Irene masuk ke dalam kamar dengan anggun menggunakan kursi rodanya, tampak seperti ratu yang baru saja memasuki ruang mahkamah. Di belakang senyumnya yang terlihat manis, Kiara merasakan aura ketegangan yang melingkupi ruangan. Dengan gerakan perlahan, Irene memposisikan diri di antara Kiara dan Dimas, seolah menghalangi setiap interaksi antara mereka."Kiara, sayang," Irene memulai, suaranya lembut namun penuh makna tersirat. "Bagaimana kabarmu? Sudah lama kita tidak berbincang."Kiara mencoba tersenyum, meskipun hatinya berdebar. Sesungguhnya kehadiran Irene menambah pusing perasaan Kiara."Aku baik-baik saja, Irene. Terima kasih telah bertanya." ujar Kiara dengan nada dingin.Irene mengangguk, lalu menatap Dimas dengan tatapan tajam. "Dimas, kau di sini untuk membantu Kiara, bukan? Menjaga istri muda suamiku agar tidak merasa kesepian?"Dimas yang berdiri di samping Kiara, mencoba menjaga wajahnya tetap tenang. Sebenarnya, sejak awal bekerja ia tidak menyukai Irene."Tentu saja, Ny
Kiara memandang ke arah jendela, melihat Dalvin yang semakin mendekat, hatinya berdegup kencang. Sepertinya, pertempuran yang lebih besar baru saja dimulai, dan dia tidak bisa mundur. Dia ingin menunjukkan kepada Irene bahwa dia tidak akan terpinggirkan, tidak lagi.“Kiara, kau tidak sendirian,” Dimas berbisik lembut, mengerti kekhawatiran yang melanda hati Kiara. “Kau punya aku, ingat?”“Aku tahu, Dimas. Tapi aku harus melakukan ini sendiri. Ini adalah hidupku, dan aku ingin membela diriku,” jawab Kiara, mencoba menguatkan dirinya.Irene mengamati interaksi mereka dengan senyuman tipis. “Kau mungkin merasa kuat sekarang, Kiara, tetapi ingatlah, kekuatan yang kau miliki bisa dengan mudah dihancurkan. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa diperjuangkan tanpa strategi.”Dalvin akhirnya memasuki ruangan, dan sorot matanya mencari Kiara. Ketika mereka bertemu, Kiara merasakan nyala semangat dalam dirinya. Dia ingin memperjuangkan cintanya, meskipun bayang-bayang Irene selalu menghantui.“Sayan
Pagi itu, udara di rumah Dalvin terasa begitu berat. Sudah seminggu berlalu sejak perhelatan mengenai kedudukan Dalvin di pemerintahan terancam. Irene berusaha mengerahkan diri, relasi dan juga kekuatan untuk mendukung posisi Dalvin. Saat itulah, Kiara mulai mengalah dan tidak menggebu-gebu lagi untuk menjadi pasangan yang diperkenalkan kepada khalayak nantinya. Kiara duduk di sofa, menatap kosong ke arah jendela. Dalam beberapa jam ke depan, Dalvin dan Irene akan terbang ke Singapura untuk kemoterapi. Kiara merasakan kerinduan yang mendalam, meskipun hatinya dipenuhi rasa sakit dan kebingungan. Namun, mau bagaimanapun Dalvin adalah suaminya juga, ia rindu setelah satu minggu diabaikan. Ketika suara langkah kaki terdengar dari arah pintu, Kiara segera mengangkat kepala. Dalvin muncul dengan raut wajah yang serius, mengenakan kemeja formalnya. Ia tampak sangat profesional, tetapi di balik itu semua, Kiara tahu ada beban yang ia tanggung. “Kiara,” Dalvin memanggil lembut, mendekatinya
Setibanya di Bali, Kiara merasakan angin laut yang menerpa wajahnya. Senyum cerah dan keindahan pantai seakan menjadi pelarian dari semua masalah yang menghimpit. Dimas memandangnya dengan senyuman, tampak bersemangat untuk menikmati liburan ini."Jadi, berapa kamar yang ingin kita pesan?" tanya Dimas sambil memeriksa pilihan hotel di ponselnya.Kiara memikirkan sejenak. “Aku pikir, kita hanya butuh satu kamar besar dengan dua ranjang. Bagaimana?”Dimas terkejut. “Satu kamar? Kenapa tidak dua? Kita kan tidak—”“Dimas, ini hanya liburan. Lagipula, aku tidak mau terlalu jauh dari kamu. Satu kamar lebih baik,” Kiara memotong, berharap suasana tetap hangat. "Lebih hemat, biayanya lebih baik kita pakai untuk makan makanan mahal."Dimas mengangguk, meskipun masih merasa sedikit ragu. “Baiklah, satu kamar besar. Tapi kita tetap harus menjaga jarak, ya? Kita kan bukan pasangan.”Kiara tersenyum, mengiyakan. “Iya, aku janji. Kita tidak boleh membuat Dalvin kecewa.”Hari pertama mereka di Bali
Matahari semakin merendah, menembus cakrawala dengan nuansa oranye kemerahan yang membakar langit. Kiara dan Dimas melanjutkan langkah mereka di sepanjang pantai, ombak yang berdebur lembut menghampiri kaki mereka, seolah-olah menenangkan jiwa-jiwa yang gelisah. Meski hatinya masih bergetar oleh pesan misterius yang baru saja diterima, Kiara berusaha menikmati momen ini.Dimas, yang berada di sampingnya, memperhatikan setiap detail perubahan ekspresi Kiara. Kiara pasti resah karena teror terhadapnya.“Kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut, berusaha meredakan resah di hati gadis itu.Kiara mengangguk pelan, meskipun senyumnya tampak dipaksakan. “Aku hanya merasa sedikit cemas, Dimas. Tentang pesan itu… apalagi Dalvin berkata ada sesuatu. Sebenarnya apa yang mereka berdua sembunyikan?”“Lupakan saja untuk saat ini. Mari kita nikmati keindahan ini,” Dimas mengajak, merangkul bahu Kiara dengan lembut. "Biarkan saja mereka meredakan masalah mereka sendiri. Kita jangan terganggu oleh ancaman
Malam di Bali dipenuhi dengan keheningan yang indah. Kiara terbaring di ranjang, memandangi langit-langit kamar yang diterangi cahaya lembut dari lampu tidur. Di sampingnya, Dimas tampak terlelap, tetapi Kiara tidak bisa memejamkan mata. Bayangan ciuman mereka di pantai terus menghantui pikirannya, membuat jantungnya berdebar kencang.Kiara merasa tak nyaman, pikiran dan perasaannya bergejolak. Tanpa dapat menahan diri, ia akhirnya bangkit dari tempat tidurnya, mengendap-endap menuju balkon yang menghadap kolam renang. Suasana malam yang tenang dan angin lembut membuatnya merasa sedikit lebih baik.Dengan langkah pelan, Kiara menatap air kolam yang memantulkan cahaya bulan. Ia berusaha meredakan pikiran yang berkecamuk di kepalanya, tetapi ingatan tentang Dimas tidak bisa diabaikan.“Terlalu banyak yang harus dipikirkan,” gumamnya pada diri sendiri, mengelus rambutnya yang terurai. "Ternyata tidak punya uang bukan satu-satunya masalah pelik."Ia merindukan kedamaian dalam hidupnya, te
Malam semakin larut, dan udara Bali yang hangat berhembus lembut, membawa aroma laut yang menenangkan. Namun, di dalam hati Dimas, ketenangan itu terganggu oleh pesan yang baru saja ia terima dari Dalvin. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi rasa cemas menggelayuti pikirannya.Kiara yang terbaring di sampingnya tampak damai, tanpa tahu apa yang sedang terjadi di luar tidur nyenyaknya. Dimas menghela napas, berusaha mengalihkan perhatian dari ponselnya yang masih bergetar dalam diam. Namun, ia tidak bisa melupakan peringatan yang mungkin saja akan mengubah segalanya.“Dimas?” Suara Kiara memecahkan keheningan, membuat Dimas tersentak. Ia menoleh dan melihat Kiara yang terbangun dengan mata masih setengah terpejam. “Ada apa? Kenapa kamu terlihat cemas?”Dimas berusaha tersenyum, tetapi tidak bisa sepenuhnya menutupi rasa gelisah di hatinya. “Tidak, hanya... sedikit terganggu. Mungkin aku terlalu banyak berpikir.”Kiara mengangguk, meskipun ia tampak tidak sepenuhnya yakin. “Kalau begi
Suasana di Bandara Ngurah Rai terasa hangat dan penuh kehidupan. Dalvin baru saja mendarat, dan meskipun sinar matahari Bali bersinar cerah, perasaan gelisah menggerogoti hatinya. Ia tahu Kiara dan Dimas sedang berada di sana, menikmati liburan, tetapi bayangan kecemasan tentang hubungan mereka menghantuinya."Kenapa aku harus merasa seperti ini?" gumam Dalvin pada dirinya sendiri sambil melangkah menuju pintu keluar. "Dia istri keduaku, tapi..."Dari kejauhan, ia melihat seorang sopir yang memegang papan nama bertuliskan namanya. Setelah menjabat tangan sopir tersebut, Dalvin segera melesat menuju mobil yang menunggunya. Perasaannya campur aduk antara percaya dan ragu. Apakah Kiara benar-benar setia padanya, ataukah ia mulai terjerat dalam pesona Dimas yang lebih muda?Setelah menempuh perjalanan singkat, Dalvin tiba di hotel tempat Kiara dan Dimas menginap. Ia langsung menghubungi Dimas melalui pesan singkat.“Temui saya di lobi. Penting.”Dimas menerima pesan itu dan segera bergega