakan gaun hitam sederhana dengan kacamata hitam menutu
Kiara tidak bisa mengingat bagaimana caranya ia sampai kembali ke rumah. Kepalanya penuh dengan suara Irene, ancaman yang berputar-putar seperti badai di dalam pikirannya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya tidak pernah seaktif ini. Bayi di dalam perutnya, Dalvin, Irene, media sosial, masyarakat—semuanya berputar menjadi satu, menghimpitnya dari segala arah.Setelah memasuki rumah, Kiara langsung menuju dapur dan membuka kulkas. Ia merasa pusing dan membutuhkan segelas air. Tangannya gemetar saat meraih gelas, airnya tumpah sedikit, tetapi ia tidak peduli. Ia minum dengan cepat, berharap rasa dingin bisa menenangkan jantungnya yang terus berdegup kencang.Saat ia meletakkan gelas di meja, sebuah getaran kecil datang dari ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kiara menatap layar ponsel itu dengan enggan, seolah-olah benda itu akan menyampaikan kabar buruk lainnya.Pesan baru muncul di layar: “Sudah dipikirkan baik-baik? Waktu terus berjalan.”Pengirimnya tak lain adalah Irene. Jantung K
Di dalam ruang tamu megah yang penuh dengan hiasan bunga segar, Kiara duduk lemas di atas sofa berwarna krem. Wajahnya yang pucat kontras dengan gaun satin biru yang ia kenakan. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar yang menghadap taman luas. Di luar, mentari sore yang seharusnya hangat tak bisa mengusir dinginnya perasaan di hatinya. Setiap helaan napasnya berat, dipenuhi oleh rasa khawatir yang tak kunjung hilang.Sejak pagi tadi, ancaman Irene telah menghantui benaknya. Perempuan itu, dengan segala kekuasaannya, membuat Kiara merasa tak berdaya. Sebagai istri gubernur, seharusnya ia memiliki kedudukan yang kuat, tapi kenyataannya, ia tak memiliki kekuatan apapun untuk melawan. Bahkan, kehadirannya sebagai istri gubernur tak lebih dari sekadar simbol; dia merasa kosong, tak punya kekuasaan maupun pengaruh untuk mempertahankan dirinya sendiri. Setiap detik yang berlalu membuat Kiara semakin tenggelam dalam kegelisahan.Dimas, sekretaris pribadi sang gubernur yang sekarang menj