Pagi itu, udara di rumah Dalvin terasa begitu berat. Sudah seminggu berlalu sejak perhelatan mengenai kedudukan Dalvin di pemerintahan terancam. Irene berusaha mengerahkan diri, relasi dan juga kekuatan untuk mendukung posisi Dalvin. Saat itulah, Kiara mulai mengalah dan tidak menggebu-gebu lagi untuk menjadi pasangan yang diperkenalkan kepada khalayak nantinya. Kiara duduk di sofa, menatap kosong ke arah jendela. Dalam beberapa jam ke depan, Dalvin dan Irene akan terbang ke Singapura untuk kemoterapi. Kiara merasakan kerinduan yang mendalam, meskipun hatinya dipenuhi rasa sakit dan kebingungan. Namun, mau bagaimanapun Dalvin adalah suaminya juga, ia rindu setelah satu minggu diabaikan. Ketika suara langkah kaki terdengar dari arah pintu, Kiara segera mengangkat kepala. Dalvin muncul dengan raut wajah yang serius, mengenakan kemeja formalnya. Ia tampak sangat profesional, tetapi di balik itu semua, Kiara tahu ada beban yang ia tanggung. “Kiara,” Dalvin memanggil lembut, mendekatinya
Setibanya di Bali, Kiara merasakan angin laut yang menerpa wajahnya. Senyum cerah dan keindahan pantai seakan menjadi pelarian dari semua masalah yang menghimpit. Dimas memandangnya dengan senyuman, tampak bersemangat untuk menikmati liburan ini."Jadi, berapa kamar yang ingin kita pesan?" tanya Dimas sambil memeriksa pilihan hotel di ponselnya.Kiara memikirkan sejenak. “Aku pikir, kita hanya butuh satu kamar besar dengan dua ranjang. Bagaimana?”Dimas terkejut. “Satu kamar? Kenapa tidak dua? Kita kan tidak—”“Dimas, ini hanya liburan. Lagipula, aku tidak mau terlalu jauh dari kamu. Satu kamar lebih baik,” Kiara memotong, berharap suasana tetap hangat. "Lebih hemat, biayanya lebih baik kita pakai untuk makan makanan mahal."Dimas mengangguk, meskipun masih merasa sedikit ragu. “Baiklah, satu kamar besar. Tapi kita tetap harus menjaga jarak, ya? Kita kan bukan pasangan.”Kiara tersenyum, mengiyakan. “Iya, aku janji. Kita tidak boleh membuat Dalvin kecewa.”Hari pertama mereka di Bali
Matahari semakin merendah, menembus cakrawala dengan nuansa oranye kemerahan yang membakar langit. Kiara dan Dimas melanjutkan langkah mereka di sepanjang pantai, ombak yang berdebur lembut menghampiri kaki mereka, seolah-olah menenangkan jiwa-jiwa yang gelisah. Meski hatinya masih bergetar oleh pesan misterius yang baru saja diterima, Kiara berusaha menikmati momen ini.Dimas, yang berada di sampingnya, memperhatikan setiap detail perubahan ekspresi Kiara. Kiara pasti resah karena teror terhadapnya.“Kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut, berusaha meredakan resah di hati gadis itu.Kiara mengangguk pelan, meskipun senyumnya tampak dipaksakan. “Aku hanya merasa sedikit cemas, Dimas. Tentang pesan itu… apalagi Dalvin berkata ada sesuatu. Sebenarnya apa yang mereka berdua sembunyikan?”“Lupakan saja untuk saat ini. Mari kita nikmati keindahan ini,” Dimas mengajak, merangkul bahu Kiara dengan lembut. "Biarkan saja mereka meredakan masalah mereka sendiri. Kita jangan terganggu oleh ancaman
Malam di Bali dipenuhi dengan keheningan yang indah. Kiara terbaring di ranjang, memandangi langit-langit kamar yang diterangi cahaya lembut dari lampu tidur. Di sampingnya, Dimas tampak terlelap, tetapi Kiara tidak bisa memejamkan mata. Bayangan ciuman mereka di pantai terus menghantui pikirannya, membuat jantungnya berdebar kencang.Kiara merasa tak nyaman, pikiran dan perasaannya bergejolak. Tanpa dapat menahan diri, ia akhirnya bangkit dari tempat tidurnya, mengendap-endap menuju balkon yang menghadap kolam renang. Suasana malam yang tenang dan angin lembut membuatnya merasa sedikit lebih baik.Dengan langkah pelan, Kiara menatap air kolam yang memantulkan cahaya bulan. Ia berusaha meredakan pikiran yang berkecamuk di kepalanya, tetapi ingatan tentang Dimas tidak bisa diabaikan.“Terlalu banyak yang harus dipikirkan,” gumamnya pada diri sendiri, mengelus rambutnya yang terurai. "Ternyata tidak punya uang bukan satu-satunya masalah pelik."Ia merindukan kedamaian dalam hidupnya, te
Malam semakin larut, dan udara Bali yang hangat berhembus lembut, membawa aroma laut yang menenangkan. Namun, di dalam hati Dimas, ketenangan itu terganggu oleh pesan yang baru saja ia terima dari Dalvin. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi rasa cemas menggelayuti pikirannya.Kiara yang terbaring di sampingnya tampak damai, tanpa tahu apa yang sedang terjadi di luar tidur nyenyaknya. Dimas menghela napas, berusaha mengalihkan perhatian dari ponselnya yang masih bergetar dalam diam. Namun, ia tidak bisa melupakan peringatan yang mungkin saja akan mengubah segalanya.“Dimas?” Suara Kiara memecahkan keheningan, membuat Dimas tersentak. Ia menoleh dan melihat Kiara yang terbangun dengan mata masih setengah terpejam. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat cemas?”Dimas berusaha tersenyum, tetapi tidak bisa sepenuhnya menutupi rasa gelisah di hatinya. “Tidak, hanya... sedikit terganggu. Mungkin aku terlalu banyak berpikir.”Kiara mengangguk, meskipun ia tampak tidak sepenuhnya yakin. “Kalau begi
Suasana di Bandara Ngurah Rai terasa hangat dan penuh kehidupan. Dalvin baru saja mendarat, dan meskipun sinar matahari Bali bersinar cerah, perasaan gelisah menggerogoti hatinya. Ia tahu Kiara dan Dimas sedang berada di sana, menikmati liburan, tetapi bayangan kecemasan tentang hubungan mereka menghantuinya."Kenapa aku harus merasa seperti ini?" gumam Dalvin pada dirinya sendiri sambil melangkah menuju pintu keluar. "Dia istri keduaku, tapi..."Dari kejauhan, ia melihat seorang sopir yang memegang papan nama bertuliskan namanya. Setelah menjabat tangan sopir tersebut, Dalvin segera melesat menuju mobil yang menunggunya. Perasaannya campur aduk antara percaya dan ragu. Apakah Kiara benar-benar setia padanya, ataukah ia mulai terjerat dalam pesona Dimas yang lebih muda?Setelah menempuh perjalanan singkat, Dalvin tiba di hotel tempat Kiara dan Dimas menginap. Ia langsung menghubungi Dimas melalui pesan singkat.“Temui saya di lobi. Penting.”Dimas menerima pesan itu dan segera bergega
Kiara terkejut saat mendengar suara Irene yang menggelegar di luar restoran. Wajahnya menjadi pucat, sementara Dalvin dan Dimas langsung mengalihkan perhatian mereka ke arah wanita yang baru saja datang.“Irene!” seru Dalvin, nada suaranya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Irene, yang duduk di kursi roda, mengarahkan tatapannya yang tajam ke arah Kiara. “Aku tahu ada yang tidak beres dengan kamu,” ucapnya sinis, suaranya bergetar penuh amarah. “Kau berani mengkhianatiku, Kiara?”Kiara merasakan ketegangan di udara, tubuhnya bergetar saat menghadapi tatapan membara Irene. “Nyonya Irene, bukan seperti itu...” Kiara mencoba menjelaskan, tetapi suaranya terhenti saat melihat kemarahan di wajah Irene.“Diam!” Irene teriak, dan semua orang di restoran menoleh ke arah mereka. “Kau tidak pantas mendapatkan kebahagiaan ini! Kau hanya istri kedua yang mencoba merebut semuanya dariku!”Dimas berusaha menenangkan suasana. Orang-orang di sekitar mulai mem
Kiara terkulai di dalam mobil, lelah dan tidak berdaya. Setelah pertengkaran hebat dengan Irene, semangatnya runtuh. Perasaannya campur aduk—antara cinta yang terlarang dan ketakutan akan masa depan. Liburan yang seharusnya menjadi pelarian dari semua masalah, berubah menjadi mimpi buruk. Saat mobil berhenti di depan villa, ia terjatuh, dan semuanya menjadi gelap.“Nona Kiara!” teriak Dimas, langsung mengeluarkan tubuhnya dari mobil dan berlari ke arah Kiara. “Kita butuh bantuan! Cepat!” Dimas berteriak kepada petugas keamanan yang kebetulan ada di dekat situ.Dalvin yang terjebak dalam pikirannya, akhirnya menyadari sesuatu yang sangat penting. Ia langsung menghampiri Kiara yang tergeletak. “Kiara!” suaranya penuh kekhawatiran. Ketika Dimas membantu mengangkat Kiara, Dalvin merasa berat di dadanya. Ketidakberdayaannya menghadapi keadaan ini membuatnya merasa bersalah. Akhirnya beberapa petugas membantu mereka untuk membawa Kiara ke Rumah sakit.Di dalam ruang perawatan, tim medis b
Kiara duduk di tepi tempat tidur, menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Panggilan dari Dalvin baru saja berakhir, menyisakan ruang dalam hati yang terasa kosong. Ia memandang layar ponsel yang kini redup, meresapi setiap kata yang baru saja disampaikan oleh suaminya. Rasa kecewa dan perih berbaur menjadi satu.Dalvin menelefon hanya untuk mengatakan bahwa ia tak bisa menemui Kiara dalam waktu dekat. Ancaman dan sorotan media yang semakin ketat membuat Dalvin khawatir bahwa ada yang akan melacak keberadaan Kiara jika ia sering mengunjunginya di vila terpencil itu. Dalvin memang menginginkan keturunan dari Kiara, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, namun kini Kiara merasa seolah terjebak, seperti bayangan yang ditinggalkan sendirian dalam kegelapan."Dalvin, bagaimana mungkin aku harus terus menunggu seperti ini?" gumam Kiara pelan, airmata menggenang di matanya. "Benar, aku hanya alat untuk menghasilkan keturunanmu saja."Dimas, yang telah mengamati ekspresi Kiara dari k
Kiara duduk di atas ranjang pemeriksaan dengan tatapan kosong. Dokter di hadapannya berbicara dengan suara lembut dan tenang, namun tidak mampu mengurangi kecemasan yang berkecamuk di hatinya. Dimas berdiri di sampingnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sama.“Bu Kiara,” dokter memulai dengan nada penuh pengertian. “Saat ini, kondisi kehamilan Anda membutuhkan perhatian khusus. Ibu mengalami stres berat, yang tidak hanya memengaruhi kondisi fisik, tetapi juga perkembangan janin. Demi kesehatan Ibu dan bayi, sangat penting bagi Ibu untuk beristirahat dengan cukup dan menghindari hal-hal yang bisa memperparah stres.”Kiara menunduk, menahan napas sejenak. Mendengar penjelasan dokter itu membuatnya sadar bahwa kehamilan ini lebih rumit dari yang ia kira. Ini adalah kehamilan pertamanya, sesuatu yang seharusnya membahagiakan, tetapi kini terasa berat karena tekanan yang ia rasakan. Sorotan media, ancaman dari Irene, serta beban yang datang dari posisinya sebagai istri gubernur tela
Suasana pagi di kediaman dinas gubernur terasa lebih sunyi dari biasanya. Dalvin harus berangkat ke Palembang untuk menghadiri pertemuan para pejabat. Meski biasanya Kiara selalu mendampingi suaminya dalam acara-acara resmi, kali ini kondisi kehamilannya yang semakin membesar membuatnya tidak memungkinkan untuk bepergian jauh. Tubuhnya masih sering terasa lemah, dan Dalvin tahu betul bahwa perjalanan ini terlalu berat untuk Kiara.Di ruang tamu, Dalvin mengenakan jas resmi, bersiap untuk pergi. Kiara duduk di sofa dengan wajah pucat, tangannya menggenggam erat cangkir teh yang sudah dingin. Matanya tampak cemas, mengikuti setiap gerak-gerik suaminya. Dalvin menghampirinya, menunduk untuk mencium keningnya dengan lembut.“Kau yakin baik-baik saja di sini, Kiara?” Dalvin bertanya lembut, meski ada nada khawatir dalam suaranya.Kiara mengangguk pelan, meski tatapannya menghindari mata suaminya. “Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Ini bukan pertama kalinya aku tinggal di sini sendirian
Irene terbaring di ranjang rumah sakit dengan kondisi lemah. Infus tergantung di sebelahnya, perlahan meneteskan cairan yang seharusnya membantu memulihkan kekuatannya. Namun, hatinya masih dipenuhi amarah dan kecewa karena rencananya untuk menghancurkan Kiara gagal total. Dalvin telah mengetahui ulahnya, dan kini ia terisolasi. Tidak ada yang memihaknya, dan kondisinya terus memburuk karena tekanan emosional.Kondisi Irene memang lemah. Akan tetapi ia memaksakan diri agar mendapatkan apa yang diinginkannya. Bukan Irene namanya jika ia tidak bisa melakukan apapun yang diinginkannya.Pintu kamar Irene tiba-tiba terbuka dengan kasar, membuat suara dentingan yang nyaring. Irene menoleh dengan lemah, hanya untuk melihat sosok Cecilia memasuki ruangan dengan langkah cepat dan sorot mata penuh kebencian.Cecilia, meskipun baru berusia 22 tahun, memiliki kepercayaan diri dan kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Dengan latar belakang keluarganya yang terpandang dan kekuasaan orangtuanya yang
Suasana di rumah dinas gubernur terasa tegang sejak kejadian semalam. Kiara terbaring lemas di kamar tidurnya, tubuhnya tampak lebih rapuh dari biasanya. Wajahnya pucat, napasnya sedikit terengah, dan matanya yang biasanya bersinar kini redup. Dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa efek obat perangsang yang diberikan kepadanya memang berbahaya, terutama dalam kondisinya yang sedang hamil.Dalvin duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Kiara dengan penuh penyesalan. Ia tak pernah membayangkan bahwa intrik yang dibuat oleh Irene akan sampai sejauh ini. Pikirannya terus berputar, merencanakan langkah-langkah selanjutnya untuk mengamankan istrinya dari ancaman yang lebih besar. Namun, di tengah kegelisahannya, suara langkah kaki yang cepat terdengar di lorong.Pintu kamar Kiara terbuka lebar, menampakkan sosok Cecilia, keponakan Dalvin sekaligus sahabat terdekat Kiara. Cecilia tampak marah. Rambutnya yang biasanya rapi kini sedikit berantakan, dan sorot matanya penuh dengan amarah
Dimas menatap tajam pada wanita pelayan di depannya, tangan kanannya mencengkeram lengan wanita itu dengan kuat. Ia bisa merasakan ketegangan di sekujur tubuh pelayan tersebut, namun wanita itu tetap bungkam. Dimas menahan amarah yang bergejolak di dadanya. Segala sesuatu mulai masuk akal—Kiara yang tiba-tiba menunjukkan perilaku tak terkendali, obat yang dicampurkan dalam minuman, dan sekarang pelayan yang jelas-jelas tahu lebih banyak dari apa yang ia sampaikan. “Siapa yang memerintahmu?” desak Dimas, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Jangan berbohong, atau aku akan memastikan kau ditangkap dan diadili.” imbuhnya. Pelayan itu tetap terdiam, kepalanya tertunduk, dan tubuhnya sedikit gemetar. Ia tahu apa yang sedang terjadi, dan ia takut, sangat takut. Namun, ketakutan pada seseorang di balik layar, seseorang yang lebih berbahaya daripada ancaman Dimas, membuatnya tetap bungkam. “Bicaralah sekarang, atau aku akan menyeretmu ke kantor polisi,” ancam Dimas, kali ini dengan nada
Dalvin menatap Kiara dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Sikap istrinya berubah begitu drastis—dorongan hasrat yang menguasai Kiara tak seperti biasanya. Ia tahu ada yang tidak beres, tapi rasa kasih sayangnya pada Kiara membuatnya ragu untuk menolak. Dalam hatinya, Dalvin hanya ingin menyembuhkan istrinya dari rasa gelisah yang tampak menguasai tubuh dan pikirannya."Mas Dalvin... kumohon," desis Kiara, suaranya serak penuh hasrat yang tak terkendali. "Main yuk Mas?"Kiara mendekatkan diri ke Dalvin, menarik tubuh suaminya lebih erat dalam pelukannya, matanya penuh dengan gairah yang membara.Dalvin menarik napas dalam. Mungkin, pikirnya, memenuhi keinginan Kiara adalah satu-satunya cara untuk membuatnya merasa lebih baik. Meskipun tubuhnya sudah mulai lelah, ia tak bisa menolak Kiara yang begitu memohon. Dalvin akhirnya menyerah, menuntaskan keinginan istrinya yang menggelora, berpikir mungkin dengan cara itu, Kiara akan merasa lebih tenang.Namun, seiring berjalannya waktu,
Dimas semakin panik. Di hadapannya, Kiara mulai menggeliat tak menentu di atas sofa, napasnya memburu, dan keringat dingin membasahi wajahnya. Kiara tampak menahan sesuatu yang tak dapat dijelaskan, matanya sesekali terpejam erat, dan bibirnya melenguh kecil, seolah berjuang melawan dorongan dari dalam tubuhnya.“Nona Kiara, kau baik-baik saja?” Dimas bertanya, suaranya gemetar dengan nada cemas. Ia merunduk, mencoba membantu Kiara yang tampak kehilangan kendali atas tubuhnya.Namun, Kiara tak dapat memberikan jawaban yang jelas. Tubuhnya terasa panas, pikirannya mulai mengabur. Ia tahu ada yang tidak beres, tetapi tak bisa memahami apa yang sedang terjadi. Tiba-tiba, ia merasa hasrat yang kuat merambati seluruh tubuhnya, dan itu membuatnya semakin tak nyaman. Rasa aneh yang tadi samar, kini berubah menjadi dorongan yang tak tertahankan.Sementara itu, di dapur dan area pelayanan, para pelayan yang mengetahui bahwa minuman Kiara telah dicampur vitamin penambah gairah semakin ketakutan
Di sebuah ruangan yang redup, Irene duduk di kursi kulitnya, menatap layar ponsel dengan ekspresi puas. Ia baru saja memberikan instruksi terakhir kepada salah satu orang kepercayaannya di kediaman gubernur. Rencananya kini semakin mendekati tahap akhir. Irene tahu bahwa memanfaatkan kelemahan Kiara adalah cara paling efektif untuk menyingkirkan wanita itu dari hidup Dalvin. Kali ini, ia akan mengambil langkah lebih jauh—lebih berani, dan lebih berbahaya.“Kalian takut apa?” Irene berkata sinis saat mendengar beberapa orang protes atas rencananya. Mereka merasa cemas karena Kiara sedang hamil, dan takut jika substansi yang diselundupkan ke dalam minuman Kiara akan berbahaya bagi bayi yang dikandungnya.“Bu, Kiara sedang hamil. Jika sesuatu terjadi, kita bisa dituduh meracuni dia. Bagaimana kalau ada efek samping yang buruk?” Salah satu pelayan yang ditugaskan oleh Irene berbicara dengan penuh kekhawatiran, meskipun suaranya dijaga agar tetap rendah.Irene menggelengkan kepala dengan