Malam itu, Kiara kembali ke kamarnya setelah tangisannya mereda di hadapan Dimas. Meski hatinya terasa sedikit lebih ringan setelah menumpahkan segala yang ia rasakan, perasaan hampa dan sakit masih menguasai dirinya. Langit di luar sudah gelap, dan rumah terasa begitu sunyi. Seolah-olah dunia di sekitarnya membeku, namun di dalam dirinya, badai masih mengamuk.Kiara duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menembus jendela yang menampilkan malam yang tenang. Namun, kedamaian di luar sana tidak bisa menghapus kenyataan pahit yang baru saja ia alami. Gambaran Dalvin dan Irene yang berciuman terus menghantui pikirannya, seolah diputar berulang kali dalam kepalanya.Dalvin memang sangat tampan di usianya yang ke 45 tahun, ia memiliki tinggi sekitar 190cm dengan kulit yang benar-benar bersih seperti seorang Vampire. Wajahnya tampan, mirip aktor-aktor China sehingga wanita mudah luluh hanya dengan sekali tatapan saja. Irene pun cantik luar biasa meskipun ia tengah sakit kanker, hal itu mem
Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui tirai kamar, menghangatkan kulit Kiara yang masih berbaring di ranjang. Ia perlahan membuka mata, kepalanya masih terasa berat oleh perasaan yang campur aduk. Semalam, ia akhirnya menyerah pada Dalvin—merelakan tubuhnya untuk suaminya dengan harapan tipis akan cinta. Namun, di lubuk hatinya, Kiara tahu bahwa perasaan itu masih samar-samar, tak sepenuhnya tulus.Saat ia mencoba menenangkan pikirannya, pintu kamar terbuka. Dalvin masuk dengan wajah segar, senyum tipis menghiasi bibirnya. Pria itu sudah bangun terlebih dahulu dan juga sudah mandi. Ia sangat tampan dengan kaus putih polosnya."Pagi, sayang. Bagaimana tidurmu?" tanya Dalvin, menghampiri Kiara yang masih duduk di tepi ranjang.Kiara menatapnya sejenak, mencoba memahami apa yang sebenarnya ia rasakan. Dalvin mendekat dan mengecup keningnya."Cukup baik," jawabnya pelan, berusaha tersenyum meskipun fisiknya terasa lelah akibat gempuran semalam.Dalvin duduk di sebelahnya, tanga
Setelah memutuskan untuk menunda janji menemani Kiara, Dalvin akhirnya mengambil keputusan yang membuat Kiara semakin merasakan jarak di antara mereka. "Dimas," panggil Dalvin dari ruang kerjanya, "kemari sebentar."Dimas, yang tak pernah jauh dari majikannya, segera muncul di ambang pintu. Asisten pribadi Dalvin itu mengenakan kemeja biru rapi, rambutnya disisir dengan teliti, menampilkan kesan profesional yang sudah menjadi ciri khasnya. "Ya, Tuan Dalvin?" jawabnya dengan tenang, sedikit menunduk sebagai tanda hormat.Dalvin mendekat, menyerahkan sebuah amplop tebal kepada Dimas. "Kau akan menemani Kiara ke rumah orangtuanya. Aku tidak bisa pergi karena Irene sedang tidak enak badan." Nada Dalvin datar, seperti biasa, penuh perhitungan tanpa emosi yang berlebihan. "Tolong jaga istriku baik-baik, mungkin ia marah padaku. Kupercayakan ia padamu."Kiara, yang berdiri di dekat pintu kamar, mendengar percakapan itu. Hatinya langsung jatuh. Dalvin, seperti yang ia duga, memilih untuk te
Saat Kiara melangkahkan kaki memasuki rumah orangtuanya, perasaan hangat segera menyelimuti hatinya. Di balik segala kerumitan yang terjadi di rumah bersama Dalvin dan Irene, rumah ini adalah satu-satunya tempat di mana Kiara merasa benar-benar aman. Senyum lebar terlukis di wajah kedua orangtuanya ketika mereka melihat Kiara, meskipun ayahnya yang sakit ginjal tampak lemah, duduk di sofa dengan selang infus terpasang di lengan. Akan tetapi ada kebahagiaan yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata."Kiara, sayangku!" panggil ibunya, Rina, dengan wajah penuh kebahagiaan. Ia segera menghampiri Kiara, memeluknya erat seolah sudah lama tak bertemu. "Bagaimana kabarmu? Kami sangat merindukanmu!""Aku baik-baik saja, Bu," jawab Kiara sambil memeluk ibunya erat. Meskipun senyumnya tampak cerah, ada bayangan kekhawatiran yang terselip di matanya. Sebagian dari dirinya ingin berbagi masalah yang ia hadapi, tapi sebagian lagi merasa tak ingin membuat orangtuanya khawatir.Ayah Kiara, yang
Dalvin berdiri di ambang pintu ruang tamu, wajahnya datar, tapi ada ketegangan yang jelas di matanya. Kiara, yang baru saja memasuki rumah bersama Dimas, merasakan hawa dingin menyelimuti suasana. Dimas, di sampingnya, berusaha tetap tenang, meski tak bisa menyembunyikan perasaan tidak nyaman.“Kiara, Dimas,” ulang Dalvin dengan suara lebih tegas. “Kita perlu bicara.”Kiara menatap suaminya dengan perasaan campur aduk. Setelah kejadian di rumah orangtuanya, pikiran tentang Dimas dan kehidupannya bersama Dalvin terus berkecamuk. Perkataan ibunya masih terngiang-ngiang di kepalanya, seolah memaksa untuk dipikirkan lebih jauh. Namun, ia mencoba mengesampingkan semua itu, terlebih saat melihat tatapan Dalvin yang tajam.“Ada apa, Mas?” tanya Kiara lembut, berusaha mengurangi ketegangan.Dalvin tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Dimas yang masih berdiri di dekat Kiara. Dengan gerakan pelan, ia menepuk kursi di ruang tamu, mengisyaratkan agar mereka duduk.“Dimas,
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Kiara berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya yang tampak lelah. Surat dari Irene masih tergenggam erat di tangannya. Ia belum bisa memutuskan, apakah ia akan benar-benar menemui Irene di taman belakang, atau lebih baik membiarkan rasa penasaran ini terpendam.Namun, ada sesuatu yang mendorongnya. Rasa ingin tahu yang tak bisa ia abaikan. Apa yang Irene ingin bicarakan? Kenapa harus diam-diam, di malam hari, tanpa sepengetahuan Dalvin?Kiara menghela napas panjang dan menatap keluar jendela kamarnya. Langit malam gelap, hanya diterangi oleh bulan pucat yang menggantung di atas sana. Ia tahu, jika ia keluar sekarang, tak ada yang akan menyadari. Dalvin sedang di ruang kerjanya, mungkin tak akan peduli pada kepergiannya. Dimas juga pasti sudah beristirahat setelah seharian menemani mereka.Ia menarik selimut tipis dari tempat tidur, membungkus tubuhnya yang dingin. Setelah menarik napas dalam-dalam, Kiara akhirnya memutuskan. Ia akan
Udara malam yang dingin terasa semakin menusuk ketika suasana di taman berubah tegang. Kiara berdiri membeku di antara Dalvin dan Irene. Kata-kata Irene tadi terus menggema di kepalanya. Ada sesuatu yang disembunyikan Dalvin. Sesuatu yang besar.Dalvin menatap Irene dengan mata penuh amarah, tetapi seolah-olah menahan dirinya agar tidak meledak di depan Kiara. Irene mendampinginya selama 15 tahun, apa yang hendak Irene katakan pada madunya itu?“Kau sudah melampaui batas, Irene,” ucapnya dengan suara rendah namun tajam.Irene tersenyum sinis, tidak gentar sedikit pun dengan ancaman suaminya. “Batas?” Irene tertawa kecil. “Aku sudah hidup di bawah ‘batas’ itu selama bertahun-tahun, Dalvin. Sekarang, aku tidak punya apa-apa lagi untuk ditakutkan. Kau mungkin bisa menakut-nakutiku dulu, tapi tidak lagi sekarang.”Kiara memandang mereka berdua dengan kebingungan. Ia merasa seperti orang luar yang tidak tahu apa-apa tentang permainan yang sedang terjadi di antara Dalvin dan Irene. “Apa ya
Kiara terdiam mendengar kata-kata Dimas. Jantungnya berdegup semakin cepat, namun ia tidak tahu apakah itu karena ketegangan atau karena sesuatu yang lain. Dalam beberapa bulan terakhir, Dimas memang selalu ada di sampingnya—mendengarkan keluhannya, memberi saran, bahkan menjadi sandaran ketika dia merasa tak mampu menghadapi tekanan pernikahannya dengan Dalvin. Tetapi kini, setelah mendengar janji yang keluar dari mulut Dimas, Kiara merasa semua menjadi semakin rumit.“Dimas… aku…” Kiara menggantungkan kata-katanya. Kiara tidak tahu harus mengatakan apa. Pikiran tentang Dalvin, Irene, dan sekarang Dimas berputar-putar dalam kepalanya, menciptakan badai yang semakin tak bisa ia kendalikan.Dimas memandang Kiara dengan penuh perhatian. Ia maju selangkah, tapi masih menjaga jarak. “Kiara, aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau tidak sendiri. Apa pun keputusan yang kau ambil, aku akan mendukungmu.”Kiara menunduk, merasakan air mata mengalir lagi
Ruangan rumah sakit penuh dengan kesibukan. Dokter dan perawat berseliweran, membawa berbagai peralatan menuju ruang operasi. Di tengah suasana panik itu, Dimas berdiri di lorong dengan wajah tegang. Sementara itu, Dalvin berdiri tidak jauh darinya, rahangnya mengeras dan matanya tak pernah lepas dari Dimas.Dalvin bisa melihat cinta di mata Dimas. Tatapan mata yang belum pernah Dalvin lihat sepanjang hidupnya bersama Dimas. Karena itulah batin Dalvin berteriak, ia tidak mau melihat Dimas seperti itu.Dokter keluar dari ruang persalinan dengan langkah cepat, menghampiri mereka berdua. "Kami akan segera melakukan operasi caesar. Detak jantung bayi melemah, dan kami harus bertindak cepat," jelas dokter dengan nada serius."Dokter, tolong selamatkan mereka," ujar Dalvin tanpa ragu.Dimas mengangguk tegas. "Lakukan apa pun yang diperlukan. Jangan biarkan istriku atau bayinya terluka."Tatapan Dalvin berpindah ke Dimas, penuh kemarahan. Kata-kata dokter seolah tak terdengar, tenggelam ole
Di ruang kerjanya yang megah, Dalvin duduk termenung. Di hadapannya, segelas kopi yang sejak tadi tak tersentuh mulai mendingin. Sebuah laporan tebal tergeletak di atas meja, tak menarik perhatian Dalvin sama sekali. Pikirannya dipenuhi oleh satu nama—Kiara.Seorang pria berjas hitam berdiri di hadapannya, wajahnya tegas tapi penuh keraguan. Beliau adalah ajudan sekaligus Sekretaris yang kini menggantikan Dimas. Dalvin memutar bola mata, menatap pria itu saksama."Tuan Dalvin, laporan terakhir dari tim kami. Nona Kiara sudah dibawa ke rumah sakit di Amsterdam. Dari informasi yang kami dapat, kemungkinan besar beliau akan melahirkan dalam waktu dekat."Dalvin mengangkat wajahnya, tatapannya tajam. "Amsterdam? Jadi mereka benar-benar pergi sejauh itu..." gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri."Benar, Tuan. Tim kami memastikan Dimas masih mendampingi Nona Kiara. Mereka terlihat cukup hati-hati, tapi kami berhasil mengawasi pergerakan mereka," pria itu melanjutkan.Dalvin menghela napas
Kiara terkulai lemah di atas ranjang hotel, matanya setengah terpejam karena kelelahan. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa gelisah dengan kontraksi-kontraksi palsu yang datang silih berganti. Setiap kali rasa sakit itu datang, tubuhnya menggigil dan perutnya terasa kencang. Meski begitu, ia tahu itu bukan tanda bahwa persalinan akan segera terjadi, tapi tetap saja, rasa tidak nyaman itu cukup membuatnya kelelahan."Aduh... Dimas..." Kiara mengeluh, memegangi perutnya yang semakin membesar.Kiara merasa sesak, dan kali ini rasa sakit itu seakan lebih kuat dari sebelumnya.Dimas yang berada di sampingnya, segera duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangan Kiara dengan lembut. Sejak hari-hari terakhir di Amsterdam, ia tak bisa lagi menahan kekhawatiran melihat Kiara yang semakin menderita. Apalagi kalimat Dalvin, semua itu akan menjadi sebuah ancaman bagi Dimas dan Kiara ke depannya."Ada apa, sayang? Apakah rasa sakit itu semakin menjadi?" Dimas bertanya khawatir, matanya memandan
Dalvin duduk di ruang kerjanya yang luas, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan file penting yang menanti untuk ditandatangani. Namun, hari itu pikirannya teralihkan oleh laporan yang baru saja ia terima. Di meja kerjanya, ponsel bergetar, menandakan panggilan masuk. Dalvin mengangkat telepon dengan wajah serius."Tuan Dalvin, saya punya kabar penting," suara suruhan Dalvin terdengar dari ujung telepon. "Kami telah melacak keberadaan Kiara dan Dimas. Mereka berada di Amsterdam."Dalvin terdiam sejenak, terkejut mendengar berita itu. Jantungnya berdebar kencang, dan seketika rasa cemas menyelubunginya. Amsterdam? Kiara dan Dimas? Tak pernah terlintas di pikirannya bahwa mereka akan pergi sejauh itu."Amsterdam?" Dalvin bertanya, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. "Apa mereka melakukan perjalanan bersama? Ah ya tentu saja, maksudku apa mereka tinggal bersama?""Ya, Tuan," jawab suruhannya dengan nada hati-hati. "Mereka pergi bersama, dan yang lebih mengejutkan, mereka sudah
Kiara duduk di sofa ruang keluarga dengan tangan memegangi perutnya yang semakin membesar. Wajahnya pucat, dan keringat dingin membasahi dahinya. Ia sering mengeluh mulas belakangan ini, dan rasa itu kian hari semakin intens. Dimas yang duduk di sampingnya tampak gelisah, mengawasi Kiara dengan tatapan cemas.“Kiara, kita harus pergi ke dokter sekarang,” desak Dimas, suaranya tegas namun penuh perhatian. "Ini dekat dengan HPL bukan?"“Tapi aku takut, Dimas,” jawab Kiara lirih. “Aku dengar prosedur pemeriksaan untuk pembukaan itu menyakitkan. Aku tidak tahu seperti apa, tapi katanya akan sakit.”Dimas menggenggam tangan Kiara dengan lembut. “Aku ada di sini. Apa pun yang terjadi, aku akan menemanimu. Ini demi kesehatanmu dan bayi yang kamu kandung. Jika nanti sakit, kamu boleh meremas tanganku dengan keras."Kiara menatap mata Dimas yang penuh keyakinan. Akhirnya, ia mengangguk meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. Dengan sigap, Dimas membantu Kiara berdiri dan mengenakan mantel. Mer
Pagi itu, Dimas sedang sibuk di dapur. Ia mengaduk adonan pancake dengan cekatan sambil sesekali melirik ke arah Kiara yang duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu tampak sibuk membaca buku tentang persiapan melahirkan, sesekali mengusap perutnya yang semakin besar. Dokter mengatakan bila menunggu dua minggu kedepan untuk melahirkan.“Kiara,” panggil Dimas dari dapur. “Kamu mau tambahan cokelat atau sirup maple di pancake-nya? Atau mau ditambahi ciuman dari aku?” imbuhnya.Kiara menoleh dan tersenyum kecil. Ia gemas pada Dimas yang sudah mulai gombal terhadapnya.“Sirup maple saja. Aku sedang mengurangi yang manis-manis. Kata Dokter berat badanku cepat naik, aku harus menjaganya supaya tidak sulit melahirkan."Dimas mengangguk, menuangkan adonan ke penggorengan. Suara desis adonan bertemu dengan wajan panas memenuhi ruangan, menciptakan aroma manis yang membuat suasana pagi terasa hangat.Namun, di tengah kehangatan itu, ponsel Dimas yang tergeletak di meja makan bergetar. Nama yang tert
Kiara terbangun di pagi itu dengan rasa sakit yang semakin mengganggu di dadanya. Beberapa kali ia terbangun dan meraba dadanya yang terasa sangat penuh dan membengkak. Setiap gerakan terasa begitu nyeri, dan meskipun ia mencoba untuk tidur, rasa sakit itu tak kunjung mereda."Ahh..." Kiara mengeluh pelan, meremas bantal yang ada di sampingnya. Ia tak bisa menahan rasa tidak nyaman itu lebih lama. Tak ada yang bisa membantunya kecuali Dimas, yang tidur dengan tenang di sebelahnya.Dimas yang terbangun mendengar suara desahan Kiara segera menoleh. "Kiara? Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. Matanya masih setengah terpejam, namun ia bisa melihat ekspresi kesakitan di wajah Kiara.Kiara menatap Dimas dengan tatapan penuh harap. "Dimas, dadaku... Sakit sekali," kata Kiara dengan nada lemah. "Aku merasa seperti hampir meledak, ini lebih sakit dari kemarin saat kamu memompanya. Keringatku juga dingin."Dimas menggaruk tengkuknya, sedikit bingung. Ia tidak tahu bagaimana har
Cecilia melangkah keluar dari bandara dengan perasaan campur aduk. Di tangannya, ia menggenggam tiket pesawat yang baru saja ia gunakan untuk kembali ke Indonesia. Hatinya penuh dengan kecemasan dan tekad. Ia tahu, apa yang akan ia lakukan hari ini akan mengubah banyak hal, terutama bagi keluarga Kiara.Keluarga Kiara harus tahu bila putrinya hidup. Hanya itu yang ada di benak Cecilia.Perjalanan ke rumah keluarga Kiara terasa lebih panjang dari biasanya. Ia memandangi jalanan yang penuh kenangan, mengingat bagaimana dulu ia dan Kiara sering melewati jalan ini bersama. Kini, Kiara berada ribuan kilometer jauhnya, berjuang untuk hidup dan bayinya, sementara orangtuanya di sini tidak tahu apa-apa.Ketika mobil berhenti di depan rumah besar dengan taman rapi, Cecilia menarik napas dalam-dalam. Ia turun dari mobil dan melangkah ke pintu depan. Tangannya gemetar saat mengetuk pintu, seolah ia membawa beban yang terlalu berat untuk disampaikan. Semua salahnya, ia yang telah membawa Kiara da
Di sebuah ruangan besar dengan pencahayaan redup, Irene duduk di kursi roda mewahnya. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi, namun matanya menyiratkan kebencian yang dalam. Wanita itu belum puas dengan apa yang terjadi di hidupnya. Ia ingin siapapun yang ia benci, hancur lebur tak bersisa.Di hadapannya berdiri lima orang pria berpenampilan garang, berpakaian serba hitam, dengan wajah tanpa belas kasihan.Irene memutar cangkir teh di tangannya, aroma melati memenuhi udara. Ia menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berbicara dengan suara rendah namun penuh wibawa.“Kalian tahu kenapa kalian ada di sini?” tanya Irene, suaranya nyaris seperti bisikan namun cukup untuk membuat semua pria itu tegang.Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di wajahnya, maju selangkah. “Kami akan mendengar perintah Anda, Nyonya. Kami siap menjalankan apa pun yang Anda inginkan.” ujar pria itu dengan tatapan tajam.Irene tersenyum tipis, namun senyumnya dingin seperti es. Wani