Saat Kiara melangkahkan kaki memasuki rumah orangtuanya, perasaan hangat segera menyelimuti hatinya. Di balik segala kerumitan yang terjadi di rumah bersama Dalvin dan Irene, rumah ini adalah satu-satunya tempat di mana Kiara merasa benar-benar aman. Senyum lebar terlukis di wajah kedua orangtuanya ketika mereka melihat Kiara, meskipun ayahnya yang sakit ginjal tampak lemah, duduk di sofa dengan selang infus terpasang di lengan. Akan tetapi ada kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata."Kiara, sayangku!" panggil ibunya, Rina, dengan wajah penuh kebahagiaan. Ia segera menghampiri Kiara, memeluknya erat seolah sudah lama tak bertemu. "Bagaimana kabarmu? Kami sangat merindukanmu!""Aku baik-baik saja, Bu," jawab Kiara sambil memeluk ibunya erat. Meskipun senyumnya tampak cerah, ada bayangan kekhawatiran yang terselip di matanya. Sebagian dari dirinya ingin berbagi masalah yang ia hadapi, tapi sebagian lagi merasa tak ingin membuat orangtuanya khawatir.Ayah Kiara, yang
Dalvin berdiri di ambang pintu ruang tamu, wajahnya datar, tapi ada ketegangan yang jelas di matanya. Kiara, yang baru saja memasuki rumah bersama Dimas, merasakan hawa dingin menyelimuti suasana. Dimas, di sampingnya, berusaha tetap tenang, meski tak bisa menyembunyikan perasaan tidak nyaman.“Kiara, Dimas,” ulang Dalvin dengan suara lebih tegas. “Kita perlu bicara.”Kiara menatap suaminya dengan perasaan campur aduk. Setelah kejadian di rumah orangtuanya, pikiran tentang Dimas dan kehidupannya bersama Dalvin terus berkecamuk. Perkataan ibunya masih terngiang-ngiang di kepalanya, seolah memaksa untuk dipikirkan lebih jauh. Namun, ia mencoba mengesampingkan semua itu, terlebih saat melihat tatapan Dalvin yang tajam.“Ada apa, Mas?” tanya Kiara lembut, berusaha mengurangi ketegangan.Dalvin tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Dimas yang masih berdiri di dekat Kiara. Dengan gerakan pelan, ia menepuk kursi di ruang tamu, mengisyaratkan agar mereka duduk.“Dimas,
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Kiara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang tampak lelah. Surat dari Irene masih tergenggam erat di tangannya. Ia belum bisa memutuskan, apakah ia akan benar-benar menemui Irene di taman belakang, atau lebih baik membiarkan rasa penasaran ini terpendam.Namun, ada sesuatu yang mendorongnya. Rasa ingin tahu yang tak bisa ia abaikan. Apa yang Irene ingin bicarakan? Kenapa harus diam-diam, di malam hari, tanpa sepengetahuan Dalvin?Kiara menghela napas panjang dan menatap keluar jendela kamarnya. Langit malam gelap, hanya diterangi oleh bulan pucat yang menggantung di atas sana. Ia tahu, jika ia keluar sekarang, tak ada yang akan menyadari. Dalvin sedang di ruang kerjanya, mungkin tak akan peduli pada kepergiannya. Dimas juga pasti sudah beristirahat setelah seharian menemani mereka.Ia menarik selimut tipis dari tempat tidur, membungkus tubuhnya yang dingin. Setelah menarik napas dalam-dalam, Kiara akhirnya memutuskan. Ia akan
Udara malam yang dingin terasa semakin menusuk ketika suasana di taman berubah tegang. Kiara berdiri membeku di antara Dalvin dan Irene. Kata-kata Irene tadi terus menggema di kepalanya. Ada sesuatu yang disembunyikan Dalvin. Sesuatu yang besar.Dalvin menatap Irene dengan mata penuh amarah, tetapi seolah-olah menahan dirinya agar tidak meledak di depan Kiara. Irene mendampinginya selama 15 tahun, apa yang hendak Irene katakan pada madunya itu?“Kau sudah melampaui batas, Irene,” ucapnya dengan suara rendah namun tajam.Irene tersenyum sinis, tidak gentar sedikit pun dengan ancaman suaminya. “Batas?” Irene tertawa kecil. “Aku sudah hidup di bawah ‘batas’ itu selama bertahun-tahun, Dalvin. Sekarang, aku tidak punya apa-apa lagi untuk ditakutkan. Kau mungkin bisa menakut-nakutiku dulu, tapi tidak lagi sekarang.”Kiara memandang mereka berdua dengan kebingungan. Ia merasa seperti orang luar yang tidak tahu apa-apa tentang permainan yang sedang terjadi di antara Dalvin dan Irene. “Apa ya
Kiara terdiam mendengar kata-kata Dimas. Jantungnya berdegup semakin cepat, namun ia tidak tahu apakah itu karena ketegangan atau karena sesuatu yang lain. Dalam beberapa bulan terakhir, Dimas memang selalu ada di sampingnya—mendengarkan keluhannya, memberi saran, bahkan menjadi sandaran ketika dia merasa tak mampu menghadapi tekanan pernikahannya dengan Dalvin. Tetapi kini, setelah mendengar janji yang keluar dari mulut Dimas, Kiara merasa semua menjadi semakin rumit.“Dimas… aku…” Kiara menggantungkan kata-katanya. Kiara tidak tahu harus mengatakan apa. Pikiran tentang Dalvin, Irene, dan sekarang Dimas berputar-putar dalam kepalanya, menciptakan badai yang semakin tak bisa ia kendalikan.Dimas memandang Kiara dengan penuh perhatian. Ia maju selangkah, tapi masih menjaga jarak. “Kiara, aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau tidak sendiri. Apa pun keputusan yang kau ambil, aku akan mendukungmu.”Kiara menunduk, merasakan air mata mengalir lagi
Kiara berdiri membeku di ambang pintu, terpaku oleh pernyataan cinta yang baru saja diucapkan Dimas. Kata-kata pria itu menggema di kepalanya, berulang kali. Ia merasa bagaikan tersedot ke dalam pusaran emosi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cinta? Bagaimana mungkin Dimas, sekretaris dan asisten pribadi Dalvin, bisa mencintainya?Dimas menatap Kiara dengan penuh keraguan, tapi di balik keraguan itu, matanya memancarkan ketulusan yang tak terbantahkan. Selayaknya seseorang muda yang kasmaran, Kiara merasa jantungnya berdebar lebih cepat.“Kiara, aku… Aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa lagi berpura-pura. Selama ini aku menahan perasaan ini, tapi melihatmu semakin terluka setiap hari, aku tak sanggup lagi. Aku mencintaimu.”Kiara terisak pelan, air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Cinta. Kata itu menusuk hatinya. Ia tidak pernah mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Dalvin, suaminya sebelum hari ini. Bahkan ketika Dalvin berusaha memperbaiki hubungan mereka,
Chapter Baru: Di Antara Dua DuniaKiara duduk di tepi tempat tidur, kepalanya masih berdenyut akibat semua yang baru saja terjadi. Dalvin sudah kembali pada kesibukannya bekerja, dan keheningan di rumah membuat pikirannya melayang. Perasaan yang ia rasakan tadi malam, ketika Dimas menyatakan cintanya, masih membekas begitu kuat. Ada perasaan bersalah yang terus menghantui, tapi di sisi lain, ada kelegaan aneh saat Dimas mengungkapkan perasaannya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Kiara merasa diinginkan, dihargai, dan dicintai dengan cara yang tak pernah Dalvin tunjukkan.Untuk pertama kalinya, ia menjadi satu-satunya bagi seorang pria.Namun, perasaan itu salah. Bagaimanapun, ia adalah istri Dalvin. Dalvin, meskipun bukan sosok suami yang sempurna, tetaplah suaminya di mata hukum dan keluarga. Tapi hati kecilnya terus memanggil nama Dimas, pria yang selalu berada di sisinya tanpa pernah memintanya lebih dari yang bisa ia berikan.Pikiran Kiara terganggu saat suara ketukan lembut te
Pagi itu, sinar matahari masuk dengan lembut melalui celah-celah tirai kamar Kiara. Namun, suasana yang cerah di luar terasa begitu kontras dengan kekacauan yang ada di dalam hati dan pikirannya. Kiara baru saja selesai merapikan tempat tidur ketika Dalvin masuk ke kamar, wajahnya menunjukkan senyum tipis yang membuat jantung Kiara berdetak lebih cepat—bukan karena cinta, melainkan perasaan aneh yang semakin mengganggunya.Perasaan yang semula membuncah berubah begitu saja. Apa hati manusia memang cepat berubah?"Kiara," suara Dalvin terdengar rendah, mengisyaratkan niatnya, "sebentar lagi aku harus berangkat kerja, tapi sebelum itu... aku ingin menghabiskan waktu bersamamu. Kau mau kan?"Kiara menelan ludahnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar lebih keras. Dia tahu maksud Dalvin. Meski beberapa minggu terakhir Dalvin semakin sering mendekatinya dengan keinginan yang sama, hari ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Kiara.Dia mencoba tersenyum, mesk